Jumat, 24 Maret 2017

Pesona Pecinan Parakan, ‘Tiongkok’ Kecil di Kaki Gunung Sindoro

Pecinan Parakan memang tidak seramai Pecinan Semarang ataupun setenar Pecinan Lasem. Namun Pecinan kecil terhampar di kaki Gunun Sindoro itu menyimpan jejak peninggalan komuntias Tionghoa di masa lampau yang menarik untuk dikuliti. Inilah tulisan saya di Jejak Kolonial mengenai pesona pecinan Parakan.
Lokasi peninggalan sejarah utama di Parakan. Keterangan : 1. Rumah Gambiran; 2. Rumah Bpk. Go Kim Young; 3. Stasiun Parakan; 4. Eks Rumah Controleur Parakan. 5;. Klenteng Parakan.
Di Klenteng Hok Tek Tong, Parakan, saya menemui The Han Thong, pengurus klenteng Hok Tek Tong yang telah mengabdi selama lebih dari dua puluh tahun, dengan maksud untuk menggali lebih jauh sejarah kehadiran komuntias Tionghoa di Parakan. Sembari menyesap asap tembaku dari pipa hisapnya, pria berjanggut panjang itu mulai menuturkan sejarah kedatangan orang Tionghoa ke Parakan.
Peta Parakan pada tahun 1907. Perhatikan persebaran lokasi pemukiman Tionghoa ( arsir hitam ) yang memanjang dari jalan utama Wonosobo-Temanggun dan Parakan-Weleri. Selain tinggal di sepanjang jalan utama, pemukiman Tionghoa juga dapat ditemukan pada jalan-jalan kecil. Selain itu, amati pula bahwa jalan utama Parakan-Temanggung masih berada di sebelah timur  dari jalan sekarang, lewat sebuah jembatan yang berada di belakang Restoran Sari Ayam sekarang
( sumber : maps.library.leiden.edu).
Bekas rumah controleur Parakan.
“Cerita ini saya dapatkan dari orang tua zaman dahulu“ buka The Han Tong. “Setahu mereka, orang-orang Tionghoa di Parakan merupakan para pelarian dari Jana, sebuah desa kecil di Purworejo ”, tuturnya. “ Kala itu, sekitar abad ke-18, para pemukim Tionghoa yang merupakan pelarian dari peristiwa Geger Pecinan di Batavia, memilih tinggal di sana karena jauh dari jangkauan kompeni. Di sana mereka hidup sukses dengan menjadi petani, pengrajin kain tenun dan benang, namun entah apa alasannya, muncul bandit-bandit yang kerap membuat resah penduduk Tionghoa. Lama kelamaan, mereka tidak betah dan memilih pindah ke sini. “, papar The Han Tong sambil menyuguhkan saya secangkir kopi Temanggung yang baru saja diseduhnya. The Han Tong melanjutkan, dari Jana, mereka membawa Toapekongnya melalui Bruno dan Wonosobo. Setiba di Kertek, mereka berpisah jalur. Ada yang Magelang, ada pula menuju Parakan. “Kemudian di kala Perang Jawa pecah, orang-orang Tionghoa dari Kedu, Banyumas, dan Semarang berbondong-bondong mengungsi ke Parakan “, ujarnya. Ya, Parakan sepertinya memberikan harapan dan perlindungan bagi para pelarian ini… 
Peta Parakan pada tahun 1940. Perhatikan akses jalan utama Parakan-Temanggung yang sudah dipindah ke lokasi sekarang yang berada kira-kira tiga ratus meter dari jalan sebelumnya ( sumber : maps.texas.lib.edu ).
Kurang lebih seperti itulah sejarah kehadiran komunitas Tionghoa di Parakan yang masih remang-remang, seremang altar utama kelenteng Hok Tek Tong. Selain cerita turun temurun dan makam tertua di Gunung Manden yang bersengkalan 1821, tiada data lain mengenai hal tersebut. Selain berbagi cerita ikhwal sejarah Parakan, The Han Thong juga bertutur seputar tradisi Tionghoa yang mungkin sudah banyak dilupakan orang. Salah satu yang menarik perhatian saya ialah tradisi siu-pan, yakni memberikan hadiah peti mati kepada orang tua yang telah berusia lebih dari 60 tahun. Mungkin bagi orang zaman sekarang, tindakan tersebut bakal dipandang sebagai hal yang kurang ajar karena dianggap mengharapkan orang tua agar cepat mati. Namun sebenarnya, kata peti mati dalam bahasa Tionghoa juga berarti papan panjang umur. Sehingga pemberian peti mati ini sesungguhnya merupakan doa agar orang tua diberi umur panjang. 
Suasana jalanan di Parakan dengan Gunung Sumbing di kejauhan.
Sayapun kemudian beranjak sebentar ke halaman kelenteng yang terletak tepat di pertigaan jalan itu. Letaknya yang menghadap pertigaan diyakini dapat menangkal energi jahat. Dari halaman kelenteng, terlihat panorama Gunung Sindoro yang menjulang begitu agungnya. Gunung itu, bersama Gunung Sumbing, menganugerahi Parakan dengan hamparan endapan tanah vulkanis yang subur. Kesuburan itu memikat orang-orang untuk bermukim di situ. Situs Liyangan menjadi bukti bahwa manusia telah mengolah tanah di situ sejak berabad-abad silam. Para pendatang Tionghoa yang berdiam di Parakan juga mendapatkan berkah dari tanah subur tersebut. Mereka tanami tanah tersebut dengan tembakau dan daun-daun tembakau itulah, mereka mencapai kemakmurannya di sini. Bukti kemakmuran mereka terlihat dari megahnya rumah-rumah mereka yang tersembunyi di balik pagar tembok tinggi yang salah satunya hendak saya sambangi.
