Sabtu, 22 April 2017

Remah-Remah Jejak Sejarah di Kutoarjo

Suatu siang di bulan September 2016, udara Kutoarjo terasa panas dan rasanya begitu menyengat di kulit. Kepala saya segera dibanjiri dengan peluh sehingga saya memutuskan berteduh di emperan Pendopo Kutoarjo. Dipayungi dengan atap pendopo berbentuk tajug, terlihat beberapa orang yang duduk berteduh untuk melepas rasa gerah. Mungkin mereka belum tahun jika pendopo tempat mereka berteduh dulunya adalah kediaman bupati Kutoarjo.

Persearan peninggalan bersejarah di Kutoarjo. Keterangan ; 1. Pendhopo Kutoarjo ; 2. Masjid Agung Kutoarjo ; 3. Rumah Patih ( sekarang kantor Kecamatan Kutoarjo ) ; 4. Rumah Kontrolir ; 5. Bekas rumah mayor Tionghoa ; 6. Stasiun Kutoarjo ;7. Rumah gaya Victorian ( sekarang Hotel Kencana ) ; 8. Jembatan Kali Jali.
Peta Kutoarjo tahun 1909. Tempat-tempat pejabat penting seperti Bupati ( Reg.= Regent ), Patih ( D = District ), dan Kontrolir ( C = Controloeur ) ditandai dengan tiang bendera Belanda. Di sebelah timur tampak Kali Jali yang menjadi batas alami kabupaten Purworejo dengan kabupaten Kutoarjo. (Sumber ; maps.library.leiden.edu).
Berbeda dengan masa sekarang, Kutoarjo di masa lampau adalah kabupaten yang berdiri sendiri, terpisah dengan Kabupaten Purworejo. Pada saat itu, Kabupaten Kutoarjo lebih dikenal dengan nama Kabupaten Semawung. Secara administratif, Kutoarjo berada di bawah Karesidenan Bagelen yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda pada 1830. Kabupaten Semawung membawahi beberapa distrik seperti Distrik Sucen, Distrik Madjier, Distrik Kendal, Distrik Paitan, Distrik Kiangkong, dan Distrik Pituruh. Bupati pertama Kutoarjo ialah Raden Tumenggung Sawunggaling dan awalnya berkedudukan di Semawung, kira-kira dua ratus meter ke selatan dari pusat Kutoarjo yang sekarang. Pada peta lama tahun 1857, masih tampak bahwa kedudukan Kabupaten Kutoarjo masih berada di Semawung.
Peta topografi tahun 1857 yang masih memperlihatkan kedudukan Kabupaten Kutarjo masih berada di Semawung.
Alun-alun Kutoarjo.
Ditinjau dari tata kotanya, Kutoarjo memperlihatkan unsur kota tradisional Jawa yang ditandai dengan alun-alun yang terletak di samping utara  jalan raya utama Purworejo – KebumenAlun-alun adalah lapangan berbentuk persegi yang pada bagian tengahnya ditanami dengan pohon beringin sebagai salah satu perwujudan dari nilai persatuan pemimpin dengan rakyatnya. Dalam tradisi Jawa, alun-alun diperlukan untuk menunjukan legitimasi kekuasaan seorang kepala daerah. Maka dari itu, saat kedudukan pemerintah kabupaten Kutoarjo dipindahkan oleh bupati Kutoarjo kedua R.M. Soerokosoemo dari Semawung Daleman ke Desa Senepo, maka R. M. Soerokoesomo juga membangun Kutoarjo dalam pola kota tradisional Jawa di tempat barunya. Sebagai pusat kota, berbagai perhelatan atau perayaan digelar di alun-alun. 
Pendhopo Kutoarjo, bekas kediaman bupati Kutoarjo yang kini menjadi rumah dinas wakil bupati Purworejo. Terlihat bentuk atapnya seperti masjid-masjid lama.
Berada di sebelah utara alun-alun, terdapat eks Kawedanan Kutoarjo yang menjadi salah satu bukti keberadaan kabupaten Kutoarjo di masa lalu. Meskipun bangunan tersebut lebih kondang sebagai kawedanan, namun aslinya bangunan tersebut adalah rumah tinggal bupati. Di masa lalu, bupati akan menempatkan kediamannya tidak jauh dari alun-alun. Letaknya bisa di sebelah utara atau selatan. Bangunan tersebut dibangun pada masa bupati R.A. Soerokoesomo dan disempurnakan bentuknya pada tahun 1899 dengan anggaran dari Burgerlijke Openbare Werken (Jawatan Pekerjaan Umum). Bagian terdepan dari bangunan eks rumah bupati Kutoarjo bangunan beratap tanpa dinding yang disebut pendapa. Atap besarnya menlingkupi ruang persegi terbuka yang menjadi tempat bupati menerima tamu, mengadakan rapat, resepsi pernikahan, dan lainnya. Pada bagian depan terdapat atap menjorok yang disebut tratag dan di sinilah kereta kuda atau mobil berhenti tepat di depan tangga sehingga saat keluar masuk orang tidak terganggu oleh hujan. Di bagian tengah pendapa ada empat tiang utama yang ukurannya paling besar dan memiliki lebih banyak dekorasi yang disebut saka guru. Berbeda dengan rumah pejabat Jawa yang pendoponya menggunakan atap Joglo, bangunan yang sekarang dipakai sebagai kediaman wakil bupati Purworejo ini menggunakan atap tajug yang umumnya dipakai pada bangunan masjid. Di belakang pendopo, terdapat bangunan utama yang menjadi ruang tinggal bupati dan keluarganya. Berbeda dari bangunan pendopo yang bercorak Jawa, bagian dalem terlihat begitu kental unsur Eropanya dengan pilar-pilar Yunani di beranda depannya.
Perpaduan budaya Jawa dan Eropa sangat terasa pada bekas rumah Bupati Kutoarjo seperti yang terlihat pada tiang saka guru pendhopo dan pilar-pilar Yunani di belakangnya.
