Selasa, 23 Mei 2017

Selamat Datang di Kerkhof Dezentje, Makam Si Raja Kecil dari Ampel

 “Welcome to the Jungle, we’ve got fun’ n’ games…” bait pertama lagu dari Gun’s n Roses tadi sepertinya menjadi gambaran yang tepat ketika saya mendatangi kerkhof Dezentje untuk pertama kalinya. Bagaimana tidak ? kondisi kerkhof ini nyaris menyerupai hutan belantara. Pohon berdaun lebat yang tumbuh di sela-sela makam menciptakan kesan gelap pada kompleks makam yang sudah lama tak terawat itu. Nyamuk menyebalkan dengan setia menemani saya selama berada di dalam kompleks makam. Tampaknya nyamuk-nyamuk ini berhasil memanen darah dari tubuh saya, meninggalkan jejak bentolan kecil di sekujur tubuh saya.

Keadaan Kerkhof Dezentje setelah dibersihkan.
Satu persatu tanaman liar dibabat hingga ke akar, makam-makam tua yang semula tertutup mulai tersingkap bentuknya. Begitu antik sekali bentuk makam-makam yang terpancang di sini. Dengan pilar-pilar bergaya Roman, makam-makam ini terlihat bagaikan reruntuhan Forum Romanum di Roma. Selain berbentuk pilar, ada pula makam yang berbentuk seperti monumen obelisk buatan bangsa Mesir Kuno. Menariknya lagi, saya mengamati ada sebuah makam yang berbentuk bong, makam orang Tionghoa. Bentuk makam tersebut sebelumnya sudah pernah saya temukan di Kerkhof Ngawi. Satu hal lagi yang sungguh unik dan belum pernah saya dapati di kerkhof manapun adalah sebuah makam yang menyerupai atap rumah tradisional Jawa. Ya, dapat dikatakan juka empat peradaban besar bertemu dan menyatu di kompleks kerkhof ini…
Sudut kerkhof yang belum dibersihkan.
Monumen-monumen berbentuk pilar patah di kompleks makam. Pilar patah merupakan perlambang dari putusnya kehidupan seseorang.
Salah satu makam berbentuk obelisk.
Sebuah makam yang unik karena berbentuk seperti atap rumah Jawa.
Makam berbentuk seperti bongpay atau makam Tionghoa.
Dari semua makam yang ada di kompleks kerkhof ini, terdapat empat buah makam yang berada dalam satu bangunan. Dari luar, bangunan ini sekilas mirip dengan kuil Yunani kuno. Makam itu dilindungi oleh teralis besi yang berbentuk cangkang keong. Bagian dalam makam ini terasa lembab. Jamur dan lumut hijau menghiasi dinding tua makam yang sepertinya baru saja dikunjungi orang karena di sini saya temukan sebuah dupa yang baru saja dibakar. Entah siapa dia yang berkunjung ke makam ini sebelum saya…
Makam berbentuk seperti bangunan kuil.
Makam berbentuk sepeti kubus kecil.
Betapa menyedihkan keadaan makam-makam di sini. Di samping terlantar, bongkah-bongkah batu prasasti yang dulu melekat sudah tak diketahui kemana rimbanya sejak permakaman tersebut dijarah oleh masyarakat sekitar tahun 1950. Andai saja tidak ada tulisan spidol yang terbubuh di atas salah satu makam, niscaya saya tak bakal tahu siapa gerangan yang dibaringkan di sini. Di sudut kerhof ini, terdapat dua makam prasastinya masih melekat di tempat meskipun itu prasasti baru. Dengan demikian ada tanda bahwa masih ada anak keturunan yang menziarahi makam ini. Menariknya ialah, semua nama yang ada di kerkhof ini memiliki nama belakang Dezentje dan salah satu makam terdapat tulisan gelar bangsawan Jawa ,“Raden Ayu “. Entah siapa nama lengkapnya karena separo tulisan tidak dapat terbaca, namun ini menjadi petunjuk bahwa ada orang Jawa yang dimakamkan di tengah-tengah makam Belanda. Siapakah beliau sehingga dapat dimakamkan bersama orang Belanda dan yang paling penting, siapakah sejatinya Dezentje ??
Nisan yang diperbarui, menggantikan yang lama.
Dezentje, nama ini mungkin sudah tenggelam dalam ingatan banyak orang. Namun dalam sejarah agraris dan sosial di Surakarta, nama Dezentje adalah nama yang melegenda. Bagaimana tidak ? Dialah yang menjadi perintis perkebunan Eropa pertama di Surakarta sebelum tanam paksa digulirkan. Nama Dezentje setara dengan Kerkhoven di Priangan, atau Jacob Nienhuys di Medan.
Johannes-Augustinus Dezetnje (1797-1839), legenda perkebunan dari Ampel (sumber : Djocja-Solo, Beeld van de Vorstenlanden).
Johannes Augustinus Dezentje alias Tinus (1797-1839) merupakan putra dari seorang pengawal Eropa di Keraton Surakarta bernama August Jan Caspar (1765-1826). Dari gajinya sebagai seorang perwira di masa pendudukan inggris, pada 1816, Caspar menyewa tanah Kasunanan yang terbentang dari Salatiga, Ampel, hingga Boyolali. Sepeninggal Caspar, tanah itu diwariskan kepada Tinus (Bruggen dan Wassing, 1995; 23). Menginjak usia 18 tahun, Tinus menikah dengan Johanna Dorothe Boode. Berselang tiga tahun kemudian, untuk memperluas tanah perkebunannya, Tinus menikah dengan saudari raja Surakarta bernama Raden Ayu Tjokrokoesoemo. Pernikahan kedua Tinus dihelat di Keraton Surakarta dalam rangakaian acara yang akbar dan mewah. Setelah menikah, Tinus dan istri barunya menetap di Ampel, Boyolali. Dari pernikahan keduanya, Tinus dikaruniai 6 anak yang semuanya diberi nama dengan awalan huruf ‘A’ seperti Arnold, Alexander, Adrian, Alphonse, Augustinius dan Annipellma sebagai bentuk penghormatannya terhadap tanah perkebunan Ampel. Dalam buku Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden, karangan Bruggen dan Wassing, dituturkan bahwa sekalipun darah Erop mengalir di dalam tubuhnya, namun karena persinggungannya dengan keraton, maka gaya hidup Tinus bak seorang bangsawan Jawa.
Rumah keluarga Dezentje di Ampel yang lebih menyerupai ndalem bangsawan Jawa (sumber : media-kitlv.nl).
Pendeta S. Buddingh yang pernah bertamu ke kediaman Tinus, menguraikan keadaan kediaman Tinus “ yang dibangun dalam gaya seperti rumah bangsawan Surakarta atau bupati Jawa, lengkap dengan kebun binatang dan tembok tebal yang mengelilingi rumah seperti benteng yang diperkuat dengan bastion dan gardu pengawas”. Setiap kali Tinus berjalan, rombongan pembantunya akan ikut serta. Rakyat di pinggir jalan mesti bersimpuh sebagaimana adat seorang bangsawan Jawa waktu itu. Kendati bergaya hidup glamour, Tinus sendiri jauh dari kesan tuan tanah yang kejam dan kikir. Setiap petani yang bekerja kepadanya dihibahkan kerbau atau bibit tanam secara cuma-cuma.
Gapura masuk ke kediaman Dezentje. Seperti yang diceritakan oleh Buddingh, rumah Dezentje dikelilingi oleh tembok dan parit layaknya keraton raja (sumber : media-kitlv.nl).
Demi melindungi perkebunannya dari gangguan Perang Jawa, Tinus rela mengeluarkan banyak uang untuk menyewa detasemen serdadu bayaran berkekuatan 1500 personel. Detasemen itu dikenal sebagai Detasemen Dezentje. Tak hanya untuk mengamankan perkebunan, detasemen itu juga dikirim ke palagan sebagai hulptropen. Begitu lengketnya Dezentje dengan lingkaran dalam Kasunanan Surakarta sehingga Susuhunan Surakarta berhasil ia lobi untuk bersikap netral selama Perang Jawa. (Soekiman, 2014; 50). Atas jasanya, Kerajaan Belanda memberi penghargaan Orde de Nederlandse Leeuw (Orde Singa Belanda) kepada Tinus. Sesudah perang, Tinus membuat sebuah proyek ambisius berupa saluran irigasi besar sepanjang 60 kilometer. Untuk mendanai proyek ini, Tinus meminjam uang dari Nederlandsch Handel Maatschappij.
Kunjungan putra mahkota keraton Surakarta ke rumah keluarga Dezentje. Keluarga Dezentje memiliki pengaruh cukup kuat pada Kasunanan Surakarta berkat hubungan pernikahan J.A. Dezentje dengan saudari raja Surakarta (sumber : media-kitlv.nl).
Sayangnya, sebelum proyek ambisius itu kelar, Tinus mendadak meninggal dunia pada 7 November 1839. Waktu itu, Tinus yang masih berusia 42 tahun sudah memiliki lahan perkebunan seluas 1275 ha. Sepeninggal Tinus, perkebunannya sempat mengalami masa sulit akibat gagal panen dan utang yang menumpuk untuk membiayai perkebunan yang luas dan gaya hidup keluarga Tinus. Akhirnya kejayaan perkebunan keluarga Dezentje kembali berlanjut pada tahun 1849 dan perkebunan itu dibagi-bagi kepada keluarga Dezentje atau dijual kepada orang lain.
J.A.C. Dezentje, salah satu keturunan J.A. Dezentje. Perhatikan wajahnya yang lebih menyerupai orang Jawa daripada orang Eropa (sumber : media-kitlv.nl).
Tahun 1860an, Keluarga Dezentje menjadi raja perkebunan di kaki timur gunung Merbabu-Merapi hingga masa akhir kolonial meskipun para pendatang baru dari Eropa mulai menyaingi usaha perkebunan Dezentje. Sebelum pendudukan Jepang, salah satu keturunan Dezentje, Ny. Ch. E. Dezentje membangun sebuah rumah mewah di Jalan Slamet Riyadi. Rumah itu kini dikenal sebagai Loji Gandrung. Menjelang Jepang masuk, keluarga Dezentje diperingatkan oleh keraton supaya bergegas meninggalkan Hindia-Belanda karena apabila Jepang masuk ke Hindia-Belanda, nasib-nasib orang Eropa dan Indo-Eropa akan diperlakukan dengan buruk oleh Jepang. Lantaran peringatan tersebut, keluarga Dezentje segera meninggalkan Hindia-Belanda dan kini, keluarga Dezentje terpencar ke seluruh penjuru dunia. Dalam buku “Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden”, keluarga Dezentje memiliki sebuah lahan makam  keluarga di Ampel yang dalam ukuran keluarga Dezentje masih terhitung sederhana. Melihat kemegahan sisa-sisa makam-makam yang masih tersisa, tampaknya ukuran sederhana keluarga Dezentje lebih tinggi daripada ukuran sederhana orang kebanyakan. Jadi dapat bayangkan betapa tingginya selera keluarga Dezentje.

