Senin, 21 Mei 2018

Lacak Jejak Pabrik Gula Klampok, Banjarnegara

( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Akhir bulan Juni 2017, Klampok, Banjarnegara. Cahaya matahari pagi itu terasa hangat. Awan kelabu tipis perlahan sirna, berganti dengan birunya kubah langit. Cuaca hari itu mendukung penjelajahan saya bersama kawan-kawan Komunitas Banjoemas Heritage ke bekas PG Klampok, satu-satunya pabrik gula yang pernah berdiri di Banjarnegara.
Lokasi PG Klampok, tak jauh dari pusat pemerintahan distrik Purwareja ( sumber : maps.library.leiden.edu ).
Semua orang tentu tahu bahwa bumi Indonesia tercinta ini dikaruniai Tuhan berupa hamparan tanah subur sehingga hampir segala jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Namun kesuburan tanah ini juga menjadi sumber penderitaan rakyat Nusantara selama lebih dari seabad karena kekayaan alam tersebut rupanya dikeruk oleh bangsa Belanda demi keuntungan mereka sendiri. Tidak lama setelah Belanda berhasil memantapkan kekuasaanya di sini pada pertengahan abad ke-19, lewat kebijakan cultuurstelsel mereka membuka lahan perkebunan di beberapa tempat untuk ditanami tanaman bernilai tinggi di pasaran seperti tanaman tebu yang diikuti dengan pendirian pabrik gula.
Emplasemen PG Klampok awal tahun 1900an ( sumber : maps.library.leiden.edu ).
Di Karesidenan Banyumas sendiri, industri gula dirintis oleh PG Kalibagor pada 1830an. Kesuksesan PG Kalibagor kemudian mendorong pengusaha partikelir lain untuk mendirikan pabrik gula lain di Karesidenan Banyumas. Salah satunya adalah A.W. de Rijk dari firma De Rijke, Groscamp & Co. Disahkannya UU Liberal pada 1870 yang membuka keran ekonomi tanah kolonial kepada pemodal Belanda menjadi peluang de Rijk dan ia mendirikan perusahaan baru bernama Soerabaia Bank en Handels Co. Lewat perusahaan itu, ia mendirikan PG Klampok pada 1889 dan PG Sempalwadak pada 1891. Namun karena memiliki kinerja yang buruk, maka PG Klampok diambil alih oleh sebuah badan usaha di bawah nama N.V. Cultuurmaatschappij Klampok (Wiseman,2001; 366). Perusahaan tersebut didirikan di Surabaya pada tahun 1889 dengan modal sebesar 200.000 gulden yang dibagi menjadi 40 saham dengan harga perlembar sebesar 5000 gulden. Kursi jabatan administrator atau kepala PG Klampok diduduki pertama kali oleh J.F. de Ruyter de Wildt, kemudian A.W. De Rijk menjadi akuntan editor dan kursi direktur pengawas diisi oleh Mr G. H. van Zyll de Jong dan C. W. Groskamp (Java Bode, 4 September 1889).
Foto satelit PG Klampok. Keterangan 1 : Bekas lokasi pabrik. 2 : Bekas rumah administrateur. 3 : Deretan eks rumah dinas PG Klampok. 4 : Kantor pos Klampok. 
Tibalah kami di situs PG Klampok. Tiada bangunan pabrik yang besar dengan cerobong yang tinggi menjulang di sana. Satu-satunya penanda sisa dari PG Klampok hanyalah barisan tembok batu-bata tua di belakang area gudang semen. Pabrik gula Klampok sendiri sudah lama pupus dan sepertinya dihancurkan di masa pendudukan Jepang. Sungguh tragis akhir nasib dari pabrik ini. Di masanya, ia diklaim sebagai pabrik gula paling modern karena PG Klampok adalah pabrik gula pertama di Jawa yang sudah teraliri listrik. Listrik-listrik itu dipakai baik untuk mendukung operasional mesin ataupun untuk penerangan rumah karyawan. Untuk tanah perkebunan, PG Klampok menyewa lahan seluas 3000 bouw atau 2100 hektar, menjadikannya PG dengan ladang terluas di Karesidenan Banyumas. Berbeda dengan di negara lain, pabrikan gula di Jawa seperti PG Klampok selain sebagai produsen gula juga merangkap sebagai petani. Pabrik akan mengawasi langsung jalannya penanaman tebu yang dilakukan oleh buruh tani kontrak di lapangan mulai dari penyiapan bibit, penggarapan tanah, penanaman tebu, pemupukan, pengairan, hingga pengangkutan dari ladang menuju pabrik. Ada alasan mengapa pabrik gula di Jawa juga harus terlibat dalam urusan penanaman dari awal. Menurut Tichelaar, lahan penanaman tebu di Pulau Jawa luasnya terbatas karena tidak setiap tempat dapat ditanami tebu dan jikapun tempatnya cocok harus berbagi dengan tanaman untuk makanan pokok seperti padi dan jagung. Supaya industri gula di Jawa memiliki daya saing di pasaran dunia, maka satu-satunya jalan adalah dengan melakukan intensifikasi pertanian yang ditangani sendiri oleh pabrik sehingga dengan luas lahan yang terbatas mampu menghasilkan panen yang melimpah (Tichelaar, 1927:82).
Salah satu lori PG Klampok (sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915).
Untuk membawa tebu dari perkebunan ke pabrik, dibuatlah jaringan lori yang panjang totalnya mencapai 140 km, setara dengan jarak Amsterdam-Den Haag. Seusai tebu diolah menjadi gula, berkarung-karung gula dari PG Klampok kemudian diangkut menggunakan kereta api. Dahulu PG Klampok dilintasi oleh jalur kereta milik perusahaan kereta swasta Serajoe Daal Stoomtram Maatschappij yang stasiunnya berada di sebelah barat pabrik. Jalur tersebut dibuka pada 2 Juli 1897 dan pada saat itu baru menghubungkan Klampok dengan Sokaraja. Bersamaan dengan pembukaan jalur tersebut, mulai dibangun pula jalur kereta Klampok dengan Banjarnegara karena Serajoe Daal Stoomtram Maatschappij berminat untuk melanjutkan pembangunan jalur kereta hingga Wonosobo (De Locomotief, 5 Oktober 1898)Keberadaan jalur kereta di dekat pabrik gula Klampok adalah bentuk simbiosis mutualisme antara perusahaan pemilik pabrik dengan perusahaan jasa kereta. Dengan transportasi kereta, karung-karung gula hasil olahan pabrik dapat dikirim ke pasaran dengan lancar, sementara perusahaan kereta menangguk keuntungan dari jasa pengangkutan tersebut.
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda A.W.F. Idenburg yang pernah mengunjungi PG Klampok tahun 1915.

