Selasa, 26 Juni 2018

Memandang Stasiun Tawang, Stasiun Terelok di Hindia-Belanda.

Suatu hari di Semarang, saya memandang sebuah bangunan kuno yang begitu cantik dengan atap kubahnya, bangunan yang sama dengan yang dipandang oleh seorang wartawan dari warta harian Bataviaasch Nieuwsblad pada hari bangunan itu diresmikan 100 tahun silam. Keesokan harinya, wartawan tadi menyanjung bangunan yang kemarin ia pandang sebagai stasiun terelok di Hindia-Belanda. Ya, bangunan jelita yang saya sedang saya pandang saat ini tidak lain adalah Stasiun Tawang.
Bangunan Stasiun Semarang milik NISM yang pertama di Desa Kemijen.
(Sumber : media-kitlv.nl)
Stasiun Tawang, nama yang sudah tidak asing di telinga warga Semarang, terutama untuk mereka yang sering berpergian menggunakan kereta. Sudah lebih dari seabad Stasiun Tawang senantiasa melayani penumpang setiap hari sepanjang tahun. Ia hanya libur ketika lantai stasiunnya tergenang banjir rob, fenomena alam yang menjadi permasalahan wilayah Semarang bawah. Memandang dari sisi sejarahnya, Stasiun Tawang dahulunya adalah stasiun kepunyaan Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM), maskapai kereta api swasta pada masa kolonial. Sebelum Stasiun Tawang dibangun, NISM sudah memiliki stasiun kereta yang dibangun pada tahun 1867 di Desa Kemijen. Tempat tersebut dipilih sebagai lokasi dari stasiun kereta pertama di Hindia-Belanda karena dekat dengan pelabuhan sehingga memudahkan dalam proses kegiatan bongkar muat barang. Hal tersebut dimaklumi mengingat tujuan awal dari pembangunan kereta api di Hindia-Belanda adalah melayani angkutan barang. Pada perkembangan berikutnya, kereta api tidak hanya menjadi moda angkutan barang semata namun juga mulai digunakan secara luas sebagai angkutan penumpang. Letak Stasiun Semarang yang ada di Desa Kemijen mulai dirasakan tidak nyaman untuk keperluan tersebut karena jaraknya terlampau jauh dari permukiman. Orang yang pergi ke stasiun mesti melewati jalanan panjang yang berdebu di musim kemarau dan berlumpur di musim hujan. Tidak jarang air menggenangi jalan hingga pinggang orang dewasa sehingga membuat orang kesulitan menuju ke stasiun. Permasalah tersebut menjadi dasar keputusan NISM untuk membangun sebuah stasiun kereta khusus penumpang di Semarang (De Locomotef 18 Maret 1909).
Gambar rancangan Stasiun Tawang karya Hildering.
Berdasarkan pertimbangan bahwa stasiun baru NISM tersebut akan diutamakan sebagai stasiun penumpang, maka stasiun tersebut akan diletakkan sedekat mungkin dengan permukiman. NISM kemudian memilih untuk membangun stasiun di Tawang yang berada di sebelah utara kawasan Kota Lama Semarang yang menjadi jantung niaga Semarang. Di tempat tersebut sudah ada beberapa perkampungan orang pribumi yang berbatasan dengan rawa-rawa. Setelah NISM melakukan pembebasan lahan di kampung tersebut, tuan Hildring didapuk oleh NISM untuk merancang bangunan stasiun tersebut. Hildring sebelumnya pernah merancang bangunan-bangunan penting di Semarang seperti kantin militer Jurnatan dan Societeit Semarang. Pada proyek pembangunan Stasiun tersebut, Hildring hanya diizinkan untuk merancang tampilan fisik bangunan. Direksi NISM memberi pesan kepada Hildring supaya merancang sebuah bangunan stasiun yang tak perlu terlampau megah ukurannya namun tidak boleh terlihat hambar. Sementara biro teknis NISM sudah menyusun letak dan pembagian ruangan stasiun yang mengedepankan aspek kenyamanan penumpang. Untuk pembagian ruangan tersebut, Hildring tidak diperkenankan untuk mengubahnya (De Locomotef 18 Maret 1909).