Sosok yang dibaringkan di bawah nisan-nisan tua kerkhof ini rupanya bukan sembarang orang. Dia adalah perintis perkebunan di wilayah Vorstenlanden dengan gaya hidupnya yang mewah dan unik. Sayangnya, seperti halnya kerkhof ini, nama Dezentje di masa kini sepertinya telah hanyut bersama arus zaman.

Referensi
Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis. Depok : Penerbit Bambu.

Van Bruggen, M.P. dan Wassing, R.S. 2000. Djocja Solo, Beeld van de Vorstenlanden. Pumerend : Asia Maior.

Minggu, 14 Mei 2017

Sibak Keindahan Gereja dan Susteran Gedangan, Semarang

Panas yang menyengat Semarang siang itu menemani saya ketika menyusuri Jalan Ronggowarsito, seruas jalan sepanjang tiga ratus meter yang membelah kawasan Gedangan. Tak kuat dengan udara panas itu, saya pun memutuskan untuk melepas lelah sejenak di bawah naungan sebuah pohon yang tumbuh di halaman Gereja St. Yusuf Gedangan. “Selamat siang mas, habis darimana ? kok sepertinya terlihat lelah ? “, sapa seorang ibu yang baru saja menyapu pekarangan gereja. “Habis jalan-jalan dari Kota Lama bu “, tukas saya. “ Oh begitu, ya sudah silahkan kalau mau lihat-lihat mas, saya mau ke dalam dulu “, tutur Ibu yang ternyata koster gereja itu. Ia lalu masuk ke pastoran yang terlihat cantik dengan dinding bata merahnya itu, meninggalkan saya sendiri di halaman gereja yang sepi…
Pastor Lambertus Prinsen, pastor pertama di Semarang.
Jauh ke belakang sebelum Gereja Santo Yusuf Gedangan dibangun, situasi umat Katolik di Hindia-Belanda didera banyak cobaan, terutama di bawah kekangan kuasa VOC. Para imam-imam Katolik dijebloskan ke penjara dan ibadah umat Katolik dilarang sehingga misa dilakukan secara sembunyi. Kebencian VOC terhadap agama Katolik bersumber pada Perang Belanda-Spanyol dan persaingan niaga di Asia. Setelah sekian lama menderita, angin perubahan pun berhembus dan siapa sangka, Gubernur Jenderal yang selama ini dikenal galak dan kejam justru adalah orang yang meniupkan angin perubahan itu. Siapa lagi kalau bukan H.W. Daendels. Di bawah kuasanya, orang-orang Katolik akhirnya diizinkan untuk menjalankan ibadahnya. Vatikan segera mengutus dua pastornya, Jacobus Nielesen dan Lambertus Prinsen sebagai misionaris pada 8 Mei 1807 dan tiba di Batavia pada awal bulan April 1808. Dengan tenang, mereka merayakan misa pertama di depan umum pada tanggal 10 April 1808. Tanggal tersebut kemudian dikenang sebagai hari kelahiran misi Katolik di Hindia-Belanda (Florimund, 1936; 12).
Gabungan peta lama Semarang dari abad ke-18, 1866, 1892 dan 1909 yang memperlihatkan perkembangan Kloosterstraat atau kini Jalan Ronggowarsito. Pada peta abad ke-18 terlihat bangunan rumah sakit yang didirikan oleh Coyett pada tahun 1732. Berikutnya pada peta tahun 1866, terlihat bangunan sudah digunakan sebagai panti asuhan (angka 21), namun bangunan Gereja St. Yusuf belum dibangun. Sementara pada peta tahun 1892, terlihat bangunan gereja yang sudah mulai digunakan pada tahun 1875 dan pada peta 1909 terlihat bangunan baru panti asuhan yang selesai dibangun pada tahun 1905 di sebelah panti asuhan lama.

