Minggu, 28 Agustus 2016

Serpihan Kejayaan Stasiun Gundih yang Kini Terlewatkan

Mentari baru saja menampakan dirinya di ufuk timur ketika saya menjejakan kaki ke Gundih, ibukota kecamatan Geyer yang terletak 17 kilometer ke selatan dari Purwodadi, Grobogan. Tujuan lawatan saya ke sini tak lain ialah untuk menengok Stasiun Gundih, serpihan pusaka perkeretaapian yang pernah bergairah di masa penjajahan Belanda.
Kendati letak stasiun itu berada sedikit jauh dari jalan raya Surakarta-Purwodadi, namun amatlah mudah untuk menjangkaunya. Stasiun Gundih diapit oleh jalur kereta di kedua sisinya, menjadikan stasiun itu bak sebuah pulau yang tergeletak di tengah-tengah rel baja. Mendekati area stasiun, saya disuguhi dengan keindahan wajah depan stasiun yang menghadap ke utara itu. Pernik berupa papan teritisan bergerigi yang menjadi ciri arsitektur Chalet terlihat serasi di bagian atap pelananya, membuat stasiun tampak jelita. Sungguh harta karun luar biasa untuk ukuran wilayah yang masih sedikit tersentuh oleh kemajuan.
Bagian depan stasiun Gundih beserta dua overkapping atau kanopi stasiun di sisi barat dan timur.
Stasiun itu disusun dengan bahan-bahan bermutu prima sehingga ia masih kokoh berdiri meski usianya sudah memasuki seabad. Misalnya saja tegel kotak-kotak yang masih utuh mengalasi lantai stasiun itu sejak zaman Belanda. Tegel kekuningan itu asalnya dari pabrikan Alfred Ragout yang pabriknya berada di kota Maastricht, Belanda. Tegel bikinan Alfred Ragout memang banyak dipakai pada bangunan stasiun karena sifatnya kedap air, sehingga penumpang tak perlu takut tergelincir ketika berjalan di atasnya.
Lantai stasiun yang masih asli dari tegel lama.
Lengang, itulah kesan pertama saya ketika berjalan di peron stasiun yang dinaungi atap baja itu. Sekalipun masih terlihat pegawai stasiun yang sedari tadi mondar-mandir di peron stasiun, namun tak terlihat satupun penumpang yang menunggu kereta di situ. Saking lengangnya, saya menyaksikan seorang balita berlarian begitu leluasa di atas lantai peron stasiun sembari ibunya mengawasi dari bangku penumpang yang kosong. Suasana ini sungguh berbanding terbalik dengan yang terjadi di masa kolonial, ketika moda transportasi kereta sedang mencapai masa keemasannya.
Stasiun Gundih pada tahun 1900-an awal. Foto ini diambil menghadap ke arah utara. Terlihat kereta api yang sedang bersiap berangkat menuju Surakarta. Rumah-rumah di sisi kiri gambar merupakan rumah dinas untuk pegawai stasiun (sumber : colonialarchitecture.eu).
Peta lokasi Stasiun Gundih pada tahun 1905. Garis hitam-putih merupakan rel lebar 1435 mm dari arah Brumbung. Sementara garis hitam-putih yang lebih kecil merupakan jalur rel lebar 1067 mm dari arah Gambringan. Jalur yang berbelok ke kanan merupakan jalur rel milik S. J. S menuju arah Purwodadi.
Tahun 1870an, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya membangun jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden. Setelah sukses membuat jalur kereta Semarang – Tanggung dan kemudian diteruskan dari Tanggung ke Kedungjati, mereka berancang-ancang untuk meneruskan pembangunan jalur kereta Kedungjati- Vorstenlanden. Salah satu titik yang dilalui oleh rangkaian jalur kereta tersebut adalah Gundih, di mana kala itu Gundih dikenal sebagai penghasil kayu jati. Sebelum ada kereta, satu-satunya akses transportasi ke Gundih ialah dengan jalan yang menghubungkan Surakarta dengan Purwodadi yang tentu saja tidak sebagus sekarang. Jalur kereta tersebut dibangun oleh perusahaan kereta partikelir, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij yang mendapat konsensi membangun jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden.
Harian De Locomotief yang memberitakan semakin banyaknya warga Eropa yang datang ke Gundih.
Sesudah Stasiun Gundih dibangun, kehidupan di Gundih lebih bergeliat daripada sebelumnya. Gundih yang semula hanyalah wilayah anta berantah yang jarang dikenal orang, berkembang menjadi simpul jalur kereta yang ramai. Itu karena Gundih tak hanya menjadi jalur perlintasan Semarang-Vorstenlanden, melainkan juga Semarang-Surabaya yang mulai tersambun pada awal abad ke-20. Sebelum jalur Gambringan-Brumbung purna dibangun pada tahun 1924, penumpang dan barang dari Semarang tujuan Surabaya atau sebaliknya harus berganti kereta di Stasiun Gundih dulu. Dapat dibayangkan betapa sibuknya stasiun kecil ini di masa lampau. Dilansir dari harian De Locomotief tanggal 22 Februari 1899, semenjak Stasiun Gundih dibangun, semakin banyak warga Eropa yang berkunjung ke Gundih. Pemerintah kolonial rupanya memandang Gundih sebagai tempat yang strategis. Selain pembangunan stasiun, di Gundih juga dibangun sekolah yang letaknya masih di sekitar stasiun (BPCB Jateng, 23; 2014). Barulah sesudah jalur kereta Gambringan - Surabaya selesai dibangun pada tahun 1914, penumpang kereta jurusan Semarang - Surabaya tidak perlu berganti kereta lagi di Gundih (Het nieuws van den dag voor Nederlansch-Indie 8 Februari 1922).