Jabatan bupati sudah lama ada sebelum era kolonial. Istilah bupati kemungkinan berasal dari dua kata Sanskerta, bhumi (tanah) dan pati (tuan) yang dapat diartikan sebagai tuan tanah. Mereka saat itu bertindak sebagai kepala pemerintahan lokal yang menjadi bawahan seorang raja. Sesudah Perang Jawa, pemerintah kolonial semakin mencengkeram kota-kota pedalaman seperti Kutoarjo. Bersamaan dengan itu, pemerintah kolonial mulai menerapkan praktik sistem tanam wajib atau cultuurstelsel guna membuka potensi pedalaman Jawa secara maksimal sekaligus untuk membuktikan bahwa koloni Jawa dapat memberikan hasil bagi penjajah karena tiada faedahnya menguasai tempat yang tidak membuahkan keuntungan apapun bagi penguasanya. Penerapan cultuurstelsel terkendala dengan ketersediaan pegawai administrasi karena sedikit orang Belanda yang mau jauh-jauh bekerja di Jawa yang kondisi lingkungan dan budayanya masih sedikit diketahui pada saat itu. Selain itu, pemerintah kolonial juga telah belajar dari pengalaman bahwa pemaksaan ide asing terhadap suatu negeri seringkali menimbulkan gesekan dengan penduduk pribumi. Kepercayaan, adat istiadat, dan tradisi kaum pribumi akhirnya dibiarkan berkembang menurut kemampuan mereka. Dengan kata lain, orang-orang pribumi itu tidak bisa diperintah langsung oleh orang kulit putih dan sebagai gantinya pemerintah kolonial memasukan bupati ke dalam jajaran birokrasi sipil pemerintahan kolonial. Sebagai abdi pemerintah kolonial, mereka ditempatkan sebagai kepala pemerintahan penduduk Jawa dan dikerahkan untuk mengawasi penanaman, panen, dan pengangkutannya. Sebagai imbalannya, bupati menerima tunjangan gaji dari pemerintah. Mereka juga diperkenankan membuat simbol-simbol kebesaran. Pemerintah kolonial hanya membutuhkan sejumlah kecil pegawai Belanda untuk mengawasi kelancaran seluruh sistem (Lombard, 2018: 88). Berbeda dengan bupati di masa sekarang yang ditentukan oleh pemilihan umum, pada masa kolonial jabatan bupati ditentukan berdasarkan garis keturunan. Dapat disimpulkan bahwa bupati merupakan bentuk kelanjutan tradisi feodalisme Jawa yang kemudian dirangkul ke dalam sistem kolonialisme modern. Seperti yang diakui sarjana seni asal Amerikaa John C. Van Dycke, pemerintahan Belanda sukses membuktikan diri sebagai pemerintah kolonial paling berhasil di era modern dan pemerintah kolonial Inggris dan Amerika perlu belajar dari mereka (Rush, 2013: 212). Seiring dengan penghapusan Kabupaten Kutoarjo pada 1 Januari 1934 dan dilebur dengan Kabupaten Purworejo, maka Kutoarjo turun status menjadi ibukota kawedanan saja (Linck, 1935: 1). Meskipun jabatan bupati Kutoarjo sudah tidak ada lagi, bangunan kabupaten Kutoarjo masih berperan sebagai tempat tinggal pemimpin daerah meskipun hanya setingkat wedana. Oleh karena itu bangunan Kabupaten Kutoarjo lebih dikenal sebagai kawedanan.
Masjid Agung Kutoarjo pada tahun 1900an. Bandingkan dengan kondisinya sekarang.
Kantor Pengadilan Agama dan penghulu.
Seperti lazimnya kota-kota tradisional di Jawa, di sebelah barat alun-alun terdapat masjid. Masjid itu dibangun pada tahun 1860 oleh bupati R.A.A. Pringgoatmodjo. Lima belas tahun kemudian, oleh putra R.A.A. Pringgoatmodjo, R.A.A. Poerboatmodjo, masjid itu dipugar. Sayangnya bentuk masjid yang sekarang sudah tidak asli lagi. Atap masjid yang seharusnya berupa atap tumpang kini sudah menjelma menjadi atap kubah. Di dekat halaman pintu masuk masjid, terdapat bangunan lama yang dulu diperuntukan sebagai kantor pengadilan agama dan penghulu.
Rumah dengan tulisan 1918 di bagian depan.
Pendopo Kecamatan Kutoarjo, bekas rumah kediaman wedana.
Kutoarjo sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi di masa lampau memiliki beragam remah sejarah lainnya. Misalnya bangunan kediaman wedana Kutoarjo yang kini menjadi kantor Kecamatan Kutoarjo. Wedana atau districthoofd bertugas sebagai bawahan dari pegawai pemerintahan bupati. Sebagaimana bupati, wedana merupakan pembesar pribumi yang diangkat sebagai pegawai pemerintah jajahan dan diberi gaji. Hal ini mengakibatkan mereka tunduk pada ketentuan atasan yang tak lain adalah pemerintah kolonial Belanda seperti yang dijabarkan Djoko Soekiman dalam buku karangannya, “Kebudayaan Indis”. Mereka, kaum priyayi seperti wedana, disediakan rumah tinggal yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial. Walau ditentukan oleh pemerintah kolonial, namun bukan berarti pembangunannya sama sekali tidak melibatkan pekerja lokal (pribumi). Pemerintah kolonial membekali para pekerja lokal dengan ilmu seni bangun dari Barat. Selama pembangunan rumah-rumah pegawai kolonial seperti bupati, patih, residen, dan kontroleur, mereka diawasi insinyur dari Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) (Djoko Soekiman, 2014 ;160). Bangunan rumah wedana Kutoarjo sendiri dibangun tahun 1895 dengan biaya sebesar 4551 gulden. Kayu-kayu untuk bangunan pendoponya terbuat dari kayu jati yang ditebang dari hutan milik pemerintah (B.O.W, 1897; 38).
Saluran air Sudagaran/Kali Anyar, saluran air peninggalan Pangeran Poerboatmodjo.
Pintu air Selis Kutoarjo setelah selesai dibangun (sumber : De Ingeneur).