Klenteng Hok Tek Tong dilihat dari dalam. Terlihat shi zi atau sepasang singa batu yang terdapat di muka klenteng. Hewan singa bukanlah hewan asli Tiongkok dan tampaknya hewan ini mulai dikenal di Tiongkok setelah adanya hubungan dagang antara negeri Tiongkok dengan bangsa-bangsa di Asia Barat.
Dari luar, kelenteng itu amatlah kecil. Sekalipun kecil, ia memiliki arti sejarah yang besar karena ia merupakan kelenteng tertua di Karesidenan Kedu. Ia diperkirakan dibangun tahun 1830. Letaknya sengaja dipilih menghadap pertigaan karena penduduk Tionghoa percaya bahwa Dewa Bumi akan melindungi mereka dari marabahaya. Lalu pada tahun 1844, oleh letnan Tionghoa Parakan bernama Lie Tiauw Pik, kelenteng itu dipermegah. Orang-orang lokal rupanya juga terlibat dalam pembangunannya. Di masa penjajahan Jepang, aktivitas kelenteng ini sempat tiarap. Akhirnya kelenteng ini dapat bangkit kembali setelah Jepang angkat kaki (sumber : http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2545-hikayat-berdirinya-kelenteng-hok-tek-tong-parakan).  
Bagian dalam klenteng.
Halaman kelenteng itu amatlah luas, tanda bahwa aktivitas kelenteng amatlah ramai dan padat di masa silam. Menurut Ardian Cangianto (2013), kelenteng tak sekedar sebagai tempat peribadatan saja, namun ia juga merupakan pusat segala kegiatan sosial masyarakat Tionghoa, mulai dari tempat pertemuan, tempat belajar, rumah jompo, panti asuhan, hingga pos pertahanan. Namun seiring dengan kehidupan masyarakat Tionghoa yang mendapat perlakuan negatif di masa Orde Baru, aktivitas tersebut kini mulai berkurang dan hanya aktivitas beribadah saja yang tampak menonjol.
Rumah Gambiran.
Saya selanjutnya diantar oleh The Han Tong ke sebuah rumah tua yang masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Rumah Gambiran. Disebut demikian karena rumah itu adalah bekas kediaman seorang saudagar gambir bernama Siek Oen Soei. Muasal usaha gambir Siek Oen Soei dapat ditelusuri dari moyangnya bernama Siek Hwie Soe, yang merantau dari Tiongkok ke Parakan pada tahun 1821. Di Parakan, ia bekerja membantu Loe Tjiat Djie dalam usaha buah gambir yang pada masa itu digunakan sebagai pewarna pakaian. Majikannya kemudian mengangkat Siek Hwie Soe sebagai menantu dan Loe Tjiat Djie mewariskan bisnis gambirnya kepada Siek Hwie Soe. Lama di tanah rantau membuat Siek Hwie Soe rindu dengan kampung halaman sehingga ia mudik ke Tiongkok pada 1840an. Saat Siek Hwie Soe kembali lagi ke Parakan dan mengajak anggota keluarga yang lain untuk merantau bersamanya. Berkat kepiawaiannya, usaha gambir ini berjalan mulus. Keluarga Siek lalu mendirikan sebuah firma bernama “Hoo Tong Kiem Kie” dan sayap usahanya merentang hingga ke Semarang. Nama “Hoo Tong“ sendiri merujuk pada nama kampung asal leluhur keluarga Siek di negeri Tiongkok. Siek Hwie Soe meninggal pada 1882 dan firma tersebut dipecah menjadi dua, yakni "Hoo Tong Seng Kie" di Semarang yang dipegang oleh putra Siek Hwie Soe bernama Siek Tjin Lion dan "Hoo Tong Kiem Kie" di Parakan yang dipegang oleh Siek Tiauw Kie, keponakan Siek Hwie Soe. Siek Tiauw Kie memiliki beberapa istri dan dikaruniai tiga anak, Siek Kiem Tan, Siek Oen Soei, dan Siek Kiem Ing. Sepeninggal Siek Tiauw Kie yang meninggal saat kepulangannya dari Tiongkok pada tahun 1890an, bisnis keluarga diteruskan oleh Siek Oen Soei semakin tumbuh besar dengan terjunnya mereka ke perdagangan beras dan tembakau. Siek Oen Soei meninggal pada tahun 1948 dan Rumah Gambiran diwariskan kepada putranya, Siek Bien Bie. Mengingat kacaunya keamanan daerah pada awal kemerdekaan, maka keluarga Siek banyak yang pindah ke Batavia.
Beranda depan.
Ruang depan.
