Sabtu, 12 Desember 2015

PG Prembun, Sepenggal Kolonial di Ujung Timur Kebumen

Terletak di ujung timur Kabupaten Kebumen, tak banyak yang tahu bahwa di pernah berdiri sebuah pabrik gula di Prembun. Pabriknya memang telah terkubur oleh sang kala, tapi jejak sejarahnya masih bisa ditemui. Inilah sebuah ikhtisar tentang sepenggal kolonial di ujung timur Kebumen.
Lokasi bekas PG Prembun.
“ Lain kali kalau mau foto-foto bilang ke sini dulu ya mas ! “, perintah bapak polisi itu. “ Siap pak !”, sahut saya. “ Kalau sudah izin kan nanti bisa lihat-lihat dalam “, sambungnya. Bermula dari kecerobohan saya yang lupa meminta izin pada penjaga, saya justru mendapat kesempatan emas untuk melihat lebih dekat bangunan tua yang kini menjadi kantor Polsek Prembun itu. “Ini dulu bangunan dari zaman kolonial Belanda mas“, terang polisi lain. Balutan kolonial memang masih begitu kentara di kantor yang berada di pinggir jalan raya Kebumen-Purworejo. Lihatlah jendela krepyak yang masih utuh terpasang di tempatnya. Beranda depan yang tinggi ditopang oleh tiang-tiang dari kayu jati. Halaman depannya juga amat luas sehingga belasan mobil dapat terparkir di situ.
Bangunan bekas tempat tinggal rumah administrateur yang saat ini menjadi kantor Polsek Prembun.
Penampakan bangunan kantor Polsek Prembun tidak seperti kantor polisi pada umumnya. Bangunan ini lebih mirip seperti tempat tinggal yang diperuntukan bagi orang-orang Belanda. Beranda depannya berhias dengan lantai tegel bercorak puspa, yang sekilas gayanya mengingatkan saya pada seni hias art nouveau yang pernah digandrungi orang pada akhir abad ke-10. Dari ukuran bangunan yang megah, halamannya yang luas, dan hiasan tegelnya, jelas bukan sembarang orang yang dulu pernah menghuninya. “Dahulu yang tinggal di sini itu katanya pegawai pabrik gula, tapi saya tidak tahu pabrik gula mana “, terang polisi tadi.
Foto udara PG Prembun diambil dari sebelah tenggara. Tampak dengan jelas pemandangan kompleks pabrik dan perumahan pegawai (sumber : troppenmuseum.nl).
Foto udara PG Prembundi ambil dari sebelah utara (sumber : troppenmuseum.nl).
Suikerfabriek Remboen atau PG Prembun adalah pabrik gula yang dimaksud bapak polisi tadi. Wajar jika bapak polisi tadi tidak mengetahuinya karena keberadaan pabrik itu tampaknya sudah lekang dari ingatan orang-orang sekitar. Pabrik gula Prembun didirikan oleh perusahaan agrobisnis partikelir, Java-Suikercultuur Maatschappij, pada tahun 1891. Pada masa itu, Karesidenan Bagelen merupakan satu-satunya karesidenan di Jawa tengah yang tidak memiliki industri gula modern, padahal wilayah tersebut memiliki dataran rendah yang luas dan banyak sungai. Maka dari itu, didirikanlah badan usaha Java Suikercultuur Maatschappij untuk memajukan industri gula di sana. Perusahaan tersebut membutuhkan modal investasi sebesar 900.000 gulden. Untuk mendapatkan modal tersebut, dijualah saham dalam dua seri dengan masing-masing nilai sebesar 450.000 gulden. Java Suikercutuur Maatschappij diberi konsensi hingga 31 Desember 1940. Kursi direktur Java Suikercultuur Maatschappij diduduki pertama kali oleh J.W. Wilson. Sementara kursi Komisaris diisi oleh H. H. Borel, G. J. B. Bunge, C. W. Groskamp, ​​Mr. H. D. Levyssohn Norman dan J. J. P. Vom Rath. Atas masukan dari A.W. de Rijk, Java Suikercultuur Maatschappij harus mengurus hak kepemilikan, izin mendirikan bangunan, dan sewa tanah untuk pendirian pabrik gula di Prembun (Bataviasch Nieuwsblad, 9 April 1890)
Foto hitam putih bangunan PG Prembun atau S. F Remboen. Di dinding muka bagian atas, terdapat angka tahun 1926 yang menunjukan tahun bangunan itu berdiri. Bangunan ini dahulu berdiri persis di pinggir jalan raya yang Purworejo - Kebumen. Bangunan ini sekarang sudah hilang (sumber : troppenmuseum.nl).
Sebagai persiapan, perusahaan mencari calon administrateur pertama PG Prembun yang sudah ahli dan sebelumnya sudah memiliki pengalaman sebagai administraetur pabrik gula. Orang inilah yang nantinya memastikan apakah pabrik gula dapat berkembang di tahun-tahun pertamanya. Setelah melakukan pencarian, perusahaan akhirnya mendapatkan G.W. Slothouwer, mantan administrateur PG Mayong, Jepara yang saat itu sudah kembali ke Eropa. Atas masukan dari Slothouwer, PG Prembun akan memakai mesin dari Duncan Stewart & Co., yang pabriknya ada di Glasgow, Inggris. Sebelum penempatan ke Jawa, Slothouwer pergi ke Glasgow untuk memastikan jenis mesin pesanannya sesuai dengan kriterianya. Pembangunan pabrik sudah dilaksanakan sejak bulan Januari tahun 1891, namun hambatan tak terduga di tengah jalan membuat pembangunannya tersendat. Hambatan juga muncul dalam pengangkutan mesin menuju ke lokasi pabrik. Hambatan ini berdampak terhadap mundurnya operasional pabrik yang sedianya akan dimulai pada 4 Juni 1891 (Java Bode, 22 Agustus 1891).
Mesin penggiling tebu PG Prembun ( sumber : troppenmuseum.nl ).

