Sabtu, 06 Januari 2018

Kerkhof Cilacap ; Monumen Kematian di Tepi Pantai

Di bawah cerahnya langit Cilacap nan terik, kami mencoba menyisir makam-makam tua yang terserak di Kerkhof Cilacap. Kendati udara panas menyengat, hal itu tidak memupus semangat rombongan Banjoemas Heritage yang hari itu hendak menjelajahi Cilacap; dan diantaranya adalah saya. Bersama dengan Milo Jatmiko, koordinator komunitas Banjoemas Heritage, Kerkhof Cilacap adalah tambatan pertama mereka pada penjelajahan di Cilacap.
Letak Kerkhof Cilacap (sumber : maps.library.leiden.edu).
Kerkhof Cilacap merupakan sebuah kerkhof yang terletak tak begitu jauh dari bibir pantai Teluk Penyu, Cilacap. Letaknya yang tak jauh dari laut membuat siapapun di sini dapat merasakan lembutnya semilir angin laut. Kerkhof ini merupakan tempat berkumpulnya jenasah orang-orang Belanda yang wafat di Cilacap tanpa memandang jabatan, usia, dan gendernya. Secara keseluruhan, gugusan makam di sini menghadap ke arah barat. Kondisi kerkhof Cilacap boleh saya katakan lumayan baik, walau makam-makam baru yang tersempil membuat tampilan Kerkhof Cilacap tampak tidak karuan. Hal ini seakan menegaskan bahwa persaingan dan perebutan ruang tidak hanya berlaku bagi mereka  yang ingin mencari ruang hidup saja, namun juga terjadi setelah jiwa dan raga mereka berpisah.
Keadaan kerkhof Cilacap saat ini, dimana makam-makam baru mendampingi makam yang lama.
Permakaman menjadi kebutuhan yang penting bagi orang Belanda yang menetap di Nusantara. Kondisi tubuh mereka yang belum mampu beradaptasi dengan iklim tropis membuat banyak dari mereka yang meninggal di sini. Jarak yang jauh dan biaya pengangkutan yang mahal menjadi pilihan paling terbaik jika jenasah mereka dimakamkan di sini. Dari segi ilmu pengetahuan, keberadaan seperti Kerkhof Cilacap ini jelas memiliki nilai penting. Menurut arkeolog James Deetz, batu nisan yang terdapat pada permakaman adalah artifak yang sempurna karena memiliki perbedaan bentuk, ragam hias, bahan, bahasa, dan penanggalan yang berbeda dalam satu ruang yang sama. Dengan demikian, permakaman menjadi semacam laboratorium yang membantu para arkeolog dalam menganalisa perubahan budaya yang sudah terjadi di tempat itu (Balme, 2006; 380). Berangkat dari penelitian terhadap batu-batu nisan tersebut, maka akan dikenali adanya perbedaan dan perubahan pada gaya batu nisan sehingga dapat memberi pemahaman tentang terjadinya proses budaya. Perbedaan bentuk tersebut dipengaruhi oleh gaya yang sedang berkembang pada periode tersebut, kelas sosial dari orang yang dimakamkan serta latar budaya yang melekat pada orang tersebut. Penelitian terhadap bahan batu nisan juga dapat mengungkap dari mana batu nisan tersebut diperoleh, perpindahan pembuat makam, perubahan desain, dan pergeseran kepercayaan dan kebiasaan masyarakat dalam menghadapi kematian (Veit, 2009: 2). Di dalam batu nisan tersebut juga mengandung informasi genealogi yang membantu keluarga untuk mencari silsilahnya.
Makam Toontje Poland.