Ketika berjumpa pertama kali dengan rumah itu segera saja dibuat terkesima dengan pesona keindahan rumah itu. Hampir setiap sudutnya begitu memanjakan setiap mata yang memandangnya. Beranjak naik ke teras depan, sukma rumah itu masih terlihat hidup sekalipun ia tak dihuni lagi. Di beranda depan, terdapat sebuah kursi santai, tempat dimana sang saudagar melepas lelah sambil menyesap tembakau. Melangkah masuk ke dalam rumah, saya menjumpai sebuah partisi kayu yang tepat menghadap ke arah pintu utama. Partisi itu berfungsi sebagai pembatas antara ruang depan yang bersifat publik dengan ruang belakang yang berifat privat. Di depan partisi itu, pastilah dulunya ada sebuah altar leluhur. Sayapun membayangkan ada sedikit nuansa spiritual ketika di atas meja leluhur itu mengepul asap hio low yang aroma khasnya menyebar ke seisi ruangan. Kini, foto-foto atau pai dari keluarga yang telah tiada telah berganti dengan patung kecil dewa-dewi Buddha setelah pada tahun 2006, rumah itu dibeli oleh sebuah yayasan Buddha. Rumah itu kemudian direstorasi dan menjadi sebuah wihara tetirah (Knapp, 2010; 191-192). Di belakang partisi itu, saya menjumpai kamar tidur anggota keluarga utama dengan perabot kunonya. Beranjak ke belakang, terdapat sebuah beranda yang menghadap ke sebuah ruang terbuka. Terlihat sebuah meja batu yang dulu dipakai sebagai tempat bermain mahjong. Di samping kanan dan kiri bangunan utama, terdapat bangunan yang akan menginap pendamping yang dahulu ditempati oleh anggota keluarga yang sudah menikah namun belum memiliki tempat tinggal sendiri sehingga dapat dibayangkan betapa ramainya rumah ini di masa lalu. Selain untuk anggota keluarga, kamar-kamar di samping ini kadangkala diperuntukkan untuk tamu karena pada masa itu penginapan atau hotel masih belum dikenal di Parakan. Dalam pandangan Tionghoa, perbuatan memberi tumpangan untuk menginap merupakan perbuatan mulia.
Bagian kamar samping.
Beranda belakang rumah.
Menariknya, di belakang rumah ini, saya menemukan sebuah bangunan yang tampilannya sama sekali berbeda dengan rumah yang tadi saya masuki. Apabila rumah sebelumnya bercorak Tiongkok, maka bagian ini justru lebih bercorak Indis. Ketika saya masuk ke dalam rumah itu, saya serasa memasuki rumah seorang pembesar Belanda ketimbang rumah seorang saudagar Tionghoa. Tatanan bagian dalam rumah itu persis dengan tatanan sebuah rumah Indis; sebuah koridor di tengah yang diapit oleh dua kamar di samping kanan-kirinya serta memiliki beranda depan dan belakang yang ditopang oleh tiang. Rumah ini menghadap ke selatan dan pemandangan Gunung Sumbing dapat teramati dari sini. Untuk melindungi privasi si empunya rumah, maka terdapat tembok penghalang di depan bangunan ini. Menurut Knapp, rumah Indis di sisi selatan ini diperkirakan sudah ada lebih dulu sebelum dibangun rumah Tionghoa di sisi utaranya. Ia sengaja dibangun dalam gaya Indis yang notabene merupakan gaya yang banyak dijumpai pada rumah-rumah pembesar Belanda di Jawa sebagai usaha pemilik rumah mengikuti trend kalangan elit Belanda. Tatkala Siek Oen Soei pergi ke negeri leluhurnya di Tiongkok, jatidirinya sebagai seorang Tionghoa menguat kembali. Di Parakan, Siek Oen Soei mendirikan rumah di belakang rumah moyangnya dengan langgam yang serupa dengan rumah-rumah di negeri leluhurnya (Knapp, 2010 ; 194).
Beranda belakang rumah Indis.
Beranda depan rumah Indis.
Bagian dalam rumah Indis milik Sie Oen Soei.
Setelah puas mengagumi pesona rumah tadi, saya selanjutnya diajak oleh The Han Tong melihat sebuah rumah tua yang bersanding dengan Rumah Gambiran. Dinding pagar yang tinggi mengelilingi rumah itu, sehingga privasi di dalamnya menjadi terlindungi. Sebuah gerbang kayu menjadi pintu penghubung rumah itu dengan dunia luar. The Han Thong mengetuk pintu itu. Tak menunggu lama, pintu itupun kemudian dibukakan dari dalam oleh seorang pemuda yang mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam. Betapa asri dan hijaunya halaman depan rumah itu. Namun mata saya menangkap sesuatu yang janggal di halaman itu. Di halaman itu, saya melihat sebuah bekas alat latihan kebugaran yang tampaknya sudah berusia tua. Sayapun bertanya ke The Han Tong, “Itu dulu punya siapa koh ? “. “Oh, itu punyanya Louw Djing Tie“, jawab The Han Tong.
Rumah milik bapak Go Kiem Yong, tempat dimana Louw Djing Tie menumpang tinggal.
Rumah itu aslinya milik keluarga bapak Go Kiem Yong. Tidak semewah Rumah Gambiran memang, namun kondisinya sama terawatnya dengan Rumah Gambiran. Di dalam rumah itu, terlihat para karyawan yang sedang sibuk membuat kue bolu. Di dalamnya juga terlihat foto-foto keluarga dan seperangkat alat beladiri. Lalu siapakah sebenarnya Louw Djieng Tie yang disebutkan oleh The Han Tong tadi ?
Potrait Louw Djieng Tie yang terpasang di dalam rumah. Louw Djieng Tie memiliki peran cukup besar dalam memperkenalkan seni bela diri kungfu di Indonsia. Meski sudah menjadi master, namun beliau tetap rendah hati.
