Minggu, 19 Februari 2017

Stasiun Bringin, Sengsara Sebuah Stasiun Tua

Sengsara telah lama mendera stasiun yang berada di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang itu. Hentakan musik dangdut yang sayup-sayup terdengar dari sebuah kios pedagang VCD, tak mengurangi suasana sunyi Stasiun Bringin. Di tengah kesunyiannya, saya mencoba mengingat kembali sejarah stasiun ini, kala kereta masih melintas stasiun ini.
Ingatan saya melangkah ke masa lampau, masa dimana kebijakan cultuurstelsel mulai berjalan di pertengahan abad ke-19. Lewat kebijakan cultuurstelsel, lahan-lahan dibuka untuk perkebunan yang menghasilkan berbagai tanaman komoditas ekspor seperti tebu, teh, tembakau, kopi, nila, karet, dan lain-lain. Sayangnya, gairah dunia agrobisnis milik Belanda tadi belum didukung dengan sarana pengangkutan yang layak. Saat itu, sarana pengangkutan masih mengandalkan tenaga manusia atau hewan yang terbilang lambat dan tidak dapat memuat banyak barang. Belum lagi kondisi jalan yang sebagian besar masih berupa jalan tanah yang sulit dilalui di musim hujan. Tentu saja hal tersebut merugikan pemilik perkebunan. Guna memperlancar arus pengangkutan hasil perkebunan, pemerintah kolonial memberi konsesi kepada perusahaan kereta swasta Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij  untuk membangun jaringan jalan kereta api. Jalur kereta pertama kali dibangun dari Semarang ke Tanggung, Grobogan pada tahun 1867. Selanjutnya pembangunan diteruskan sampai wilayah Vorstenlanden, sebutan wilayah yang saat ini mencakup Yogyakarta dan Surakarta.
Peta Bringin dari tahun 1909 (sumber : maps.library.leiden.edu).
Jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden baru menginjak usia 6 tahun, namun keberadaanya sudah disambut antusias sehingga jalur yang ada mulai padat. Melihat hal itu, Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij  berencana membuka jalur percabangan kereta ke Vorstenlanden dengan mengambil jalan lewat Ambarawa (Maulana, 2012;  87). Selain alasan tersebut, di wilayah ini juga terdapat banyak perkebunan kopi sehingga keuntungan yang diraih akan melimpah dari usaha pengangkutan hasil perkebunan tadi. Maka dari itu, NIS membuka jalur kereta Kedungjati-Ambarawa pada tahun 1871. Beberapa stasiun dibangun di antara ruas Kedungjati-Ambarawa seperti Tempuran, Gogodalem, Bringin, dan Tuntang untuk tempat transit kereta. Pada 4 April 1871, Raja Chulalongkorn dari Kerajaan Siam meninjau pembangunan jalur tersebut. Selain dibangun jalur kereta didirikan pula kabel telegraf sebagai sarana komunikasi antar stasiun (Java Bode, 18 Februari 1873). 
Keberadaan perkebunan kopi milik “Landbouw Maatschappij Getas” ( Anonim, 1914; 62 ) mungkin menjadi alasan dibangunnya stasiun kereta di Bringin. Selain itu, terdapat sebuah pasar yang letaknya dekat dengan stasiun sehingga. Stasiun Bringin kemungkinan besar mulai beroperasi sejak tanggal 21 Mei 1873 bersamaan dengan dibukanya jalur kereta api Kedungjati-Ambarawa. Keberadaan stasiun ini cukup membantu mobilitas masyarakat Bringin mengingat letak Bringin cukup jauh dari jalan utama antar kota. Stasiun ini juga meningkatkan geliat Pasar Bringin karena semakin banyak barang dagangan yang dapat diangkut dan diturunkan di stasiun ini. Selain dibangun untuk mendukug perekonomian setempat, Stasiun Bringin juga berfungsi sebagai stasiun persinggungan kereta karena saat itu lintas Kedungjati-Ambarawa hanya memiliki satu lajur saja. Keberadaan stasiun Bringin disambut antusias oleh masyarakat