Sabtu, 05 Maret 2016

Anjangsana ke Benteng Van der Wijck Gombong

Gombong adalah sebuah kota kecamatan kecil yang terletak di wilayah Kabupaten Kebumen. Satu kilometer ke utara dari pusat keramaian, berdiri begitu kokoh sebuah benteng peninggalan Belanda yang namanya sudah cukup dikenal banyak orang, Benteng Van der Wijck.  Inilah ulasan saya di Jejak Kolonial mengenai kisah benteng yang kini sintas sebagai taman wisata keluarga.
Pintu masuk Benteng Van der Wijck.
Bekas barak militer yang saat ini digunakan sebagai penginapan.
Sesudah membayar karcis di gerbang masuk sebesar 25.000 rupiah, saya menyusuri sebuah jalan yang menjurus ke Benteng Van der Wijck. Jalan itu lumayan lebar dan teduh. Di samping kiri jalan, terdapat sebuah penginapan yang memakai bekas barak tentara. Sementara itu, di samping kanan jalan, terdapat sebuah kolam renang yang tampak ramai hari itu. Suasana itu mungkin terbilang kontras ketika benteng itu lama terabaikan usai kemerdekaan, ketika wilayah sekitar benteng masih menjadi wilayah yang terlarang untuk dikunjungi khalayak umum. Pada tahun 2000, setelah sekian lama terlunta menjadi sarang walet, bangunan benteng dipugar oleh PT. Indo Power Gombong dan diresmikan pada 5 Oktober 2000 oleh kepala staf TNI AD saat itu, Jenderal Tyasno Sudarto. Area sekitar benteng kemudian dikembangkan sebagai taman wisata keluarga yang dilengkapi dengan aneka wahana permainan seperti kolam renang dan kereta keliling. Sementara itu, di luar area wisata benteng, masih terdapat sarana-sarana milik militer seperti Sekolah Calon Tamtama yang ada di utara Benteng Van der Wijck. Tidak heran jika aura militer masih kentara di sekitar benteng.
Bekas rumah dinas perwira militer untuk berpangkat kapten dan letnan yang berada di sekitar benteng.
Keadaan lingkungan sekitar benteng. Keterangan  : A. Benteng Van Der Wijck ; B. Rumah dinas serdadu ; C dan D. Rumah dinas perwira ; E. Rumah sakit tentara ; F. Kuburan Belanda.
Dengan berbagai fasilitas militer yang ada seperti perumahan perwira, rumah sakit dan sekolah tentara, Gombong layak disebut sebagai “Kota Hijau”. Kehadiran militer di kota kecil itu sudah ada semenjak militer Belanda menjadikan Gombong sebagai pangkalan militer pada tahun 1830an. Penetapan Gombong sebagai pangkalan militer berlatar dari kegusaran pemerintah kolonial jika suatu saat nanti pulau Jawa akan jatuh ke tangan Inggris seperti yang pernah terjadi pada tahun 1811. Militer Belanda telah membuat strategi, dimana untuk mengantisipasi jika wilayah pesisir utara telah dikuasai musuh, maka mereka akan berusaha memberi perlawanan balik dari daerah pedalaman. Jika upaya tersebut gagal dan posisi mereka semakin terdesak, maka pemerintah kolonial Belanda akan diungsikan keluar lewat pelabuhan Cilacap. Untuk itu, diperlukan suatu sarana pertahanan yang setidaknya dapat menghambat pergerakan musuh di wilayah ini namun sarana militer di Jawa bagian selatan masih minim. Maka dari itu, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan pangkalan militer di Gombong yang saat masih berupa desa kecil yang berada di bawah Kabupaten Karanganyar. Selain dilindungi oleh Sungai Kemit, pangkalan tersebut juga akan dilindungi dengan sebuah benteng. Berdasarkan besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 10 Juni 1839, benteng di Gombong itu diberi nama Fort Cochius. Nama itu dipilih sebagai bentuk penghormatan militer Belanda kepada, Frans David Cochius, jenderal yang memainkan peran penting selama Perang Jawa sebagai penggagas strategi benteng stelsel (Jaavasche Courant ; 1839).
Frans David Cochius, perwira militer Belanda yang mengusulkan siasat benteng stelsel. Namanya diabadikan sebaga nama benteng meski tidak bertahan lama
(sumber : Wapenfeiten van het Nederlandsch Indisch Leger).
Peta Gombong tahun 1837. Terlihat Benteng Fort Cochius belum dibangun pada masa tersebut
(sumber : nationaalarchief.nl)