Cinderamata untuk undangan upacara peletakan batu pertama Stasiun Tawang
(sumber : media-kitlv.nl)
Proses pembangunan Stasiun Tawang cukup istimewa karena secara simbolis diawali dengan upacara peletakan batu pertama dan hal tersebut jarang sekali dilakukan untuk pembangunan stasiun. Acara penting tersebut berlangsung pada tanggal 29 April 1911. Dewan direksi NISM mengundang segenap aparat pemerintah Semarang mulai dari Residen, asisten residen, dan bupati. Anna Wilhelmina van Lennep, salah satu kerabat dari petinggi NISM, diberi kesempatan untuk meletakan batu pertama dari Stasiun Tawang. Kesempatan tersebut juga digunakan untuk memperkenalkan Sloth-Blauwbower sebagai arsitek baru yang menggantikan Hildring. Di lain tempat, pegawai pribumi NISM menggelar slametan dan hiburan tayub. Para tamu yang hadir lalu diberi cinderamata berupa sertifikat (Het Nieuws van den dag 2 Mei 1911).
Stasiun Tawang beberapa bulan setelah diresmikan (sumber : colonialarchitecture.eu).
Gambar irisan tampak samping Stasiun Tawang. Tampak bagian pondasi stasiun yang dibuat dalam untuk mencegah bangunan melesak akibat kondisi tanahnya yang merupakan rawa (sumber : De Ingenieur 17 September 1927)
Stasiun Tawang berlokasi di tanah rawa yang labil. Para insinyur yang dilibatkan dalam pembangunan Stasiun Tawang akhirnya mengakali permasalahan tersebut dengan cara membuat suatu landasan dari beton dan selama beberapa bulan landasan tersebut diberi beban dua kali massa bangunan. Setelah landasan pondasi dirasa cukup kuat, barulah di atasnya didirikan bangunan beton bertulang dengan empat kolom yang memikul atap kubah. Kendati demikian, agar seluruh bangunan tak turut ambles ke bawah, maka struktur bangunan sayap stasiun dipisahkan dari struktur bangunan utama di tengah. Setelah melewati proses pembangunan yang panjang, bangunan Stasiun Tawang diresmikan dalam suatu perayaan yang digelar pada malam hari tanggal 30 Mei 1914. Sekitar 150 tamu diundang untuk menghadiri pesta perayaan tersebut. Tatkala matahari mulai menapaki langit pada hari pertama bulan Juni 1914, cahaya paginya menyingkap sebuah bangunan stasiun yang akan memulai kiprah perdananya pada hari tersebut. Dengan penuh antusias, khalayak menyambut baik keberadaan stasiun tersebut. Hasil penyelesaian bangunan sangat memuaskan sampai para wartawan yang hadir menyanjung keindahan stasiun baru itu dalam surat warta mereka Grootste en moosite, termegah dan terelok (Bataviaasch Nieuwsblad 2 Juni 1914).
Stasiun Tawang pada tahun 1920 (sumber : colonialarchitecture.eu).
Panorama Kota Lama dari udara, tampak bangunan Stasiun Tawang di sebelah utara
(sumber : media-kitvlv.nl).
Sewaktu Stasiun Tawang diresmikan, pemerintah kolonial sedang mengerahkan segala daya upaya untuk menggelar pameran akbar Koloniaale Tentoostelling di Semarang dalam rangka menyongsong seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis; sebuah ironi karena pameran untuk memperingati kemerdekaan dari penjajah justru digelar di tanah jajahan. Pameran tersebut ditaksir akan dibanjiri pengunjung dari berbagai penjuru mengingat pameran itu baru kali pertama digelar di Hindia-Belanda. Sebab itulah dibukanya