Sabtu, 25 Agustus 2018

Makam Tionghoa yang Tersentuh Budaya Eropa

Salah satu hasil kebudayaan material manusia yang tertua sekaligus paling banyak ditemukan di segala tempat adalah makam. Ketika setiap kebudayaan memiliki corak hidup yang berbeda, begitu pula dalam urusan kematian, sehingga masing-masing kebudayaan menghasilkan bentuk makam yang berbeda pula. Melalui proses migrasi atau diaspora, beberapa bentuk makam dapat ditemukan di tempat yang memiliki kebudayaan berbeda, contohnya adalah makam-makam peninggalan orang Tionghoa di Indonesia atau lebih dikenal sebagai bong. Pada saat bersamaan, kehadiran orang Belanda di masa kolonial juga meninggalkan makam-makam khas Eropa. Kendati tradisi Tionghoa telah memberi aturan dalam pembuatan makam, namun adanya persentuhan dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan Eropa menciptakan bentuk makam yang sangat menarik.  Jejak Kolonial kali ini akan mengulas tentang beberapa makam Tionghoa yang telah mendapat sedikit sentuhan dari budaya Eropa.
Gerbang masuk ke makam Tan Gee Tjhiang.
Familie Begraafplaats van Tan Gee Tjhiang en Tan Hing Gie Salatiga Anno : 1915 “, begitulah bunyi sebuah prasasti yang menempel di dinding sebuah bangunan kuno dekat makam orang yang namanya sudah disebutkan di prasasti tersebut. Makam ini berada di Ngebong, Salatiga, tempat yang selama ini dikenal sebagai tempat permakaman orang Tionghoa di Salatiga. Letak makam ini cukup tinggi dibanding makam sekitar. Semburat puncak Gunung Merbabu terlihat mempesona dari tempat ini, sebuah tempat yang indah untuk tempat peristirahatan terakhir. Selain tempatnya yang indah, bentuk makamnya pun juga tidak kalah istimewa.
Makam Tan Gee Tjhiang.
Unsur Tionghoa pada makam Tan Gee Tjhiang masih terasa kental. Dilihat dari atas, bentuk makam masih mempertahankan dalam bentuk tradisional, yakni dalam seperti punggung kura-kura (ku-khak-bong). Bentuk punggung kura-kura ditiru karena hewan tersebut memiliki umur panjang keturunan almarhum akan dijanjikan umur panjang. Sementara menurut penafsiran J.J.M. de Groot, alasan utama mengapa makam Tionghoa memiliki bentuk demikian adalah sebagai pengganti jajaran punggung bukit yang menurut prinsip feng shui diyakini akan melindungi kuburan dari "angin berbahaya" yang berasal dari tiga sisi. Bentuk makam punggung kura-kura dikenal dalam tradisi Vietnam, Kepulauan Ryuku, dan Tiongkok Selatan. Tradisi tersebut kemudian dibawa oleh perantauan dari Tiongkok Selatan ke negeri rantau. Menempel pada makam, adalah meja altar dengan ukiran gaya Tiongkok yang dibuat begitu halus dan sedap dipandang. Meja altar itu adalah tempat peziarah meletakan sesaji dan dupa. Tradisi Tionghoa mengenal makam lebih dari sekedar tempat menguburkan insan yang telah tiada. Ia adalah salah satu sarana penghubung antara anak cucu yang masih hidup dengan leluhur. Pada bulan tertentu, sebagai tanda bakti kepada leluhur mereka menggelar tradisi ziarah makam atau dikenal sebagai cengbeng. Di makam yang mereka ziarahi, mereka membawa berbagai makanan, buah-buahan, minuman sebagai sesaji. Sesaji itu lalu diletakan di atas meja altar tadi sebagai hadiah kepada leluhur yang kemudian diikuti sembahyang penghormatan leluhur. 
Hiasan keramik.
Bongpay atau batu nisan makam masih tampak melekat di makam berusia lebih dari seabad tersebut. Pada sebuah bongpay, selain nama si meninggal, juga terkandung nama-nama sanak saudara yang ditinggalkan sebagai penghargaan atas nilai persaudaran yang senantiasa dipelihara meski sudah berpisah alam. Bongpay-bongpay itu juga bisa menjadi data genealogi yang membantu anak cucu untuk menelusuri jejak leluhurnya. Di belakang bongpay tersebut, ada gundukan tanah tempat jenazah dikuburkan sehingga makam tersebut seperti tempurung kura-kura. Sementara di samping kanan dan kiri bongpay, terdapat tembok yang mengelilingi latar depan makam.
Altar Dewa Bumi.
Unsur makam Tionghoa lain yang terdapat pada makam Tan Gee Tjhiang adalah altar dewa bumi. Altar ini dibangun sebagai bentuk permohonan agar Dewa Bumi bersedia menerima jenazah yang sudah dikuburkan. Dibanding dengan makam-makam Tionghoa lain, altar dewa bumi pada makam Tan Gee Tjhiang diberi rumah-rumahan kecil sehingga menjadikan altar itu seperti sebuah kelenteng mini. Namun tak hanya itu saja pernak-pernik yang ada di makam Tan Gee Tjhiang.  Jika menengok ke bagian lantai yang terhampar di depan makam, di sana a kan terjumpai hiasan keramik Eropa. Buah Pala, pedang simbol kota Batavia, singa lambang Kerajaan Belanda, hingga monogram VOC, semua hiasan ini nyata sekali adalah milik Eropa. Inilah yang menjadikan makam Tan Gee Tjhiang lain daripada makam Tionghoa lain di Ngebong, Salatiga.
Monumen di belakang makam Tan Gee Tjhiang.
Beranjak ke belakang makam, akan terjumpai dua monumen yang secara kasat mata seperti monumen buatan orang Eropa. Sepasang patung singa jantan gaya Eropa menjaga setiap monumen ini. Monumen ini sekilas berbentuk seperti plengkung kemenangan yang dibuat oleh bangsa Romawi dengan plengkung pada keempat sisinya. Sementara di atas plengkungan terpampang dua sengkalan, 1915 untuk tahun Masehi dan 2466 untuk tahun Cina. Sengkalan itu menjadi penanda tahun makam itu dibangun. Sementara itu, sebaris tulisan Mandarin yang ditulis dari atas ke bawah juga menghiasi kedua monument itu. Nyaris terlihat identik, namun terdapat perbedaan dalam rincinya. Kedua monument ini tampaknya bertalian dengan konsep dualisme dalam filosofi Tionghoa, dimana Alam Semesta seisinya ini diciptakan secara berpasang-pasangan.
Bekas bangunan paseban.
Hal lain yang membuat makam Tan Gee Tjhiang ini tampak berbeda dari yang lain adalah keberadaan bangunan kuno yang masih berdiri di dekat makam ini walau keadaanya sudah tampak lusuh. Menurut keterangan penjaga makam yang kini tinggal di bangunan itu, bangunan yang ia tempati sekarang di masa silamnya adalah paseban tempat keluarga beritirahat jika mereka sedang berziarah ke makam ini. Rasanya cukup masuk akal mengingat letak makam ini berada di tempat yang tertinggi sehingga cukup menguras tenaga bagi mereka yang berziarah ke sini. Dilihat sekilas, bangunan ini seperti paviliun yang sering ada di samping kiri atau kanan rumah orang Eropa.