Sebuah kanal kecil mengalir di sepanjang sisi utara kota. Masyarakat setempat menyebutnya Kali Anyar. Saluran Kali Anyar merupakan bagian dari saluran air Sudagaran yang sudah ada terlebih dahulu. Mulai dibuat pada abad ke-19, saluran Sudagaran awalnya dibuat kepentingan irigasi sawah-sawah yang ada di wilayah selatan Kutoarjo. Mulut saluran tersebut berada di Semawung yang terletak di selatan Kutoarjo. Sebelum Kali Anyar dibangun, banjir yang disebabkan oleh meluapnya Kali Jali senantiasa menerjang Kutoarjo. Puncaknya terjadi pada 23 Februari 1861 ketika banjir besar setinggi 4,5 meter menggenangi Kutoarjo. Beberapa tempat tertimbun sedimen banjir setinggi satu meter. Untuk mencegah banjir, maka dibuatlah pintu bendung di mulut saluran sehingga saluran Sudagaran memiliki fungsi ganda sebagai saluran irigasi dan drainase banjir. Konsep sistem irigasi ganda tersebut ternyata menimbulkan konflik wilayah hulu dan hilir saluran. Saat pintu bendungan ditutup, maka wilyah di hulu di utara pintu mengalami banjir. Sebaliknya, apabila saluran air dibuka, maka wilayah hilir di selatan pintu yang dekat dengan saluran akan mengalami kebanjiran karena minimnya sarana drainasenya di sana. Keberatan dari penduduk di wilayah selatan dijawab dengan pembuatan pintu air baru pada 1878. Namun pembangunan tersebut menuai protes dari penduduk Kutoarjo karena dikhawatirkan aliran air banjir yang tertutup pintu akan menambah debit air banjir di wilayah tersebut. Konflik kepentingan tersebut akhirnya menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah karena biaya perawatan yang tinggi tidak diikuti dengan manfaatnya sebagai saluran air seperti yang dikehendaki.
Pintu Air Kali Anyar yang dikenal sebagai selis.
Saluran Kali Anyar adalah salah satu tinggalan yang dibuat oleh bupati Kutoarjo, Pangeran Poerboatmodjo. Beliau menjabat sebagai bupati Kutoarjo sejak 19 Oktober 1870 dan saat diangkat sebagai bupati usianya masih sangat belia, yakni 21 tahun. Beliau termasuk sosok yang sangat terpelajar. Pemanfaatan sumber daya alam, konservasi lingkungan, dan tata guna air adalah bidang ilmu yang ia pelajari, ilmu yang terbilang langka dipelajari oleh orang pribumi kala itu, sehingga boleh dibilang jika beliau adalah enviromentalis Indonesia pertama. Sebelum menjabat sebagai bupati, beliau bertugas di Dinas Topografi Karesidenan Bagelen dan mantri pengairan Bendungan Boro. Bersama residen Bagelen, beliau melawat ke Kalkuta, India untuk menimba ilmu pengairan dan irigasi dari para insinyur pengairan Inggris yang berhasil membendung sungai Gangga. Memahami bahwa sistem tata kelola air di daerahnya tidak bekerja sesuai rencana, maka Pangeran Poerboatmojo bersama B.O.W (Burgerlijke Openbare Werken), jawatan pemerintah kolonial yang bertanggung jawab dalam proyek pembuatan saluran air, memutuskan untuk melakukan pembenahan sistem tata kelola air di Kutoarjo. Ketika merencanakan proyek pembenahan saluran tersebut, B.O.W berupaya menampung semua masukan dari pihak yang tinggal di hulu maupun di hilir. B.O.W kemudian melakukan proyek penggalian saluran di pinggiran utara Kutoarjo. Di pertemuan saluran air dengan Sungai Jali, akan dibangun pintu air dengan material yang lebih kuat. Selain itu, B.O.W juga akan memisah saluran menjadi dua antara saluran drainase banjir dengan saluran banjir, sehingga di atas saluran banjir, terdapat akuaduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Dengan demikian, sistem saluran Sudagaran diharapkan dapat menyediakan air lebih banyak di sepanjang musim kemarau dan menyalurkan kelebihan air selama musim hujan. Proses penggalian saluran dimulai pada akhir tahun 1897 dan bagian pintu air dibangun selama musim kemarau tahun 1898 dan 1899. Sepanjang proses pembuatan pintu air, bagian pondasi dijaga tetap kering dengan pompa bertenaga manual. Material pondasinya terbuat dari batu gunung yang diambil dari bukit-bukit di sekitar proyek. Sementara bagian dinding terbuat dari beton yang dilapisi dengan batu alam yang diprofilkan. Pintu saluran terbuat dari besi yang dibuat oleh depo kereta api S.S. di Purworejo. Saluran air baru tersebut juga dilengkapi dengan jalan inspeksi, jembatan dan tangga yang dapat digunakan penduduk sekitar untuk mandi di saluran. Dengan dimensinya yang besar, banyak memotong lahan sawah serta saluran irigasi yang rumit, maka proyek senilai 96.940 gulden tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi B.O.W, terutama insinyur Grinwis Plaat yang merancang saluran tersebut. Hari ini, saluran air yang dibangun B.O.W  pada 1897 tersebut dikenal sebagai Kali Anyar.
Pangeran Poerbo Atmodjo