Peta Gombong tahun 1843 yang memperlihatkan rencana lokasi benteng di Semanding.
(sumber : nationaalarchief.nl)
Desain bangunan benteng dipersiapkan sejak tahun 1839 di bawah arahan Mayor Dibbetz. Dalam rancangan itu, benteng yang berdiri sekarang sedianya dilindungi dengan lapisan pertahanan berupa gundukan tanah. Gundukan tanah itu akan dibentuk membentuk segi empat dan pada bagian sudutnya terdapat kubu yang dipersenjatai dengan baterai meriam. Material tanah dipilih karena bahannya lebih murah dan sanggup menahan tembakan peluru meriam. Gundukan tanah itu memiliki ketinggian yang sejajar dengan benteng yang sekarang berdiri. Adapun bangunan benteng yang ada sekarang ini dahulunya akan diperuntukan sebagai tempat tinggal prajurit dan markas komando. Sementara itu di antara benteng dan gundukan tanah, akan ada gudang mesiu dan rumah sakit (Van Brakell,1863; 290-293). 
Rancangan Benteng Van Der Wijck yang dibuat oleh Mayor Dibbetz dengan gundukan tanah. Dari rancangan tersebut, hanya bagian tengah benteng yang dapat diselesaikan (sumber : nationaalarchief.nl)
Pembangunan fisik benteng kemudian dimulai pada tahun 1841. Gubernur Jenderal J.J. Rochussen sempat meninjau pembangunan benteng Fort Cochius pada 30 Juli 1847. Menurut kesaksian Dr. P. Bleeker yang mengunjungi Gombong pada tahun 1850, bagian gundukan tanah keliling tidak pernah dikerjakan seperti rancangan semula (Bleeker, 1850; 84-85). Alasan mengapa bagian tersebut tidak dikerjakan berkaitan dengan usulan dari seorang ahli strategi militer bernama Baron Friederich Balduin von Gagern yang diundang ke Hindia-Belanda pada tahun 1844 untuk memberi masukan tentang sarana pertahanan yang sedang dibuat. Dari hasil pengamatan Von Gagern, ia meragukan nilai strategis Gombong sehingga ia mengusulkan supaya bagian gundukan tanah tidak perlu dibuat untuk menghemat biaya. Maka dari itu, hanya bagian benteng segi delapan saja yang dibuat. Bagian itu tuntas dibangun pada tahun 1848.  Benteng Cochius adalah satu-satunya benteng yang memiliki konstruksi berbentuk oktagonal atau segi delapan di Hindia-Belanda dan bahkan konstruksi sejenis tidak ditemukan di Belanda.
Tampak luar dan dalam benteng Van der Wijk pada tahun 1930an. Perhatikan pada bagian luar benteng, terdapat bangunan tambahan yang dahulu digunakan sebagai kamar mandi dan toilet (sumber : media-kitlv.nl).
Pembangunan benteng Fort Cochius mungkin boleh dikatakan berakhir sia-sia. Supaya bagian benteng dalam yang terlanjur berdiri tersebut tidak mubazir, maka bagian benteng dalam dimanfaatkan sebagai Pupillenschool, tempat para kadet menimba ilmu kemiliteran, ketimbang sebagai sebuah benteng pertahanan. Menilik catatan sejarah, Pupillenschool dibuka pada tahun 1848 berdasarkan usulan Mayor Jenderal Baron van Gagern yang didukung oleh gubernur jenderal J.J. Rochussen. Awalnya, Pupillencshool bertempat di tangsi Kedungkebo, Purworejo. Kemudian gedung sekolah di Kedungkebo tersebut runtuh akibat diterjang banjir sehingga Pupillenschool dipindahkan ke Gombong pada tahun 1856 dan menempati bekas benteng Cochius yang saat itu digunakan sebagai asrama kompi infantri dan zeni (Rees, 1901; 42). Kadet Pupillenschool sebagian besar adalah anak-anak hasil perkawinan campuran