Makam Tan Gee Tjhiang adalah salah satu contoh awal hasil silang budaya Tionghoa dengan Eropa. Walau orang Tionghoa secara kukuh berusaha menjaga tradisinya, namun persentuhan dengan orang-orang Eropa di masa kolonial membuat beberapa kebudayaan Eropa merasuk ke dalam sendi orang Tionghoa. Dalam struktur sosial kolonial, orang Tionghoa berada di derajad kedua, setingkat di bawah orang Eropa dan setingkat di atas orang pribumi. Jika pemerintah kolonial dalam urusan politik menjadikan bupati sebagai perantara dengan orang pribumi, maka dalam urusan ekonomi, mereka memilih orang Tionghoa sebagai perantara mereka. Dari situ terbentuk hubungan antara importir Eropa dengan konsumen pribumi (Stroomberg, 2018; 61). Dengan sifat giat dan hemat, orang Tionghoa mampu menggapai kemakmuran dengan jumlah kekayaanya mampu mengungguli milik orang Eropa. Seperti halnya orang-orang kaya masa kini, beberapa di antara mereka menjadikan gaya hidup Eropa sebagai patokan gengsi. Selain itu, dengan meniru gaya hidup mereka, setidaknya meraka akan dianggap setara dengan orang Eropa yang saat itu berada di lapisan paling atas dalam sistem sosial kolonial. Salah satu upaya awal dilakukan oleh taipan gula asal Semarang, Oei Tiong Ham yang mengajukan izin kepada Gubernur Jenderal pada 1889 agar diperkenankan mengenakan busana ala barat karena saat itu orang Tionghoa masih dilarang memakai busana ala barat. Baru pada tahun 1905 orang Tionghoa diberikan kebebasan untuk memakai pakaian gaya barat (Liem, 1931; 184). Sesudah itu, semakin banyak orang Tionghoa yang mengadopsi gaya hidup kebarat-baratan, apalagi setelah mereka mengenyam pendidikan Belanda di HCS (Hollandsch Chinesee School). Thauw-chang atau rambut kucir ditanggalkan oleh generasi muda Tionghoa yang sudah mendapat pendidikan barat. Sementara pengantin Tionghoa mulai mengenakan busana pengantin Eropa meski mereka masih menjalankan upacara pernikahan sesuai adat tradisional (Liem, 1931; 239). Selain dalam bentuk busana, pengaruh Eropa dalam gaya hidup orang Tionghoa juga terlihat pada bentuk rumah dan makam.
Mausoleum Thio Sing Liong.
Makam berikutnya yang merupakan hasil silang budaya Tionghoa-Eropa adalah mausoleum yang terletak di Jalan Sriwijaya, Peterongan, Semarang. Dengan gunungan atap yang tebal dan tinggi, mausoleum yang menyerupai bangunan klenteng itu menaungi makam dari Thio Sing Liong beserta istrinya yang kedua. Dahulu, lingkungan sekitar mausoleum itu masih merupakan lahan permakaman Tionghoa di Semarang. Desakan pembangunan membuat banyak makam lainnya tersingkir dan akhirnya tinggal menyisakan mausoleum Thio Sing Liong yang kini terkepung di antara bangunan komersil dan perkampungan padat. Bagian depan mausoeleum itu dilindungi oleh pintu besi dengan jerujinya yang dibuat dalam bentuk yang cantik. Walau terlihat terkunci rapat dari luar, namun masih ada pintu lain untuk masuk ke dalamnya. Pintu tersebut berada di belakang mausoleum, dimana terdapat makam Tionghoa lain milik kerabat Thio Sing Liong. Untuk masuk ke dalam bisa memberitahu penjaga makam yang membuka bengkel di dekat mausoleum tersebut.
Bagian dalam makam Thio Sing Liong.
Arsitektur Tionghoa memang tampak kentara sekali dari luar makam, namun siapa sangka jika bagian dalam makam justru nuansa Eropa yang lebih terasa. Tidak ada gundukan tanah lazimnya makam Tionghoa dan sebagai gantinya adalah dua sarkofagus besar dari batu pualam hitam. Di dalam sarkofagus itulah jenazah Thio Sing Liong dan istrinya yang kedua dibaringkan. Pada sisi depan setiap sarkofagus, dipahatkan inkripsi yang jamak tertulis pada sebuah bongpay. Thio Sing Liong semasa hidupnya dikenal sebagai pebisnis terkemuka di Semarang dan pendiri dari N.V. Handel Maatschappij Thio Sing Liong yang bergerak di bidang perdagangan gula (De Indische Courant 16 Desember 1940). Pada tahun 1940, Thio Sing Liong meninggal dan berbagai kelompok masyarakat Tionghoa memberi karangan bunga duka cita yang masih tersimpan di dalam makamnya. Sementara itu, istri kedua Thio Sing Liong sudah meninggal terlebih dahulu. Dalam tradisi Tionghoa, makam sepasang suami istri hampir selalu dibuat berdampingan atau dimakamkan dalam satu lubang yang sama sebagai penghormatan atas nilai ikatan perkawinan. 
Patung pada tutup peti makam.
Foto Thio Sing Liong.