Upaya penangan banjir di Kutoarjo tak hanya berhenti sampai di situ, Pangeran Poerboatmojo juga turut menghijaukan kembali tanah perbukitan di sebelah utara Kutoarjo. Wilayah pantai selatan Kutoarjo juga turut dihijaukan dengan menanam pohon Nyamplung sehingga pantai menjadi teduh dan tidak tergerus angin (De Locomotief, 18 Oktober 1928). Pada 22 Juli 1912, sejumlah pegiat konservasi alam di Hindia-Belanda membentuk perkumpulan Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming. Tujuan utama perkumpulan tersebut adalah untuk meningkatkan upaya perlindungan alam Hindia-Belanda yang karena memiliki nilai ilmiah atau keindahan khusus perlu dilindungi di tempat asalnya dengan menetapkannya sebagai cagar alam. Dari sekian anggota awal perkumpulan, Pangeran Poerboatmodjo menjadi satu-satunya anggota yang berasal dari golongan pribumi (Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Oktober 1913). Atas pengabdiannya di bidang lingkungan, Pangeran Poerboatmodjo mendapat banyak penghargaan dari kerajaan Belanda seperti Ridderkruis der Orde van den Nederlandschen Leeuw,Officiers-kruis der Oranje Nassau-order. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masyarakat Kutoarjo berterima kasih kepada Pangeran Poerboatmodjo karena berkat jasanya, Kutoarjo terbebas dari banjir besar. Pemerintahan Pangeran Poerboatmodjo berjalan selama 45 tahun lamanya, menjadikannya sebagai bupati Kutoarjo terlama yang menjabat. Pada 2 Desember 1915, Pangeran Poerboatmodjo mengundurkan diri dari jabatan bupati dan digantikan oleh putranya, Raden Adipati Ario Poerbohadikoesoemo. Pangeran Poerboatmodjo meninggal pada tahun 1928.
Klinik Mardioesodo, sarana kesehatan masyarakat Kutoarjo tempo dulu.
Bupati terakhir Kutoarjo, R.A.A. Poerbohadikosoemo dan istrinya. (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Menghadap ke Kali Anyar, bangunan Puskesmas Kutoarjo menempati sebuah gedung tua yang bagian depannya terpampang tulisan "Mardioesodo". Gedung tersebut merupakan jejak dari bupati terakhir Kutoarjo, Raden Adipati Ario Poerbohadikoesoemo. Sebelum diangkat menjadi bupati pada 1915, beliau mengawali karinya sebagai mandor di perusahaan kereta api milik pemerintah, Staatspoor, pada usia 25 tahun. Beberapa tahun kemudian, beliau bergabung dengan korps birokrat sipil kolonial Binennlandsch Bestuur dan ditempatkan pertama kali di Distrik Pituruh dengan status magang. Kemudian beliau diangkat sebagai juru tulis oleh wedana Loano dan dipromosikan sebagai asisten wedana di Watumalang, lalu juru tulis bupati Purworejo, dan terakhir sebagai patih di Wonosobo. Sepanjang menjabat sebagai bupati Kutoarjo, Poerbohadikoesomo berupaya memajukan pertanian, peternakan dan industri tenun di Kutoarjo. Atas jasa-jasanya, Raden Tumenggung Poerbohadikoesoemo diberikan gelar adipati oleh pemerintah kolonial pada tahun 1926. R.A.A. Poerbahadikoesoemo meninggal pada 1 April 1933 pada usia 73 tahun. Permakamannya dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting untuk memberikan penghormatan terakhir seperti A.H. Neys, Gubernur Midden Java, Residen Kedu, Asisten Residen Puworejo, anggota Landraad, Bupati Kebumen, Magelang, Purworejo, Temanggung, Wonosobo, Batang, Demak, dan Nganjuk, perwakilan dari Pakualam, kepala perkebunan, pengusaha, ulama, dan kepala warga Tionghoa Kutoarjo (De Sumatra Post van Vrijdag 21 April 1933).
Pejagalan Hewan Kutoarjo.
Masih di sebelah utara Kutoarjo, di sana terdapat bangunan pejagalan hewan yang dibangun pada tahun 1929. Pejagalan tersebut didirikan oleh pemerintah kolonial untuk mempermudah pemeriksaan hasil penyembelihan. Di masa lalu, dimana ilmu kesehatan hewan masih belum berkembang pesat seperti sekarang, hewan-hewan yang sering dikonsumsi seperti sapi, kerbau, kambing, dan babi rentan terkena penyakit. Pemikiran orang saat itu adalah jika penyembelihan hewan dilakukan pada sembarang tempat, tentu orang tidak akan tahu apakah hewan yang disembelih itu sehat dan dagingnya layak dikonsumsi, sehingga penyakit hewan seperti anthrax dapat menular ke tubuh manusia. Untuk mencegah hal yang tidak-tidak, pemerintah kolonial mendirikan tempat khusus pejagalan hewan. Pejagalan ini diatur sedemikian rupa. Ada tempat untuk pemeriksaan hewan, tempat pengulitan, tempat membersihkan jeroan, tempat pembuangan bagian hewan yang tidak dikonsumsi, dan kantor untuk pengurus pejagalan. Tempat penyembelihan untuk hewan babi yang haram dikonsumi oleh umat Islam juga dipisahkan dari tempat penyembelihan lain. Letak pejagalan tersebut sengaja ditaruh tidak jauh dari saluran air agar mudah membersihkan isi perut hewan, membuang bagian yang tidak diperlukan seperti darah dan tempat para juru jagal membersihkan diri. Pada masa kolonial, pejagalan Kutoarjo sebenarnya termasuk pejagalan yang sudah ketinggalan zaman karena di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Malang, pejagalan hewan sudah dibangun dengan taraf lebih baik dan dilengkapi kamar pendingin atau freezer, laboratorium, penggunaan besi anti karat untuk penggantung, dan tersedia tempat khusus untuk mencuci perut hewan dengan air hangat yang mengalir, bukan dari saluran air kotor (Treffers, 1935: 8).
Bangunan bergaya Victorian yang saat ini menjadi Hotel Kencana.