Pada saat awal berdiri, lahan yang berhasil pabrik digarap baru seluas 327 bouw (228 hektar) dengan hasil panen mencapai 10.000-25.000 pikul (617-1544 kilo) tebu. Untuk perluasan lahan, perusahaan membeli lahan baru di sekitar Kutoarjo. Selain itu, mereka juga sudah mendapatkan lahan di dekat pelabuhan Cilacap untuk lokasi gudang yang akan menampung gula dari PG Prembun sebelum diekspor ke luar (Java Bode, 22 Agustus 1891). Antara tahun 1891 hingga 1901, produksi gula PG Prembun sangat rendah dan tidak menguntungkan. Bahkan pada tahun 1900, mesin-mesin PG terpaksa dijual untuk menutupi kerugian. Kondisi itu berlangsung hingga PG Prembun dijual Java Suikercultuur Maatschappij kepada Nederlandsch Indie Landbouw Maatschppij pada tahun 1900. Perusahaan yang menjadi salah satu dari "Big Six" perusahaan keuangan di Hindia Belanda tersebut telah memiliki beberapa pabrik gula di tempat lain seperti Gudo, Balapulang, dan Pagongan. Nederlandsch Indie Landbouw Maatschppij lalu menunjuk J.H.W van den Bosch sebagai administrateur PG Prembun. Penunjukan ini rupanya memberi dampak siginifkan terhadap PG Prembun. Lambat laun, angka produksi PG Prembun meningkat secara bertahap dan pada tahun 1903, PG Prembun akhirnya meraih laba pertamanya. Pada tahun 1907, Van den Bosch kemudian dipindahkan ke PG Banjardawa dan kursi adminsitrateur PG Prembun diganti oleh G.L Cochius ; cucu dari Jenderal Cochius yang namanya pernah dijadikan untuk nama benteng di Gombong. Selama 11 tahun masa kepemimpinannya di PG Prembun, PG Prembun berkembang menjadi PG terbesar ketiga di Jawa dengan luas lahan mencapai 2713 bouw (1521 hektar) (Bataviasch Nieuwsblad, Desember 1917).

Beranda depan.
Lantai tegel bergaya art nouveau di bagian serambi depan polsek Prembun.
Bagian dalam bangunan utama Polsek Prembun.
Kantor Polsek Prembun yang sedang saya sambangi saat ini dahulunya adalah rumah besaran atau kediaman untuk adminsitrateur PG Prembun. Tidaklah heran apabila bangunan itu tampak megah laksana istana mengingat administrateur adalah jabatan tertinggi di lingkungan pabrik. Salah satu administrateur yang pernah berdiam di situ ialah J.G. Tjassens Keizer. Ia ditugaskan di PG Prembun sejak Januari 1928. Sebagai pegawai dari Nederlandsch-Indische Landbouw Maatschappij, ia merintis karirnya sebagai machinist tingkat dua dan dipekerjakan di PG Djatie. Pada 1 Mei 1930, di rumah besaran ini, diadakan perayaan untuk memperingati 25 tahun pengabdian J.G. Tjassens Keizer di Nederlandsch-Indische Landbouw Maatschappij, dimana pada kesempatan itu perwakilan perusahaan, Mr. F. H. Van Heukelom memberikan cinderamata pada Tjassens Keizer disaksikan oleh jajaran pegawai lainnya (De Locomotief, 2 Mei 1930).
Bangunan kolonial di dalam SMP N 1 Prembun dan lokasinya  pada foto lama.
Tersembunyi di balik gerbang SMP N 1 Prembun, saya menjumpai sebuah bangunan kolonial yang entah apa fungsinya. Apakah ia dulunya merupakan rumah wakil administrateur, kantor administrasi, atau societeit, tempat pegawai bersenang-senang ? Dari sana, saya kemudian melesat menyeberangi jalan raya yang ramai lalu lalang kendaraan.
Sisa-sisa PG Prembun saat ini. Keterangan : A. Rumah administrateur kini menjadi kantor Polsek Prembun ; B. Eks kantor PG Prembun ; C. Eks situs PG Prembun ; D. Sisa rumah dinas ; F. Stasiun Prembun.
Tatkala saya sudah berada di seberang jalan, benak saya membayangkan sebuah pabrik gula besar yang di bagian mukanya terpampang angka tahun 1926, tahun dimana PG Prembun diperbesar dan diperbauri mesin-mesinnya seiring dengan perluasan ladang tebu PG Prembun. Selama PG Prembun beroperasi, diadakan perayaan meriah setiap musim giling tiba. Acara perayaan dilangsungkan dari pagi hingga malam hari. Berbagai hiburan digelar seperti perlombaan balap sepeda, pemutaran layar tancap, pertunjukan drama dan kabaret, peragaan busana, dan jamuan makan malam. Selain itu diadakan pula upacara selamatan yang diadakan di dalam pabrik dengan harapan musim giling dapat berjalan tanpa menemui kendala (De Indishce Courant, 3 Mei 1930). Musim giling tahun 1932 menjadi musim giling terakhir PG Prembun karena setahun berikutnya pabrik ditutup (De Tijd, 12 Oktober 1939). Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat saat itu merupakan tahun-tahun tersulut untuk banyak pabrik gula di Jawa akibat depresi ekonomi yang menyebabkan banyak pabrik gula ditutup untuk memperbaiki harga gula yang sempat merosot di pasaran. Bekas rumah-rumah pegawai kemudian disewakan untuk perorangan dan pegawai negeri sipil pribumi. Pada tahun 1938, direksi Nederlandsch Indie Landbouw Maatschppij bernegosasi dengan pemerintah kolonial untuk menghidupkan kembali PG Prembun pada tahun berikutnya sebagai pabrik karung goni dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. Selanjutnya pada masa agresi Militer Belanda II, bangunan PG Prembun digunakan sebagai markas pasukan Belanda (De Locomotief, 4 Januari 1949).
Kompleks rumah pegawai PG Prembun. Gambar diambil dari dekat jalur kereta api. ( troppenmuseum.nl ).
Para pegawai administrasi yang sedang bekerja ( sumber ; troppenmuseum.nl ).
Bangunan utama PG Prembun memang telah lama lenyap, tapi tak diketahui apa sebab ia akhirnya berhenti bergiling dan bangunan pabriknya hilang begitu saja. Tapi beruntung, pabrik gula itu masih meninggalkan rekam jejak berupa dokumentasi foto. Sekitar tahun 1920an, kompleks pabrik gula itu sempat direkam citra visualnya dari udara. Foto itu setidaknya memberikan gambaran kepada kita yang hidup di zaman sekarang seperti apa rupa PG Prembun di masa ketika ia masih berjaya.