Tutup sarkofagus kedua makam terlihat menakjubkan. Pada tutup yang terbuat dari pualam putih asal Italia tersebut, diimbuhkan patung yang dipahat menyerupai figur Thio Sing Liong dan istrinya yang kedua. Kedua patung tersebut ditampilkan mendekati aslinya dengan sorot mata yang terlihat nyata. Pandangan keduanya menghadap ke utara, dimana di sana terdapat kawasan pecinan, tempat tinggal mereka sewaktu masih hidup di dunia. Figur Thio Sing Liong terlihat necis dengan kemeja dan jas, serta potongan rambut rapi, persis seperti foto dirinya yang dipajang di samping makamnya. 
Insrkipsi makam.
Bentuk makam seperti yang terlihat di dalam mausoleum Thio Sing Liong sejatinya adalah tradisi dari bangsa Etruska, sebuah bangsa yang pernah mendiami semenanjung Italia sebelum masa Romawi. Pada tutup makam bangsa Etruska, kadang dipahatkan figur dari jenazah yang dimakamkan di dalamnya (Kerrigan, 2017; 65). Kedua patung itu sendiri memperlihatkan figur Thio Sing Liong dan istrinya dalam posisi separo badan, seakan mereka berdua terbangun dari tidur panjangnya dengan selimut yang belum sempat disingkirkan. “ Dalam beberapa kebudayaan”, terang Kerrigan, “kematian hanyalah tahapan peralihan ke kehidupan berikutnya karena kehidupan sendiri dipandang sebagai siklus”.
Mausoleum O.G. Khouw.
Dibanding dua makam pada tulisan di atas, mausoleum yang terletak di TPU Petamburan, Jakarta ini begitu kentara nuansa Eropa dengan bentuk kubah dan pilar tuscan. Ya, inilah mausoleum dari Oen Giok Khouw, seorang tuan tanah kaya nan dermawan yang pernah hidup di masa kolonial. Bukanlah suatu hal yang mengherankan bilamana makam O.G. Khow ini tampak ke-Eropaan karena O.G. Khouw sendiri menyandang status sebagai warga negara Belanda. Hal tersebut sontak mengejutkan kalangan Eropa dan Tionghoa di Hindia-Belanda yang masih terjebak dalam pusaran diskriminasi ras. Berkat status yang disandangnya sejak tahun 1908, ia secara leluasa beranjangsana ke berbagai negeri di Eropa, dari Belanda, Perancis, hingga di negeri terakhir yang ia sambangi dalam hidupnya, Swiss. Di kota Ragaz, Swiss, O.G. Khouw mengehembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1927. Lokasi makamnya dipilih di Begraafplaats Petamburan yang saat itu adalah permakaman paling modern di Batavia.
Makam O.G. Khouw dilihat dari dekat
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Makam O.G. Khouw dilihat dari luar pagar.
(Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Pada tahun 1929, istri O.G. Khouw, Lim Sha Nio membangunkan sebuah mausoleum megah untuk suaminya. Dengan harta yang bergelimang, tentu tak menjadi masalah untuk mengeluarkan biaya sebesar 500.000 gulden atau sekitar 3 milyar rupiah untuk pembangunan makam tersebut (De Sumatra Post, 9 September 1932). Uang sebesar itu digunakan untuk mendatangkan bongkahan batu granit dan pualam dari Italia serta membayar seniman dan arsitek yang merancang makam tersebut. Mengikuti gaya hidup suaminya, makam itupun dibuat dalam langgam Eropa. Makam tersebut memiliki atap berbentuk kubah dari perunggu yang ditopang oleh pilar-pilar klasik berbahan granit yang digosok sampai mengkilap. Kubah tersebut menaungi pusara O.G Khouw dan istrinya. Di atas pusara tersebut, menjulan sesosok patung malaikat perempuan bergaya Eropa yang dengan setia mendampingi pusara O.G. Khouw dan istrinya. Di belakang makam tersebut, terdapat tangga melingkar yang mengarah ke sebuah relung bawah tanah tempat abu O.G. Khouw dan istrinya di simpan. Pada relung tersebut, akan didapati ukiran wajah dari O.G. Khouw dan Lim Sha Nio. Dahulu, relung tersebut diterangi dengan lampu listrik. Makam O.G. Khow yang selesai dibuat pada tahun 1931 ini memang sungguh mewah bahkan menurut berbagai surat kabar saat itu, makam taipan kelas kakap asal Amerika Serikat, John D. Rockefeller, tak mampu menyamainya. Kemewahan makam ini sampai tersiar ke negeri Belanda, dimana media massa Belanda menyebut makam ini sebagai Mausoleum van Een Half Milioen "Makam Setengah Juta Gulden". Makam ini sendiri tidak semata sebagai tempat peristirahatan terakhir, namun juga sebagai suatu karya seni yang patut untuk dikagumi. Saat diresmikan, banyak orang yang mendatangi makam tersebut mulai dari para anggota Volksraad hingga konsulat Italia. Algemeen Handelslbad voor Ned. Indie 29 September 1932 mencatat ada 19.167 pengunjung yang mendatangi makam tersebut setahun sejak makam tersebut dibuat.
Prasasti yang menunjukan pembuat makam O.G. Khow.