Louw Djieng Tie, nama itu amatlah melegenda dalam sejarah perkungfuan di Indonesia. Ia lahir tahun 1855 di kota Haiting, Provinsi Hokkian, Tiongkok. Ketertarikannya beliau pada seni bela diri kungfu muncul tatkala ia diselamatkan dari kejaran seorang biksu jahat bernama Thi Tjeng oleh seorang tukang masak tahu. Setelah berguru ilmu kungfu cukup lama, Louw Djieng Tie mendirikan perguruan sendiri di kota Hok Ciu, Provinsi Hok Kian. Alkisah, pada suatu hari Louw Djieng Tie nyaris membunuh seorang lawan dari kawannya, Lie Wan pada sebuah seleksi guru kungfu yang diadakan oleh pemerintah setempat. Untuk menghindari hukuman berat, Louw Djieng Tie memutuskan meninggalkan negeri Tiongkok.
Alat-alat yang pernah dipakai oleh Louw Djieng Tie dan murid-muridnya. yang masih terawat dengan baik Benda ini merupakan salah satu artefak sejarah per-kungfu-an di Indonesia.
Batavia merupakan tempat persinggahan pertamanya di Hindia-Belanda. Sayang, nasibnya di sana kurang mujur. Singkat cerita, setelah mengadu nasib ke sana kemari, oleh kawannya, ia diajak pindah ke Ambarawa. Di sini, Louw Djing Tie secara sembunyi mendirikan sebuah perguruan kungfu karena mempelajari ilmu beladiri dilarang oleh pemerintah pada masa itu. Louw Djieng Tie rupanya orang yang ringan tangan terhadap siapapun. Pernah pada suatu hari, Louw Djieng Tie berhasil melumpuhkan belasan serdadu Belanda yang sedang mengobrak-abrik toko milik warga pribumi. Akhirnya Louw Djieng Tie memutuskan pindah ke Parakan, menumpang di rumah milik keluarga bapak Go Kiem Yong, dan menghabiskan sisa hidupnya di sini dengan mengajarkan bela diri dan menjual obat. Pada suatu hari, ada seorang guru kungfu setempat bernama The Soei yang juga tak kalah mahir dalam ilmu kungfu. Mendengar ada seorang jago kungfu baru di Parakan, The Soei ingin mengajukan tantangan adu ilmu kungfu kepada Louw Djieng Tie. Untuk menghindari cidera keduanya, maka senjata tajam diganti dengan kuas cina. Pertandingan berjalan cukup sengit dan Louw Djieng Tie berhasil mendesak lawannya. Namun untuk menjaga harga diri The Soei, Louw Djieng Tie sengaja mengalah. Pertandingan dinyatakan imbang dan Louw Djieng Tie kian dihormati. Di usia senja, Louw Djieng Tie memiliki banyak murid. Perguruan yang diampu olehnya semakin besar. Meskipun demikian, Louw Djieng Tie tidak pernah bosan melatih muridnya hingga ia meninggal pada tahun 1921.  Berkatnya, ilmu kungfu menjadi semakin dikenal di Indonesia. Untuk mengenangnya, kisah perjalanan hidupnya diabadikan dalam buku “Garuda Mas dari Cabang Siaouw Liem” yang ditulis oleh tetangganya, Tjiu Khing Soei. (sumber : https://kebudayaantionghoa.wordpress.com). Begitulah kisah dari Louw Djieng Tie, seorang legenda kungfu yang sukses mengantarkan nama Parakan terkenal di dunia persilatan Indonesia dan rumah milik Bapak Go Kim Yong inilah saksi bisunya.
Rumah kuno yang masih kental unsur arsitektur Tionghia.
Rumah beraya Tionghoa lain yang juga tak luput dari aksi Vandalisme.
Rumah bergaya Tionghoa di jalan Brigjen. Katamaso.
Rumah-rumah yang sudah mendapat sentuhan gaya Indis.
Di rumah itu, saya berpisah dengan The Han Tong untuk melanjutkan perburuan bangunan tua di Parakan. Ada bangunan yang saya jumpai nuansa Tionghoanya masih kental. Ada pula bangunan yang mulai terpengaruh oleh kebudayaan Indis. Selagi masih di Parakan, saya sejenak mampir ke bangunan Stasiun Parakan yang ada di sebelah timur Kelenteng Hok Tek Tong. Stasiun ini merupakan ujung dari jalur kereta Secang-Parakan yang mulai dioperasikan oleh perusahaan kereta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij yang dibuka 1 Juli 1907. Seorang pemborong Tionghoa lokal bernama Ho Tjong An ditunjuk menjadi kontraktor pembangunan jalur tersebut. Jalur yang bermula dari Secang ini melintasi wilayah yang subur dan pusat perdagangan yang makmur seperi Kranggan dan Temangggung. Di ujung jalur, terletak Parakan yang menjadi kantong permukiman Tionghoa yang penting di Karesidenan Kedu. Selain penumpang, gerbong-gerbong kereta saban harinya turut mengangkut komoditas utama dari wilayah ini, yakni tembakau dan beras. Gerbong-gerbong tersebut membawa barang dari luar seperti garam, minyak tanah, dan berbagai bahan pangan lain. Saat hari pasaran tiba, gerbong kereta akan dipadati pembeli dan penjual yang membawa aneka barang dagangan.
Bangunan Stasiun Parakan pada masa sekarang, saksi bisu sejarah perkeretapian di Parakan yang mulai memudar pesonanya.