Stasiun Tawang disambut dengan antusias oleh pemerintah kolonial karena hal itu sangat membantu kelancaran perhelatan penting mereka. Sayangnya, Koloniale Tentoostelling berakhir dengan kerugian karena jumlah pengunjung yang datang ternyata tidak memenuhi harapan karena pada saat yang sama Perang Dunia Pertama mulai berkecamuk di Eropa. Walau gelaran Koloniaale Tentoostelling telah usai namun bukan berarti stasiun ini kembali sepi. Sebaliknya Stasiun Tawang justru lekas menjadi stasiun kereta teramai di Semarang. Hal ini karena Stasiun Tawang merupakan batu pijakan pertama untuk memasuki wilayah Vorstenlanden dan pedalaman Jawa Tengah yang kaya dengan perkebunan dan sarana militer.
Bangunan utama Stasiun Tawang.
Rangka atap. Bagian ini dahulu diperuntukan sebahai tempat parkir kendaraan.
Bagi sebagian orang di masa itu, keindahan Stasiun Tawang terlihat sepadan dengan gedung Lawangsewu, kantor dari perusahaan NISM yang menjalankan stasiun ini. Boleh dikatakan jika kedua bangunan ini menjadi simbol kejayaan NISM sebagai sebuah maskapai kereta di zamannya. Stasiun Tawang dimahkotai oleh sebuah kubah yang bertengger di puncaknya. Sementara fasad depannya terlihat menawan dengan tiga kaca jendela besar yang diberi dekorasi yang menampilkan roda kereta bersayap, simbol perusahaan NISM. Penumpang yang turun atau naik ke mobil disediakan kanopi lebar di depan stasiun yang akan melindungi mereka dari terik sinar matahari dan hujan. Halaman depan Stasiun Tawang yang luas dahulu memiliki jalan selebar 50 meter yang sudah diaspal sehingga tidak menimbulkan kemacetan di depan stasiun. Jalanan juga menjadi tidak berdebu atau becek pada musim hujan. Selanjutnya di samping kanan dan kiri bangunan, terdapat atap memanjang yang cukup lebar dan masih menyisakan ruang untuk tempat parkir yang dapat menaungi 38 kendaraan (De Locomotef 18 Maret 1909).
Relief roda bersayap.
Eksterior Stasiun Tawang.
Masuk ke dalam bangunan utama, kumandang lagu Gambang Semarang mengalir merdu di dalam aula ruang tunggu penumpang itu. Ruang tunggu setinggi 20 meter ini begitu memikat mata ketika cahaya matahari menembus kaca cupola yang berada di atas atap. Dengan disokong oleh empat tiang penopang, bangunan ruang tunggu ini tampak begitu kokoh. Relief perunggu karya Willem Brouwer turut andil dalam memperelok interiornya. Relief tersebut menampilkan lokomotif uap yang sedang menempuh perjalanan. Dahulu tulisan, “NIS” pernah terpampang pada salah satu relief namun tulisan tersebut kini sudah terhapus. Awalnya Stasiun Tawang memiliki empat lajur pemberhentian kereta dan dua atap peron tambahan. Walau sudah terjadi beberapa perubahan demi mengikuti tuntutan zaman, namun kekunoan Stasiun Tawang belum hilang. Pada malam hari, Stasiun Tawang awalnya diterangi dengan lampu gas sebelum diganti menggunakan lampu listrik.
Bekas ruang tunggu penumpang kelas 1 dan 2 Stasiun Tawang.
Interior ruang tunggu penumpang kelas 1 Stasiun Tawang
(sumber : colonialarchitecture.eu).