(The)Dorus "Toonte" Poland. Nama "Toontje" diperolehnya selama Perang Jawa, ketika Jenderal F.D. Cochius melihatnya dan berseru " Toontje ! ".
Saya tak dapat memastikan sejak kapan kerkhof Cilapa mulai ada. Namun merunut makam tertua yang saya temukan, kerkhof ini telah ada sejak tahun 1857. Makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir seorang kolonel infanteri bernama Toontje Poland. Siapakah Toontje Poland ? Sosoknya mungkin tak setenar Jan Pieterzoon Coen, Van der Capellen atau Van Heutz dalam buku-buku sejarah, namun sebagai perwira militer, ia memiliki karir yang cukup cemerlang. Kolonel kelahiran Alkmaar, Belanda, 20 Januari 1795 itu mengawali karirnya sebagai seorang kopral muda dan ia sempat bertempur melawan pasukan Napoleon di pertempuran Quatre-Bras. Petualangannya di Hindia-Belanda dimulai pada 1817, ketika ia tiba di Batavia. Berbagai kampanye dan ekspedisi militer ia ikuti, dari Cirebon, Banten, Riau, Celebes (Sulawesi), Borneo (Kalimantan), Perang Diponegoro hingga Perang Diponegoro. Ia pun diangkat menjadi ajudan pribadi Sultan Madura setelah perang usai. Ekspedisi Bali adalah petualangan terakhirnya di Hindia-Belanda sebelum ia pensiun pada tahun 1853. Poland kemudian menikah dengan seorang perempuan lokal yang memiliki banyak anak ; yang diperkirakan ada 25 anak. Pada tahun terakhir hidupnya, Poland memiliki ide untuk menulis sejarah hidupnya sendiri. Sayangnya sebelum ide itu terwujud, Poland menderita disentri berat dan meninggal pada 19 Desember 1857. Seusai dengan wasitanya, Poland dimakamkan dengan bendera Belanda yang ia bawa sewaktu ekspedisi Bali (De Locomotief 19 Desember 1934). Perjalanan hidup Toontje Poland akhirnya ditulis dalam sebuah roman karangan Johan Fabricius dalam Toontje Poland (1977) dan Toontje Poland onder de tropenzon (1978).
Foto lama dari Makam Toontje Poland (sumber ; collectie.wereldculturen.nl)
Roman karya Johan Fabricus yang menceritakan petualan Toontje Poland selama di Hindia-Belanda. Ini adalah buku kedua tentang Toontje Polan yang ditulis Fabricus. Buku pertama menceritakan Toontje Poland ketika di Eropa.
Kisah hidup Toontje Poland yang lumayan popular di kalangan orang Belanda akhirnya menjadikan makam Toontje Poland di Kerkhof Cilacap sebagai tujuan ziarah terutama untuk petinggi militer. Batu nisan pada makam lama Poland mengalami kerusakan, sehingga administrator PG Kalibagor bernama Pieterman dan seorang Mayor Belanda bernama Drijber menggalang sumbangan untuk memperbaiki makam Poland pada tahun 1901. Hasil sumbangan yang terkumpul kemudian digunakan untuk membeli batu nisan baru yang terbuat dari lempengan marmer hitam. Makam Toontje Poland juga diberi hiasan relief yang terbuat dari bahan sejenis dari batu nisannya (De Locomotief, 23 November 1901). Sayangnya, keempat lempengan batu marmer hitam tadi sudah tidak ada lagi di tempatnya. 
Makam berbentuk kubus.
Makam yang dilengkapi dengan pilar utuh, simbol dari kehidupan yang sempurna telah tercapai.