Di halaman makam yang sempat menjadi latar salah satu adegan film komedi “Manusia 6 Juta Dollar” ini, empat patung  pemuda dan anak kecil dalam gaya Eropa menyambut pengunjung yang hendak melihat makam ini. Keempat patung tersebut terbuat dari batu marmer Italia. Lalu persis di pinggir pintu masuk, terdapat prasasti yang menyatakan bahwa makam ini dirancang oleh G. Racina, seniman dan pemilik perusahaan AI Marmi Italiani dari Surabaya yang termahsyur sebagai pembuat batu nisan terbaik di seantero Hindia-Belanda. Kisah dari AI Marmi Italiani, perusahaan yang bergelut di bidang kerajinan batu marmer ini sendiri cukup menarik untuk diikuti. Pada tahun 1897, datang dua warga negara Italia bernama G.G. Aleazzi dan A.G. Racina di Surabaya. Kedua orang tersebut memiliki pengetahuan yang baik mengenai seni pahat batu gaya Eropa. Melihat saat itu masih sedikit usaha yang bergelut di penjualan batu alam untuk batu nisan dan dekorasi rumah di Hindia-Belanda, maka mereka mendirikan perusahaan AI Marmi Italiani pada tahun 1910 dengan modal 50.000 gulden. Perusahaan tersebut mendatangkan batu pualam Italia yang dikenal bermutu tinggi dan kemudian diolah untuk dijadikan dekorasi makam maupun rumah. Usaha mereka terus tumbuh sehingga pada tahun 1925, mereka membuka galeri di Pasar Besar No. 34 Surabaya dan menjadi galeri marmer Italia pertama di Hindia-Belanda. Etalase galeri dibuat semenarik mungkin dan diisi dengan kerajinan berbahan marmer sehingga orang tertarik untuk membeli karya mereka. Proses pembuatan kerajinan dibuat di studio yang ada di Lemah Putro. Di studio AI Marmi Italiani, terdapat 14 orang pekerja yang seluruhnya adalah orang Jawa dan masing-masing dari mereka memiliki tugas khusus seperti membuat batu nisan, dekorasi, dan memotong balok. 
Patung di halaman mausoleum O.G. Khouw buata A.I. Marmi Italiani.
Meskipun makam O.G. Khouw menggunakan bahan dari luar, namun pengrajin yang membantu Racina dipilih dari orang-orang lokal. Racina sengaja mempekerjakan orang lokal karena selain upah mereka lebih murah, Racina ingin mewariskan pengetahuan seni pahat Eropa kepada orang lokal. Para pekerja lokal saat itu belum memiliki keterampilan dalam membuat patung gaya Eropa. Maka dari itu, Racina yang memahami dengan baik karakter orang Jawa memberi pelatihan kepada mereka selama lebih dari 20 tahun. Lambat laun orang-orang Jawa yang telah dilatih Racina dapat meniru karya-karya pematung Eropa. Racina berpandangan bahwa akan lebih baik bila Hindia-Belanda dapat membuat sendiri patung pualam bergaya Eropa yang dibuat sendiri oleh tangan-tangan pemahat lokal sehingga Racina tidak pernah memesan patung dalam bentuk jadi dari Eropa. Racina juga tidak ingin karyanya dibawa keluar negeri sehingga bila ada pemesan dari luar, Racina memilih untuk mengirim pekerjanya ke tempat pemesan. Sebagai orang Italia, Racina bangga dapat membagikan pengetahuan bangsanya kepada orang-orang pribumi dan secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Perusahaan AI Marmi Italiani segera dikenal luas atas hasil kepiawaianya yang bermutu tinggi dan menjadi gengsi tersendiri bila mampu membeli karyanya meskipun harganya amat mahal (De Indische Courant ; Oost Java Editie, 1925)
Batu nisan O.G. Khouw.
Bentuk makam tradisional Tionghoa berupa gundukan tanah sudah sepenuhnya ditinggalkan pada makam O.G. Khouw, tergantikan dengan bentuk peti mati ala Eropa. Batu nisan yang dipakai  bukan lagi berupa batu andesit, tergantikan oleh kilau batu granit hitam. Tertera di atas batu nisan, nama O.G. Khouw, tempat tanggal lahir dan tempat tanggal meninggalnya dalam bahasa Belanda, tidak lagi memakai huruf Mandarin. Nama sanak keluarga yang masih hidup atau yang sudah meninggal tak lagi disertakan dalam batu nisan O.G. Khouw. Selain itu, nama marga Khouw tidak lagi ditaruh di depan seperti nama orang Tionghoa pada umumnya, namun ditaruh di belakang mengikuti kebiasaan penamaan orang Eropa.
Patung malaikat. Dalam konsep seni makam Barat, malaikat merupakan perlambang dari duka.
Demikianlah ulasan Jejak Kolonial mengenai sebagian contoh kecil makam Tionghoa bergaya Eropa. Tidak menutup kemungkinan jika  di luar sana tentu masih banyak lagi beberapa makam Tionghoa bergaya Eropa. Menariknya, sejauh ini makam-makam tersebut baru ditemukan di Indonesia. Keberadaan makam-makam yang kelewat mewah untuk sebuah makam Tionghoa ini menjadi penanda adanya persentuhan budaya Tionghoa dengan budaya Eropa di Indonesia. 