Bagian dalam hotel.


Jalan Pangeran Diponegoro adalah jalan utama yang melintas di tengah kota Kutoarjo. Ia menghubungkan Kutoarjo dengan Purworejo di timur dan Kebumen di barat. Di sepanjang jalan itu masih berdiri beberapa bangunan kuno bekas seperti Hotel Kencana. Sayangnya penjaga hotel tidak mengetahui terlalu banyak sejarah hotel tersebut sehingga belum diketahui siapa pendiri dan kapan dibangunnya bangunan tersebut. Hal yang cukup menarik perhatian dari hotel ini adalah bagian dinding dalamnya dilapisi dengan keramik-keramik bermotif. Bangunan ini juga menggunakan banyak kaca patri bermotif gaya Art Nouveau sebagai hiasan jendela dan ambang pintu. Tidak ketinggalan tegel bermotif sesuluran mengalasi lantai bangunan ini.
Bekas kediaman asssitent resident/controleur Kutoarjo. Perbedaan rumah pejabat Belanda dengan pribumi adalah tiadanya pendopo di bagian depan rumah pejabat Belanda. Sebagai ganti pendopo adalah sebuah beranda di bagian depan.
Dengan masuknya pengaruh kolonial, maka kota tradisional Kutoarjo juga diselingi dengan sejumlah hunian pegawai Eropa yang berdiri menyusup pada tata kota yang sudah ada seperti remah sejarah berupa bangunan tua bekas rumah dinas asssitent resident/controleur KutoarjoPada masa kolonial, pemerintahan sipil dijalankan oleh Binnelandsch Bestuur yang membagi dua susunan pegawai. Pertama adalah Inlandsch Bestuur yang pegawainya diangkat dari elit pribumi setempat dengan bupati sebagai kepalanya. Kemudian yang kedua adalah Europesche Bestuur yang pegawainya terdiri dari orang-orang Belanda yang sudah menerima pendidikan birokrasi dan hukum. Dalam susunan birokrasi sipil Binnelandsch Bestuur, jabatan assitent resident berada di bagian Europesche Bestuur dan kedudukannya setingkat di bawah residen. Ia dipasangkan dengan bupati sebagai penasihat (Cribb dan Kahin, 2012 ; 67-68). Secara sekilas, bangunan rumah Controleur Kutoarjo bergaya arsitektur perpaduan Jawa dan Eropa atau sering disebut arsitektur Indis. Ciri arsitektur Indis bisa dilihat dari atapnya yang berbentuk atap kampung yang lebar seperti rumah-rumah Jawa, jendelanya tinggi besar dan ada beranda di bagian depan. Ukurannya yang besar seakan menunjukan keangkuhan penguasa kolonial di hadapan bangsa pribumi walaupun sesungguhnya tujuan rumah itu dibangun dalam ukuran sebesar itu supaya ruangan di dalam tidak terasa panas. Kendati demikian, mereka setidaknya masih memiliki rasa hormat pada bupati dengan tidak membangun rumah memunggungi kediaman bupati. Apabila rumah bupati dibangun menghadap ke selatan, mereka (orang Belanda) membangun rumah menghadap ke utara. John C. van Dyke menyebutkan kepercayaan, adat istiadat, dan tradisi kaum pribumi masih dihormati oleh penjajah karena tujuan penjajahan Belanda di sini bukanlah untuk mengubah kebudayaan, melainkan “hanya untuk menguras sumber daya alamnya” (Rush, 2013; 8). Pada awalnya, pemerintah kolonial memberi anggaran yang sangat sedikit untuk pembangunan rumah dinas asssitent resident. Dengan anggaran yang sedikit tersebut tentu tidak dapat terwujud sebuah rumah yang sepadan dengan gaya hidup para penguasa kolonial. Maka dari itu beberapa asssitent resident menyalahgunakan kekuasaanya dengan memaksa penduduk lokal untuk menyetor kayu yanga akan dipakai sebagai bahan bangunan tanpa diberi imbalan. Sementara uang dari pemerintah digunakan untuk membeli bahan bangunan dari Eropa. Kesewenangan para asssitent resident tersebut berakhir dengan dikeluarkannya Gouvernement Besluit 11 Januari 1854 yang mengatur ketentuan bahwa kebutuhan rumah tinggal asssitent resident akan disediakan langsung oleh pemerintah. Bangunan asssitent resident Kutoarjo yang sekarang merupakan hasil pendirian tahun 1895 dengan biaya pembangunan sebesar 15.277 gulden (B.O.W, 1897; 38). Seiring dengan dihapusnya Karesidenan Bagelen, maka rumah ini "turun" status menjadi rumah tinggal controleur, pegawai kolonial di bawah asisten residen.
Stasiun Kutoarjo pada masa sekarang. Sebelum dirombak banguann Stasiun Kutoarjo mirip sekali dengan Stasiun Purworejo.
Rumah-rumah tua di sekitar Stasiun Kutoarjo. Rumah-rumah ini dahulu dihuni oleh para pegawai Stasiun Kutoarjo.
Dari Jalan Pangeran Diponegoro, saya beringsut ke Stasiun Kutoarjo. Stasiun yang bangunan aslinya telah beralih rupa itu dibuka beriringan dengan pembukaan jalur kereta yang menghubungkan Yogyakarta-Cilacap pada 1887. Di sekitar stasiun masih terjumpai beberapa rumah tua yang dulu ditempati pegawai stasiun. Dibanding Stasiun Purworejo, Stasiun Kutoarjo jauh lebih ramai dan tak pernah tidur karena ia dilalui oleh jalur kereta dari Jakarta-Yogyakarta sehingga banyak kereta yang lewat Kutoarjo. Berbeda dengan Stasiun Purworejo yang terletak di ujung sehingga tidak semua kereta berhenti di Purworejo.
Para perempuan yang bekerja sebagai pemintal benang di sebuah pabrik benang di Kutoarjo. Dibandingkan Purworejo, perekonomian Kutoarjo jauh lebih maju. ( sumber ; media-kitlv.nl ).
Seorang perwira Belanda dan Indonesia yang sedang mengamati parade para prajurit TNI di sepanjang jalan yang kini menjadi Jalan M.T. Haryono. Di sebelah kiri tampak barisan rumah Tionhoa yang rusak. ( sumber : gahetna.nl )
Deretan bangunan berlanggam Tionghoa di sepanjang jalan M.T. Haryono.
Salah satu rumah lama di Kutoarjo yang memadukan budaya Tionghoa dan Eropa.
Kaki saya kemudian melangkah ke jalan M.T. Haryono, pecinannya Kutoarjo karena di sana masih banyak rumah-toko kuno bergaya Tionghoa Selatan. Kutoarjo, seperti arti namanya yang berarti "Kota yang Makmur" memang lebih semarak kehidupan perekonomian Kutoarjo dibanding Purworejo karena di sana tinggal pengrajin tenun dan barang pecah belah. Jika diibaratkan, Purworejo dan Kutoarjo mirip dengan kota Washington DC dan New York di Amerika Serikat dimana kota New York memiliki kehidupan perekonomian yang lebih ramai daripada ibukotanya, Washington DC. Roda perekonomian semakin bergeliat dengan dibangunnya jalur kereta Yogyakarta-Cilacap pada tahun 1887 oleh Staatspoorwegen, yang melewati Kutoarjo dan dibangun sebuah stasiun di sini (Anonim, 58). Konon komunitas Tionghoa di sini lebih lama eksis dibanding Purworejo. Mereka pun juga sangat aktif dalam dunia pendidikan golongan Tionghoa seperti usaha mereka dalam membangitkan kembali perkumpulan Hak Boe Tjong Hwee pada 1926 ( Liem, 1933;236 ).
Rumah besar milik Bapak Budi.
Pintu utama dengan ornamen yang menarik.
Bagian ruang depan.
Pintu dengan ornamen burung bangau.
Di salah satu sisi jalan itu, saya jatuh hati dengan sebuah rumah tua bergaya Tionghoa yang tampak berbeda dari yang lain. Berbeda dengan rumah lain yang nir hiasan, rumah itu begitu menawan dengan aneka hiasan seperti tiang dan teritisan yang berbalut sesuluran. Saya pun mencoba masuk ke dalam dan disambut baik oleh bapak Budi. Sebagaimana tampak luarnya, tampak dalam rumah itu juga masih terjaga baik. Saya pun menduga jika dulu mungkin rumah ini adalah tempat tinggal seorang kapitan Tionghoa. Dalam pengaturan masyarakat, pemerintah kolonial biasanya memberi gelar militer titular seperti mayor, letnan atau kapten pada seorang Tionghoa terpandang. Merekalah yang nantinya akan mengurus segala perkara yang menyangkut orang Tionghoa. Namun ada dugaan lain bahwa bangunan ini dipakai sebagai kantor untuk semacam perhimpunan Tionghoa di Kutoarjo. Bagi saya pribadi, rumah ini adalah salah satu remah sejarah Kutoarjo yang patut dijaga.