Kedatangan Gubernur Jenderal ke PG Klampok. Keterangan 1 : Gubernur Jenderal Idenburg. 2 : Administrateur PG Klampok, W. van der Haar. 3 : Residen Banyumas Doeve. ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Gubernur Jenderal seusai menengok pabrik. Keterangan 1 : Gubernur Jenderal Idenburg. 2 : Administrateur PG Klampok, W. van der Haar. 3 : Residen Banyumas Doeve. ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
24 Agustus 1915 adalah hari yang teramat istimewa untuk PG Klampok karena pada hari itu, akan ada tamu agung dari Batavia yang berkunjung ke pabrik yang terletak di tepi Sungai Serayu itu. Tamu ini bukan sembarang tamu karena ia adalah orang nomor satu di koloni Hindia-Belanda, Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg. Seperti yang diwartakan Weekblad voor Indie terbitan 5 september 1915, lawatan Zijn Execelentie ke PG Klampok didampingi oleh Residen Banyumas saat itu, Doeve dan kepala pabrik, W, van der Haar, dan bupati Banyumas. Setelah mengelilingi pabrik yang baru saja diperbesar tahun 1912 itu, Sebelum pulang, manajemen pabrik memberikan cinderamata berupa album berisi foto-foto pabrik gula kepada Idenburg.