Referensi

Kerrigan, Michael. 2017. Sejarah Kematian ; Tradisi Penguburan dan Ritus-ritus Pemakaman dari Zaman Kuno sampai Zaman Modern. Jakarta : Elex Media Computindo.

Jiang, Rinto. 2011. Tata cara Penulisan Nisan Tradisional Tionghoa dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/404-tata-cara-penulisan-nisan-bongpay-tradisional-tionghoa

King Hian. 2012. Penjelasan tentan Bongpay dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1908-penjelasan-tentang-bongpai-1

Liem Thian Joe. 1931. Riwayat Semarang. Batavia : Boekhandel Drukkerij

Liu Weilin. 2013. Pandangan Orang Tionghoa Terhadap Kematian dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3675-pandangan-orang-tionghoa-terhadap-kematian

Stroomberg, J. 2018. Hindia-Belanda 1930. Yogyakarta : IRCiSoD.

De Indische Courant ; Oost Java Editie, 1925.

Algemeen Handelslbad voor Ned. Indie 29 September 1932

De Sumatra Post, 9 September 1932

Minggu, 12 Agustus 2018

Bayang-Bayang Masa Lalu Magelang, Bergstad van Midden Java


Ada sebuah puncak bukit yang menyembul di tengah sebuah kota. Bukit itu adalah Bukit Tidar yang tersohor sebagai pakunya Pulau Jawa. Sementara di kakinya ada kota Magelang, kota yang tumbuh dari garnisun militer menjadi kota pegunungan terindah di Jawa Tengah. Bergstad van Midden Java adalah julukan yang diberikan orang Belanda pada Magelang Magelang karena letaknya di tengah lingkar pegunungan. Kendati tak sebesar kota-kota lain di Jawa, Magelang mengkoleksi banyak sekali bangunan kuno yang menarik. Inilah ikhtiar saya dalam melihat bayang-bayang masa lalu kota Magelang.
Pemandanan udara kota Magelang dilihat dari sebelah barat. Rumah besar di kiri foto adalah kediaman residen Kedu.
Di tengah lingkaran kaki gunung berapi Sumbing, Merbabu, Sindoro, Menoreh, dan Merapi, terhampar sebuah dataran luas yang dikenal sebagai dataran Kedu. Berbagai monumen peradaban kuno karya besar leluhur terserak di dataran yang terhampar bagai permadani hijau itu. Letaknya yang berada di ketinggian 400 mdpl menjadikan iklim dataran Kedu cukup ramah untuk ukuran orang Eropa yang tak tahan iklim tropis. Tidak terlalu panas di siang hari, namun tidak terlalu dingin pula di malam hari. Iklimnya setara dengan iklim Italia Selatan. Dengan segala keindahan dan kenyamanan yang melekat padanya, tak heran jika dataran ini menyandang gelar sebagai Tuin van Java, tamannya Pulau Jawa. Di Jawa, hanya dataran bumi Priangan saja yang dapat mengalahkan keindahan dataran Kedu. Persis di tengah dataran subur itu, menyembul sebuah bukit kecil. Bukit Tidar namanya yang menurut legenda adalah pakunya Pulau Jawa dan di kaki bukit itulah kota Magelang berada (Anonim, 1936; 10).
Peta kota Magelang pada awal 1900an.
Ada banyak kisah tentang asal-usul nama Magelang. Salah satunya berdasarkan tafsir dari M.M. Soekarto yang menyebutkan asalnya dari nama Desa Glang-glang sebagaimana disebutkan pada prasasti Poh yang dikeluarkan atas titah Dyah Balitung. Magelang memang telah ada sejak masa peradaban Mataram kuno, walau saat itu masih berupa desa kecil yang terdiri dari beberapa kampung yaitu Dukuh, Tulung, Boton Kopen, Boton Bolong dan Meteseh. Gaung Magelang kemudian sempat tenggelam selama beberapa abad. Pada abad ke-15. Magelang berada dalam wilayah Kedu yang silih berganti penguasa selama beberapa abad. Sekitar awal abad ke-17, Kedu dimasukan dalam Kerajaan Mataram. Sesudah Perang Suksesi Jawa 1746-1755, wilayah Kedu dipotong untuk Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Wilayah Kedu baik yang dimiliki oleh Surakarta mapun Yogyakarta akhirnya disatukan kembali ke dalam pangkuan pemerintah kolonial Inggris pada 1 Agustus 1812. Secara administratif, wilayah Kedu saat itu dimasukan ke dalam Karesidenan Pekalongan. Barulah pada tahun 1817, Kedu menjadi karesidenan tersendiri yang terdiri dari dua kabupaten, yakni Magelang dan Menoreh. Pengaruh kolonial sejak saat itu mulai begitu dominan dalam perkembangan dan pembangunan kota Magelang hingga pendudukan Jepang (Nessel van Lissa dalam De Locomotief, 31 Januari 1936).
Pemandangan kota Magelang yang memperlihatkan kawasan sekitar alun-alun.
Tanah vulkanis nan subur terhampar di dataran Kedu yang dikelilingi gunung-gunung berapi. Komisaris Inggris, John Crawford, dalam laporannya tentang Distrik Kedu menyebutkan bahwa tembakau dari dataran Kedu sangat diminati oleh pasaran luar. Arus perdagangan cukup ramai di sana dan ada banyak pasar yang ramai di daerah ini. Saat masih berada di bawah Kasunanan Surakarta dan Kasulatanan Yogyakarta, Kedu menjadi lumbung uang dua keraton itu. Sumber pendapatan berasal dari pajak yang dipungut dari gerbang-gerbang tol yang tersebar di Kedu. Sebelum Perang Jawa pecah, Magelang masih menjadi kota kecil yang tenang dan makmur. Kemakmuran dan kedamaian itu memang sempat terusik saat Perang Jawa mulai bergemuruh pada 1825.  Kala itu, kota Magelang terkepung oleh pasukan pengikut Diponegoro dan rakyat yang bersimpati kepadanya. Jenderal De Kock lantas memindahkan markas besarnya dari Surakarta ke Magelang pada tahun 1828. Meskipun perang sedang berkecamuk di luar, Kota Magelang justru menangguk untung selama periode tersebut. Residen Valck dalam laporannya pada tahun 1827 menyebutkan bahwa “pasar tetap dihadiri banyak orang dan perdagangan di dalamnya menjadi sangat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Perang. Pasar Magelang menjual banyak produk sangat luar biasa dalam hal ini".Perlawanan Diponegoro melawan Belanda berangsur-angsur dipatahkan dan berakhir sesudah Pangeran Diponegoro ditangkap di kediaman Residen Kedu. Perang Jawa pun usai, namun riwayat kota Magelang tak berhenti sampai di sini. Perang Jawa mengubah Magelang dari sekedar kota administrasi menjadi pusat militer yang penting di Jawa Tengah.
Jalan raya utama kota Magelang yang berdampingan dengan rel NIS di sebelah kanan (sumber : media-kitlv.nl)
Perdamaian pulih kembali sesudah Perang Jawa berakhir dan sejak saat itu Magelang memasuki era perdamaian yang cukup panjang. Pemerintah kolonial lambat laun berupaya memelihara kota koloninya. Pembangunan infrastruktur mulai digalakan secara bertahap, terutama jalan raya yang menghubungkan Magelang dengan tempat lain. Prasarana jalan raya menjadi prioritas pemerintah kolonial karena kondisi jalan saat itu masih buruk sehingga menghambat arus perdagangan yang perlahan mulai ramai. Saat itu, perjalanan dari Magelang ke Semarang masih melewati Grabak-Salatiga. Pemerintah kolonial kemudian membuat jalan baru ke Pringsurat pada 1833. Kemudian pada 1842, jalan tersebut diperpanjang ke Ambarawa sehingga terhubunglah Magelang dan Semarang via Ambarawa. Masih di tahun yang sama, pemerintah kolonial juga membukan jalan Magelang-Salaman dan kemudian diikuti dengan pembangunan jalan raya Salaman-Purworejo pada 1851. Kota Magelang akhirnya berhasil tersambung dengan tempat-tempat penting liannya. Jaringan jalan raya tersebut dilengkapi pos-pos pemberhentian tempat kurir pemerintah dapat beristirahat atau mengganti kuda. Sementara di dalam kota Magelang sendiri, jalan yang melintasi tengah kota Magelang mulai ditata. Sepanjang jalan dalam kota, ditanami pohon-pohon perindang yang memberi kesejukan udara pada siapapun yang berjalan di bawahnya. Pada penghujung abad ke-19, kedudukan strategis Magelang diperkuat dengan pembangunan jalur rel Yogyakarta - Magelang - Ambarawa dan Setjang - Parakan oleh maskapai kereta Nederlandsch Indisch Spoorweg. (Anonim, 1936 ; 22).
Alun-alun Magelang saat menjadi tempat pameran hasil bumi dan ternak pada tahun 1924. (sumber : media-kitlv.nl).