Bangunan bekas rumah dinas yang berada di pinggir jalan raya.


Tiga rumah identik di pinggir jalur rel Kutoarjo-Kebumen.
Salah satu bekas rumah dinas pegawai PG Prembun yang masih lumayan terjaga.
Di sisi selatan jalan, saya banyak sekali menemukan rumah-rumah bergaya kolonial yang masih ada sangkut pautnya dengan PG Prembun. Rumah-rumah itu dahulu diperuntukan bagi karyawan menengah setingkat di bawah administrateur. Secara tugasnya, karyawan pabrik gula dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian kebun dan bagian pabrik. Pada zaman dahulu, pabrik gula tidak hanya berkutat pada tahap pengolahan gula semata namun juga sampai tahap penyiapan bahan mentah, yakni tanaman tebu. Pabrik harus memastikan ketersediaan tanah, air, dan tanaman tebu yang hendak diolah. Untuk perkara ini, pabrik mempekerjakan ahli pertanian dan irigasi yang akan mengawasi jalannya penanaman tebu di lapangan. Berikutnya untuk karyawan bagian pabrik, bagian ini dibagi menjadi tiga bidang, yakni mesin, kimia, dan administrasi. Bagian mesin bertanggung jawab pada urusan permesinan. Sementara bagian kimia atau chemist bertugas untuk memastikan mutu gula yang dihasilkan sesuai standar. Selanjutnya pada bagian administrasi memiliki tugas tata usaha dan pembukuan (Tichelaar, 1927: 48-50). Para pegawai menengah ini yang mayoritas adalah orang Eropa diberi fasilitas dari pabri berupa rumah tinggal tersebut berukuran sedang namun dibangun mengikuti standar kesehatan. Rumah tinggal yang saling berdekatan itu akhirnya membentuk semacam industrial village. Saat ini, karena lokasinya berada di pinggir jalan yang strategis, banyak yang akhirnya berubah wujud menjadi toko-toko.
Bangunan kamar bola yang hanya menyisakan struktur dinding saja.

Sebuah bangunan kolonial yang saat ini digunakan sebagai sarang walet.

Di sebelah bangunan tadi, terdapat bangunan dengan bentuk serupa yang sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya.
Tersempil di tengah perkampungan, saya mendapati beberapa rumah kuno yang masih utuh dan lumayan terawat. Namun ada pula yang malang nasibnya. Contohnya adalah sebuah rumah kopel yang tak jauh dari rel yang kini hanya menyisakan puing-puing tembok saja. Ada juga yang saking lamanya tidak ditempati akhirnya menjadi sarang kelelawar.
Bangunan stasiun Prembun.
Bangunan rumah dinas pegawai stasiun Prembun.
Perjalanan saya di Prembun berakhir di Stasiun Prembun, sebuah stasiun kecil yang masih beroperasi, dimana di sana dulu karung-karung gula PG Prembun diangkut. Tak jauh darinya, masih berdiri kokoh sebuah rumah kuno yang dahulu ditempati oleh kepala Stasiun Prembun. Saya cukup terkesan dengan perjalanan kali ini karena akhirnya saya sadar bahwa tinggalan kolonial di Kabupaten Kebumen tak hanya terbatas pada Benteng Van der Wijk Gombong saja dan bangunan-bangunan kuno di Prembun itu seakan menjadi monumen dari PG Prembun yang jejak fisiknya kini lenyap dan mungkin sudah lekang dari ingatan banyak orang…

Referensi
Tichelaar, J.J. 1927. De Java Suikerindustrie en Hare Beteekenis voor Land en Volk. Surabaya :N.V. Boekhandel en Drukkerij H.van Ingen.
Bataviasch Nieuwsblad 9 April 1890.
Java Bode, 22 Agustus 1891
Bataviasch Nieuwsblad, Desember 1917
De Locomotief, 2 Mei 1930
De Indishce Courant, 3 Mei 1930
De Tijd, 12 Oktober 1939
De Locomotief, 4 Januari 1949