Mesin sentrifugal (sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915).

Pompa ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Gambaran petani tebu yang sedang memulai bercocok tanam (sumber : media-kitlv.nl).
Gubernur Jenderal Idenburg begitu puas dan terkesan dengan kinerja PG Klampok yang dalam pandangannya adalah gambaran dari semangat para kapitalis Belanda dalam memajukan industri gula kolonial kala itu. Namun ia mungkin tak tahu, bahwa kemajuan yang diraih industri gula saat harus dibayar dengan peluh derita para petani yang tanah milik mereka direnggut secara halus. Kala itu, pabrik gula tidak dapat memiliki tanah dan sebagai gantinya mereka menyewa tanah pada petani. Para petani secara halus dipaksa menanam ladangnya dengan tebu. Pemandangan hamparan hijau tanaman padi, segera berganti dengan lebatnya batang-batang tebu yang tinggi. Nasib para petani yang semula bebas mengurus lahannya, kini berakhir menjadi buruh yang terikat kontrak pabrik gula. Tak jarang masa tanamnya melebihi waktu cocok tanam padi sehingga produksi padi terganggu dan stok beras menipis di pasaran. Dengan pendapatan yang amat kecil, nasib mereka kian sengsara karena mereka masih ditarik pajak yang mencekik.
Sisa tembok belakang PG Klampok.
Waktu-waktu kejayaan PG Klampok tampaknya telah habis. Warsa 1930an adalah tahun getir bagi industri gula di Jawa. Meredupnya industri gula tak lepas dari tersungkurnya harga gula di pasaran dunia akibat krisis keuangan atau malaise. Produksi gula diciutkan sehingga banyak pabrik gula yang ditutup, salah satunya adalah PG Klampok yang akhirnya tutup usia pada 1932. Bersama PG Klampok, PG lain di Banyumas yang bernasib serupa antara lain PG Kalirejo, PG Bojong, PG Purwokerto, dan PG Kalibagor. Tiada lagi pasokan gula yang dikirim ke Cilacap. Meskipun demikian, pihak manajemen masih terus berupaya mencari harapan untuk dapat membuka kembali lahannya dan membangkitkan PG Klampok dengan mencari suntikan modal baru (De Locomotief, 9 Mei 1935). Tapi upaya tersebut tampaknya berakhir sia-sia. PG Klampok tak pernah pulih. Seiring waktu, bekas pabrik yang pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal itu akhirnya dipreteli sendiri mesin-mesinnya. Bangunan Societeit dibongkar oleh seorang pembeli Tionghoa. Selanjutnya pada tahun 1935, lahan pabrik diambil alih untuk dijadikan sebagai Landbouwkolonie, yakni semacam sekolah pelatihan pertanian. Bangunan perumahan pegawai lalu dijual seharga 4000 gulden untuk rumah tinggal peserta pelatihan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21 November 1935).
Sisa-sisa rumah dinas pegawai PG Klampok.

