Sabtu, 24 September 2016

Untaian Jejak Tionghoa Masa Kolonial di Yogyakarta

Beragam untaian jejak sejarah kehadiran komunitas Tionghoa dalam wujud Pecinan dapat ditemukan di hampir seluruh penjuru Indonesia, tak terkecuali dengan Yogyakarta yang selama ini menjadi jantung kebudayaan Jawa. Berbagai jejak komunitas Tionghoa memperkaya warisan budaya di kota ini, dari kelenteng, kawasan tempat tinggal, hingga pemakaman. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan mengajak anda untuk menyingkap jejak-jejak yang telah memberi warna demografi Kota Yogyakarta itu.
Peta kota Yogyakarta pada tahun 1830. Letak pecinan ditujunkan dalam huruf J.
Deretan ruko-ruko Tionghoa di sepanjang Jalan Malioboro tahun 1938 ( sumber : Djokja Solo Beeld van Vorstenlanden ).
Suasana kegiatan jual beli di utara Pasar Beringharjo pada masa silam. Terlihat deretan ruko-ruko bergaya Tionghoa (sumber : media-kitlv.nl).
Dua toko Tionghoa yang kemungkinan ada di Kranggan (sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Suasana jalan Malioboro sekitar tahun 1930an dengan gerbang semipermanen bergaya Tionghoa (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pada tahun 1755, Kasultanan Yogyakarta lahir lewat Perjanjian Giyanti dengan Sultan Hamengkubuwono I sebagai raja pertamanya. Sebuah hutan di antara Sungai Code dan Sungai Winongo menjadi pilihan ibukota kerajaan baru itu. Di sana, Sultan Hamengkubuwono I mendirikan istana, taman tetirah, alun-alun, masjid, pasar dan kawasan hunian para abdi istananya (Inajati. Dkk, 2009:131). Lambat laun, kota itu kian berwarna dengan datangnya para perantauan Tionghoa. Sesuai aturan wijkenstelsel yang diterbitkan pemerintah kolonial pada tahun 1826, orang-orang Tionghoa diwajibkan tinggal mengelompok dalam satu kawasan yang sudah ditentukan. Lama kelamaan kawasan yang dihuni oleh orang Tionghoa tersebut menjadi suatu kawasan berkarakter khas yang disebut pecinan (Handinoto, 2012: 358).
Letak kawasan Pecinan di Ketandan, Pajeksan, dan Ngabean.
Rumah berlanggam Tiongkok Selatan di sebelah utara Pasar Beringharjo.

Sebagian ruko berlanggam Tiongkok Selatan yang masih sintas.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam urusan perniagaan, orang Tionghoa memang lebih unggul dibanding orang Eropa karena mereka lebih paham kebutuhan yang diperlukan oleh orang pribumi. Akhirnya sektor perdagangan eceran dan perantara pada masa kolonial lebih banyak dipegang oleh orang Tionghoa. Maka dari itu, hampir dimanapun orang Tionghoa berada mereka akan menempatkan rumah tinggal mereka berdekatan dengan daerah yang strategis. Di kota-kota pesisir, letak pecinan biasanya mengincar sungai sebagai jalur transportasi yang penting pada zaman dahulu. Sementara di kota pedalaman seperti Yogyakarta, letak pecinan umumnya berdekatan dengan jalan raya dan pasar sebagai tempat jual-beli dan pertukaran barang (Handinoto, 2012: 364). Kawasan pecinan di Yogyakarta mulanya muncul di Ketandan yang terletak di sebelah utara Pasar Beringharjo. Selain sebagai pedagang, orang Tionghoa di antaranya ada juga yang ditugaskan sebagai pemungut pajak atau dikenal sebagai tandha. Dari situlah nama kampung Ketandan berasal. Dalam "Reisigids voor Jogjakarta en Omstreken" yang ditulis oleh Groneman, si penulis menyaksikan adanya peningkatan hunian orang Tionghoa sejak ia menetap di Yogyakarta pada tahun 1869 (Groneman, 1909, 18). Maka dari itu kantong permukiman orang Tionghoa kemudian muncul di Kranggan yang berada di barat Tugu Pal Putih yang ikonik itu. Seperti halnya dengan Ketandan yang berdekatan dengan Pasar Beringharjo, di dekat kampung itu ada pasar. Lokasi tersebut juga strategis karena berada di pertemuan jalan menuju Magelang dan Surakarta. Selain terpusat di kampung Ketandan dan Kranggan, permukiman orang Tionghoa juga dapat ditemukan di sepanjang jalan di Pajeksan, Gandekan, Dagen, Beskalan, dan Ngabean (Bruggen, 1998: 42). Dibandingkan dengan pecinan yang ada di kota-kota pesisir, pecinan di kota pedalaman seperti Yogyakarta luasnya relatif kecil. Namun secara ekonomi daerah Pecinan memainkan peran cukup penting dalam perputaran roda perniagaan di kota ini.
Peta pecinan Kranggan. Keterangan. Nomor 11 merupakan kelenteng Kwan Tee Kiong.

