Minggu, 03 Januari 2016

Runut Sejarah Bisnis Gadai di Pegadaian Tempel

Nuansa kuno melekat begitu kuat pada rumah gadai yang terletak di tepi Jalan Magelang, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman itu. Sekalipun usianya sudah menginjak lebih dari sepuluh dasawarsa, rumah gadai itu masih bernafas. Dari nafasnya, dapat dirunut sejarah bisnis gadai di Indonesia yang sempat diwarnai aksi pemogokon buruh itu..
Rumah dinas beeheeder yang kini menjadi kantor Pegadaian Cabang Tempel.
“Selamat darang di Pegadaian Tempel, silahkan kalau mau melihat-lihat“, sambut satpam pegadaian itu dengan ramahnya. Aura kekunoan pegadaian itu masih terasa kentara, walaupun kaca di beranda depannya berusaha memberi kesan modern pada gedung pegadaian itu. Pegadaian cabang Tempel itu sebenarnya menempati bekas rumah beeheedeer atau kepala Pegadaian zaman Belanda. Guna menghemat biaya perjalanan dan juga agar barang gadaian nasabah bisa diamankan, maka rumah beeheeder dibangun di dekat Pegadaian. Untuk bangunan Pegadaian Tempel, rumah beeheedeer menempel di depan rumah gadai yang lama.
Bangunan lama kantor pegadaian Tempel.
Melangkahkan kaki mendekati bekas rumah gadai yang lama, benak saya mencoba merentangkan sejarah bisnis gadai di Indonesia. Tertuang dalam buku “Riwajat Semarang”, bisnis gadai di masa kolonial rupanya dibidani oleh kegiatan perjudian di kalangan rakyat. Dasar orang ketagihan, ketika uang mereka habis di meja judi, barang berharga yang mereka punya digadaikan kepada para bandar untuk ditukar dengan uang yang selanjutnya mereka pakai kembali untuk berjudi. Bisnis gadai kemudian berkembang dan dijalankan oleh orang Tionghoa dengan sistem pacht, dimana mereka harus menyetor pajak ke kantong pemerintah kolonial.