Bangunan lama di sekitar Jalan Ronggowarsito. Keterangan ; A. Gereja Santo Yusuf Gedangan, B. Susteran Gedangan, C. Kapel Susteran, D. Sekolah Marsudirini, E. Kantor Yayasan Kanisius, F. Sekolah Tinggi Pastoral Katekik.
Pada 27 Desember 1808 Pastor Lambertuss Prinsen, Pr. tiba di Semarang. Setelah berpuluh tahun lamanya kota itu tidak memiliki pastor, akhirnya kota itu memiliki pastor. Saat Pastor Prinsen tiba di Semarang, umat Katolik masih belum memiliki gereja sendiri sehingga misa pertama digelar di Gereja Protestan yang kini dikenal sebagai Gereja Blenduk pada 18 Januari 1809. Di Hindia-Belanda, pemandangan satu bangunan gereja yang digunakan oleh umat Protestan dan Katolik secara bergiliran adalah hal yang lumrah pada awal abad ke-19. Ketiadaan uang dan tanah menjadi alasan mengapa umat Katolik belum memiliki bangunan tempat ibadah sendiri. Lambat laun, Pastor Prinsen menyadari jika jemaatnya tidak dapat menumpang di gereja Protestan lebih lama. Misa umat Katolik di Semarang akhirnya diadakan sendiri di sebuah rumah pribadi. Baru pada tahun 1824 umat Katolik dapat memiliki gedung gereja sendiri yang dibeli Pastor Prinsen seharga 6.000 gulden. Letakya berada di utara Paradeplein atau lokasi saat ini menjadi Semarang Contemporer Art Gallery (Swieten, 1900 : 68-69).
Gereja St.Yusuf Gedangan.
Gereja St.Yusuf Gedangan pada tahun 1925 (sumber: Semarang, Beeld van een Stad).
Ketika Gubernur Jenderal C.F. Pahud melawat ke Semarang pada tahun 1859, ia mendapati tempat ibadah untuk umat Katolik dalam keadaan memprihatinkan. Akhirnya pemerintah kolonial memberi hibah dana sebesar 50.000 gulden. Namun hibah tersebut baru dikucurkan sepuluh tahun berikutnya. Sedianya, gereja itu akan dibangun di Heerenstraat (sekarang Jalan Letjend. Suprapto), di dalam lingkungan Kota Lama, namun entah mengapa rencana itu diurungkan dan lokasinya dipindahkan ke area kebun pisang di timur kota yang dikenal sebagai Gedangan (Van Aernsbergen, 1934: 34). Pembangunan gereja itu sendiri menghadapi banyak rintangan bahkan sebelum batu pertama diletakkan oleh Pastor Lijnen pada 1 Oktober 1870. Dari hasil perhitungan, bantuan yang diberikan pemerintah rupanya tidak mencukupi untuk membeli tanah dan membiayai pembangunan. Tambahan modal akhirnya diperoleh dari sumbangan dermawan yang digalang oleh pastor Sanders serta dari penjualan tanah gereja yang lama. Rancangan gedung gereja selanjutnya dipercayakan kepada W. van Bakel. Ia merancang gedung gereja tersebut dalam gaya Neo-Gotik yang saat itu masih belum umum di Hindia-Belanda. 
Bagian dalam gereja pada tahun 1920an. Di sebelah kanan tampak mimbar khotbah yang sudah tidak ada lagi (sumber : media-kitlv.nl).
Ketika pembangunan gereja tengah berlangsungbagian atas gereja yang belum selesai tiba-tiba roboh tanpa diketahui sebabnya. Peristiwa itu terjadi pada 12 Mei 1873. Musibah tak terduga itu akhirnya berpengaruh terhadap perubahan rancangan gereja. Menara lonceng di bagian depan yang sedianya akan dibuat dalam ukuran monumental akhirnya dipangkas lebih rendah dari rencana semula karena kekhawatiran adanya bahaya gempa bumi dan kecelakaan lainnya. Setelah menghadapi segala kesulitan dan musibah, angan-angan umat Katolik di Semarang untuk memiliki gereja sendiri akhirnya terwujud. Gedung gereja akhirnya ditasbihkan dalam suatu prosesi yang khusyuk pada 12 Desember 1875. Pembangunan gereja tersebut memakan biaya sebesar 110.000 gulden. Gereja Gedangan selama beberapa tahun menjadi gereja Katolik terindah di Hindia-Belanda sebelum gereja Katedral di Batavia dibangun (Van Aernsbergen, 1934: 120-121).
Batu peringatan Pastor Lijnen.
Pastor Josephus Lijnen, pastor yang memprakarsai pendirian bangunan Gereja St. Yosef Semarang. 
Saya kini berhadapan dengan gereja berwarna merah. Warna merahnya ia dapatkan dari bata merah yang dibawa dari Eropa. Sementara itu jendela-jendelanya mendapat pengaruh gaya Neo-Gotik. Melalui pintu samping gereja, saya melangkahkan kaki ke dalam bangunan suci itu, mendapati bangku-bangku gereja yang kosong karena hari itu memang sedang tidak ada jadwal misa. Di sudut barat daya gereja, tepatnya di samping kiri pintu masuk utama, terletak batu nisan Pastor Lijnen, pastor yang memimpin upacara peletakan batu pertama gereja pada 1 Oktober 1870. 
Bekas balkon tempat paduan suara.
Orgel yang sudah tidak berfungsi lagi.
Di atas pintu masuk utama, terdapat sebuah balkon yang menghadap ruang utama. Dulu dari balkon itu, para anggota paduan suara melantunkan kidung-kidung kudus, diiringi dengan sebuah orgel bikinan tahun 1903 yang masih ada di tempatnya. Sayang, keindahan nada-nada orgel itu tak dapat didengar lagi karena orgel itu sudah lama rusak. Orgel dan paduan suara sengaja ditempatkan di tempat yang tinggi agar suara mereka terdengar oleh seisi gereja. Denah Gereja St.Yusuf Gedangan jelas-jelas berbentuk galeri memanjang. Bagian tengah disebut nave. Sementara koridor di samping kanan-kiri nave disebut aisle. Denah seperti itu disebut sebagai denah basilica, merujuk pada bangunan tempat pertemuan, pasar dan ruang sidang pada masa kekaisaran Romawi yang diadopsi oleh umat Kristen awal sebagai tempat ibadah karena dapat menampung banyak jamaat (Sumalyo, 2014; 54-55). Sebagai tambahan, di samping kanan dan kiri gereja terdapat bilik kecil untuk ruang pengakuan dosa.
Bagian nave gereja.
Bangku gereja yang masih asli.
Bagian triforium yang melukiskan salah satu kisah dari Perjanjian Baru. Di bawah lukisan terdapat penggalan doa Bapa Kami dalam bahasa Belanda.