Salah satu ruko lama di Kranggan.
Beberapa bangunan bergaya Indis di Kranggan.
Rumah perpaduan langgam Indis dan Tionghoa di Ngabean.
Bangunan paling khas yang terdapat pada pecinan adalah Ruko. Latar belakang mereka sebagai pedagang menjadikan orang-orang Tionghoa untuk membangun rumah tinggal memadukan antara kegiatan bisnis yang berlangsung di lantai bawah bagian depan dan kegiatan domestik di lantai atau belakang rumah. Rumah tinggal merangkap toko tersebut dibangun saling berhimpitan dan tidak menyisakan ruang sehingga lingkungan pecinan menjadi lingkungan paling padat penduduknya di daerah perkotaan Jawa (Handinoto, 2012: 364). Ruko-ruko tersebut memiliki bentuk yang menyerupai rumah-rumah di Tiongkok selatan, tempat leluhur mereka berasal. Pemandangan ruko-ruko Tionghoa itu dapat disaksikan manakala berjalan di kampung Ketandan. Cobalah naik ke lantai tiga Pasar Beringharjo. Dari sini dapat dilihat atap-atap bergaya shan yang tampak saling menempel satu sama lain. Jumlah ruko Tionghoa tradisional yang tersisa di Yogyakarta mulai berkurang karena ramainya kegiatan usaha mendorong pemiliknya untuk mengganti bangunan lama dengan bangunan baru yang lebih besar dan dapat menampung kegiatan usaha lebih banyak daripada bangunan lama. Orang-orang awalnya Tionghoa dilarang membangun rumah bergaya Eropa. Sesudah terjadi perubahan politik di Hindia-Belanda pada awal abad 20, orang-orang Tionghoa mulai leluasa untuk mendirikan rumah tinggalnya dalam gaya apapun termasuk gaya Belanda. Oleh karena itu beberapa beberapa rumah Tionghoa memasukan elemen arsitektur Eropa seperti kolom besi yang ada di beranda depan atau mendirikan rumah dalam gaya Eropa sepenuhnya. Perubahana bentuk rumah di awal abad ke-20 menandakan mulai lunturnya diskriminasi rasial terhadap orang Tionghoa sekaligus menunjukan bahwa orang Tionghoa ingin sejajar kedudukannya dengan orang Eropa mengingat saat itu masyarakat Tionghoa kedudukan sosialnya setingkat di bawah masyarakat Eropa (Pratiwo, 2010;283).
The Phoenix Hotel, menempati bekas rumah Kwik Djoen Eng.
Villa Kwik Djoen Eng di masa lalu.