Lembaga pegadaian di Indonesia sudah muncul sejak masa Vereenigde Oost-Indie Compagnie (VOC) yang ditandai dengan berdirinya Bank van Leening pada 20 Agustus 1746 sebagai lembaga pemberi kredit dengan sistem gadai bagi masyarakat. Bank van Leening kemudian dibubarkan pada masa pemerintahan Inggris dan diganti dengan sistem kontrak pada 6 Mei 1814.  Dalam sistem tersebut, setiap orang berhak untuk mendirikan usaha gadai sepanjang mendapat kontrak resmi dari pemerintah. Sistem tersebut terus berlanjut setelah penyerahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda 1816. Berdasarkan suatu penyelidikan pada tahun 1856, diketahui jika sistem tersebut membuat banyak penduduk yang terjerat utang karena tingginya bunga yang dipatok sementara keuntungan dari usaha gadai banyak yang tidak disetorkan ke pemerintah. Akibatnya sistem kontrak diubah sedikit menjadi sistem pacht dimana setiap orang dapat memiliki usaha pegadaian setelah mendapat pacht atau lisensi yang diberikan dengan cara lelang. Perubahan tersebut mulai dilakukan pada tahun 1871. Sayang, sistem pacht tersebut  sama buruknya dengan sistem sebelumnya. Banyak pemilik rumah gadai yang tiada bedanya dengan lintah darat. Para nasabah mereka peras dengan suku bunga tinggi agar bisa membayar pacht. Sejumlah lainnya antara lain, ketentuan tarif yang tidak jelas, beberapa pegadaian menjadi sarang penjualan opium, kondisi bangunan yang tidak terpelihara baik, dan tidak ada kompensasi jika barang yang digadai rusak saat disimpan.
Suasana transaksi gadai di rumah gadai Kapasan, Surabaya, pada tahun 1920an. Tampak transaksi berlangsung di bagian beranda. Setidaknya seperti inilah gambaran transaksi gadai di Tempel pada masa lalu ( sumber ; troppenmuseum.nl ).
Keprihatinan terhadap kacaunya kondisi pegadaian di Jawa akhirnya menghasilkan gagasan untuk mengambil alih bisnis gadai di bawah naungan pemerintah kolonial. Gagasan tersebut sudah muncul pada tahun 1880 namun tidak dapat segera dilaksanakan begitu saja karena adanya sejumlah keraguan dari berbagai kalangan. Masalah tersebut kembali mencuat pada tahun 1894 namun sekali lagi masih ada keraguan dari beberapa pihak. Penyelewengan terus terjadi dan jika dibiarkan begitu saja, maka kondisi pegadaian di Hindia-Belanda akan semakin suram. Pada 17 April 1900, Menteri Koloni, Cremer, akhirnyaa menyetujui rencana untuk mengubah sistem pegadaian dimana kali ini usaha gadai sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah dan tidak lagi melalui pihak ketiga. Asisten residen Purwokerto, W.P.D. de Wolff van Westerrode kemudian ditugaskan untuk membuat kajian tentang pendirian pegadaian pemerintah. Pemerintah Hindia-Belanda kemudian mengeluarkan Staatsblad no. 131 tanggal 12 Maret 1901 sebagai dasar hukum monopoli bisnis gadai. Bersama opium dan garam, rumah gadai menjadi usaha yang dimonopoli oleh pemerintah kolonial. Pada tanggal 1 April 1901, Pegadaian Pemerintah dibuka pertama kalinya di Sukabumi, Jawa Barat dan tanggal itu diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian. Pegadaian pemerintah di Sukabumi tersebut baru bersifat percobaan saja namun karena menuai keberhasilan maka pegadaian pemerintah mulai dibuka di tempat lain.
Foto lama salah satu rumah gadai milik pemerintah atau pandhuis yang berada di Ngupasan, Yogyakarta. (sumber : colonialarchitecture.eu).
Sejarah pegadaian di Vorstenlanden (wilayah yang mencakup Karesdienan Surakarta dan Yogyakarta) sedikit berbeda dari tempat lain sehubungan dengan masih adanya pemerintah kerajaan di tempat tersebut. Sejak dicabutnya sistem kontrak pada tahun 1835, belum ada ketentuan yang mengatur bisnis pegadaian di Vorstenlanden dan sistem pacht sendiri baru diperkenalkan di Vorstenlanden pada tahun 1872, setahun sesudah sistem tersebut resmi digunakan di tempat lain. Pendapatan dari pacht gadai masuk ke dalam kas kerajaan dan pacht tersebut hanya berlaku untuk orang Eropa atau Tionghoa sehingga orang pribumi yang akan membuka pegadaian tidak perlu membayar pacht gadai. Jumlah pegadaian pribumi meningkat sedemekian rupa sampai dilakukan pembatasan pada tahun 1891, terlebih minimnya pengawasan menjadikan pegadaian tersebut sebagai tempat menadah barang curian. Pemerintah kolonial akhirnya memberlakukan monopoli pegadaian di Yogyakarta sejak 1 Apri 1915. Kendati pegadaian sudah dimonopoli, namun ada sedikit perbedaan dengan di tempat lain karena pemerintah kolonial harus membayar sejumlah kompensasi kepada Sultan. Dalam kurun waktu tahun 1914 sampai 1917, berturut-turut didirikan kantor pegadaian (pandhuis) di seluruh wilayah Yogyakarta, yaitu pegadaian Gondomanan, Godean, Tempel, Sleman, Prambanan, Imogiri, Bantul, Jogoyudan, Sentolo, Brosot, dan Gunungkidul (Anonim, 1917; 165).
Peta wilayah Tempel pada tahun 1933. Letaknya yang berada di tepi jalan, dekat pasar dan pusat kawedanan menjadi pertimbangan pemerintah kolonial membuka rumah gadai di situ (sumber ; maps.library.leiden.edu).
Lokasi pandhuis Tempel berada di dekat Pasar Tempel. Di daerah pelosok, pemerintah kolonial sengaja membuka pandhuis di dekat pusat pemerintahan atau perdagangan agar masyarakat di sana terjauhkan dari ulah lintah darat selain untuk menarik banyak nasabah. Kehadiran Pandhuis ini mendapat sambutan bagus dari masyarakat karena prosedurnya lebih sederhana, bunga yang rendah, dan memiliki senarai harga resmi sehingga para nasabah merasa lebih aman dalam bertransaksi (Febriani, 2007; 36). Pada masa pendudukan Jepang tanggal 1 Desember 1943, kantor-kantor pegadaian di wilayah Yogyakarta diserahkan pada swapraja, sehingga kantor pegadaian pusat tidak mempunyai hak terhadap urusan pegadaian daerah. Selanjutnya di masa revolusi kemerdekaan, bangunan rumah gadai Tempel dipakai untuk persembunyian para pejuang republik. Sesudahnya, ia dipergunakan sebagai Kantor Pegadaian Unit Tempel hingga sekarang meski sempat tutup selama lima tahun dari tahun 2002 – 2007.
Tipikal denah bangunan pegadaian negeri di Jawa.
Bangunan Pegadaian Tempel menunjukan perkembangan arsitektur bangunan pegadaian yang mengalami penyempurnaan setelah dimonopolinya bisnis pegadaian oleh pemerintah kolonial. Sebelumnya, kegiatan pegadaian dilakukan di tempat yang dianggap tidak memenuhi kriteria untuk kegiatan pegadaian karena ruangan, penerangan, dan keamanan yang ada masih belum memadai. Barang-barang jaminan sering diletakkan di sembarang tempat bahkan di luar ruangan karena keterbatasan ruangan. Barang gadai yang biasa disimpan di dalam ruangan hanyalah perhiasan atau barang berharga lain yang disimpan dalam brankas besi atau kotak kayu yang dilengkapi kunci. Sesuah pegadaian berada dalam monopoli pemerintah kolonial, maka arsitektur bangunan rumah gadai mulai disiapkan secara matang. Konsep dasar dari bangunan pegadaian pemerintah adalah menyatukan rumah beheeder atau kepala pegadaian, kantor, dan gudang pegadaian menjadi satu kesatuan bangunan. Rumah beheeder dan gudang pegadaian dibuat bersebelahan dan dilengkapi sebuah akses penghubung ruang tidur beheeder dengan gudang pegadaian sehingga jika terjadi sesuatu yang mencurigakan di pegadaian pada malam hari, maka kepala pegadaian dapat langsung segera bergegas memeriksa gudang. 
Deretan loket dengan lingkaran sebagai ventilasi tambahan. Jumlah loket yang banyak mengurangi jumlah antrian sehingga nasabah dapat terlayani dengan baik.
Salah satu loket. Di bagian bawah, terdapat dua buah lubang. Lubang yang sebelah untuk menggadaikan barang dan lubang satunya untuk menebus barang yang digadaikan.
Sesampainya di bagian belakang rumah gadai itu, saya membayangkan bagaimana orang-orang zaman dulu melakukan transaksi gadai lewat deretan jendela nan tinggi itu. Jangan bayangkan transaksinya berlangsung di dalam ruang tertutup seperti sekarang. Dahulu, nasabah yang kebanyakan adalah orang pribumi tidak melakukan transaksi gadai di dalam ruangan melainkan di bawah atap beranda tanpa dinding. Nasabah lain yang sedang menunggu giliran transaksi mengantri di ruang terbuka. Oleh karena itu supaya tidak terjadi antrian panjang dan berdesak-desakan, bangunan pegadaian memiliki banyak loket transaksi dimana satu pegadaian bisa memiliki lebih dari sepuluh loket dan supaya nasabah tidak kehujanan dan kepanasan saat bertransaksi, maka dibuatlah atap emperan yang lebar. Penyerahan barang dan uang dilakukan lewat jendela yang juga merangkap fungsi sebagai loket sehingga sirkulasi bagian dalam ruangan menjadi lancar dan transaksi menjadi mudah. Manakala barang yang digadaikan cukup besar, maka barang itu akan dimasukan lewat pintu besar yang berada di sebelah barat. Kala itu, barang yang umumnya digadaikan antara lain kain batik, benda-benda pusaka (seperti keris), perhiasan, benda dari kuningan dan perak, barang pecah belah, sepeda, dan kadang hewan ternak.
Kondisi gudang tempat penyimpanan. Tampak barang-barang dipisah dan diletakan menurut jenis dengan rapi.