Kantor pos Klampok.
Walau PG Klampok telah musnah, namun beberapa jejaknya masih dapat dilacak di dekat dulu PG Klampok pernah berdiri yakni, di sekitar lapangan Balai Latihan Kerja Klampok. Di sana masih  berdiri rumah-rumah bergaya Indis peralihan yang diperuntukan pada para tenaga ahli pabrik seperti chemist, machinist, zinder, dan akuntan. Beberapa rumah bagian depannya memang sudah dirombak untuk keperluan tertentu, namun bentuk aslinya. Mengapa rumah-rumah itu dibangun di dekat pabrik ? Sebelumnya perlu dipahami tugas-tugas para pekerja pabrik gula tadi. Chemist adalah karyawan yang ahli dalam menentukan mutu produksi gula. Kemudian machinist berperan dalam perawatan mesin pabrik, baik mesin penggiling atau lori tebu. Sementara itu, tugas pengawasan proses pembibitan, penanaman, dan pemanenan di perkebuan diserahkan kepada Zinder ( Wiseman, 2001; 394-401 ).Dengan kesibukan pegawai yang tiap hari bergumul dengan urusan pabrik, tentu mereka butuh tempat tinggal yang dekat dengan pabrik. Apalagi saat itu kendaraan masih jarang, tidak seperti sekarang dimana para karyawan pabrik dapat tinggal di luar emplasemen pabrik. Sehingga untuk menunjang kinerja pegawai maka kompleks perumahan pegawai pabrik gula zaman Belanda, seperti PG Klampok, selalu dibangun di dekat pabrik.
Bekas rumah adminsitrateur yang kini menjadi kantor BLKP Klampok, Banjarnegara.
Interior rumah administrateur. ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Persis di sebelah barat lapangan BLK, terdapat kantor BLKP Klampok. Walau bagian depan sedikit beralih rupa ; beranda depan ditutup dan ditambah kanopi, namun dinding sampingya tidak bisa menipu jika itu adalah sebuah bangunan kuna. BLKP Klampok menempati bekas rumah administrateur PG Klampok. Dalam struktur manajemen pabrik gula, administrateur adalah jabatan yang paling tinggi karena dialah yang menjalankan segala urusan dalam pabrik. Salah satu administrateur yang pernah tinggal di situ adalah W. van der Haar. Di masa kepemimpinannya, ia PG Klampok dimutakhirkan dan mendapat kunjungan kehormatan dari Gubernur Jenderal Idenburg.
Bekas makam Belanda di dekat PG Klampok.
Pelacakan PG Klampok tak berhenti sampai di bekas pabrik dan kompleks rumah pegawai saja. Sedikit menjauh ke utara, memasuki hutan bambu, kami menjumpai keberadaan beberapa makam Belanda yang jumlahnya tak sampai sepuluh buah. Sayangnya semua prasasti yang semula melekat di makam itu sudah hilang tak diketahui kemana rimbanya. Walhasil kami tidak mengetahui siapa saja yang dimakamkan di sini.

Referensi

Fajar Riadi. 30 Maret 2018. "Cara Penguasa Genjot Produksi Gula" dalam https://historia.id/modern/articles/cara-penguasa-genjot-produksi-gula-P0o5g

Jatmiko W. 28 Desember 2012. "Suikerfabriek Klampok" dalam  http://www.banjoemas.com/2010/10/suikerfabriek-klampok.html

Petrik Matanasi. 7 April 2017. "Swastanisasi Gula, Meliberalkan Jawa" dalam https://tirto.id/swastanisasi-gula-meliberalkan-jawa-cmhe

Suhendra. 7 April 2017. "Pasang Surut Industri Gula Indonesia " dalam https://tirto.id/pasang-surut-industri-gula-indonesia-cmhg

Tichelaar, J.J. 1927. De Java Suikerindustrie en hare beteekenis voor Land en Volk. Surabaya : N.V. Boekhandel en Drukkerij H. van Ingen.

Wiseman, Roger. 2001. "Three Crises : Management in The Colonial Java Sugar Industry". Tesis. Adelaide : University of Adelaide, Departement of History.

Java Bode, 4 September 1889

Weekblad voor Indie edisi 5 September 1915.

De Locomotief, 9 Mei 1935

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21 November 1935

2 komentar:

  1. Apakah masih mungkin untuk dikelola sebagai tempat wisata sejarah ?

    BalasHapus
  2. Makamnya ada di dekat rumah saya agak turun ke arah timur dipinggir persawahan

    BalasHapus