Hiasan-hiasan bergaya Art Nouveau.
Dengan sifat hemat dan giat bekerja, maka wajarlah jika orang Tionghoa mampu menghimpun kekayaan besar yang mengagumkan. Tidak mengherankan jika di masa kolonial mereka mampu mendirikan rumah yang keindahannya bahkan melampaui rumah orang Eropa (Stroomberg, 1918; 61). Di Yogyakarta, contoh rumah tersebut masih terpelihara dengan baik dan dapat disaksikan saat melenggang di Jalan Jend. Sudirman. Di jalan tersebut, terdapat bangunan lama yang saat ini dimanfaatkan sebagai "The Phoenix Hotel", hotel mewah yang sudah eksis sejak tahun 1993. Bila ditarik lebih jauh, bangunan tersebut aslinya adalah rumah yang dibangun pada tahun 1918 oleh seorang Tionghoa kaya bernama Kwik Djoen Eng. Ia yang berasal dari Taiwan merantau ke Hindia-Belanda pada tahun 1870an. Bersama keempat saudaranya, ia mendirikan badan usaha "N.V. Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij" atau KHT pada tahun 1894. Pada tahun permulaannya, KHT menjalankan usaha impor teh dari Taiwan dan akhirnya menjadikan gula sebagai komoditas dagang utamanya. Boleh dibilang KHT adalah saingan bisnis raja gula Oei Tiong Ham. Dibandingkan usaha milik orang Tionghoa lainnya, KHT menjalankan roda perusahaan layaknya orang barat dengan menjual saham dan membuat kontrak dengan bank. KHT kemudian menjadi sumber kemakmuran Kwik Djoen Eng. Pada tahun 1905, Djoen Eng beserta saudaranya memperoleh paspor Jepang dan penduduk Jepang saat itu disetarakan statusnya dengan penduduk Eropa sehingga otomatis Djoen Eng juga menyandan status yang sejajar dengan orang Eropa. Maka dari itu, Djoen Eng mendapat keistimewaan untuk memiliki hunian di luar Pecinan dan hal tersebut dimanfaatkan olehnya saat mendirikan rumah indah di Gondalayu pada tahun 1918. Gondolayu saat itu adalah daerah pinggiran yang masih longgar namun strategis karena dilalui oleh jalan penghubung Yogyakarta dengan Surakarta. Ragam pernak-pernik mulai dari kaca patri berlanggam art nouveau, hiasan porselen yang membalur di dinding, hingga hiasan tepi atap berbentuk tetes air menunjukan betapa kayanya si empunya rumah di masa silam. Sayang, Djoen Eng tak lama tinggal di rumah itu. Pada tahun 1930, dunia dirundung dengan krisis ekonomi besar. Guncangan krisis tersebut meluluhlantakan KHT yang sudah menunjukan tanda-tanda kegoyahan setelah keempat saudaranya menjauhi Djoen Eng karena keuntungan KHT menumpuk di Djoen Eng saja. KHT lalu gulung tikar dan Djoen Eng meninggalkan Hindia-Belanda menuju Tiongkok pada tahun 1933. Ia meninggal di sana pada tahun 1935 (Post, 2002: 286). Sebelum meninggalkan Hindia-Belanda, aset-aset berharga Djoen Eng seperti rumah yang ia bangun dijual kepada Liem Djoen Hwat yang kebetulan tinggal persis di seberang kediaman Kwik Djoen Eng. Oleh Liem Djoen Hwat, rumah itu disewakan kepada pengusaha Belanda bernama D.N.E Franckle yang memanfaatkan rumah itu sebagai hotel yang diberi nama "The Splendid Hotel". Hotel tersebut berganti nama menjadi Hotel Yamato saat masa pendudukan Jepang. Penyematan nama Yamato ini hanya bertahan hingga hengkangnya Jepang pada tahun 1945. Ketika ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, bangunan tersebut digunakan sebagai Konsulat Republik Rakyat Tiongkok hingga tahun 1951. Sesudah itu bangunan tersebut kembali digunakan menjadi hotel dengan beberapa kali pergantian nama.

