Sabtu, 12 Desember 2015

PG Prembun, Sepenggal Kolonial di Ujung Timur Kebumen

Terletak di ujung timur Kabupaten Kebumen, tak banyak yang tahu bahwa di pernah berdiri sebuah pabrik gula di Prembun. Pabriknya memang telah terkubur oleh sang kala, tapi jejak sejarahnya masih bisa ditemui. Inilah sebuah ikhtisar tentang sepenggal kolonial di ujung timur Kebumen.
Lokasi bekas PG Prembun.
“ Lain kali kalau mau foto-foto bilang ke sini dulu ya mas ! “, perintah bapak polisi itu. “ Siap pak !”, sahut saya. “ Kalau sudah izin kan nanti bisa lihat-lihat dalam “, sambungnya. Bermula dari kecerobohan saya yang lupa meminta izin pada penjaga, saya justru mendapat kesempatan emas untuk melihat lebih dekat bangunan tua yang kini menjadi kantor Polsek Prembun itu. “Ini dulu bangunan dari zaman kolonial Belanda mas“, terang polisi lain. Balutan kolonial memang masih begitu kentara di kantor yang berada di pinggir jalan raya Kebumen-Purworejo. Lihatlah jendela krepyak yang masih utuh terpasang di tempatnya. Beranda depan yang tinggi ditopang oleh tiang-tiang dari kayu jati. Halaman depannya juga amat luas sehingga belasan mobil dapat terparkir di situ.
Bangunan bekas tempat tinggal rumah administrateur yang saat ini menjadi kantor Polsek Prembun.
Penampakan bangunan kantor Polsek Prembun tidak seperti kantor polisi pada umumnya. Bangunan ini lebih mirip seperti tempat tinggal yang diperuntukan bagi orang-orang Belanda. Beranda depannya berhias dengan lantai tegel bercorak puspa, yang sekilas gayanya mengingatkan saya pada seni hias art nouveau yang pernah digandrungi orang pada akhir abad ke-10. Dari ukuran bangunan yang megah, halamannya yang luas, dan hiasan tegelnya, jelas bukan sembarang orang yang dulu pernah menghuninya. “Dahulu yang tinggal di sini itu katanya pegawai pabrik gula, tapi saya tidak tahu pabrik gula mana “, terang polisi tadi.
Foto udara PG Prembun diambil dari sebelah tenggara. Tampak dengan jelas pemandangan kompleks pabrik dan perumahan pegawai (sumber : troppenmuseum.nl).
Foto udara PG Prembundi ambil dari sebelah utara (sumber : troppenmuseum.nl).
Suikerfabriek Remboen atau PG Prembun adalah pabrik gula yang dimaksud bapak polisi tadi. Wajar jika bapak polisi tadi tidak mengetahuinya karena keberadaan pabrik itu tampaknya sudah lekang dari ingatan orang-orang sekitar. Pabrik gula Prembun didirikan oleh perusahaan agrobisnis partikelir, Java-Suikercultuur Maatschappij, pada tahun 1891. Pada masa itu, Karesidenan Bagelen merupakan satu-satunya karesidenan di Jawa tengah yang tidak memiliki industri gula modern, padahal wilayah tersebut memiliki dataran rendah yang luas dan banyak sungai. Maka dari itu, didirikanlah badan usaha Java Suikercultuur Maatschappij untuk memajukan industri gula di sana. Perusahaan tersebut membutuhkan modal investasi sebesar 900.000 gulden. Untuk mendapatkan modal tersebut, dijualah saham dalam dua seri dengan masing-masing nilai sebesar 450.000 gulden. Java Suikercutuur Maatschappij diberi konsensi hingga 31 Desember 1940. Kursi direktur Java Suikercultuur Maatschappij diduduki pertama kali oleh J.W. Wilson. Sementara kursi Komisaris diisi oleh H. H. Borel, G. J. B. Bunge, C. W. Groskamp, ​​Mr. H. D. Levyssohn Norman dan J. J. P. Vom Rath. Atas masukan dari A.W. de Rijk, Java Suikercultuur Maatschappij harus mengurus hak kepemilikan, izin mendirikan bangunan, dan sewa tanah untuk pendirian pabrik gula di Prembun (Bataviasch Nieuwsblad, 9 April 1890)
Foto hitam putih bangunan PG Prembun atau S. F Remboen. Di dinding muka bagian atas, terdapat angka tahun 1926 yang menunjukan tahun bangunan itu berdiri. Bangunan ini dahulu berdiri persis di pinggir jalan raya yang Purworejo - Kebumen. Bangunan ini sekarang sudah hilang (sumber : troppenmuseum.nl).
Sebagai persiapan, perusahaan mencari calon administrateur pertama PG Prembun yang sudah ahli dan sebelumnya sudah memiliki pengalaman sebagai administraetur pabrik gula. Orang inilah yang nantinya memastikan apakah pabrik gula dapat berkembang di tahun-tahun pertamanya. Setelah melakukan pencarian, perusahaan akhirnya mendapatkan G.W. Slothouwer, mantan administrateur PG Mayong, Jepara yang saat itu sudah kembali ke Eropa. Atas masukan dari Slothouwer, PG Prembun akan memakai mesin dari Duncan Stewart & Co., yang pabriknya ada di Glasgow, Inggris. Sebelum penempatan ke Jawa, Slothouwer pergi ke Glasgow untuk memastikan jenis mesin pesanannya sesuai dengan kriterianya. Pembangunan pabrik sudah dilaksanakan sejak bulan Januari tahun 1891, namun hambatan tak terduga di tengah jalan membuat pembangunannya tersendat. Hambatan juga muncul dalam pengangkutan mesin menuju ke lokasi pabrik. Hambatan ini berdampak terhadap mundurnya operasional pabrik yang sedianya akan dimulai pada 4 Juni 1891 (Java Bode, 22 Agustus 1891).
Mesin penggiling tebu PG Prembun ( sumber : troppenmuseum.nl ).