Bagian dalam gudang penyimpanan barang jaminan. ( sumber : troppenmuseum.nl )
Ruangan yang dahulu digunakan sebagai gudang penyimpanan barang-barang yang digadai.
Pintu untuk memasukan barang gadai yang besar seperti sepeda.
Dari lubang loket yang ada terdapat di bawah jendela berjeruji itu, saya mendapati sebuah ruangan kosong. Ruangan yang saat ini dalam keadaan berdebut tersebut dahulunya merupakan ruang kerja pegawai pegadaian. Ruangan tersebut tidak memiliki dinding penyekat sehingga kepala pegadaian dapat mengawasi pegawainya. Di sebelah ruang kerja, terdapat gudang penyimpanan barang-barang jaminan yang diberi pembatas berupa jalinan kawat yang sangat kuat dan tidak mudah dipotong. Pembatas tersebut selain untuk keamanan juga untuk memudahkan pegawai mengawasi barang-barang jaminan. Di dalam ruangan penyimpanan, barang jaminan dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Untuk memenuhi kebutuhan buang air kecil, kantor dilengkapi dengan dua toilet. Selain kantor dan ruang penyimpanan terdapat ruang lelang barang-barang gadai yang gagal ditebus. Uang dan surat-surat berharga yang digadaikan nasabah disimpan di brankas besi yang ditembok sehingga tidak mudah diambil orang. Kosongnya ruangan itu sekejap mengingatkan saya ketika ruangan kosong akibat aksi mogok para pegawai pribumi yang terjadi sekitar tahun 1922 silam.