Makam Belanda Gunung Tugel.
Di lereng selatan perbukitan Gunung Tugel, terdapat gugusan permakaman Tionghoa dan Jawa. Selain makam orang Tionghoa dan Jawa, ada juga makam orang-orang Belanda. Kedudukannya ada di bagian paling ujung timur. Sebagaimana keberadaan makam-makam Belanda di Indonesia yang sudah terhanyut oleh gelombang zaman, makam Belanda di Gunung Tugel ini juga demikian nasibnya. Sekujur makam sudah tertutup oleh semak belukar dan kondisinya sudah hancur sehingga sulit untuk dikenali lagi siapa yang dimakamkan di situ. Sebongkah batu nisan atas nama I.F. Riesz yang tergeletak begitu saja di atas tanah menjadi satu-satunya petunjuk bahwa di tempat tersebut pernah menjadi area permakaman orang Belanda. Semasa hidupnya, I.F. Riesz dulunya menjabat sebagai administrateur atau manajer dari perkebunan nila yang dikelola oleh Nederlandsch Handel Maatschappij di Kutoarjo (De Locomotief, 29 Februari 1872). Selama era tanam baksa, salah satu jenis tanaman yang wajib ditanam oleh penduduk adalah nila. Komoditas nila digunakan untuk sumber pewarna pakaian. Di sekitar Kutoarjo terdapat tujuh pabrik pengolahan nila yakni di Kemiri, Djakrah, Kejawang, Klopogodo, Sedayu, Pucang, dan Bener. Pada tahun 1864, tanaman nila tidak lagi diwajibkan untuk ditanam penduduk. Sementara ketujuh pabrik nila yang ada di sekitar Kutoarjo akhirnya diambil alih oleh Nederlandsch Handel Maatschappij, perusahaan dagang yang tersohor dengan sebutan Kompeni Kecil karena perusahaan tersebut memiliki hak monopoli untuk membeli dan menjual hasil perkebunan. Untuk mengurus ketujuh pabrik itu, NHM menempatkan I.F. Riesz sebagai manajernya. Setelah Riesz meninggal, banyak pabrik nila tersebut yang gulung tikar karena nila tidak laku lagi di pasaran akibat adanya temuan pewarna sintetis yang harganya lebih murah.
Jembatan Kali Jali pada tahun 1930.