Jumat, 27 November 2015

Benteng Vredeburg, Jejak Kompeni di Bumi Mataram

Suatu siang di tahun 2015, sesudah menghadapi jemunya urusan perkuliahan, saya memutuskan untuk melepas penat dengan bertandang ke Benteng Vredeburg. Benteng itu mudah sekali dijangkau dari kampus saya. Letaknya berada di dekat perempatan Titik Nol yang ramai akan hilir mudik kendaraan bermotor, becak, andong, dan pejalan kaki. Setelah bermacet ria, sampailah saya di benteng yang disebut Loji Besar oleh orang-orang dulu. “VREDEBURG”, itulah tulisan yang terpampang pada bagian pintu masuknya yang sekilas mirip kuil Yunani. Tulisan itu tak lain ialah nama dari benteng yang hendak saya lawat ini. Adapun nama benteng yang kini terpampang di hadapan saya ini didapatkannya setelah benteng itu dihajar oleh sebuah gempa besar di tahun 1867. Bila diartikan, nama benteng itu berarti “Benteng Perdamaian“, nama yang terasa ironi untuk sebuah benteng. Saya tak ambil pusing dengan ironi tadi dan segera saja saya membeli tiket masuk seharga dua ribu rupiah.
Foto udara benteng Vredeburg (sumber : collectie.troppenmuseum.nl).
Sejarah benteng ini terentang sejak tahun 1755, tatkala kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, Kasunanan dan Kasultanan Yogyakarta, sebagai hasil dari perjanjian Giyanti. Saat itu, VOC (Vereenigde Oost Compagnie) berupaya untuk menanamkan pengaruh dan mengamankan kuasanya di pulau Jawa. Sebagai sebuah perusahaan dagang, apa yang dipentingkan VOC hanyalah mencari keuntungan sebanyak mungkin serta bagaimana bisnisnya bisa berjalan lancar. Setelah jalur pelayaran di wilayah pesisir berhasil “diamankan”, VOC mulai melirik teritori pedalaman Jawa. Mereka beranggapan bahwa seandainya wilayah pedalaman berhasil mereka cengkeram, bahan makanan akan lebih mudah diperoleh dan perdagangan kerajaan lokal dapat dimonopoli mereka. Jalan VOC kian dipermudah dengan adanya pertentangan antara sesama bangsawan Jawa sehingga manuver dan intrik VOC dapat dilancarkan dengan menawarkan diri sebagai penengah (Lombard, 2018;72). Demikianlah yang mereka lakukan ketika mereka berusaha menengahi pertentangan antara Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi dengan membagi kerajaan Mataram menjadi dua melalui perjanian Giyanti pada tahun 1755. Pakubuwono II tetap berkedudukan sebagai Sunan di Surakarta sementara Pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan baru di Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I (Lombard, 2018;74). Untuk menegaskan pengaruhnya, VOC melobi penguasa Surakarta dan Yogyakarta supaya diperbolehkan membangun loji berdinding yang berdekatan dengan keraton. Sultan Hamengkubuwono I telah berjanji kepada VOC untuk menyediakan bahan bangunan yang diperlukan. 
Kondisi sekitar Benteng Rustenburg pada tahun 1780. (Sumber : nationaalarchief.nl)
Gambar rencana benteng Vredeburg (sumber : Nationaalarchief.nl)
Lingkungan benteng Vredeburg (A) pada tahun 1843 yang direproduksi ulang pada tahun 1890. Perhatikan bahwa kantor Residen atau sekarang menjadi Gedung Agung (B) ada di sebelah barat benteng. Sementara itu di sebelah utara terdapat pasar Beringharjo (H) dan sebuah pemakaman (F). Di sisi timur benteng, terdapat pemukiman Eropa yang disebut Loji Kecil (D).
Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1760. Pada saat yang bersamaan, Sultan Hamengku Buwono I rupanya juga sedang mendirikan keraton yang akan menjadi kediaman dan tempat ia menjalankan roda pemerintahan. Namun pembangunan benteng tersebut tidak semulus pembangunan keraton. Pembangunan benteng terhambat karena material yang dijanjikan Sultan tidak kunjung siap. “Gubernur Pantai Timur” VOC yang bermarkas di Semarang, Nicholas Hartingh, mengeluhkan sikap Sultan yang terkesan mengulur pembangunan. Menurut Hartingh, molornya pembangunan benteng tersebut dikarenakan "Sultan gemar mendirikan berbagai bangunan dan jika dia tidak suka dengan bangunan itu maka bangunan itu dibongkar sehingga membuang waktu, tenaga, dan bahan yang dibutuhkan”. Saat masa jabatan Hartingh berakhir pada 1761, belum tampak tanda-tanda benteng tersebut akan selesai dibangun. Karena bahan yang dibutuhkan masih belum tersedia, maka benteng tersebut dibangun dengan bahan seadanya. Penampakan awal benteng akhirnya tidak menunjukan layaknya sebuah benteng kokoh atau fort, tapi sebuah bangunan kecil atau lodge. Dari situlah masyarakat Jawa menyebut tempat tersebut sebagai loji. Bangunan di dalam benteng terbuat dari batang-batang pohon kelapa dan aren. Sementara dinding pertahanannya terbuat dari gundukan tanah. Barulah pada tahun 1765, benteng rapuh tersebut mulai diperkokoh dengan batu-bata dan diperkuat dengan empat puluh buah meriam kaliber 3-4 pon yang didatangkan oleh VOC. Rancangan benteng dibuat oleh insinyur Frans Haak. VOC harus menunggu selama 26 tahun untuk memiliki benteng permanen di Yogyakarta. Benteng itu baru pungkas dibangun tahun 1781 dan awalnya diberi nama "Fort Rustenburg", Benteng Peristirahatan. (Kuiper, 1934: 134-137).