Salatiga yang kotanya tidak dilalui jalur kereta. Masyarakat yang hendak menggunakan kereta dapat naik dari Stasiun Bringin atau stasiun Tuntang. Oleh karena itu dibuka trayek bis Salatiga-Bringin dan Salatiga-Tuntang pada 1 Agustus 1918 sebagai layanan antar jemput penumpang. Melihat potensi tersebut, Dewan Direksi N.I.S di Den Haag pada tahun 1922 menyetujui rencana jalur kereta sambungan Bringin-Salatiga. Dari sana akan dioperasikan kereta ekspres pagi-sore dari Salatiga ke Semarang dan sebaliknya (Preanger Bode, 13 Januari 1922). Di belakang hari, rencana tersebut urung dilaksanakan. Memasuki tahun 1970an, kejayaan transportasi kereta perlahan mulai terkikis oleh transportasi lain seperti bus dan truk yang lebih praktis. Jalur yang sudah susah-susah dibangun Belanda itu pada akhirnya dimatikan begitu saja oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1976.
Denah Stasiun Bringin.
Habis manis, sepah dibuang. Seperti itulah ungkapan yang sekiranya menjadi gambaran kondisi Stasiun Bringin saat ini. Bangunan Stasiun tampak dicampakan begitu saja oleh empunya setelah ia melayani penumpang selama puluhan tahun lamanya. Dengan awan mendung yang menggantung di langit, Stasiun Bringin pada hari itu terlihat suram. Daun pintu dan jendela sudah raib. Sementara bagian jendela, pintu, dan loket terlihat sengaja ditutup dengan dinding bata untuk dijadikan sarang walet. Entah siapa pelaku yang bertanggung jawab atas hal ini. Sebelum tahun 2014 keadaan Stasiun Bringin bahkan lebih parah dibanding saat ini dimana bangunan-bangunan liar berkerumun di sekitar stasiun. Karena lama tak terurus, Stasiun Bringin terkesan seperti bangunan angker. Namun bagi saya, nilai keangkeran tadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai sejarah, arsitektur dan arkeologis yang terdapat pada bangunan ini. Lagipula, mengeksploitasi hal-hal gaib bagi saya sendiri adalah hal yang tidak etis.
Bagian dalam Stasiun Bringin.
Bekas lubang tiket.
Rasa iba terbangun di hati ketika saya masuk ke dalam bangunan stasiun. Kotor, gelap dan bau, itulah kesan pertama saya ketika berada di dalam. Hal ini tentu berbanding terbalik ketika stasiun ini masih aktif, dimana pada waktu itu masih terdapat jendela dan pintu tinggi yang membuat udara dan cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan sehingga ruangan terasa terang dan sejuk. Namun karena bagian pintu dan jendela ditutup untuk sarang walet, maka kondisinya sekarang menjadi gelap dan pengap.
Perbandingan bentuk Stasiun Tuntang dan Stasiun Bringin.
Dari segi arsitektur, layout bangunan stasiun Bringin hampir mirip dengan stasiun Tuntang yang masih berada di jalur Kedungjati-Ambarawa. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan pada detail bangunan misalnya atap stasiun Tuntang berbentuk atap pelana, sementara atap dari stasiun Bringin berbentuk atap perisai. Inilah salah satu ciri khas stasiun dari zaman Belanda, yakni terdapat persamaan pada layout denah dan komposisi stasiun namun detail setiap bangunan stasiun dibuat berbeda satu sama lain. Bangunan Stasiun Bringin yang saya lihat sekarang merupakan buah dari perombakan yang dilakukan N.I.S pada tahun 1902 untuk menggantikan bangunan lama yang menua (De Locomotief, 24 September 1902). Perombakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan menarik perhatian penumpang. Bangunan stasiun baru dibuat dengan filosofi yang diarahkan oleh perusahaan NIS, yakni bangunan tidak perlu monumental tapi juga tidak boleh terlihat buruk.
Konstruksi bata.