Pada saat awal berdiri, lahan yang berhasil pabrik digarap baru seluas 327 bouw (228 hektar) dengan hasil panen mencapai 10.000-25.000 pikul (617-1544 kilo) tebu. Untuk perluasan lahan, perusahaan membeli lahan baru di sekitar Kutoarjo. Selain itu, mereka juga sudah mendapatkan lahan di dekat pelabuhan Cilacap untuk lokasi gudang yang akan menampung gula dari PG Prembun sebelum diekspor ke luar (Java Bode, 22 Agustus 1891). Antara tahun 1891 hingga 1901, produksi gula PG Prembun sangat rendah dan tidak menguntungkan. Bahkan pada tahun 1900, mesin-mesin PG terpaksa dijual untuk menutupi kerugian. Kondisi itu berlangsung hingga PG Prembun dijual Java Suikercultuur Maatschappij kepada Nederlandsch Indie Landbouw Maatschppij pada tahun 1900. Perusahaan yang menjadi salah satu dari "Big Six" perusahaan keuangan di Hindia Belanda tersebut telah memiliki beberapa pabrik gula di tempat lain seperti Gudo, Balapulang, dan Pagongan. Nederlandsch Indie Landbouw Maatschppij lalu menunjuk J.H.W van den Bosch sebagai administrateur PG Prembun. Penunjukan ini rupanya memberi dampak siginifkan terhadap PG Prembun. Lambat laun, angka produksi PG Prembun meningkat secara bertahap dan pada tahun 1903, PG Prembun akhirnya meraih laba pertamanya. Pada tahun 1907, Van den Bosch kemudian dipindahkan ke PG Banjardawa dan kursi adminsitrateur PG Prembun diganti oleh G.L Cochius ; cucu dari Jenderal Cochius yang namanya pernah dijadikan untuk nama benteng di Gombong. Selama 11 tahun masa kepemimpinannya di PG Prembun, PG Prembun berkembang menjadi PG terbesar ketiga di Jawa dengan luas lahan mencapai 2713 bouw (1521 hektar) (Bataviasch Nieuwsblad, Desember 1917).