Benteng Vredeburg pada tahun 1920an dan 1864. Perhatikan jembatan jungkit yang ada di depan gerbang benteng (sumber : colonialarchitecutre.eu).
Kehadiran benteng asing di dekat keraton lokal seolah menunjukan bahwa VOC yang notabene hanyalah sebuah kompeni dagang yang bermarkas nun jauh di seberang negeri, dapat memiliki kuasa dan mempengaruhi jalannya politik kerajaan-kerajaan lokal.  Dimana VOC memantapkan dirinya, maka sebuah pos dagang akan didirikan yang seringkali dilindungi dengan dinding pertahanan. Pos dagang tersebut sekaligus menjadi rumah tinggal utusan yang ditempatkan VOC untuk daerah itu. VOC menempatkan Cornelis Donkel sebagai agen VOC di Yogyakarta. Ia tiba di Yogyakarta pada tahun 1755 untuk mendampingi Hartingh yang saat itu datang untuk menemui Sultan. Donkel tinggal di dalam benteng Vredeburg yang saat itu masih sederhana. Dindingnya masih terbuat dari gundukan tanah dan tonggak-tonggak batang pohon kelapa yang dipancang. Sementara atap rumah tinggal masih beratap bambu. Donkel tentu tidak tinggal sendiri di sana karena ada komandan, sekretaris, penerjemah, perwira, beberapa serdadu. Menurut artikel “De interessante geschiedenis van stad en soos van Djokja” yang dimuat dalam Soerbaiasch Handelsblad tanggal 26 April 1937, Donkel boleh dikatakan sebagai Residen Yogyakarta pertama meskipun secara resmi jabatan residen belum ada saat itu karena selain sebagai wakil kompeni di keraton, ia juga bertindak sebagai kepala penduduk Eropa yang tinggal di sana. Dapat disebutkan bila benteng Vredeburg adalah cikal permukiman Eropa di kota Yogyakarta. (Soerbaiasch Handelsblad, 26 April 1937). 