Kenyamanan pengguna jasa kereta menjadi aspek terdepan dalam perancangan Stasiun Tawang. Memasuki abad ke-20, NISM memang terbilang loyal dalam memberi pelayanan ekstra bagi pengguna jasa mereka. Supaya antrian tidak menimbulkan kerumunan besar, maka Stasiun Tawang menyiapkan enam konter penjualan karcis. Pembagian ruang tunggu Stasiun Tawang dibuat mengikuti bangunan baru Stasiun Kedungjati dan Ambarawa. Stasiun Tawang memiliki ruang tunggu khusus untuk penumpang kelas 1 dan 2 yang ada di sayap kiri. Jika diamati dari foto lama, bentuk ruang tunggu tersebut mirip dengan bar Eropa. Sembari menunggu kedatangan kereta, para penumpang kelas 1 dapat menikmati hidangan yang disajikan oleh restoran kelas satu di Semarang, Restaurant Smabers. Menariknya Stasiun Tawang menjadi stasiun pertama Hindia-Belanda yang menyediakan ruang tunggu dan toilet terpisah yang diperuntukan bagi penumpang wanita. Slogan “pembeli adalah raja” secara sungguh-sungguh diterapkan oleh NISM pada Stasiun Tawang. Sementara itu penumpang kelas 3 yang biasanya adalah orang-orang pribumi haram hukumnya menunggu di ruang tunggu kelas 1. Mereka disediakan tempat tunggu terbuka yang ada di sayap kanan. Hal ini menunjukan bahwa pembagian ruang tunggu di Stasiun NISM masih kuat dengan unsur segregasi ras. Sayangnya bagian ruang tunggu penumpang kelas 3 tersebut sudah hilang (Het Nieuws van den dag voor N.I 30 Mei 1914).
Cupola stasiun Tawang.
Tiang penopang.
Aula Stasiun Tawang pada tahun 1920
(Sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Semenjak dibuka, Stasiun Tawang menjadi ujung dari jaringan jalur kereta NISM dan selama beberapa tahun jalur kereta antara Stasiun Tawang dengan Stasiun Poncol masih terputus. Hal ini kemudian merepotkan penumpang kereta dari kedua stasiun karena untuk melanjutkan perjalanan mereka harus berganti moda transportasi lain. Hambatan tersebut mulai disingkirkan manakala perusahaan kereta swasta lain di Semarang, Zustermaatschappij, memulai pembangunan jalur sambungan Poncol - Tawang pada 1 Mei 1940 dan mulai beroperasi sepenuhnya pada 6 Januari 1941. Jalur tersebut memiliki peran penting terutama untuk angkutan barang karena barang yang dibawa dari arah barat dapat dibawa langsung ke pelabuhan tanpa menggunakan trem kota terlebih dahulu. Sementara dari sisi angkutan penumpang, jalur tersebut belum memiliki peran penting karena perbedaan lebar jalur antara jalur SCS dan NIS belum memungkinkan untuk adanya perjalanan kereta langsung dari Pantura ke Vorstenlanden. Barulah setelah lebar jalur kereta di Pulau Jawa diseragamkan menjadi 1067 mm, keberadaan sambungan jalur mulai dirasakan faedahnya untuk angkutan penumpang.
Peron Stasiun Tawang.
Hari itu, rutinitas Stasiun Tawang berlangsung seperti biasa. Berbagai kereta dari berbagai arah datang dan pergi, mengisi dan meninggalkan stasiun. Stasiun ini dapat dikatakan stasiun yang super sibuk karena hampir semua kereta penumpang yang melintasi jalur utara singgah di sini. Dalam sehari, stasiun ini bisa disinggahi lebih dari selusin kereta seperti kereta Majapahit, Kertajaya, Sembrani, Matarmaja, Argo Bromo Anggrek, Menoreh, Ambarawa Ekspress, Kalijaga, Kamandaka, dan lain sebagainya. Deru suara mesin lokomotif yang singgah di antara keenam jalur aktifnya masih setia menggetarkan dinding stasiun. Bedanya jika dulu kala suara mesin uap yang mengisi udara stasiun, kini suara itu sudah tergantikan dengan gemetar suara mesin diesel.

Referensi

Ir M. PH. Broekhuijsen,1947, “De verbindingslijn te Semarang” dalam Spoor- en Tramwegen, Nr 23, 6 November 1947 hlmn 369-373.

Bataviaasch Nieuwsblad 2 Juni 1914

Het Nieuws van den dag voor N.I 30 Mei 1914

De Locomotef 18 Maret 1909

Tidak ada komentar:

Posting Komentar