Berikutnya, saya menyusuri bagian nave gereja dengan jejeran pilar-pilar yang menopang langit-langit berbentuk rib vault. Pada bagian bawah atap, terdapat panil-panil lukisan yang memperlihatkan kisah-kisah sarat hikmah dari Alkitab. Lukisan-lukisan itu tak hanya sebagai pemanis interior gereja saja, namun juga sebagai media ajaran moral untuk para jemaat. Pada bagian bawah lukisan itu, terpampang rangkaian penggalan Doa Bapa Kami dalam bahasa Belanda yang seakan membuat bangunan gereja itu sedang mendoakan perlindungan bagi orang-orang yang ada di dalamnya.
Altar lama bergaya gotik (belakang) dan altar baru (depan).
Setelah menyusuri nave yang penuh dengan bangku lama bikinan tahun 1885, saya kini berhadapan dengan apse atau ruang altar. Bagian apse adalah bagian paling sakral dalam sebuah bangunan gereja Katolik, maka posisinya selalu dibuat lebih tinggi.  Di ujung apse, terdapat altar bergaya Gotik dari Duesseldorf, Jerman, yang sudah tidak dipakai lagi semenjak Konsili Vatikan II tahun 1962 mengingat setelah konsili itu, pastor yang menggelar misa tak lagi menghadap ke altar di bagian apse (ad apsidem) namun menghadap ke arah jemaat (versus populum). Jendela-jendela berbentuk jarum di bagian apse diisi dengan kaca patri yang memperlihatkan para santo-santa.
Hiasan kaca patri di Gereja Santo Yusuf Gedangan. Masing-masing santo-santa memiliki atribut yang sudah pakem.
Sukma ini terasa bergetar tatkala memandang kehalusan kaca patri yang diterpa sinar dari luar, menghasilkan bayang-bayang tokoh-tokoh yang dikuduskan dalam Gereja Katolik dengan raut wajah yang lembut namun tak menyiratkan senyuman sesuai halnya dengan kaidah ikonografi tradisional Kristen (iconreader.wordpress.com). Setiap tokoh digambarkan sesuai atribut ikonografinya masing-masing. Terpampang di bagian halo atau lingkar cahaya di belakang kepala, nama-nama para janakudus seperti St.Fransiscus Asissi, St. Antonius Padua, St. Cecilia, St.Anna, St. Elisabeth, St. Agnes, St. Fransiscus Xaverius, St. Ignatius Loyollam, St. John Berchmans dan lain-lain yang masing-masing memiliki kisah yang menggugah hati.
Bangunan Pastoran Gedangan.
Mgr. Albertus Soegijapranata S.J.  Selama beberapa tahun sempat tinggal di Pastoran Gedangan( sumber : wikimedia.org ).
Beringsut dari gereja, saya kini berhadapan kembali dengan gedung Pastoran gereja, tempat pastor tinggal. Di bubungan atapnya, terlihat hiasan atap bermotif seperti sesuluran dengan penunjuk arah mata angin yang bertengger di puncaknya. Pastor-pastor di Semarang dahulu tidak hanya melayani umat di Semarang saja, namun juga yang ada di Rembang, Jepara, Pemalang, Salatiga, Klaten, dan Yogyakarta. Meskipun cakupan wilayahnya cukup luas dan umatnya banyak, namun Semarang secara hierarki gereja  masih berada di bawah Vikariat Apostolik (semacam provinsi dalam Gereja Katolik) Batavia. Semarang baru resmi menjadi Vikariat Apostolik atau keuskupan pada tahun 1940 dengan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ sebagai uskupnya sekaligus menjadikannya sebagai uskup pertama dari kalangan bumiputra (Utami , 2012;16). Ketika saya singgah di terasnya, di situ saya mendapati foto Romo Soegija yang tergantung di tembok. Pastoran ini memang sempat menjadi bagian dari babak kehidupan Romo nasionalis itu, ketika ia menjadi Pastur Kepala di gereja itu hingga tahun 1946. Rasa simpati dengan kemerdekaan RI ia tunjukan dengan mengibarkan bendera merah putih di halaman gereja. Dari Pastoran itu pula, romo yang terkenal akan motto "100% Katolik, 100% Indonesia" itu menyerukan pesan agar Sekutu menghentikan penyerangan karena rakyat menjadi sengsara akibat serangan itu. Saking lekatnya gereja itu dengan sosok Romo Soegija, maka sungguhlah tepat rasanya jika film “Soegija” mengambil sebagian gambarnya di kompleks gereja ini.
Kondisi Kloosterstraat sebelum dibangun bagian panti asuhan untuk balita dan anak laki-laki
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/).
Kloosterstraat pada tahun 1915. Terlihat bagian bangunan panti asuhan untuk anak-anak
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/).
Beringsut dari gereja, saya menyeberangi Jalan Ronggowarsito atau dulunya bernama Kloosterstraat. Nama tersebut merujuk pada klooster atau kompleks biara yang berdiri persis di seberang gereja ini. Setiap pengunjung biara akan disambut dengan sebuah gerbang kuna, dimana dibalik gerbang tersebut para suster dari ordo Fransiskan menjalankan kaul biarawatinya. Letaknya sedikit berada di bawah permukaan jalan karena jalan itu kerap digenangi air rob sehingga bertahun-tahun jalan itu terus ditinggikan. Biara beraristektur Indis Neoklasik itu sejatinya menempati bekas rumah sakit yang dibangun tahun 1732 oleh seorang pejabat VOC, Frederik Julius Coyet. Batu peringatan pendirian rumah sakit itu sampai sekarang masih terpajang di dinding belakang susteran. Ketika Semarang masih berada di bawah panji VOC, wilayah ini masih termasuk wilayah pinggiran yang sepi, tempat yang ideal untuk sebuah rumah sakit karena kala itu penyakit masih mudah menular dan sebab itulah pasien harus dijauhkan dari orang-orang sehat yang tinggal di Kota Lama (Brommer, 1995; 123-124).
Prasasti untuk memperingati seratus tahun berdirinya panti asuhan (1809-1909).