Klenteng Kwan Tee Kiong, Kranggan.
Vihara Buddha Prabha atau lebih dikenal sebagai Kelenteng Gondomanan.
Selain rumah tinggal, penanda utama komunitas Tionghoa paling utama di suatu tempat tentu saja adalah kelenteng. Pada dasarnya, walau berada di tanah perantauan, mereka masih membawa kepercayaan dan adat dari tanah moyangnya. Karenanya orang-orang Tionghoa di Yogyakarta mendirikan kelenteng sebagai tempat ibadah mereka, yakni kelenteng Kwan Tee Kiong (atau Tjen Ling Kiong) di Kranggan dan kelenteng Hok Tik Bio di Gondomanan. Bentuk dua kelenteng ini nyaris sepadan. Hal yang membedakan hanyalah ukuran dan pernak-perniknya saja. Cobalah melongok ke dalam kelenteng ini, di sana akan terjumpai keindahan ukiran kayu yang menunjukan betapa terampilnya orang Tionghoa sebagai pengrajin kayu. Kelenteng Tjen Ling Kiong dibangun pada 1883 di atas sebidang tanah anugerah dari Sultan Hamengkubuwono VII. Sedangkan bangunan kelenteng Hok Tik Bio baru didirikan pada tahun 1900 dan sebagaimana kelenteng Tjen Ling Kiong, tanah kelenteng ini berdiri merupakan hasil murah hati Sultan Hamengkubuwono VII kepada masyarakat Tionghoa. Pemberian tanah kepada dua kelenteng tadi menunjukan bahwa  antara Kraton Yogyakarta dengan golongan Tionghoa sudah terjalin hubungan yang sangat baik (Inajati. dkk, 2009: 189-190).

Sisa-sisa bong di kampung Cokrokusuman.
Setiap ada jejak permukiman Tionghoa di suatu tempat, pasti akan diikuti dengan jejak lain berupa kompleks permakaman Tionghoa atau orang sini menyebutnya sebagai bong. Karena kebudayaan Tionghoa yang mempercayai bahwa lokasi bong yang baik berada di dekat aliran air, maka tepi Sungai Code atau Sungai Winongo menjadi pilihan tempat orang-orang Tionghoa di Yogyakarta memakamkan sanak keluarga mereka yang telah tiada. Pendirian makam Tionghoa direncanakan secara matang sesuai dengan arahan ahli fengshui. Lokasi makam yang bagus berada di tanah landai dan dekat dengan aliran. Mereka percaya jika fengshui makam yang bagus dapat mendatangkan berkah bagi keturunannya (Husain, 2006: 326). Daerah tepi sungai yang dulu pernah menjadi bong meliputi Terban, Cokrokusuman, Sendawa dan Badran. Waktu terus berputar, banyak bong yang akhirnya terdesak oleh permukiman dan akhirnya beralih rupa menjadi daerah perkampungan. Hari ini, bekas-bekas bong itu masih terselip diantara perumahan penduduk yang saling berjejalan. Ada yang menjadi pajangan di halaman rumah penduduk, ada pula yang berakhir menjadi alas jalan. Tidak jarang ada makam yang masih tertinggal di sana. Pernah suatu hari penulis menjelajahi bekas bong di kampung Sendawa. Di sana penulis mendapat keterangan dari warga bahwa ketika mereka menggali tanah dengan maksud membikin pondasi rumah, mereka menemukan peti mati kembang cengkih ; peti mati yang jamak dipakai oleh orang Tionghoa zaman dahulu.
Tampak kediaman R.M.E. Raaff sebelum dibeli oleh Societeit "Hwa Kiauw"
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Soceiteit "Hwa Kiau" yang kini menjadi bagian dari Museum Sonobudoyo.
Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta memiliki perkumpulan yang dikenal sebagai Soceiteit "Hwa Kiau". Perkumpulan tersebut secara resmi berbadan hukum pada tahun 1928. Pada awalnya perkumpulan tersebut memiliki tempat pertemuan di Kampementstraat. Seiring jumlah anggota yang terus bertambah, tempat pertemuan tersebut mulai tidak muat menampung anggota. 
Pada tahun 1931, Societeit "Hwa Kiauw" membeli sebuah rumah di Kadasterstraat sebagai tempat pertemuan yang baru. Rumah tersebut dulunya adalah tempat tinggal R.M.E Raaff yang keluarganya pernah memiliki PG Rewulu (Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie, 28 Juli 1931). Bagian depan bangunan mengalami sedikit perubahan menyesuaikan fungsi barunya sebagai tempat pertemuan sementara bangunan kecil di samping kanan dan kirinya digunakan sebagai klinik kesehatan yang terbuka untuk seluruh golongan masyarakat.