Tampak luar benteng Vredeburg pada tahun 1885.
Benteng Vredeburg pada tahun 1935. Jembatan ungkit sudah diganti dengan jembatan biasa (sumber : colonialarchitecture.eu).
Saat Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, Fort Rustenburg diganti namanya menjadi "Fort Vredeburg". Pergantian nama yang berarti 'peristirahatan' menjadi 'kedamaian' dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap pejabat sipil yang tinggal di depan benteng (Tim Historia, 2018: 21). Ketika Jawa takluk di bawah kaki Inggris, bendera Union Jack milik Inggris berkibar di benteng itu. Jika saja benteng ini adalah sebuah kamera, barangkali ia akan merekam usaha Inggris menaklukan Kraton Yogyakarta pada tahun 1812. Kala itu kondisi benteng Vredeburg “ hanya layak untuk dipergunakan sebagai gudang tempat menyimpan perbekalan militer “ tulis komandan Inggris, William Thorn, dalam catatannya bertajuk Conquest of Java. “Jumlah artileri sedikit dan bubuk mesiunya, yang merupakan buatan lama pabrik Belanda, mutunya sangat jelek“, sambungnya. Selama berlangsungnya pengepungan Inggris atas keraton Yogyakarta, benteng itu menjadi markas tentara Inggris. Tembakan artileri dilepaskan dari benteng ini, “yang mana segera dibalas dari kubu keraton, memperlihatkan tontonan yang unik dari dua benteng yang saling bersebelahan, diduduki dari dua bangsa berbeda yang negerinya berjauhan di ujung bumi“. Berikutnya pada saat Yogyakarta sedang dirundung Perang Jawa (1825-1830), Benteng Vredeburg menjadi sasaran para pengikut Pangeran Diponegoro. Pada penyerbuan kota Yogyakarta oleh pengikut Diponegoro pada 7 Agustus 1825, Sultan Hamengkubuwono IV yang masih muda diamankan Belanda ke dalam benteng untuk melindungi dari serbuan. Berulangkali benteng ini dikepung namun ia tak kunjung jatuh meski logistik di dalam benteng sangat sedikit. Setelah bala bantuan dari Jenderal Van Geen dan De Kock tiba pada 25 September 1826, barulah benteng tersebut dapat dibebaskan dari bayang-bayang pengepungan. Selama Perang Jawa, benteng tersebut menjadi markas komado Belanda di Yogyakarta (Van Eck, 1899: 63). Sesudah Perang Jawa berakhir, Yogyakarta mengalami masa perdamaian yang cukup panjang tanpa gangguan keamanan yang serius. Hal ini mendorong orang-orang Belanda untuk membuat permukiman di luar tembok benteng. Permukiman tersebut ada di timur benteng dan dikenal sebagai Loji Kecil (Kuiper, 1934: 134-137). Saat Yogyakarta diguncang gempa pada tahun 1867, sejumlah bangunan di dalam benteng hancur.
Sketsa yang dibuat oleh salah satu tawanan bernama A.J.L. De Geer Boers yang menggambarkan kehidupan internir di Benteng Vredeburg.
Memasuki zaman pendudukan Jepang, tepatnya pada bulan Juni 1942, benteng Vredeburg dijadikan sebagai tempat tawanan untuk orang-orang Belanda. Setidaknya ada 897 tawanan yang ditahan di sana. Semuanya adalah laki-laki. Sebelum ditawan, mereka dahulunya adalah pejabat sipil, polisi, bankir, dan pegawai keraton. Gengsi Benteng Vredeburg sebagai lambang keperkasaan Belanda seketika jatuh ketika benteng itu menjadi tempat orang-orang Belanda ditawan dan hal tersebut begitu tercela di hati mereka. Sekitar pertengahan Februari 1944, sejumlah tawanan dipindahkan ke Cimahi (https://www.indischekamparchieven.nl/). Selepas kemerdekaan, Tentara Keamanan Rakyat menjadikan benteng sebagai asrama dan markas. Namun benteng itu kembali jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi Militer Belanda Kedua dan kemudian menjadi markas IVG dinas rahasia tentara Belanda. Benteng itupun menjadi bulan-bulanan para pejuang pada Serangan Umum Satu Maret 1949. Setelah difungsikan berpuluh-puluh tahun untuk sarana militer, pada tanggal 23 November 1992, Benteng Vredeburg akhirnya diresmikan sebagai museum (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003; 8-10). Benteng Vredeburg kini bahagia menikmati peran barunya sebagai sebuah museum yang memberikan manfaat bagi banyak orang, berbanding terbalik dengan saudaranya di Surakarta, Benteng Vastenburg yang kini merana di tengah kota.
Bastion barat daya benteng Vredeburg.
Celah bekas tempat meriam pada bastion.
Salah satu lubang tembak untuk jenis senapan musket.
Pada keempat sudut benteng Vredeburg terdapat kubu pertahanan berbentuk belah ketupat yang disebut bastion. Bastion adalah jenis kubu pertahanan yang dikembangkan oleh bangsa Eropa sebagai jawaban atas penggunaan meriam yang meluas pada abad ke-14. Ketika bastion belum dikenal, menara-menara yang tinggi menjadi tempat perlindungan pihak pertahanan dan dari sana senjata proyektil seperti panah dilepaskan ke arah musuh. Semakin tinggi menara, maka akan semakin sulit diserang dan jangkauan tembakan panah yang dilesatkan semakin jauh. Sejalan dengan ditemukannya senjata pengepungan terbaru berupa meriam, maka menara menjadi sasaran yang empuk karena ukurannya yang besar membuatnya mudah dibidik. Kemajuan teknologi pengepungan itu menuntut para insinyur militer untuk mengembangkan metode pertahanan baru. Mereka lalu merancang suatu kubu pertahanan kokoh yang rendah namun tebal dindingnya sehingga sukar dibidik. Kubu tersebut selain memberikan perlindungan tempur juga menjadi tempat pihak bertahan melepaskan tembakan meriam. Oleh karena itu sejumlah meriam dipasang di atas bastion yang kedudukannya dihitung secara seksama untuk menciptakan ruang tembak yang optimal. Saat masa damai, meriam-meriam benteng Vredeburg yang tampak seperti pajangan digunakan untuk memberi tembakan kehormatan pada upacara tertentu seperti grebeg atau saat ada raja yang meninggal. Kubu tersebut kemudian dikenal sebagai ‘bastion’ yang bersumber dari kata Perancis ‘bastille’ (Lepage, 2010: 78-80). Teknologi itu berkembang cepat dan menyebar luas di berbagai tempat. Kolonisasi lalu mempercepat penyebaran teknologi tersebut ke berbagai penjuru termasuk di Nusantara. 
Tampak depan dan belakang gerbang utama Benteng Vredeburg yang ada di sebelah barat.
Bangunan rumah jaga.
Pintu kecil di sisi selatan.
Gerbang adalah bagian benteng yang diincar musuh saat terjadi pengepungan. Karena itu jumlah gerbang dibatasi (Killy, 2007:62) Benteng Vredeburg memiliki dua gerbang di sebelah barat dan timur serta satu pintu kecil di sisi selatan. Gerbang utama benteng Vredeburg ada di sebelah barat. Porte atau pos jaga kecil ditempatkan di samping gerbang tersebut. Gerbang tersebut dilengkapi dengan hiasan fasad yang dibuat layaknya bagian depan sebuah kuil Yunani dengan kolom, pilaster, dan pediment yang proporsional. Gerbang pada zaman dahulu adalah penanda utama saat seseorang masuk ke dalam sebuah wilayah sehingga bagian gerbang seringkali dipercantik untuk menghasilkan efek kemegahan yang monumental. Gerbang diletakan di tengah supaya kedua sisinya dapat terlindungi. Lebar gerbang hanya cukup dilewati satu gerobak untuk alasan keamanan. Setiap malamnya, kedua gerbang benteng ditutup. Tiada orang yang dapat keluar masuk benteng kecuali mereka ada urusan penting dan mereka hanya diperkenankan lewat pintu kecil di sisi selatan. Sesudah melewati gerbang, di belakangnya terdapat dua bangunan yang dimaksudkan sebagai rumah jaga. Dahulu tidak sembarang orang bisa leluasa masuk maupun keluar dari benteng. Mereka biasanya akan diperiksa terlebih dahulu oleh provoost atau penjaga dan hanya orang-orang berkepentingan saja yang diizinkan masuk keluar benteng.