Makam berbentuk peti.
Makam dengan bentuk belah ketupat.
Makam dengan bagian belakang yang membentuk seperti gerbang.
Pusara dengan ornamen guci di kemuncak. Guci merupakan lambang dari tubuh yang kembali menjadi abu.
Makam-makam dengan dekorasi pilar patah, lambang dari putusnya tali kehidupan.
Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa pusara-pusara tua di sini menyiratkan lambang atau pesan yang bertalian dengan kematian. Inilah yang disebut seni permakaman, sebuah seni tentang mengabadikan jiwa yang telah tiada. Seni ini diwujudkan entah dalam bentuk pusara, hiasan atau puisi yang diukir pada prasasti. Saat berjalan ke kerkhof, kadang ditemukan pusara yang bagian atasnya terdapat pilar yang sudah patau atau tidak diselesaikan sampai puncaknya. Bentuk tersebut rupanya sengaja dibuat demikian dan ada maknanya. Menurut Douglas Keister dalam buku "Stories in Stone : A Field Guide to Cemetery and Iconography", pilar yang tidak patah dapat diartikan sebagai putus atau berhentinya kehidupan seorang insan di dunia. Bentuk tersebut juga dapat dimakna sebagai mimpi yang tidak tergapai semasa hidup. Beberapa pusara di kerkhof Cilacap ada juga yang berbentuk seperti guci, dimana guci pada zaman dahulu menjadi tempat menyimpan abu jenasah dan dapat dimaknai sebagai ruh.
Makam-makam dengan simbol tengkorak.
Selain diwujudkan dalam bentuk pusara, pesan kematian juga dibentuk dalam wujud ukiran pada prasasti. Contohnya adalah makam Toontje Poland tadi, dimana di situ terdapat ukiran berbentuk daun palm dan untaian bunga sebagai simbol kemenangan atas kematian. Berikutnya adalah ukiran tengkorak dan tulang bersilang pada pusara Juliana Elizabeth Sarnie (lahir Vincent). Bagi orang yang belum paham, mungkin ukiran tersebut akan ditafsirkan sebagai simbol bajak laut dan secara praktis akan membuat kesimpulan bahwa makam tersebut milik seorang bajak laut. Sejatinya, simbol tengkorak dengan tulang bersilang merupakan simbol dari kematian. Selain itu, terkadang terdapat lubang-lubang bundar di pusara, lambang dari kehidupan abadi. Lubang-lubang itu merupakan tempat untuk menaruh karangan bunga.
Makam-makam dengan batu nisan yang sudah terlucut dari tempatnya.
Selain makam yang telah rusak atau hilang prasastinya, di sini saya menjumpai jejak vandalisme yang mendera makam-makam itu. Jejak berupa semprotan piloks dari tangan-tangan iseng dapat dijumpai pada salah satu batu nisan.  "Sewaktu saya masih muda, saya masih menjumpai dua patung marmer di makam ini", terang seorang warga yang kerap mencari rumput di sana. Di masa lampau, patung-patung marmer dengan beragam ukuran bertebaran di kerkhof ini. "Patungnya bagus-bagus mas, tapi semakin kesini banyak yang hilang", tuturnya dengan logat Banyumasan. "Dua tahun silam, masih ada satu patung di sini. Tapi patungnya hancur gara-gara diseruduk kerbau", sambungnya.
Makam Asisten Residen yang terbengkalai.
Kondisi makam yang cukup membuat hati saya miris adalah makam asisten residen Cilacap bernama M. Herz yang kini telah dipenuhi tumpukan sampah. Herz meninggal dunia pada 22 Mei 1909, dimana kematiannya terjadi secara tak terduga. Pada pukul 5 sore, seusai bermain tenis di lapangan yang ia resmikan pada hari yang sama, Herz merasa tidak enak badan. Siapa sangka, permainan tenis sore itu akan menjadi permainan tenis terakhir Herz karena setengah jam kemudian Herz meninggal dunia. Penyebab kematiannya diduga akibat gagal jantung. Kabar kematiannya yang mendadak segera dikirimkan ke Residen Banyumas melalui telegraf. Secara pribadi, Residen Banyumas menghadiri upacara pemakamannya yang diadakan pada 23 Mei 1909. Selain Residen Banyumas, pemakamannya dihadiri oleh segenap pejabat sipil Cilacap, perwira garnisun, pengusaha, bupati, patih, letnan Tionghoa, dan kerabat-kerabatnya. Jenasah Herz dimakamkan sekitar pukul 5 sore dan saat peti jenasah sudah sampai di liang lahat, seorang anggota Freemason turun ke dalamnya dan memberi penghormatan terakhir kepada almarhum berdasarkan tradisi Freemason mengingat almarhum adalah anggota dari Freemason (De Locomotief, 25 Mei 1909). Betapa ironis, sang tuan residen Cilacap yang sewaktu hidupnya begitu dihormati kini makamnya justru terlupakan oleh zaman. Ya begitulah, kisah kematian Herz dan nasib makamnya saat ini adalah gambaran kematian sebagai misteri terbesar dalam kehidupan. Tidak ada satupun orang yang tahu kapan akan datangnya kematian yang senantiasa membayangi kehidupan dan tak ada satupun yang mengetahui apakah seseorang tetap akan diingat sekalipun ia sudah tiada. Kematian terkadang dapat menghapus ingatan akan seseorang hingga perlu didirikan semacam monumen untuk mengingat mereka. Namun tak jarang monumen-monumen itu malah ikut terlupakan seiring perjalanan zaman…

Referensi
http://www.graveaddiction.com/symbol.html

Balme, J. (2006). Archaeology in Practice ; A Student Guide to Archaeological Practices. Oxford: Blackwell Publishing.

Van Rees, W.A. 1867. Toontje Poland Voorafgegaan door enige Indische typen. Arnhem ; D.A. Thiemen.

Veit, R. F. (2009). Historical Archaeology of Religious Sites and Cemeteries. Historical Archaeology Vol. 43, No. 1, Historical Archaeology of Religious Sites and Cemeteries, 1-11.

De Locomotief, 25 Mei 1909.