antara prajurit Eropa dengan perempuan bumiputera yang sebenarnya dilarang dalam hukum kolonial. Setelah ayah mereka kembali ke Belanda atau meninggal, mereka menjadi anak-anak terlantar. Supaya tidak menimbulkan masalah sosial, anak-anak berusia rentang 7-14 tahun tersebut lalu ditampung di Pupillenschool. Diharapkan mereka dapat menjadi orang yang beradab dan hidup berbaur dengan masyarakat. Selain menerima pelajaran sekolah reguler, kadet Pupillenschool juga menerima pelajaran gambar topografi, musik, tari, dan renang. Namanya juga sekolah militer dengan disipilin yang ketat, tunjangan sebesar 25 gulden sebulan tampaknya tidak membuat sebagian kadet kerasan bersekolah di Pupillenschool. Dalam lima tahun sudah ada 85 kadet yang membolos selamanya alias kabur dari sekolah ini. Bagi yang mampu bertahan pada usia 19 tahun, mereka dapat dimasukan ke dinas militer KNIL (Rocher dan Santosa, 2016; 139). Perjalanan pupillenschool berakhir setelah pemerintah kolonial menghapuskan lembaga tersebut pada tahun 1912.
Para kadet sekolah militer Gombong yang sedang berlatih menembak. Dari warna kulit, mereka bisa jadi adalah orang pribumi atau dari keturunan campuran  (sumber : media-kitlv.nl).
Tulisan C. Van Der Wijck yang samar tertutup oleh cat hitam.
Nama-nama jenderal Belanda yang terdapat pada empat sisi pintu masuk benteng.
Saya kini berhadapan dengan benteng Cochius atau kini lebih dikenal sebagai Benteng Van der Wijck. Dalam literatur Belanda sendiri, benteng ini acap disebut sebagai benteng Cochius sesuai dengan nama resminya. Nama Van der Wijck sendiri sedianya akan dipakai Belanda untuk benteng sejenis yang akan dibangun di Bandung namun akhirnya tidak jadi dibangun (De Locomotief, 24 Desember 1880). Tidak diketahui apa yang melatarbelakangi perubahan nama benteng di Gombong ini. Besar kemungkinan nama Van der Wicjk merujuk dari tulisan " C. VAN DER WIJCK " yang terpampang pada batu kunci di atas lengkung pintu masuk utama benteng. Karena sudah ditimbun dengan cat hitam pada zaman Jepang, maka tulisan itu tak bisa terbaca jelas lagi. Siapakah sosok yang menjadi nama benteng di Gombong ini ? Carel van der Wijck (1797 -1852), merupakan kepala divisi zeni militer Hindia-Belanda. Dialah yang bertanggung jawab dalam proyek pembangunan benteng Cochius yang akhirnya berubah nama dengan nama yang sama dengannya. Buah tangan lain dari C. van der Wijck adalah Benteng Willem I Ambarawa dan Benteng Van den Bosch Ngawi serta benteng-benteng di kota pesisir yang kini telah sirna seperti Benteng Prins Frederik di Batavia, Prins Hendrik di Surabaya, dan Prins van Oranje di Semarang.
Peta situasi sekitar benteng Fort Cochius saat digunakan sebagai Pupillen School
(Sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia).
Denah benteng Fort Cochius
(sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia)