Pendapa rumah bupati Magelang (sumber : media-kitlv.nl).
Inggris memiliki peran penting dalam sejarah kota Magelang karena pada tahun yang sama saat wilayah Kedu dikuasai Inggris, pemerintah Inggris memilih kota Magelang sebagai ibukota kabupaten Magelang karena letaknya yang strategis. Inggris lalu mengangkat Mas Ngabei Danoekromo sebagai bupati pertama Magelang. Saat kekuasaan pulau Jawa kembali diserahkan ke Belanda, bupati Magelang yang diangkat oleh Inggris tetap berada di kursi bupati dan mendapat gelar baru Raden Tumenggung Danoeningrat pada tahun 1813. Selama kurun waktu yang cukup lama, Magelang memiliki bupati yang berasal dari trah Danoeningrat. Bupati Danoeningrat I membentuk wajah awal kota Magelang dengan pendirian alun-alun, masjid, dan tempat tinggal bupati sebagai syarat legitimasi kekuasaan dan simbol kewibawaan pemimpin Jawa. Alun-alun Magelang sebagaimana kota-kota masa kolonial dikerumuni oleh gedung-gedung penting. Di sebelah barat alun-alun, terdapat masjid yang dalam lanskap tata kota Jawa umumnya terletak di sebelah barat alun-alun. Kemudian di sebelah utara alun-alun, terdapat kediaman bupati dan keluarganya. Rumah bupati Magelang dahulu berdiri di tempat gereja Protestan sekarang berdiri sebelum kemudian digeser agak ke barat. Rumah bupati sudah lama hancur pada persitiwa bumihangus Magelang saat perang revolusi kemerdekaan. Seiring kemajuan kota Magelang, bangunan lainnya pun berdiri di sekitar alun-alun seperti gereja, kantor Pos dan Telepon, kantor perusahaan dagang Escompto, sekolah MOSVIA, sosieteit, hingga hotel. Alun-alun Magelang juga menjadi lokasi perhelatan berbagai acara yang digelar oleh pemerintah kolonial.(Algemeen Handelsblad 7 Desember 1938).
Masjid Agung Magelang pada abad ke-19 (sumber : media-kitlv.nl)