Pada salah satu sudut tembok biara, terpajang dua prasasti berbahasa Belanda yang memperingati seratus tahun pendirian Weeshuis atau panti asuhan di Semarang. Prasasti itu seakan membangkitkan rasa ingin tahu saya akan sejarah perkembangan panti asuhan Katolik di Semarang. Beberapa saat setelah Pastor Prinsen tiba di Semarang, ia mendapat wasiat dari seorang bintara militer bernama Wilhelmus Bezagter yang sudah sakit-sakitan. Dalam wasiat tersebut, pengasuhan kedua anak Wilhelmus yakni Katharina Wilhelmina dan Wilhelmus Bartholomeus akan diserahkan kepada Gereja sehingga anak-anak tersebut dapat tumbuh dewasa secara baik-baik. Untuk keperluan tersebut, Pastor Prinsen membentuk Kerk-en Armenbestuur atau Pengurus Gereja dan Kaum Miskin (PGPM) pada 28 Januari 1809 dengan susunan pengurus terdiri dari Kolonel Kavaleri Kieverlijn (ketua), Letnan Kolonel Villeneuve (wakil ketua), A. Abaa (bendahara), dan P.A. Pothoff (sekretaris). Pastor Prinsen sendiri tidak masuk ke dalam kepengurusan. Setelah Wilhelmus meninggal dunia pada 24 Juli 1809, akhirnya kedua anak Wilhelmus menjadi anak asuh pertama PGPM. Mereka berdua diberi makanan, pakaian dan tunjangan hidup sebesar 5 gulden per bulan. Anggaran PGPM sangat terbatas dan sumbangan yang dikumpulkan tidak terlalu banyak mengingat sedikitnya jumlah umat Katolik di Jawa saat itu. Gedung panti asuhan belum ada sehingga anak-anak diasuh dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Baru pada tahun 1815, seorang janda yang disebut Janda Nieuwenhuis bersedia untuk mengasuh mereka secara tetap. Pada tahun 1820, jumlah anak yang diasuh sudah mencapai 11 orang. Masing-masing anak menerima tunjangan hidup sebesar 8 guden perbulan dan 50 gulden per tahun. Sebuah rumah kecil disewa sebagai panti asuhan. PGPM berupaya merawat anak-anak tersebut sebisa mungkin di tengah keterbatasan keuangan (Weeshuisbestuur, 1909 ; 2-3).
Batu peringatan peletakan batu pertama rumah sakit kompeni oleh Frederik Julius Coyet pada tahun 1732.
Semarang memiliki garnisun militer dan komposisi tentara saat itu tidak hanya terdiri dari orang Belanda saja, namun ada juga tentara dari Belgia dan Perancis yang beragama Katolik. Setelah masa dinas habis, tentara-tentara tersebut kembali ke negeri asalnya dan anak-anak mereka banyak yang ditelantarkan. Panti asuhan menawarkan tempat perlindungan untuk anak-anak tersebut sehingga jumlah anak yang diasuh bertambah banyak (Kalff, 1931 : 263). Pada tahun 1820, Pastor Henricus Scholten tiba di Semarang. Perhatian pertama Pastor Scholten adalah menemukan tempat permanen untuk anak-anak panti asuhan karena saat itu mereka masih tinggal di rumah kontrakan. Pada tahun 1828, Pastor Scholten akhirnya berhasil membeli bekas bangunan rumah sakit zaman VOC di Gedangan seharga 18.000 gulden. Saat dibeli, rumah tersebut adalah milik Kolonel H.C. Cornelius. Banyak kesulitan yang menyertai saat proses pembayaran bangunan tersebut karena untuk membeli rumah tersebut PGPM meminjam uang kepada pemerintah kolonial. PGPM sendiri meminjam uang sebesar 16.156,36 gulden dan baru pada 18 Juli 1906, pemerintah kolonial mencabut tuntutan untuk pembayaran pinjaman. Bagian atas bangunan yang baru dibeli tersebut difungsikan untuk ruang kamar anak. Pastor Scholten juga membuka sekolah agar pendidikan anak yatim piatu lebih terjamin (Weeshuisbestuur, 1909 : 9-10). 
Kompleks Susteran Gedangan pada 1930. Awalnya dibangun sebagai rumah sakit luar kota dan sejak tahun 1828 digunakan sebagai panti asuhan Katolik.
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/).
Namun perjalanan PGPM bukannya tanpa rintangan. Kendati sudah memiliki gedung sendiri yang lebih besar, PGPM saat itu justru mengalami kemunduran. Setelah Pastor Scholten digantikan oleh Pastor G.A. Mouriks pada tahun 1828, mulai terjadi perselisihan di dalam kepengurusan PGPM. Perselisihan berawal dari rapat tanggal 19 Mei 1829 mengenai siapa yang berhak diterima di sekolah Panti Asuhan karena beberapa anggota merasa jika Sekolah Panti Asuhan harus dibuka untuk anak-anak di luar panti sementara anggota lain tidak sependapat dengan pemikiran tersebut. Secara diam-diam ada seorang anggota yang memasukan anaknya ke sekolah panti. Pastor Mouriks yang juga ketua PGPM menemukan anak tersebut dan mengelurkannya dari sekolah. Perselisihan ini akhirnya menjadi awal dari campur tangan pemerintah kolonial dalam kepengurusan PGPM selama beberapa tahun berikutnya. Tanpa pemberitahuan kepada Gereja Residen Le Clerq membentuk dan melantik pengurus baru pada tahun 1830 yang beberapa anggotanya bukanlah jemaat Katolik. Dengan demikian, pemerintah kolonial menguasai sepenuhnya kepengurusan Panti Asuhan Katolik karena segala hal pengelolaan panti asuhan harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Setahun berikutnya, jumlah anak panti asuhan melonjak karena pemerintah kolonial memutuskan agar selain anak yatim-piatu dari hasil perkawinan yang sah juga memungkinkan untuk menerima anak yatim-piatu dari hasil hubungan di luar nikah baik dari orang tua Kristen maupun Non Kristen. Munculnya kebijakan tersebut tidak lepas dari banyaknya prajurit yang meninggal paska Perang Jawa sehingga anak-anak mereka butuh perawatan dan perhatian. Pada tahun 1840, jumlah anak yang diasuh di Panti Asuhan Semarang (baik Panti Asuhan Katolik atau Protestan) telah mencapai 350 anak (Weeshuisbestuur, 1909 : 14-16).
Batu prasasti peringatan kedatangan sebelas suster dari biara Heythuisen pada tahun 1870.