Kondisi bangunan ini memang sudah tidak karuan namun di situlah saya justru bisa mengupas konstruksi bangunan stasiun yang sebelumnya tidak terlihat. Misalnya dari tembok yang roboh, kita dapat mengetahui bahwa bangunan ini dibuat dengan batu-bata yang disusun dengan pola irregular bond. Pada pola ini, satu lapis dinding dibuat dengan dua lapis batu bata, sehingga dinding terlihat kuat dan tebal (Davis dan Jokkiniemi, 2008;462). Oleh karena itulah meski pada masa itu teknologi beton bertulang belum ditemukan, bangunan stasiun ini mampu berdiri dalam jangka waktu lama karena bangunan stasiun mengandalkan dinding tebal sebagai konstruksi utama. Konstruksi seperti ini sering digunakan pada bangunan-bangunan masa kolonial
Bekas sinyal "Alkmaar"
Lantai stasiun.
Peron stasiun.
Stasiun Bringin memiliki dua beranda, yakni beranda depan tempat para penumpang membeli tiket dan beranda belakang sebagai peron atau tempat penumpang menunggu kereta. Di bagian peron, masih terlihat barisan tiang kayu penyangga atap stasiun yang antik. Meski kondisi bangunan stasiun sudah rusak parah, namun untungnya saya masih bisa menjumpai lantai tegel kotak-kotak khas stasiun. Selain itu, terdapat salah satu artifak sejarah perkeretaapian, yakni alat pengatur sinyal merk “Alkmaar”. Peron Stasiun Bringin dapat dibilang lumayan besar untuk ukuran sebuah stasiun yang berada di lokasi yang terpencil. Ah, bayangan saya sejenak kembali di masa ketika Stasiun Bringin masih aktif, masa dimana peron yang sekarang sepi ini ramai akan para penumpang yang sebagian besar adalah pedagang pasar Bringin. Apalagi di musim mudik lebaran, stasiun ini tentu akan ramai dengan kedatangan para perantau untuk bersilahturami dengan keluarga mereka yang tinggal di desa.
Bekas menara air. Perhatikan dinding bangunan yang berwarna putih karena bangunan ini dibuat dari batu kapur.
Bekas pipa air.
Bekas gudang stasiun.
Di sebelah barat empalsemen stasiun, saya menjumpai bangunan kecil yang dimaksudkan sebagai menara air. Di masa ketika lokomotif masih mengandalkan tenaga uap, air adalah komponen yang penting. Tiada air, kereta tak mau jalan. Sumber air di Stasiun Bringin berasal dari sumur yang terdapat di bawah menara air. Air kemudian ditampung di bak di dalam menara air. Selanjutnya air disalurkan ke dalam ketel lokomotif melalui pipa air. Tak jauh dari menara air, terdapat gudang stasiun tempat penyimpanan hasil-hasil perkebunan seperti kopi dan karet yang berasal dari perkebunan sekitar Bringin.
Rumah dinas Stasiun Bringin.
Beranjak ke sebelah timur stasiun, terdapat sebuah rumah tua yang juga sama terabaikannya dengan Stasiun Bringin. Untunglah jendela krepyak dari rumah ini masih berada di tempatnya. Dari segi arsitektur, rumah yang dulu dihuni pegawai stasiun itu menggunakan gaya arsitektur chalet yang  ditandai dengan keberadaan lisplang kayu bergerigi pada bagian atap pelana depan. Aslinya, rumah ini memiliki beranda depan, namun beranda depan ini ditutup untuk sarang walet. Yang menarik adalah bentuk rumah dinas ini mirip dengan rumah dinas Stasiun Tuntang. Arah hadapnya juga sama, yakni menghadap ke barat.
Jalur ke arah Ambarawa.
Sekitar akhir tahun 2014, jalur rel Kedungjati-Ambarawa yang lama mati akan dihidupkan kembali. Sisa-sisa rel yang masih ada kemudian dicopot. Namun entah kenapa rencana tadi terkesan tertatih di tengah jalan sebelum akhirnya berhenti sama sekali. Bantalan rel yang sudah dipersiapkanpun kini menumpuk dan menganggur di jalur yang sudah dibersihkan.