Jembatan Kali Jali pada masa sekarang.
Sebelum saya beranjak pergi dari Kutoarjo untuk kembali ke Purworejo, saya melewati remah sejarah terakhir. Remah terakhir itu adalah sebentang jembatan tua berbentuk busur yang masih tampak perkasa. Walau demikian, jembatan ini sudah pensiun sebagai jembatan penghubung utama karena kian ramai kendaraan yang melintas sehingga dikhawatirkan ia tidak sanggup memanggul beban.

Referensi :
Burgerlijke Openbare Werken. 1897. Verslag over de Burgerlijke Openbare Werken in Nederlandsch Indie Over Het Jaar 1895. 'S Gravenhage ; Gebr. J. H. Van Langenhuysen.
Cribb, Robert dan Kahin, Audrey. 2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok; Komunitas Bambu.

Treffers, Dr.W. 1935. "De Modernising Van Het Slachthuis voor Groot Vee en Geiten Te Cheribon" dalam Locale Techniek 4e Jaargang No.3 Mei 1935. Bandung.
Jhr. P.J. Boreel. 1901. "De Verbetering der Soedagaran Leiding" dalam De Ingeneur No. 35.
Linck, A.A.C. 1935. "Residentie Kedoe Bewogen Historie" dalam De Locomotief, Kedoe Nummer. 12 Agustus 1945.
Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya I : Batas-Batas Pembaratan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Musadad. 2002. Arsitektur dan Fungsi Stasiun Kereta Api bagi Perkembangan Kota Purworejo Tahun 1901-1930. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Penadi, Radix . 2000. Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad ke XIX. Lembaga Study dan Pegembangan Sosial Budaya.
Pranoto, Agung. 2017. Kisah Tokoh Poerworedjo Djaman Doeloe : Pangeran Poerboatmodjo.
Rush. James. R. 2013. Jawa Tempo Doeloe ; 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985.  Depok : Komunitas Bambu.

Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Oktober 1913
De Locomotief, 18 Oktober 1928
De Sumatra Post van Vrijdag 21 April 1933

38 komentar:

  1. Terima Kasih,sangat menarik.kebetulan konon kakek kami prawoto danusendjojo berasal dari pituruh.tabik.

    BalasHapus
  2. Purworejo ada komunitas sejarahnya nggak ya,..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kutoarjo sudah ada komomitas budaya

      Hapus
    2. Komomitas sejarah jg dah ada lama...

      Hapus
    3. Apa mas komunitasnya? Ada FB atau IGnya? Atau WAnya, mau tanya sejarah soal Patih Djojoprabongso kakak Mbah Soeromenggolo

      Hapus
  3. trimaksih atas tayangan ini menambh wawasan bagi saya yg dilahirkan disini dan pergi meninggalknya untuk sebuah pekerjaan

    BalasHapus
  4. Kali jali nggon nggo dolanan gethek-gethek'an sell dhebog

    BalasHapus
  5. disebutkan Distrik Sucen adalah bagian dari Kutoarjo.
    padahal jika dilihat secara geografis, saat ini desa bernama Sucen lebih dekat ke Purworejo. Sucen merupakan sebuah desa bagian dari kecamatan Bayan, di seberang sungai Jali.
    ataukah mungkin yg dimaksud adalah SUREN? karena posisinya tidak jauh dari Kiangkong.
    mohon penjelasannya, trims

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk itu saya masih belum ketemu karena bisa jadi ada perubahan nama tempat di kemudian hari. Contoh dulu Kelurahan Kledung di Banyuurip yang dulunya satu dipecah jadi dua, yakni Kledung Kradenan dan Kledung Karangdalem.

      Hapus
    2. Sucen dulu adalah wilayah kutoarjo di era Sawunggaling II . Setelah itu kawedanan Purwodadi di era pangeran Purboatmodjo jg ikut kutoarjo. Sistem pemerintahan kolonial dan peta suka berubah2

      Hapus
    3. Lengkong sanggar ginaris kalau Kledung adalah pemekaran desa sama kayak desa2 lainnya misalny Grabag yg pecah jadi tiga desa

      Hapus
    4. Kedua orang tua saya berasal dari Purworejo Kecamatan Sucen dan Kecamatan Bayan

      Hapus
  6. Terima kasih sekali informasi yang telah di berikan. Kedua orang tua saya berasal dari Kutoarjo dan sampai sekarang saya masih sering berkunjung ke kota kecil ini

    BalasHapus
  7. Saya sudah sering melintasi Kutoarjo, dan pernah singgah bbrp kali termasuk Jum'at-an, sholat duhur dan ashar di Masjid Polsek Kutoarjo. Real time, mekintasi stasiun saya tiba-tiba tergerak mencari tahu ttg sejarah kota ini setelah melihat stasiun KA-nya yg menurutku lumayan besar. Saya yakin Kutoarjo pernah besar dan jaya di zamannya. Semoga peninggalan-peninggalan zaman kolonial ttp terjaga.
    Terima kasih sudah berbagi.

    BalasHapus
  8. Baca sejarah tempat ini ,serasa sebagai obat rindu saya,saya yang pernah besar disana ,di Klepu Bedug ,samping setasiun Kutoarjo

    BalasHapus
  9. kakek saya berasal dari sini, namnya S.R. Kertowiranu

    BalasHapus
  10. Saya bertugas diKutoarjo sbg insan BPS. Membaca postingan ini memperkaya wawasan tentang Kutoarjo.. benar2 kecamatan yang menarik. Terima kasih sharingnya..