Kondisi panti asuhan mulai penuh sesak dengan anak-anak sementara pada saat yang angka kematian anak-anak panti cukup besar. Pendidikan di Panti Asuhan juga tidak diurus dengan serius karena hampir seluruh anggota dewan adalah pegawai pemerintahan sehingga banyak yang meninggalkan anak-anak panti asuhan dan mereka dibiarkan hingga sore. Sementara urusan pekerjaan sehari-hari seperti kebersihan dan memasak diserahkan kepada narapidana yang keberadaannya dianggap dapat memberi pengaruh buruk untuk anak-anak panti asuhan. Pada tahun 1852, sudah ada diskusi mengenai kemungkinan untuk mendatangkan para Bruder dan Suster dari Belanda yang dapat membantu mengelola panti namun rencana tersebut tidak dapat segera diwujudkan karena belum tersedianya anggaran. Angin segar akhirnya datang ketika Pastor Jozephus Lijnen tiba di Semarang pada tahun 1858. Dari tunggakan gaji Pastor Lijnen yang dibayarkan pemerintah sebesar 20.000 gulden, uang tersebut lantas disumbangkan untuk menambah modal Panti Asuhan. Selain itu, Pastor Lijnen pergi ke Belanda pada 17 Oktober 1868 dan menjalin kesepakatan dengan Kongregasi Suster-Suster Fransiskan Biara Induk Heythuysen. Dengan senang hati kongregasi bersedia mengirimkan beberapa susternya untuk membantu mengurus Panti Asuhan Katolik di Semarang. Sekalpun sempat terjadi musibah dalam perjalanan pelayaran menuju Hindia-Belanda, rombongan suster tersebut akhirnya tiba dengan selamat di Semarang pada 5 Februari 1870. Kedatangan mereka diperingati dalam prasasti yang ada di dinding biara (Weeshuisbestuur, 1909 : 42-46).
Panti Asuhan untuk bagian anak perempuan. Bagian ini sekarang menjadi kompleks Susteran Fransiskan Gedangan.
Kompleks susteran dan gerbang utama.
Beranda depan susteran dengan pilar-pilar berorder dorik.
Anak-anak perempuan yang sedang makan bersama.
Kamar tidur untuk bagian anak perempuan.
Gedung lama Froebelschool atau TK yang kemudian digunakan sebagai novisiat baru pada tahun 1924 (sumber : Sint Claverbond 1924).
Kedatangan suster-suster tersebut terbukti memberi perbaikan nasib pada kehidupan Panti Asuhan. Angka kematian anak-anak panti asuhan terus menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun demikian terdapat perubahan dalam perawatan anak-anak di panti. Anak laki-laki dan perempuan yang sudah beranjak dewasa mulai dirawat dan dididik secara terpisah. 200 anak perempuan dipercayakan untuk diasuh para suster Fransiskan. Mereka tidak hanya mengasuh anak panti saja namun juga membuka sekolah Eksternaat pada tahun 1871 yang ditujukan untuk anak-anak luar panti dari berbagai latar belakang. Pelajaran yang diberikan antara lain menggambar, melukis, kerajinan tangan, dan bahasa asing (Perancis, Jerman dan Inggris). Pada tahun yang sama dengan dibukanya sekolah Eksternaat, dibuka juga Frobelschool atau taman kanak-kanak di utara panti yang menempati bekas kediaman keluarga Buck dan Raadhoven. Kediaman itu lalu dibeli dengan harga 46.360 gulden (Munster, 1910: 362). Hal ini kemudian menarik perhatian Raja Siam Chulalongkorn yang menyempatkan diri berkunjung ke panti asuhan pada tahun 1871. Mengingat banyak murid Frobelschool berasal di Bojong, maka dibukalah Frobbelschool baru di Bojong pada tahun 1907 dan murid Frobelschool lama di Gedangan juga menyusul dipindahkan ke sana (De Locomotief 31 Desember 1907). Sementara itu, Eksternaat semakin ramai sehingga perlu dibuat pendidikan yang berjenjang dari tingkat dasar hingga menengah. Karena gedung lama di Gedangan tidak cukup untuk menampung semua siswa, maka Kongregasi mendirikan gedung kampus baru yang lebih besar di Bangkong pada tahun 1911 dan beberapa kegiatan pendidikan yang diampu oleh Kongregasi dipindahkan ke sana (Java Post 7 Juli 1911). Pada perkembangan selanjutnya, dibuka juga novisiat atau sekolah untuk calon biarawati kongregasi Fransiskan pada tahun 1892. Novisiat itu awalnya ditujukan untuk perempuan Eropa. Baru pada tahun 1923 dibuka novisiat untuk perempuan pribumi (Sint Claverbond 1924; 48).
Bangunan kapel dilihat dari luar.
Bagian dalam kapel pada tahun 1914. Tampak seorang suster yang sedang berdoa
(sumber : media-kitlv.nl).
Interior kapel.
Jendela bergaya gotik dengan hiasan kaca patri. Hiasan kaca ini dapat dibuka tutup
Bangunan yang kini menjadi bagian dari Sekolah Tinggi Pastoral Katekik.
Kompleks Panti Asuhan kemudian dilengkapi dengan kapel bergaya neogotik ini. Tulisan di bagian depan kapel “Hic Primarius Lapis Positus Est. Die 17 Septembris A: MDCCCXCI”, merupakan penanda upacara peletakan batu pertama kapel ini pada tanggal 17 September 1891. Memasuki kapel yang diberkati oleh Pater Keyzer pada 6 Agustuss 1892, saya dibuat terpikat dengan interiornya yang masih asli. Sayapun duduk tergeming di bangku umat, menikmati jendela bergaya gotik yang diisi dengan kaca patri penuh warna dan langit-langit berbentuk rib-vault dari kayu. Di situ saya seakan terdampar di sebuah gereja Eropa abad pertengahan. Menambah keindahan kapel itu, hamparan tegel halus berornamen menarik yang mengalasi lantai kapel. Namun apabila dibandingkan dengan foto lama, interior kapel saat ini lebih bersahaja. Pada saat itu, saya melihat hanya ada dua orang yang sedang khusyuk berdoa di deretan depan bangku kapel. Suasana kapel siang itu begitu tenang, kontras dengan jalanan yang berada di luar tembok kapel yang ramai lalu lalang kendaraan truk-truk besar yang hendak menuju pelabuhan. Dengan tenang, saya duduk pada salah bangku kapel yang masih asli. Bangku itu sendiri dihiasi dengan ukiran buah anggur, simbol dari darah Kristus. Masih di dalam tembok susteran, tepatnya di sebelah utara kapel, terdapat sebuah bangunan kuno lain dengan ekspos bata merahnya yang tampak serasi dengan kapel. Bangunan yang saat ini dipergunakan sebagai Sekolah Tinggi Pastoral Katekik dibangun pada tahun 1899. Bangunan itu digunakan untuk berbagai keperluan. Lantai atas digunakan untuk kamar tidur para suster. Sementara lantai bawahnya digunakan untuk ruang kelas musik dan melukis sekolah Eksternaat (Hebrans,  1899 : 16-29).