Sedikit maju ke depan, tepatnya di masa penjajahan Jepang, benteng ini digunakan sebagai tempat pelatihan prajurit PETA. Salah satu kadet PETA yang pernah menimba ilmu di sini di kemudian hari akan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Dia tidak lain adalah Suharto. Para kadet PETA tinggal di barak yang ada di luar benteng dan benteng ini sendiri dipakai sebagai akomodasi perwira Jepang dan penyimpanan ransum makanan. Selepas kemerdekaan, barak di dekat benteng Van der Wijck dipakai oleh Badan Keamanan Rakyat untuk akomodasi staff BKR, sedangkan benteng dibiarkan tak dihuni. Di masa Agresi Militer Belanda I, ketika Belanda berusaha menguasai kembali jajahannya yang baru saja merdeka, benteng Van der Wijck dimanfaatkan militer Belanda sebagai pos pertahanan mereka, berhadapan dengan wilayah yang dikuasai oleh kamu Republikan di seberang timur Kali Kemit.
Warna merah yang menyelimuti dinding benteng Van der Wijck. Aslinya, dinding benteng ini berwarna putih.
Warna merah darah menyelebungi dinding luar Benteng Van der Wijck. Benteng berlantai dua itu sejatinya berwarna putih seperti yang terlihat pada dokumentasi foto lama. Entah apa maksud dibalik perubahan warna itu. Namun ada selentingan bahwa benteng itu sengaja diwarnai demikian untuk menyesuaikan kondisi politik Kebumen yang selama ini didominasi oleh partai politik tertentu. Benar atau tidak selentingan itu, namun yang jelas warna itu menjadikan aura Benteng Van der Wijck terlihat antik. Setelah kemerdekaan, benteng ini digunakan sebagai asrama anggota Secata. 
Lapangan di tengah benteng. Lapangan ini acap menjadi latar film layar lebar karena kesannya seperti sebuah  penjara kuno. Paling terakhir adalah film " The Raid 2 : Berandal ".
Koridor benteng yang dibangun dengan sistem rib-vault.
Pintu-pintu melengkung yang menghubungkan setiap ruangan.
Berikutnya, saya melangkah masuk ke dalam benteng melalui salah satu dari empat pintu masuk benteng. Pada lorong temaramnya, saya mendapati para pengunjung yang berlalu lalang di bawah langit-langit berbentuk rib vault. Masih tampak jelas di situ, susunan batu-bata yang dulu dibuat di dekat benteng. Untuk menghemat biaya, berbagai bahan bangunan benteng diperoleh dari wilayah sekitar seperti kayu dan batu diambil di seputaran Karesidenan Bagelen. Pembuatan batu-batanya dilakukan di dekat benteng. Berdasarkan gambar "Reduit Generaal Cochius te Gombong", bagian lantai pertama benteng terdiri dari tiga ruang tamu, satu ruang dansa, ruang perpustakaan, tiga ruang gudang persediaan dan seragam, empat ruang makan, gudang senjata, kamar bintara ajudan, bengkel pekerjaan kayu, ruang instrumen, gudang kompi, ruang sumur untuk air minum, lima bangsal asrama, ruang jaga perwira, dua ruang kantor, dan penjara. Kemudian bagian lantai dua terdiri dari 16 bangsal asrama untuk siswa pupillenschool, 12 bangsal asrama kader, kantor, gudang mesiu, dan dua ruang buang air kecil.
Salah satu ruangan yang terdapat pada lantai satu. Perhatikan bentuk langit-langitnya yang melengkung dengan gancu yang masih tertancap di tempat. Gancu tersebut digunakan sebagai tempat menggantungkan lampu minyak.
Salah satu ruangan di lantai dua benteng.
Lantai ruangan yang dilapisi dengan ubin/tegel hias.
Ragam hias tegel yang dapat ditemukan di benteng Van der Wijck.