Gambaran suasana kerja pegawai pegadaian di dalam bangunan pegadaian.
Ruang bagian dalam rumah gadai, tempat dimana pegawai melayani nasabah dan mengurus adminsitrasi.
Berita pemogokan pegawai Pegadaian-se Yogyakarta yang diwartakan harian Het nieuws van den dag voor Nederlandsch   Indie  tanggal 14 Januari 1922.
Dibalik mujurnya bisnis gadai pemerintah kolonial, terselip kisah pemogokan para buruh pegadaian sebagai puncak perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewang-wenangan pemerintah kolonial yang menimpa mereka. Dahulu, ketika ruangan itu penuh meja-meja berisi dokumen dan barang gadai itu, terlihat raut getir para pegawai. Sebabnya tak lain ialah adanya kebijakan pemerintah kolonial yang mengurangi honor mereka guna menghemat anggaran belanja. Tapi kegetiran mereka belum meletup hingga mereka mendengar kabar bahwa kawan mereka di pegadaian Ngupasan dipecat gegara masalah sepele. Kejadian itu terjadi di suatu hari di tahun 1922, ketika seorang pegawai Eropa di Pegadaian Ngupasan menyuruh seorang pegawai pribumi untuk memindahkan barang gadai yang akan dilelang. Pegawai pribumi itu menolak karena ia sedang repot dan ia merasa barang yang dimaksud sebenarnya bisa dipindah oleh pegawai Eropa sendiri tanpa bantuannya. Tersinggung dengan penolakan itu, pegawai Eropa itu mengeluarkan nada sedikit menghina kepadanya dan karena tidak terima, pegawai pribumi itu menyerang si pegawai Eropa. Terjadilah sebuah pertikaian yang berujung pada pemecatan si pegawai pribumi itu. Sebagai aksi solidaritas untuk kawannya yang dipecat tidak adil itu, PPPB (Perserikatan Pegawai Pandhuis Bumiputera), wadah para pamong pegadaian bumiputera. menggelar aksi mogok kerja. Dari Pegadaian Ngupasan, aksi mogok kerja merembet ke Pegadaian di seantero Yogyakarta seperti Lempuyangan, Bantul, Godean, Brosot, Sentolo, Gunungkidul, Sleman, dan Tempel. Mengejutkannya, aksi mogok kerja kian meluas ke kota-kota lain di luar wilayah Yogyakarta seperti Kebumen, Tegal, Pekalongan, Semarang, Rembang, Surabaya, dan Pasuruan. Sayang, aksi mogok kerja itu belum dapat melunakan hati pemerintah kolonial. Namun kumandang nada-nada perlawanan itu masih bisa saya rasakan di dalam kantor pegadaian yang telah sunyi itu.


Referensi
Anonim. 1917. Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken 1913. Weltevreden : N.V. Uitgever Mij. Papyrus.

Anonim. 1926. Gedenkschrift Uitgegeven ter Gelegenheid van Het 25 Jarig Bestaan van Den Gouvernements Pandhuisdienst. Weltevreden : Landsdrukkerij.

Febriani, Dian Windu. 2007. " Perkembangan Tata Ruang Kompleks Pegadaian Kantor Cabang Lempuyangan Yogyakarta 1913-2006 ". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada

Romawati, Sri Muryantini  dan Prasetyo, Himawan. 2015. "Tinjauan Sejarah : Kantor Pegadaian Tempel " dalam Buletin Narashima. Yogyakarta : Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.