Bekas bangunan panti untuk bagian anak balita.
Kepengurusan panti asuhan mulai menikmati sejumlah kebebasan semenjak Menteri Urusan Koloni Frans van der Putten menyampaikan pesan bahwa pemerintah tinggi di Belanda berencana untuk menghentikan pembiayaan untuk lembaga amal pada tahun 1865. Dengan hal ini panti asuhan tidak lagi menjadi lembaga pemerintahan namun pada akhirnya sumber pendapatan untuk menghidupi panti hanya bergantung dari kebaikan para dermawa. Hal tersebut cukup sulit dilakukan karena jumlah orang Eropa di Hindia-Belanda sangat sedikit dan mereka sendiri tidak terlalu gemar menyumbang. Tanpa adanya subsidi dari pemerintah, Panti Asuhan tidak akan pernah bisa berjalan. Oleh karena itu jalan tengah diambil pada tahun 1873 dimana pemerintah membebaskan pengelolaan panti asuhan dan hanya berwenang dalam mengawal agar subsidi digunakan sebagaimana mestinya, mengesahkan aturan yang disusun sendiri oleh pengurus panti asuhan, dan pengangkatan anggota pengurus Panti Asuhan. Sejak 30 Mei 1905, pemerintah kolonial dengan tegas menyebut bahwa Panti Asuhan Katolik sudah menjadi yayasan swasta yang mandiri dalam kepengurusan karena pemilihan dan pengangkatan pengurus yayasan tidak lagi membutuhkan persetujuan Residen Semarang. Pemerintah hanya bertugas memberi subsidi untuk menutupi kekurangan keuangan yang ada (Weeshuisbestuur, 1909 : 67).
Ketika bagian anak perempuan diasuh oleh suster Fransiskan, bagian anak laki-laki diasuh oleh wali dari kalangan awam yang ditunjuk langsung oleh ketua PGPM. Selain bagian anak laki-laki, PGPM menganggap perlu untuk mengasuh anak yatim-piatu yang sudah ditinggalkan orang tuanya sejak balita sehingga muncul bagian perawatan untuk balita. Hal ini akhirnya memicu kebutuhan untuk memperluas panti asuhan. Sebagai persiapan, dibelilah beberapa bidang lahan di selatan panti asuhan hingga Heerenstraat (kini jalan Letjend Suprapto) dari pembagian keuntungan lotre tahun 1885. Lahan sudah tersedia, namun bangunan belum dapat didirikan karena belum adanya anggaran. Pembangunan baru dapat dilanjutkan setelah yayasan menerima keuntungan hasil lotre yang diadakan pada tahun 1902 dan 1904. Arsitek W. Westmaas Sr. ditugaskan untuk merancang bangunan baru panti asuhan untuk bagian anak laki-laki dan balita. Upacara peletakan batu pertama dilakukan oleh Residen Semarang Pieter Sijthof pada 16 Februari 1905. Pembangunannya begitu cepat karena pertengahan tahun 1905 bangunan sudah jadi. Biaya pembangunannya sendiri menelan uang sebanyak 141.118,16 gulden. Bagian balita pindah ke gedung baru tersebut pada 26 Oktober 1905 dan menyusul bagian anak laki-laki pada 5 November 1905.
Bekas bangunan panti untuk bagian anak laki-laki. Saat ini digunakan untuk kantor pusat Yayasan Kanisius.
Dua tahun berselang, Panti Asuhan Semarang didatangi oleh Superior Jenderal Kongregasi Aloysius Gonzaga Biara Induk Oudenbosch (CSA), Pastor Timotheus Scheffer. Niat kedatangannya adalah untuk mengambil alih perawatan bagian anak laki-laki. Rencana tersebut disetujui oleh pastor Van Swieten sebagai ketua PGPM. Empat bruder kongregasi CSA tiba di Semarang pada 21 Juni 1911. Mereka adalah Bruder Pengawas Wilhelmus Buijs, Bruder Basilius Dijkshoorn, Cyrillus Schalken, dan Wilfried Piron. Belum genap satu dekade anak laki-laki tinggal di Gedangan, mereka diharuskan untuk berpindah tempat lagi karena panti asuhan Semarang menerima limpahan 50 anak laki-laki baru dari Pupillenschool Gombong yang ditutup pemerintah kolonial pada tahun 1912. Dengan bertambahnya jumlah anak asuh, maka muncul wacana untuk membangun kompleks panti asuhan baru di Karangpanas yang terletak di kawasan perbukitan Candi. Sedianya kompleks tersebut akan dipakai untuk bagian anak perempuan namun berdasarkan rapat pada 15 April 1915, maka diputuskan bagian anak laki-laki yang dipindahkan ke sana. Seluruh bagian kompleks Panti Asuhan Karangpanas selesai pada 1 Mei 1915 dan bagian anak laki-laki mulai diboyong ke sana pada 15 Juni 1915. Seluruh kompleks panti asuhan yang ada di Gedangan akhirnya ditempati untuk bagian anak perempuan (Christoforus, 1940 : 244-245).
Ruang makan bersama bagian anak laki-laki.
Kelompok orkes panti asuhan bagian anak laki-laki yang sedang berlatih di halaman tengah panti asuhan.
Merujuk pada catatan sejarah, masa-masa suram merundung kompleks Susteran dan gereja Gedangan ketika militer Jepang menguasai Hindia-Belanda. 21 Oktober 1943, kompleks suci itu dirampas oleh pemerintah militer Jepang dan dijadikan sebagai kamp tawanan anak-anak dan perempuan beserta sejumlah kecil orang lanjut usia. Setidaknya kamp yang terbilang sempit itu pernah menampung 2.440 tawanan. Menjelang kuasa Jepang runtuh, para tawanan dipindah ke kamp Bangkong dan Lampersari (Brommer, 1995; 52-55).