Masjid Agung Magelang hasil pemugaran R.T. Danoesoegondo dan tampak sekarang (sumber : media-kitlv.nl).
Berada di sebelah barat adalah Masjid Agung Magelang yang dibangun pada tahun 1810, bertepatan dengan pemerintahan bupati pertama Magelang, RA Danoediningrat I. Masjid ini berulangkali beralih rupa. Pada tahun 1836 direnovasi oleh R.A.A Danoeningrat II dan pada tahun 1871 oleh R.T.  Danoeningrat III. Selanjutnya pada masa R.A. Danoekoesomo (bupati ke-4 Magelang), dilakuka penambahan serambi pada bagian depan masjid. Penambahan selanjutnya dilakukan oleh R.A.A. Danoesoegondo (bupati ke-5 Magelang) dengan menambahkan ruang samping kanan dan kiri masjid karena masjid tidak mampu menampung jemaat saat ibadah shalat Jum’at. Rupa masjid yang sekarang adalah hasil perombakan bupati Magelang ke 5, R.T. Danoesoegondo pada tahun 1934. Saat itu, kebutuhan ruang terhadap Masjid Agung Magelang semakin mendesak sehingga dilakukan renovasi besar-besaran terhadap Masjid Agung Magelang. Sejumlah bahan seperti batu kali, kerikil, pasir, bata, dan kapur disumbakan dari warga Magelang untuk merenovasi masjid tersebut. Selain bahan bangunan, mereka juga menyumbang sejumlah besar uang yang dikumpulkan di kotak amal dekat masjid. Pekerjaan renovasi masjid Magelang dilimpahkan kepada kantor konstruksi H. Pluyter dengan arahan dari bupati R.A.A. Danoesugondo (De Locomotief, 15 April 1935). Oleh Pluyter, serambi depan yang yang sudah diperluas diberi sentuhan gaya arsitektur Indo-Mughal. Pemilihan gaya tersebut dikriktik oleh arsitek Soesilo yang menurutnya tidak serasi dengan lingkungan sekitarnya (Soesilo, 1937; 154). Bangunan Masjid Agung Magelang memiliki tata ruang yang masih umum dijumpai pada masjid-masjid kama di Jawa, yakni terdiri dari ruang salat utama dan serambi. Pada bagian ruang salat utama, terdapat empat tiang saka guru yang menopang konstruksi atap masjid. Di bagian ini dapat dijumpai maksurah, yakni bilik kecil yang diperuntukan sebagai ruang salat khusus bupati. Sementara itu, bagian serambi dapat dijumpai pada sisi utara, timur, dan selatan masjid. Serambi-serambi tersebut ditopang oleh tiang-tiang dari beton.
GPIB Magelang.
GPIB Magelang pada awal abad 20 (sumber : media-kitlv.nl)
Masih di dekat alun-alun, terdapat gereja tua berlanggam Neogotik yang dahulu digunakan sebagai Indische Kerk. Pembentukan Indische Kerk pada tahun 1835 berlatar dari upaya Raja Belanda saat itu, Willem I, untuk menyatukan berbagai aliran Kristen yang ada di Hindia-Belanda sehingga mereka bisa lebih bersatu memusatkan kegiatan mereka daripada bergerak sendiri. Dari awal kehadirannya ke Nusantara, Belanda tidak berminat untuk menyiarkan agama mereka dan lebih berfokus pada perdagangan semata. Keberadaan Indische Kerk akhirnya terbatas pada pelayanan rohani untuk komunitas Eropa yang kecil. Itulah sebabnya bangunan Indische Kerk meskipun kedudukannya ada di kota-kota penting seperti Magelang, namun karena kecilnya jumlah jemaat maka ukurannya tidak lebih besar daripada gereja di pedesaan Eropa. Gereja Indische Kerk lebih disebut sebagai "Gereja Negara" atau "Gereja Militer" karena para pendetanya digaji oleh negara layaknya pegawai negeri dan pemerintah berwenang untuk mengangkat, memindahkan, atau memberhentikannya.
Kelenteng Magelang awal tahun 1900an ( sumber : media-kitlv.nl ).
Bergeser ke selatan alun-alun yang menjadi gerbang masuk ke kawasan Pecinan, terdapat bangunan keagamaan orang Tionghoa yang disebut kelenteng. Sayang bangunan asli kelenteng Magelang sudah terlalap api pada tahun 2014 dan kini diganti dengan bangunan baru yang tidak mencermikan bangunan lamanya. 
Gereja St. Ignatius Magelang sebelum dirombak tahun 1960an. Gedung gereja dibangun dalam gaya Neo-Romanesque (sumber : media-kitlv.nl).
Pastoran Gereja St. Ignatius Magelang.
Berjalan sedkit ke barat dari alun-alun, terdapat kompleks gereja Katolik St.Ignatius. Kota Magelang adalah kota garnisun yang dihuni oleh tentara dari berbagai latar belakang yang berbeda. Selain beragama Kristen Protestan, beberapa tentara ada yang merupakan pemeluk agama Katolik. Sejak tahun 1880an, Pastor Franciscus Voogel, S.J, ditempatkan di sana untuk memberikan pelayan kepada tentara-tentara tersebut. Kegiatan ibadah dilangsungkan di beranda belakang rumah pastor Voogel. Seiring dengan perkembangan jemaat, maka muncul rencana untuk membangun bangunan gereja yang lebih besar. Namun rencana tersebut tertunda seiring dengan penugasan Pastor Voogel untuk mendampingi tentara dalam ekspedisi Lombok. Selepas Pastor Voogel kembali ke Magelang, rencana tersebut lagi-lagi tertunda karena Pastor Voogel pergi ke Belanda untuk berobat. Pembangunan gereja baru dilaksanakan setelah W. van den Heuvel tiba di Magelang pada 29 Juni 1898. Rancangan gereja dibuat oleh pengawas bangunan dari Waterstaat (kantor pengairan), W. Ziesel. Penggalian pondasi dimulai pada Mei 1899 sesudah berlalunya musim hujan. Sementara upacara peletakan batu pertama dilangsungkan pada 31 Juli 1899 bertepatan dengan perayaan St. Ignatius. Karena bahan bangunan di Magelang saat itu masih jarang, maka pembangunan gereja berlangsung pelan. Saat bagian atap bangunan gereja hampir tuntas, W. Ziesel dipindahkan ke tempat lain sehingga pembangunan gereja diawasi oleh A. van Bebber. Sesudah melalui banyak rintangan, bangunan gereja akhirnya ditasbihkan pada 30 September 1900. Sayangnya, bangunan gereja tersebut tidak dapat berumur lama karena terbakar habis saat Perang Kemerdekaan. Keberadaan berbagai tempat ibadah di sekitar alun-alun merupakan cermin kemajemukan komunitas masyarakat yang tinggal di Magelang, yakni Tionghoa, Belanda dan, pribumi.
Bangunan Gereformeerde Kerk yang kini menjadi Gereja Kristen Jawa.
Foto bangunan gereja Gereformeerde Kerk Magelan pada tahun 1930an.
(Sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Selain sebagai pusat kegiatan militer di Kedu, Magelang dalam sejarahnya juga menjadi pusat zending atau penyebaran agama Kristen yang dijalankan oleh Gereformeerde Kerken. Pada masa itu, untuk mencegah persaingan dan perebutan jemaat antar badan zending, maka masing-masing badan zending hanya berwenang untuk menyebar agama di wilayah yang sudah ditentukan untuk mereka. Gereformeerde Kerken sebagai salah satu denominasi gereja Kalvinis terbesar di Belanda kebagian jatah di Jawa bagian selatan. Wilayah tersebut oleh Gereformeerde Kerken dipecah lagi berdasarkan provinsi di Belanda. Gereformeerde Kerk provinsi Zeeland, Noord-Brabant dan Limburg mendapatkan bagian wilayah Temanggung dan Magelang. Penginjil Gereformeerde Kerken yang pertama tiba di Magelang adalah Pdt. Merkelijn yang datang ke Magelang pada September 1912. Awalnya jemaat yang diasuh oleh Pdt. Merkelijn beribadah di rumah sederhana. Setelah jemaat bertambah besar, maka dibangunlah gedung gereja yang mulai digunakan untuk ibadah pada 17 Maret 1921. Pada tahun 1928, jemaat Jawa di Magelang menangkat seorang pendeta dari kalangan mereka sendiri. Pendeta tersebut bernama Idris Siswawasana yang sebelumnya adalah seorang guru. Gedung gereja tersebut masih berdiri dan sekarang digunakan oleh GKJ (Van Nes, 1937:32-34). 
Di dekat gereja dahulu terdapat rumah tinggal pendeta Merkelijn yang menjadi korban bumihangus saat Perang Revolusi Kemerdekaan.
Sisa dari rumah sakit zending Magelang yang saat ini menjadi bagian dari RSUD Tidar.