Peron barat Stasiun Gundih.
Jam dinding tua buatan dari Strassburg, Perancis.
Di peron itu, saya menjumpai sebuah jam dinding tua yang dibuat di kota Strassburg, Perancis. Sudah ribuan putaran jarum jam itu lalui dan ia senantiasa berputar, memberitahukan waktu pada setiap orang. Ya, dalam setiap perjalanan kereta, waktu adalah suatu hal yang berharga. Tak boleh ada waktu yang disia-siakan karena keterlambatan sedikit saja dapat mengacaukan perjalanan kereta. Menatap jam itu, sayapun teringat dengan lagu Time milik band legendaris Pink Floyd, “ Every year is getting shorter, never seem to find the time. The time is gone, the song is over, thought I’d something more to say…”
Ruang loket.
Stasiun itu mempunyai 7 buah ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada yang dipakai untuk ruang Kepala Stasiun, ruang untuk pengatur perjalanan kereta api, dan ternyata ia memiliki dua buah loket, yakni di pintu masuk utara dan di bagian tengah stasiun, namun sekarang hanya loket bagian tengah saja yang masih dipakai. Stasiun Gundih nampaknya benar-benar merupakan sebuah stasiun yang sibuk di masa lalu sampai –sampai memiliki dua buah loket. Di stasiun itu juga masih bisa dijumpai bekas alat pengatur sinyal yang dioperasikan secara manual.
Alat pengatur sinyal Alkmaar.
Hatta, setelah melihat bangunan utama stasiun, saya berjalan mengelilingi kedua sisi emplasmennya. Seperti yang dijelaskan di awal, model stasiun seperti ini disebut stasiun pulau karena ia diapit oleh jalur kereta karena perannya sebagai jalur percabangan. Dahulu, emplasemen barat digunakan untuk rel 1435 mm jurusan Semarang –Vorstenlanden. Sementara emplasemen timur digunakan untuk rel 1067 mm jurusan Surabaya. Sejatinya, di emplasemen timur stasiun Gundih, terdapat sebuah stasiun kecil milik maskapai kereta Semarang Joana Stoomtram Maatschapij (SJS) jurusan Purwodadi dan Demak, namun kini, stasiun itu sudah tiada lagi termasuk jalur kereta apinya.
Emplasemen selatan Gundih sisi timur.
Menara air atau watertoren.
Sumur sumber air Stasiun Gundih.
Bagian yang diduga bekas pipa corong pengisi air lokomotif.
Depo Stasiun Gundih yang kini sudah tidak digunakan lagi.
Salah satu rumah dinas Stasiun Gundih yang masih asli. Rumah ini berupa rumah kopel dengan atap berbentuk limas.
Gudang Stasiun Gundih.
Di emplasemen itu, saya membayangkan lokomotif-lokomotif uap yang sedang mengisi air lewat corong yang kini telah hilang. Air tersebut berasal dari menara air atau watertoren di sebelah barat stasiun yang airnya dipasok dari sumur yang ada di bawahnya. Air merupakan sumber daya penting yang harus ada di beberapa stasiun karena pada zaman dahulu, mesin lokomotif masih digerakkan dengan tenaga uap yang mana membutuhkan air untuk menghasilkan uap. Sementara itu, terlihat para kuli dengan otot kekarnya sedang sibuk memindahkan muatan gerbong ke gudang yang hingga sekarang masih ada di selatan stasiun. Di ujung utara emplasemen stasiun, sebuah lokomotif terlihat sedang diperbaiki di dalam depo yang sampai sekarang masih berdiri. Semua pemandangan itu disaksikan setiap harinya oleh para keluarga pamong stasiun yang menempati deretan rumah dinas yang berdiri rapi menghadap stasiun. Deru mesin dan peluit lokomotif yang khas tentu mereka dengar tiap harinya. Ah, sungguh menjadi sebuah romansa tersendiri ketika mengingat pemandangan itu.
Rumah tua yang diduga merupakan rumah kepala Stasiun gundih.
Bagian beranda depan rumah, dimana dulu aktivitas Stasiun Gundih dapat terlihat jelas dari sini.
Pintu depan.
Dari Stasiun Gundih, saya menjajal untuk mencari berbagai tinggalan kuno lain di sekitar Stasiun Gundih. Tinggalan yang pertama ialah sebuah rumah kuno kosong yang bentuknya mengingatkan saya pada rumah kuno di dekat Stasiun Kedungjati. Lokasinya lebih tinggi dibandingkan rumah dinas di sebelah barat stasiun tadi. Sebelum banyak permukiman warga yang dibangun di depannya, pemandangan emplasemen stasiun dapat terlihat jelas dari beranda depannya. Sayangnya, keindahan rumah tersebut dirusak dengan graffiti liar di dinding depannya…
Gedung Papak Gundih.
Gedung Papak, itulah julukan masyarakat sekitar pada gedung tua yang saya temukan di sebelah utara rumah tua kosong tadi. Ia dijuluki demikian karena atapnya yang datar atau papak. Tak diketahui apa fungsi bangunan tua ini dulunya, namun kuat dugaan jika ia merupakan bekas tempat tinggal kepala Dienst van het Boswezen cabang Gundih yang mengatur segala eksploitasi kayu di Geyer. Sayang, dibalik kemegahannya, bangunan bertingkat dua itu juga menyimpan kisah kelam. Pada masa pendudukan Jepang, bangunan itu sempat dijadikan tempat penampungan para jugun ianfu, para perempuan yang dipaksa menjadi budak nafsu untuk serdadu Jepang.