Beranda depan.
Lantai tegel bergaya art nouveau di bagian serambi depan polsek Prembun.
Bagian dalam bangunan utama Polsek Prembun.
Kantor Polsek Prembun yang sedang saya sambangi saat ini dahulunya adalah rumah besaran atau kediaman untuk adminsitrateur PG Prembun. Tidaklah heran apabila bangunan itu tampak megah laksana istana mengingat administrateur adalah jabatan tertinggi di lingkungan pabrik. Salah satu administrateur yang pernah berdiam di situ ialah J.G. Tjassens Keizer. Ia ditugaskan di PG Prembun sejak Januari 1928. Sebagai pegawai dari Nederlandsch-Indische Landbouw Maatschappij, ia merintis karirnya sebagai machinist tingkat dua dan dipekerjakan di PG Djatie. Pada 1 Mei 1930, di rumah besaran ini, diadakan perayaan untuk memperingati 25 tahun pengabdian J.G. Tjassens Keizer di Nederlandsch-Indische Landbouw Maatschappij, dimana pada kesempatan itu perwakilan perusahaan, Mr. F. H. Van Heukelom memberikan cinderamata pada Tjassens Keizer disaksikan oleh jajaran pegawai lainnya (De Locomotief, 2 Mei 1930).
Bangunan kolonial di dalam SMP N 1 Prembun dan lokasinya  pada foto lama.
Tersembunyi di balik gerbang SMP N 1 Prembun, saya menjumpai sebuah bangunan kolonial yang entah apa fungsinya. Apakah ia dulunya merupakan rumah wakil administrateur, kantor administrasi, atau societeit, tempat pegawai bersenang-senang ? Dari sana, saya kemudian melesat menyeberangi jalan raya yang ramai lalu lalang kendaraan.
Sisa-sisa PG Prembun saat ini. Keterangan : A. Rumah administrateur kini menjadi kantor Polsek Prembun ; B. Eks kantor PG Prembun ; C. Eks situs PG Prembun ; D. Sisa rumah dinas ; F. Stasiun Prembun.
Tatkala saya sudah berada di seberang jalan, benak saya membayangkan sebuah pabrik gula besar yang di bagian mukanya terpampang angka tahun 1926, tahun dimana PG Prembun diperbesar dan diperbauri mesin-mesinnya seiring dengan perluasan ladang tebu PG Prembun. Selama PG Prembun beroperasi, diadakan perayaan meriah setiap musim giling tiba. Acara perayaan dilangsungkan dari pagi hingga malam hari. Berbagai hiburan digelar seperti perlombaan balap sepeda, pemutaran layar tancap, pertunjukan drama dan kabaret, peragaan busana, dan jamuan makan malam. Selain itu diadakan pula upacara selamatan yang diadakan di dalam pabrik dengan harapan musim giling dapat berjalan tanpa menemui kendala (De Indishce Courant, 3 Mei 1930). Musim giling tahun 1932 menjadi musim giling terakhir PG Prembun karena setahun berikutnya pabrik ditutup (De Tijd, 12 Oktober 1939). Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat saat itu merupakan tahun-tahun tersulut untuk banyak pabrik gula di Jawa akibat depresi ekonomi yang menyebabkan banyak pabrik gula ditutup untuk memperbaiki harga gula yang sempat merosot di pasaran. Bekas rumah-rumah pegawai kemudian disewakan untuk perorangan dan pegawai negeri sipil pribumi. Pada tahun 1938, direksi Nederlandsch Indie Landbouw Maatschppij bernegosasi dengan pemerintah kolonial untuk menghidupkan kembali PG Prembun pada tahun berikutnya sebagai pabrik karung goni dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar. Selanjutnya pada masa agresi Militer Belanda II, bangunan PG Prembun digunakan sebagai markas pasukan Belanda (De Locomotief, 4 Januari 1949).
Kompleks rumah pegawai PG Prembun. Gambar diambil dari dekat jalur kereta api. ( troppenmuseum.nl ).
Para pegawai administrasi yang sedang bekerja ( sumber ; troppenmuseum.nl ).
Bangunan utama PG Prembun memang telah lama lenyap, tapi tak diketahui apa sebab ia akhirnya berhenti bergiling dan bangunan pabriknya hilang begitu saja. Tapi beruntung, pabrik gula itu masih meninggalkan rekam jejak berupa dokumentasi foto. Sekitar tahun 1920an, kompleks pabrik gula itu sempat direkam citra visualnya dari udara. Foto itu setidaknya memberikan gambaran kepada kita yang hidup di zaman sekarang seperti apa rupa PG Prembun di masa ketika ia masih berjaya.