Benteng Van der Wicjk memiliki 16 ruangan pada setiap lantainya. Antara lantai satu dan lantai dua dihubungkan oleh tangga. Setiap tangga menuju lantai dua memiliki sebuah ceruk kecil untuk tempat penjaga. Suasana di dalam ruang begitu terang dan sejuk karena setiap ruang memiliki jendela besar. Jendela-jendela itu dulu dilengkapi dengan jeruji besi dan daun jendela krepyak yang kini hilang entah kemana. Untuk penerangan di malam hari, dahulu ruangan ini diberi penerangan berupa lampu minyak, dimana gancu tempat menggantung lampu tadi masih tertancap di tempatnya. Hal menarik dari ruangan di benteng ini ialah rancang bangun ruang itu yang dibuat melengkung, menghasilkan langit-langit ruangan berbentuk semi lingkar seperti jembatan. Mengapa demikian ? Di masa teknologi besi bertulang belum ditemukan, rancang bangun yang diciptakan oleh bangsa Romawi itu terbukti mampu menyangga beban bangunan. Inilah kunci mengapa benteng ini masih kokoh sampai sekarang. Di balik kekokohan Benteng Van der Wijck, jangan lupakan jasa 1400 tenaga orang pribumi dengan upah 15 sen per hari. 1200 tenaga dikerahkan dari Karesidenan Bagelen sementara sisanya diambil dari Karesidenan Banyumas. Selama pembangunan, para kuli itu diawasi oleh demang yang mendapat bayaran sebesar 1 gulden sehari. Benteng tersebut juga berdiri dari tangan-tangan 161 narapidana yang mendapatkan hukuman kerja paksa.
Tangga naik menuju atap benteng.
Satu per satu ruang saya amati, dari ruangan pada lantai satu hingga yang terdapat di lantai dua. Salah satu ruang yang cukup menarik perhatian saya adalah ruangan komandan benteng yang berada di lantai dua. Berbeda dengan ruangan lain yang permukaan lantainya polos, ruangan ini terlihat menarik berkat lantai tegel bercorak tetumbuhan. Melalui jendela ruangan itu, saya dapat mengintip sepetak tanah lapang yang terkurung di tengah benteng. Dari lantai dua, saya beranjak naik ke bagian atap yang mana terdapat wahana kereta mini yang mengelilingi atap benteng itu. Dari atap benteng berbentuk seperti gundukan bukit-bukit kecil dengan cerobong semu yang menyembul di atasnya, saya dapat menikmati keindahan perbukitan Gombong yang terhampar di sebelah utara.
Atap benteng beserta cerobong-cerobong semunya.
Pungkaslah anjangssana saya di Benteng Van der Wijck Gombong, sebuah benteng yang ternyata tidak pernah dirampungkan sesuai rencana semula. Sulit dibayangkan pula di saat keuangan pemerintah kolonial terkuras habis akibat Perang Jawa sampai mereka menerapkan kebijakan Tanam Pakssa, di saat yang sama mereka justru mengadakan proyek pembangunan benteng-benteng berbiaya tinggi untuk menghadapi ancaman invasi yang ternyata tidak pernah terjadi. Namun demikian, keberadaan Benteng Van der Wijck ini telah membuat nama Gombong lebih dikenal dan mengubah Gombong yang semula hanyalah desa kecil menjadi pusat kegiatan yang ramai di Kebumen bagian barat.

Referensi
Bleeker, P. 1850. "Fragementen eener Reis over Java. Hoofdstuk VIII ; Van Poerworedjo naar Banjoemas" dalam Tijschrift voor Nederlandsch Indie. Groningen : C. M. Van Bolhuis Hoitsema.

Tim Penyusun. 2012. Forts in Indonesia. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Rees, D.F.W Van. 1901. Het Pauperisme Onder Europeanen in Ned. Indie. Batavia : Landsdrukkerij.

Van Brakell, R.G.B de Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Amsterdam : P.N. Van Kampen.

Kompas, 12 Juni 2010.

De Locomotief, 24 Desember 1880

2 komentar:

  1. Mantap sayang gombong tidak masuk dalam wilayah banjoemas ... salam lestari

    BalasHapus