Beranjak siang, panasnya udara Gundih segera terasa. Sayapun memutuskan mengakhiri petualangan saya mencari serpihan kejayaan Stasiun Gundih. Sebelum meninggalkan Gundih, sayup-sayup terdengar gemuruh suara kereta yang akan melintas. Namun dari gemuruhnya yang hanya terdengar sekilas saja, kereta itu tampaknya melewatkan stasiun ini. Ya, kejayaan stasiun ini sudah lama lewat, tapi saya percaya, selama Stasiun Gundih masih berdiri, serpihan kejayaannya tak akan terlupakan….

Referensi

Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

18 komentar:

  1. mantap gan,kebetulan ane orang gundih xixi :D

    BalasHapus
  2. Gundihnya mana mas,saya lahir Dan besar di gundih jga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya bukan asli Gundih, tapi dari Purworejo. Ya dulu pernah main ke Gundih bareng temen. hehe

      Hapus
  3. Gundih mantap membawa kenangan tersendiri bagi perjalanan hidup saya terutama : 1 Stasiun tempat jualan saya dan bermain saya dari kecil, ada depo tempat perbaikan kereta juga tempat memutar log (kepala kereta) tempat penampungan kayu bahan bakar loko, juga gudang tempat penyimpanan kawat dll. tak lupa pompa air tempat loko minum, juga pleretan bawah jempatan untuk main bola denganareng. 2. Gedung pancasila gedung tempat pertunjkukan ketoprak, ludruk dll. tempat saya mengais rejeki karena saya penabuh gamelan bersama pak Marmo guru saya. 3. Gedung Papak tempat pertama saya melihat acara TVRI di jendela yang dimulai jam 6 sore. Gedung papak adalah gedung yang angker ada buto ijo di lantai dua. Itulah 3 tempat yang menjadi kenangan saya yang tidak terlupakan. Saya Karno putranya mabh Roko Klampisan. Sekarang saya tinggal di Bogor dari tahun 1977 sampai sekarang. Temen saya SD4 dan SMEP Gundih yang berkenan hubungi saya No. 0801310178860 saya tunggu ya terutama dik Yono wetan gudang. daaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Q putune alm mbh doto,mburene alm mbh karnen mantan masinis(area pondok b0ro)...

      Hapus
  4. Akan selalu jadi kenangan, kebetulan bapak saya pensiunan pjka gundih, dan ibu saya rumahnya utara stasiun di samping sungai. Akan selalu saya rindukan. ☺

    BalasHapus
  5. Apakah benar di stasiun Gundih dulu ada turntable (pemutar loko) itu pak ? Kalau ada disebelah mana ya ? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada di depannya depo sebelah utara sendiri

      Hapus
  6. Terimakasih atas tulisannya, sae sanget. kulo njih asli Gundih dekat kereta api dan bapak saya keluarga PJKA (almarhum) jadi nostalgia ke masa kecil jika melihat photo2 ini. mudah2 perkeretapian di Gundih dan sekitarnya segera dijayakan kembali......

    Ini adalah histori yang penting sekali bahwa Gundih dan sekitarnya adalah jalur keretapi pertama kali yang di bangun oleh Belanda waktu itu.

    BalasHapus
  7. Keren...saya menyukai tulisan anda..sangat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mantap saya orang gundih geyer kalisogo

      Hapus
  8. Pernah punya kenangan di stasiun gundih thn 1995, kenangan yang menyakitkan, yaitu putus cinta sama cinta monyetku hehehe

    BalasHapus
  9. Sing ngasong koncone Agus keled jemblek spo Yo ....

    BalasHapus
  10. Kenapa tidak direnovasi sebagai cagar budaya, dan sumber informasi jalan sejarah kota

    BalasHapus
  11. Aq ae bosen setiap hari liat kereta api, sejak lahir sampai sekarang

    BalasHapus