    BalasHapus
  11. Saya bertugas diKutoarjo sbg insan BPS. Membaca postingan ini memperkaya wawasan tentang Kutoarjo.. benar2 kecamatan yang menarik. Terima kasih sharingnya..

    BalasHapus
  12. Sesuatu yang tulus biasanya bertahan lama...kira2 yang saya lihat pada sebuah/setiap bangunan jaman dahulu, misal seperti selis atau pintu air, umur bangunan dan mekaniknya sudah berpuluh tahun sampai sekarang masih berfungsi dengan baik...saya lahir dan besar di kota kecil ini tercinta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejarah nya sebenarnya udah ada ditulis jauh dari artikel nya mas Lengkong ini, sangat disayangkan bila belum tau..

      Hapus
  13. Saya dari kecamatan butuh .Purworejo..kecil di sana..lepas sekolah di kutoarjo.saya merantau ke Bekasi..setelah membaca artikel ini sungguh sangat bangga akan sejarahnya dulu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gabung di grup Sejarah kutoarjo pak.. maka akan lebih paham lgi... Grup nya udah ada 10 tahun yg lalu.... Sebenarnya udah bnyk di blog jg FB... Tentang sejarah kutoarjo dari pertama kali bernama semawung, sejarah tentang pangeran Purboatmodjo jg udah lama di kupas 10 tahun yg lalu bahkan sebelum mas Lengkong membuat artikel ini..

      Hapus
  14. Izin kroscek mas Lengkong..

    Di beritakan Dalam majalah "Het Niuews Van Den Dag" Voor nederlandsch-Indie terbit hari senin tanggal 3 April tahun 1933.
    Bahwa R.A.A. Poerbohadikusumo Bupati Koetoardjo meninggal dunia hari Minggu tanggal 2 April tahun 1933.

    Dan Gelar R.M Soerokusumo bukan R.A.
    Serta kecamatan Kutoarjo bukan kantor kawedanan, dulu pendopo kecamatan Kutoarjo adalah Pendopo Kepatihan. Kantor kawedanan dan Pendopo kawedanan ya di bekas rumah Bupati Kutoarjo.

    BalasHapus
  15. Terimakasih tulisannya sangat menambah wawasan. Kakek nenek saya berasal dari Kutoarjo. Nenek saya keturunan Indo-Belanda, saat ini usianya 85 tahun, beliau sering menangis ingin mencari tahu siapa orangtua kandungnya. Apakah grup sejarah Kutoarjo dapat membantu ya?

    BalasHapus
  16. Yuk Coba Keberuntunganmu Setiap Hari... Join Disini Sekarang Kumpulan Berbagai Macam Permainan Taruhan Online Terbaik di Indonesia, Kunjungi Website Kami Di Klik Disini dan Dapatkan Bonus Terbaru 8X 9X 10X win klik disini untuk mendapatkan akun Sabung Ayam anda dan Bonus Berlimpah.

    BalasHapus
  17. Mas Lengkong, baguss tulisannya. Aku yang anak Kutoarjo bahkn gak tau sejarah Kutoarjo yang sedetail ini. Komunitas sejarah Kutoarjo-Purworejo ada grup telegramnya gak Mas?

    BalasHapus
  18. Mantab lestarikan budaya Kutoarjo, dengan bangunan2 peninggalanya.

    BalasHapus
  19. Izin menunggu jawaban, saya juga tertarik dengan sejarah Kutoarjo Mas

    BalasHapus
  20. Menunggu nama komunitas sejarah di kutoarjo. Mau gabung

    BalasHapus
  21. Saya termasuk generasi akhir kejayaan kutoarjo. Mohon informasi. Benarkah bupati Kadipaten Kutoarjo pertama putra pertama Bupati Pati (Pragolo)?

    BalasHapus
  22. Anak saya punya Buyut dari Kutoarjo. Raden Mangunatmodjo

    BalasHapus
  23. Saya lahir dan besar di Kutoarjo skrg merantau di Bekasi. Sangat mengapresiasi tulisan ini krn menambah wawasan sy ttg Sejarah Kutoarjo. Matur Nuwun

    BalasHapus
  24. Mbah Madrawi al santosa24 September 2022 pukul 20.15

    Saya jg ingin menelusuri trah leluhur saya.gimna caranya ya?konon katanya leluhur saya yg laki2 seorng glondong di daerah kalimeneng sangubanyu dan yg perempuan itu putri dr kyai imam pura.mohon ptnjuk adminπŸ™πŸ™πŸ™

    BalasHapus
  25. Obat kangen masa masa kecilku hidup di daerah Senepo Barat Kutoarjo, dr bayi sampai SMP, salam dr angkatan SD SMP Muhammadiyah th 1999,semoga temen2ku makmur jaya sentosa

    BalasHapus
  26. Terima kasih atas artikelnya. Menambah wawasan saya. Saya tidak lahir di Kutoarjo, tapi kakek dan keluarga dari Snepo Timur. Tiap tahun masih ke Kutoarjo meski mbah sudah tidak ada.

    BalasHapus
  27. Wah ini bener2 menambah wawasan saya, almarhum ayah saya asli dari Kutoarjo tepatnya dari kelurahan Kemadu tapi merantau ke Palembang. Kalau ibu saya kelahiran Palembang tapi beliau ada keturunan dari daerah Pituruh. Saya terakhir ke Kemadu waktu kelas 6 SD. Semoga ada rezeki bisa pulang ke kampung halaman, rasanya kepingin eksplor Kutoarjo lebih dalam hehe

    BalasHapus