Prasasti persembahan dari kelompok masyarakat Tionghoa kepada Sultan Hamengkubuwono IX.
Masih ada jejak Tionghoa lain yang patut untuk disingkap. Letaknya kali ini tidak di kawasan pecinan, melainkan berada di dalam lingkungan keraton Kasultanan. Persisnya di sebelah timur bangsal Trajumas. Prasasti ini adalah proyeksi nyata kerukunan orang Tionghoa dengan orang pribumi yang mampu melalui dari masa ke masa. Sepanjang orang Tionghoa hidup bersama orang pribumi di Yogyakarta, tiada perselisihan yang berarti. Keadaan yang dirasakan itulah yang melandasi orang Tionghoa untuk membuat prasasti ini sebagai ungkapan terima kasih mereka kepada Sultan Yogyakarta yang sudah berjasa memelihara kerukunan kelompok etnis di Yogyakarta. Prasasti dwibahasa (Mandarin dan Jawa) ini sedianya akan diserahkan saat hari penobatan Sultan Hamengkubuwono IX pada 18 Maret 1940, namun karena situasi yang tidak memungkinkan, prasasti itu untuk sementara waktu disimpan di rumah tuan Liem Ing Hwie (yang kini menjadi Rumah Phonix). Baru pada tahun 1952 prasasti ini diserahkan kepada Sultan Hamengkubuwono IX.

Menapaki masa Orde Baru, ruh semangat kebudayaan Tionghoa di Yogyakarta mengamali masa koma. Banyak orang Tionghoa yang terpaksa menanggalkan adat dan agama leluhurnya agar dapat bertahan hidup di era Orde Baru yang dikenal alergi dengan segala hal yang berbau Tionghoa. Sejalan dengan hal itu, banyak rumah-rumah kuno bercorak Tionghoa di Ketandan yang terbabat habis, begitu pula keadaanya di Kranggan dan di tempat lain. Beruntunglah bahwa masih ada segelintir jejak Tionghoa yang masih dapat dijumpai hari ini. Jejak-jejak itu seakan menjadi bukti bahwa Yogyakarta seyogyanya adalah tempat yang nyaman, dimana beragam suku bangsa dapat berbaur dalam suasana yang harmonis dan toleran.

Referensi
Andrisjantiromli, Inajati dkk. 2009. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.
Groneman, I. 1909. Reisigids voor Jogjakarta en Omstreken. Semarang : Drukkerij en Boekhandel Benjamin.
Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu.
Husain, Sarkawi. B. 2006. "Chinese Cemeteries as a Symbol of Sacred Space" dalam Colembijn, Freek dan  Cote, Joost. Cars, Conduit, and Kampongs. Halaman 323- 339. Leiden: Brill.
Post, Peter. 2002. "The Kwik Hoo Tong Trading Society of Semarang, Java: A Chinese Business Network in Late Colonial Asia" dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 33, No. 2 (Jun., 2002), halaman 279-296. Singapore : Cambridge University Press.
Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Stroomberg, J. 2018. Hindia-Belanda 1930. Yogyakarta : Penerbit IRCISoD
van Bruggen, M.P dan R.P Wassing. 1998. Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden. Amsterdam; Asia Maior.

Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie, 28 Juli 1931