Stasiun Parakan di masa kolonial (sumber : media-kitlv.nl).
Sekalipun Stasiun Parakan adalah ujung dari jalur Secang-Parakan namun bentuk bangunan Stasiun Parakan seperti bangunan stasiun terusan sehingga jalur kereta tersebut seolah terputus di Parakan. Pembangunan jalur Secang-Parakan ternyata hanyalah sebagian dari rencana pengembangan jalur kereta yang menghubungkan sejumlah tempati di wilayah selatan dan utara pulau Jawa. Usaha untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan dengan rangkaian pembangunan jalur baru seperti Secang-Parakan yang merupakan cabang dari jalur Magelang-Ambarawa. Sedianya, dari Parakan pembangunan jalur kereta akan diteruskan menuju Wonosobo dan Weleri sehingga hubungan kereta antara wilayah Karesidenan Banyumas, Kedu, serta Semarang menjadi lebih singkat (Rietsma, 1925: 10). Kelak, jika jalur kereta tersebut jadi dibangun, Stasiun Parakan akan menjadi sebuah stasiun percabangan yang ramai seperti halnya Stasiun Secang. Oleh karena itulah, sebagai persiapan, Stasiun Parakan memiliki emplasemen yang sangat lebar. Sayangnya rencana pembangunan tersebut menguap begitu saja karena Perang Dunia II. Alih-alih menjadi stasiun yang ramai, Stasiun Parakan kini menjadi stasiun tak bernyawa dengan sampah yang berserakan di samping bangunan. Ketika saya mengintip ke bagian bekas peron yang terlihat kumuh, saya kembali teringat dengan cerita The Han Tong di kelenteng. Ia sendiri mengalami masa ketika kereta uap masih singgah di stasiun itu untuk menaik turunkan penumpang. “Dulu, waktu saya kecil, para penumpang gelap yang kerap naik di atas atap kereta, ditembak dengan senapan angin berpuluru kapur oleh kepala stasiun. Ya, memang tidak begitu membahaykan, tapi tetap saja sakit rasanya ketika kena“, kenangnya… 