Referensi
Brommer, B. dkk. 1995. Semarang, beeld van een stad. Purmerend : Asia Maior.

Christoforus. 1940. Tussen Windvaan en Koepel ; Vertelsels over de Congregatie van Saint Louis 1840-1940. ‘s-Gravenhage : Ten Hagen Drukkerij en Uitgevers Mij.

Florimund. 1936. Het Kruis in Onze Oost, Geschiedenis der Missie. Amsterdam : N.V. Uitgevers Mij. 'Fidelitas'.

Kalff. S. 1931. "Iets Over Het Weeshuis Semarang" dalam Koloniale Missie Tijdschrift 1931

L. Hebrans, s. J. 1899. “Het Weeshuis en het Instituut der Zusters Franciscanessen te Semarang” dalam Berichten Uit Nederlandsch Oost Indie hlmn. 16-29

Munster, Maria Paula. 1910. Geschiedenis van de Congregatie Der Zusters Franciscanessen van Boetvaardigheid en Chritelijke Liefde (Heijthuizen Nonnenwerth). Heythuizen : Het Moederhuis Heythuizen.

Utami, Ayu. 2012. Soegija, 100% Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Sumalyo, Yulianto. 2014. Arsitektur Klasik Eropa. Yogyakarta: UGM Press.

Swieten, Th. 1900. "De Pastoors van Semarang" dalam Berichten uit Nederlandsch Oost Indische Voor de Leden van den Sint Claverbond I. hlmn 66-71. 's Gravenhage : T.C.B. Ten Hagen

Van Aernsbergen, A.I. 1934. Chronologisch overzicht van de werkzaamheid der Jezuïeten in de missie van N.O.-I. bij den 75sten verjaardag van hun aankomst in de nieuwe missie. Bandung : A. C. Nix & Co.

Weeshuisbestuur. 1909. Beknopte geschiedenis van het R. K. Weeshuis te Semarang 1809-1909. Semarang : G.C.T. van Drop.

https://iconreader.wordpress.com/2013/06/15/why-do-the-saints-never-smile-in-icons/

De Locomotief 31 Desember 1907

Java Post 7 Juli 1911