Bangunan bekas rumah dinas yang berada di pinggir jalan raya.


Tiga rumah identik di pinggir jalur rel Kutoarjo-Kebumen.
Salah satu bekas rumah dinas pegawai PG Prembun yang masih lumayan terjaga.
Di sisi selatan jalan, saya banyak sekali menemukan rumah-rumah bergaya kolonial yang masih ada sangkut pautnya dengan PG Prembun. Rumah-rumah itu dahulu diperuntukan bagi karyawan menengah setingkat di bawah administrateur. Secara tugasnya, karyawan pabrik gula dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian kebun dan bagian pabrik. Pada zaman dahulu, pabrik gula tidak hanya berkutat pada tahap pengolahan gula semata namun juga sampai tahap penyiapan bahan mentah, yakni tanaman tebu. Pabrik harus memastikan ketersediaan tanah, air, dan tanaman tebu yang hendak diolah. Untuk perkara ini, pabrik mempekerjakan ahli pertanian dan irigasi yang akan mengawasi jalannya penanaman tebu di lapangan. Berikutnya untuk karyawan bagian pabrik, bagian ini dibagi menjadi tiga bidang, yakni mesin, kimia, dan administrasi. Bagian mesin bertanggung jawab pada urusan permesinan. Sementara bagian kimia atau chemist bertugas untuk memastikan mutu gula yang dihasilkan sesuai standar. Selanjutnya pada bagian administrasi memiliki tugas tata usaha dan pembukuan (Tichelaar, 1927: 48-50). Para pegawai menengah ini yang mayoritas adalah orang Eropa diberi fasilitas dari pabri berupa rumah tinggal tersebut berukuran sedang namun dibangun mengikuti standar kesehatan. Rumah tinggal yang saling berdekatan itu akhirnya membentuk semacam industrial village. Saat ini, karena lokasinya berada di pinggir jalan yang strategis, banyak yang akhirnya berubah wujud menjadi toko-toko.
Bangunan kamar bola yang hanya menyisakan struktur dinding saja.

Sebuah bangunan kolonial yang saat ini digunakan sebagai sarang walet.

Di sebelah bangunan tadi, terdapat bangunan dengan bentuk serupa yang sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya.
Tersempil di tengah perkampungan, saya mendapati beberapa rumah kuno yang masih utuh dan lumayan terawat. Namun ada pula yang malang nasibnya. Contohnya adalah sebuah rumah kopel yang tak jauh dari rel yang kini hanya menyisakan puing-puing tembok saja. Ada juga yang saking lamanya tidak ditempati akhirnya menjadi sarang kelelawar.
Bangunan stasiun Prembun.
Bangunan rumah dinas pegawai stasiun Prembun.
Perjalanan saya di Prembun berakhir di Stasiun Prembun, sebuah stasiun kecil yang masih beroperasi, dimana di sana dulu karung-karung gula PG Prembun diangkut. Tak jauh darinya, masih berdiri kokoh sebuah rumah kuno yang dahulu ditempati oleh kepala Stasiun Prembun. Saya cukup terkesan dengan perjalanan kali ini karena akhirnya saya sadar bahwa tinggalan kolonial di Kabupaten Kebumen tak hanya terbatas pada Benteng Van der Wijk Gombong saja dan bangunan-bangunan kuno di Prembun itu seakan menjadi monumen dari PG Prembun yang jejak fisiknya kini lenyap dan mungkin sudah lekang dari ingatan banyak orang…

Referensi
Tichelaar, J.J. 1927. De Java Suikerindustrie en Hare Beteekenis voor Land en Volk. Surabaya :N.V. Boekhandel en Drukkerij H.van Ingen.
Bataviasch Nieuwsblad 9 April 1890.
Java Bode, 22 Agustus 1891
Bataviasch Nieuwsblad, Desember 1917
De Locomotief, 2 Mei 1930
De Indishce Courant, 3 Mei 1930
De Tijd, 12 Oktober 1939
De Locomotief, 4 Januari 1949