Parit benteng Vredeburg sisi timur pada tahun 1930an. Di sebelah kiri tampak bastion sisi tenggara dengan meriam kuno di atasnya. 
(sumber : Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden halaman 122.)
Dari pintu masuk utama, saya berbelok ke samping, menaiki anak tangga yang menjurus ke lantai dua pintu masuk benteng. Bagian ini dulunya merupakan kantor administrasi. Dari berandanya, pandangan saya arahkan ke arah Istana Kepresidenan Gedung Agung, yang menempati bekas kediaman residen Yogyakarta. Dahulu residen Yogyakarta akan mengungsi ke benteng ini jika keamanan mulai memburuk. Pandangan kemudian saya alihkan ke parit pertahanan yang membentang di depan benteng. Benteng ini pernah dikelilingi oleh parit sebagai sarana perlindungan tambahan. Meskipun terlihat kokoh, bukan berarti dinding benteng ini tiada cela. Ukurannya yang rendah menjadikan musuh lebih mudah memanjatnya. Sebagai penghalang tambahan maka digalilah parit yang mengitari benteng. Untuk mencegah tergerus erosi, maka dinding parit dibuat miring dan dilapisi batu. Ada dua jenis parit, yakni parit basah dan parit kering. Benteng Vredeburg menggunakan jenis parit basah, yakni parit yang digenangi dengan air secara permanen. Parit berair tersebut dapat digunakan sebagai kolam ikan sehingga menambah pasokan pangan bagi garnisun di dalamnya. Di sisi yang lain, parit tersebut juga dapat mendatangkan penyakit saat serangga nyamuk berkembang biak di parit itu (Lepage, 2010: 90-92). Karena di depannya ada parit, maka di pintu masuk utamanya dipasang jembatan jungkit sebagai penghubung. Jembatan tersebut akan ditutup jika sedang terjadi pengepungan. Sejak tahun 1930an, jembatan tersebut dihilangkan karena konstruksinya dirasa sudah tua dan tidak mampu menopang beban kendaraan militer yang kian berat.
Pemandangan dari bastion barat daya. Terlihat gedung kantor pos besar dan Bank Indonesia.
Ketika saya berada di bastion barat daya, saya sejenak memandang ramainya Kawasan Titik Nol yang berlatar gedung-gedung tua seperti gedung BI, Kantor Pos Besar, dan Bank BNI. Walau terhitung tua, namun gedung-gedung itu tentu masih kalah tua-nya dengan benteng yang sedang saya pijaki ini. Kala gedung-gedung itu belum ada, Keraton Yogyakarta tempat Sultan tinggal terlihat kentara dari benteng saya berpijak ini. Begitu dekatnya jarak benteng ini dengan keraton sehingga saya rasa satu tembakan meriam dapat mengenai salah satu bangunan keraton. Keberadaan benteng Vredeburg jelas berarti bagi kompeni. Letaknya yang berada di gerbang keraton menurut Magetsari (2016) juga dimaksudkan untuk memutuskan hubungan raja dengan masyarakatnya sehingga di mata masyarakat wibawa sang raja sudah jatuh. Alih-alih sebagai tempat perlindungan untuk Sultan seperti yang dijanjikan pada pembangunannya, benteng itu justru seolah menjadi ancaman bagi kedaulatan Sultan. Sayapun lantas teringat dengan ulah VOC yang pernah memprovokasi Pangeran Jayawikarta dengan menembakan meriam yang pelurunya melesat di atas kediamannya. 
Bekas barak sisi utara.
Bekas barak barat.
Bekas barak selatan.
Perumahan perwira sisi selatan.
Bekas tempat tinggal komandan benteng.
Bekas kantin militer.
Bekas dapur.
Bekas ruang penjara.
Setiap keberadaan sarana pertahanan permanen seperti benteng Vredeburg biasanya akan diikuti dengan pendirian sarana akomodasi dan penunjangnya yang dapat digunakan untuk jangka lama. Meskipun serdadu VOC tidak berstatus sebagai tentara regular, mereka diberi fasilitas sebagaimana tentara regular pada umumnya. Beberapa bangunan yang terdiri atas deretan rumah perwira, barak, kantor, dapur umum, istal, penjara, gudang senjata dan makanan, dan tempat hiburan berdiri di balik tembok benteng. Dengan lengkapnya berbagai sarana di dalam tembok benteng, maka benteng itupun laksana seperti sebuah kota kecil yang berdinding atau intramuros. Untuk menjamin kebutuhan tempat tinggal perwira dan serdadu, di dalam benteng dibangun barak dan rumah perwira. Konsep barak di dalam benteng merupakan hasil pengembangan para insinyur militer pada abad ke-18. Sebelumnya para serdadu tinggal di dalam perkemahan atau jika kurang mencukupi maka akan digunakan sistem billet yakni warga di tempat serdadu itu ditugaskan akan menyediakan akomodasi dan makanan yang biayanya akan diganti oleh pemerintah. Cara ini tidak populer bagi penduduk sipil karena seringkali terjadi percekcokan antara tuan rumah dengan serdadu yang ditampungnya. Selain itu, akan sulit mengumpulkan serdadu yang tinggal terpencar satu sama lain dalam waktu bersamaan. Oleh karena itulah insinyur militer seperti Vauban menganjurkan supaya barak permanen dibangun di dalam benteng. Adanya barak yang terrkumpul dalam satu tempat juga memudahkan untuk menghimpun personel di waktu yang diperlukan serta untuk menjamin kedisplinan mereka (Lepage, 2010: 124-127). Barak-barak di benteng Vredeburg ditempatkan dekat dengan dinding sehingga pasukan dapat bergegas melindungi benteng dari atas dinding. Di dekat barak, terdapat dapur umum yang menyediakan makanan untuk prajurit. Selain barak, ada juga rumah tinggal untuk perwira. Pada awal abad ke-20, para perwira mulai tinggal di rumah-rumah yang disediakan pemerintah di luar benteng. Sayangnya rumah-rumah tersebut sekarang sudah digusur. Hiburan di masa lalu amat terbatas sehingga kehidupan di dalam benteng terbilang membosankan bagi para penghuninya. Seringkali mereka menganggap benteng tempat mereka bertugas tidak ubahnya dengan penjara. Untuk itu, maka di dalam benteng terdapat kantin militer yang menjual minuman keras.
Bekas gudang amunisi.
Bekas gudang senjata.
Di bastion tenggara, terdapat bangunan yang paling vital dari benteng yakni gudang bubuk mesiu. Gudang tersebut menyimpan bahan berbahaya yang mudah meledak. Terbakar sedikit saja maka akan timbul petaka berupa ledakan dahsyat yang dapat mengancurkan seisi benteng seperti yang menimpa Fort Beschmeringh di Cirebon yang hancur akibat ledakan gudang mesiu. Untuk alasan keamanan, maka letaknya dibuat agak menjauh dari area tempat tinggal tentara. Sementara untuk alasan taktis, maka letaknya dibangun berdekatan dengan dinding bastion supaya bubuk mesiu yang diperlukan untuk senjata api dapat dibagi ke pasukan (Lepage, 2010: 127-128). Jendelanya tampak sedikit dan sempit. Hal itu bertujuan supaya sirkulasi udara tetap bisa masuk ke dalam namun percikan api dari luar tidak mudah masuk ke dalam. Bagian dalamnya harus dipastikan kering supaya mesiu tidak lembab karena mesiu yang lembab tidak dapat dipakai. Sebuah gardu di depan pintu masuk gudang mesiu seakan memberitahukan kepada saya bahwa akses ke gudang tersebut dulunya dibatasi secara ketat untuk menghindari resiko pencurian bubuk mesiu atau sabotase. Adapun gudang senjata dibangun terpisah dari gudang mesiu namun letaknya masih berdekatan. Keberadaan gudang senjata selain dimaksudkan sebagai tempat penyimpanan dan perawatan senjata juga untuk mengontrol penggunaan senjata sehingga senjata hanya betul-betul dipakai di saat yang diperlukan saja seperti saat latihan dan tugas militer.