Meninggalkan Stasiun Bringin, hanya ada rasa penyesalan di hati saya. Bangunan stasiun yang dulu begitu elok, kini menghabiskan hari tuanya dalam suasana pilu seraya pasrah pada sang Penentu Nasib. Sengsara Stasiun Bringin di masa sekarang tidak terlepas dari dosa yang dibuat oleh generasi sebelum kita yang tidak memiliki kesadaran untuk melestarikan peninggalan sejarah dan lebih mementingkan nilai ekonomi praktis saja. Kini, untuk merehab bangunan Stasiun Bringin, dibutuhkan biaya yang cukup besar. Sekalipun itu sudah berhasil direhab, nilai otentitas dari bangunan stasiun ini juga sudah berkurang. Maka ada benarnya juga ungkapan “kehilangan sebuah warisan sejarah bukan generasi sekarang yang merasakan dampaknya tapi generasi selanjuntnyalah yang akan merasakan dampaknya”. Akankah ia di masa depan akan bernasib baik atau tetap didera sengsara seperti sekarang ? Biarlah waktu yang menjawab.

Referensi
Anonim. 1914. Lijst van Ondernemingen in Nederlandsch Indie. Batavia ; Landsdrukkerij.

Davis, Nikkolas dan Jokinemi, Erkki. 2008. Dictionary of Architecture and Building Construction. Oxford : Architectural Press.

Maulana, Caesar Bayu. 2012. Latar Belakang Pembangunan dan Perkembangan Jalur Kereta Api Nederlandsh Indisch Spoorweg Maatschappij Yogyakarta-Ambarawa 1898-1942 (Kajian Ekonomi Sosial dan Politik). Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Tim Penyusun. 2014. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

De Locomotief, 24 September 1902

9 komentar:

  1. Terima kasih atas tulisan yang merekam jejak sejarah perkereta-apian jaman dahulu.
    Sangat informatif dan bermanfaat.

    BalasHapus
  2. dapat dibayangkan bagaimana keadaan stasiun Bringin di masa jayanya tapi sedih liat stasiun Bringin sekarang

    BalasHapus
  3. artikelnya bagus, pembaca dapat mengetahui sajarah berdirinya Stasiun Bringin
    mungkin bisa ditambah dengan "dampak positif dan negatif dari perencanaan pengaktifan Stasiun Kereta Api" baik saat ini ataupun beberapa tahun yang akan datang.
    dan untuk artikelnya mungkin untuk setiap sumber refrensi ditambah footnote agar pembaca tau mengenai sumber karangan(berkaitan dengan tahun dan ataupun hal yang penting) yang dibuat, apalagi berkenaan dengan sejarah.
    karena kemungkinan besar 30%dikalangan siswa ataupun mahasiswa yang suka dengan internet dalam pengerjaan tugas ataupun makalah, akan mencari artikel yang tentunya sumbernya akurat.

    BalasHapus
  4. Sedikit cerita dari ibu saya waktu jaman kecil, kebetulan ibu saya termasuk pelaku sejarah betapa sibuknya stasiun bringin saat itu, ibu saya yg asli bringin lahir tahun 63, dan ibu sering cerita dulu waktu kecil, ibu jam 02.00 pagi selalu berjualan kayu bakar didepan stasiun Bringin yg kala itu masih beroperasi, kayu bakar dicari pada sore harinya di kebon karet yg banyak di sekitar daerah bringin, jam 2 pagi kesibukan stasiun sudah terasa pada kala itu, dan dari keramaian stasiun tsb ibu saya mengais rejeki jualan kayu bakar untuk biaya sekolah, pada masa itu ibu cerita, setiap kereta datang dari arah tuntang maupun gogodalem selalu ramai karena stasiun bringin dekat dengan pasar dan memang pada saat itu tidak ada angkutan darat lain selain kereta, dari berjualan kayu bakar di stasiun bringin itulah ibu bisa sekolah dan membantu nenek kakek untuk keperluan biaya hidup

    BalasHapus