Bekas jembatan kereta yang melintang di atas Kali Galeh. Tak ada satupun yang berani menjamah rangka bajanya.
Demikianlah tulisan saya di Jejak Kolonial edisi Parakan ini. Sekalipun namanya sebagai pecinan memang tidak semahsyur Lasem atau Semarang, yatanya Parakan masih menyimpan cukup banyak warisan budaya Tionghoa dengan cerita-cerita menarik di dalamnya. Sebagai pusat penyebaran agama Islam di sekitar Temanggung dan juga sekaligus sebagai kantong permukiman Tionghoa yang cukup ramai di kaki gunung Sindoro, kehidupan sosial di Parakan berlangsung harmonis dalam kurun waktu yang cukup panjang. Di Parakan seolah tiada isitilah pribumi ataupun pendatang karena semuanya adalah saudara…

Referensi
Cangianto, Ardian. 2013. Menghayati Kelenteng sebagai Ekspresi Masyarakat Tionghoa dalam web.budaya-tionghoa.net.

Knapp, G.Ronald. 2010. Chinese Houes of South East Asia ; The Ecletic Architecture of Sojournes & Settlers. Vermont : Tuttle Publishing.

Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Rietsma. 1925. Indische Spoorweg Politiek Deel VIII. Weltevreden : Landsdrukkerij.

http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2545-hikayat-berdirinya-kelenteng-hok-tek-tong-parakan

https://kebudayaantionghoa.wordpress.com/2009/07/18/louw-djing-tie/

10 komentar:

  1. HEBAT !
    di jalan bambu runcing dan di gang2 sempit di antaranya juga banyak rumah yg menarik, mungkin kelak bisa ditambahkan disini pak...
    makasih

    BalasHapus
  2. Yang rumah gambir itu bisa dikunjungi umum nggak ya mas, atau harus minta ijin dulu

    BalasHapus
  3. Kalau boleh tahu peta-peta tersebut didapatkan dimana ya? Saya ada membutuhkan peta tersebut untuk penelitian saya, tetapi sudah saya coba cari di leiden tidak ketemu seperti peta yang anda unggah. Terima kasih

    BalasHapus
  4. Ini pernah jadi lokasi syutinh film apanya dong 1983 dengan pemain eyang titik puspa

    BalasHapus
  5. menarik bangettt...pengen ke Parakan, ahh..

    BalasHapus