Bangunan di dalam benteng Vredeburg kini dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai ruang diorama. Sebagai sebuah tempat wisata, apalagi letaknya di tengah kota, Benteng Vredeburg ramai pengunjung. Mereka tampak begitu asyik berswafoto di setiap sudut benteng. Kehadiran mereka di sini tampaknya untuk mencari suasana yang berbeda atau untuk menambah koleksi foto, bukan karena kisah sejarah yang terdapat di dalamnya. Dari masa kemerdekaan hingga sekarang, tinggalan sejarah berupa benteng masih disikapi sebagai tinggalan penjajah. Padahal ditinjau dari kajian Post-Kolonial, benteng merupakan lambang dari eksistensi kekuatan asing, yang mana oleh bangsa Indonesia dengan kemampuan terbatas mampu menyingkirkan kekuatan asing yang memiliki sarana pertahanan begitu kuat seperti benteng (Sudamika, 2006; 92). Suka atau tidak suka, benteng Vredeburg; dan benteng lainnya di Indonesia, telah menjadi bagian perjalanan sejarah negeri ini.

Referensi
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. 2003. Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Yogyakarta.
Killy, Lawrence H.  Fontana, Marissa. Quick, Russel. 2007. Baffles and Bastions : The Universal Feature of Fortications dalam Journal of Archaeiogical Research vol. 15, no.1 Maret 2007 (halaman 55-95).
Kuiper, K.G. 1934. ”Het Verleden en Heden van Djokjakarta” dalam Tropische Nederland (hlmn. 99-151).
Lepage, Jeand Dennis. 2020. Vauban and the French military under Louis XIV : an illustrated history of fortifications and strategies. Jefferson : MacFarland & Company, Inc., Publishers.
Lombard, Dennys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya : Batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Magetsari, Noerhadi. 2016. Prespektif Arkeologi Masa Kini dalam Konteks Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Soerbaiasch Handelsblad, 26 April 1937
Sudamika, G.M. "Penelitian Benteng Kolonial di Ternate, Maluku Utara" dalam Berita Penelitian Arkeologi Maluku dan Maluku Utara, vol 2. No. 2 Juli/2008, Balai Arkeologi Maluku.
Thorn, William. 2011. Penaklukan Pulau Jawa- Pula Jawa di abad Sembilan belas dari Amatan Seorang Serdadu Kerajaan Inggris. Jakarta ; Elex Media Komputindo.
Tim Historia. 2018. Daendels ; Napoleon Kecil di Tanah Jawa. Jakarta : Penerbit Kompas.
van Eck, R. 1899. "Luctor et Emergo" of De Geschiedenis der Nederlanden in den Oost Indie Archipel. Zwolle : W.E.J. Tjeenk Willink.