Rumah sakit zending Magelang pada tahun 1937
(sumber : Gedenkboek Zending Der Gereformeerdekerken van Zeeland, Noord Brabant en Limburg in Magelang en Temanggoeng.)
Pada peralihan ke 20, muncul gagasan bahwa gerakan zending Kristen tidak hanya berkutat pada layanan rohani dan penyebaran Kristen semata, namun juga turut aktif dalam memperbaiki nasib penduduk bumiputra. Maka dari itu, karya zending di Magelang tidaklah lengkap tanpa kehadiran rumah sakit yang dikelola oleh zending. Sejumlah permohonan telah disampaikan kepada pemerintah kolonial agar zending diizinkan membuka rumah sakit di Magelang namun permohonan tersebut tidak dikabulkan dengan alasan di Magelang sudah memiliki rumah sakit militer sehingga tidak diperlukan fasilitas kesehatan yang lain. Kendati rumah sakit militer atau Militarie Hospitaal Magelang dapat menerima pasien sipil, namun penduduk desa tidak ada yang berani untuk berobat ke sana. Kendati belum memiliki rumah sakit, zending Magelang membuka poliklinik yang dijalankan oleh dokter Abarbanel pada tahun 1924. Karena pemerintah tidak akan memberi subsidi pembangunannya, zending Magelang harus memperoleh dana secara mandiri. Oleh karena itu, Pdt. Merkelijn kembali ke Belanda pada tahun 1928 untuk menggalang sumbangan dan ia berhasil melakukannya di tengah perekonomian yang sedang sulit akibat gejolak krisis malaise. Setelah melewati jalan yang berliku dan panjang, zending di Magelang akhirnya memperoleh sebidang tanah dan bangunan rumah milik seorang mayor Tionghoa di dekat Tidar pada tahun 1929 sebagai lokasi rumah sakit. Kegiatan rawat jalan mulai dapat dilakukan pada bulan Maret 1932. Setelah menanti sekian lama, akhirnya rumah sakit zending Magelang diresmikan pada 2 Mei 1932 bertepatan dengan ulang tahun pernikahan pdt. Merkelijn. "Kami tidak dapat menerima hadiah yang lebih baik selain ini (rumah sakit)", ucap pdt. Merkelijn dalam pembukaan rumah sakit. Dokter Dreckmeier diangkat sebagai direktur pertama rumah sakit (Dreckmeier, 1937: 78).
Gereja Kerasulan Baru.
Selain zending Gerefomeerde Kerken, Magelang juga menjadi tempat penyebaran agama Kristen oleh kelompok Kristen Hersteld Apostilische atau Kerasulan Baru. Kelompok tersebut didrikan di Inggris pada 1831 oleh Edward Irving, seorang pastor asal Skotlandia. Gereja Kerasulan Baru diperkenalkan di Hindia-Belanda oleh mantan pejabat pengadilan tinggi di Batavia bernama Frederik Lodewijk Anthing pada tahun 1881. Tidak lama kemudian Anthing meninggal pada tahun 1883 karena kecelakaan dan kegiatan Gereja Kerasulan Baru di Hindia-Belanda diteruskan oleh murid Anthing, Rasul Liem Tjoe Kiem. Kegiatan penyebaran Kristen oleh Rasul Liem Tjoe Kiem ini mendapatkan banyak pengikut dari seputaran desa di Magelang. Keberadaan Gereja Kerasulan Baru di Magelang tersebut rupanya memikat seorang tokoh Kristen kharimastik dari Purworejo sekaligus mantan murid Anthing lainnya, Kyai Sadrach yang memutuskan bergabung dengan Gereja Kerasulan Baru pada tahun 1899 dan kemudian ia diangkat sebagai Rasul untuk kalangan Jawa. Perkembangan Gereja Kerasulan Baru di Magelang akhirnya mendorong jemaat di sana untuk membangun gedung gereja permanen di Bayeman tahun 1927 dengan dana pembangunan dari sumbangan sukarela jemaat (De Locomotief, 1 Desember 1927).
Menara air Magelang, salah satu tengara kota Magelang.
Bangunan menara air atau watertoren di salah satu sudut alun-alun masih terlihat perkasa. Ukurannya yang besar, bentuknya yang unik seperti kompor raksasa, serta letaknya di tempat keramaian adalah alasan bangunan ini menjadi bangunan paling ikonik di kota ini. Air dimanapun berada dan kapanpun masanya merupakan kebutuhan penting bagi sebuah permukiman. Segala upaya dilakukan oleh pemegang kebijakan pasokan air terjamin untuk warganya. Di Magelang, upaya untuk memenuhi kebutuhan air bagi warga mulai dilakukan oleh Gemeente Magelang sejak tahun 1916. Awalnya pasokan air diutamakan untuk keperluan garnisun militer terlebih dahulu. Kemudian pasokan air diperluas untuk penduduk sipil (De Locomotief, 24 Mei 1917). Air bersih untuk kota Magelang diperoleh dari mata air Wulung dan Kalegen. Sarana air bersih tersebut membutuhkan bangunan bak penampungan air untuk menyimpan cadangan air. Bak penampungan air yang saat ini berdiri di sudut alun-alun Magelang adalah rancangan dari insinyur zeni militer bernama Mayor L. Swaab. Dalam proses perencanaan, Swaab bersaing dengan insinyur zeni lainnya bernama Mayor van Tongeren. Berbeda dengan Swaab, rancangan van Tongeren menempatkan menara air di dekat Sungai Progo. Singkat cerita, gemeente memilih rancangan Swaab. Persoalan muncul saat dimanakah menara air itu akan diletakan di dalam kota. Dinas zeni militer menganjurkan agar bangunan besar itu ditempatkan di alun-alun tapi ada keberatan dari bupati. Sementara saat hendak ditempatkan di belakang gereja Protestan, pihak dewan gereja juga keberatan. Pilihan lainnya adalah menempatkan menara air di belakang kantor Burgerlijke Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) atau di kampung sebelah masjid agung. Tidak jelas bagaimana ceritanya, akhirnya menara air tersebut tetap dibangun di alun-alun mengikuti anjuran zeni  (De Locomotief 27 November 1920). Menara air tersebut memiliki cara kerja sebagai berikut ; air diisi ke bak penampungan yang ada di ketinggian dengan mesin pompa. Lalu dengan bantuan gravitasi, air di bak penampungan dialirkan ke rumah tangga. Menara air berperan untuk menjaga pasokan air selama masa puncak penggunaan yang biasanya terjadi di pagi dan siang hari. Pada malam hari saat penggunaan air menurun, air akan diisi kembali ke bak penampungan. Selama pemadaman listrik,  saat mesin pompa tidak bisa bekerja, menara air menggantikan peran mesin pompa dalam memasok air karena air disalurkan ke rumah-rumah penduduk dengan bantuan gravitasi. Tentunya dengan catatan pemadaman listrik tidak berlangsung lama karena cadangan air di bak penampungan menara air akan menipis jika digunakan terlalu lama dan perlu diisi ulang dengan mesin pompa.
Salah satu plengkung Kali Manggis.
Selain itu, pemerintah kolonial juga membuat akuaduk atau saluran air yang airnya berasal dari Kali Manggis. Masyarakat Magelang masa kini mengenalnya dengan nama Saluran Kali Manggis. Saluran itu mulai digali pada 1857 dan kemudian disempurnakan beberapa tahun berikutnya (Anonim, 1936; 22). Hingga sekarang, air masih senantiasa mengalir lewat saluran yang membelah kota Magelang itu. Begitu banyak fungsi saluran air ini, dari sebagai saluran irigasi, sarana air minum, hingga untuk menanggulangi bencana kebakaran yang kerap melanda Magelang di masa lampau karena saat itu masih banyak bangunan dari bambu. Karena saluran itu melintang di tengah kota, maka dibuatlah tiga buah pelengkung (https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/30/saluran-air-kali-manggis/). 
Kantor dewan kotapraja Magelang. Bangunan sudah hilang
(Sumber : collectie.wereldculturen.nl).
Kota itu kian menonjol setelah Karesidenan Bagelen dilebur bersama Karesdienan Kedu. Magelang akhirnya memainkan peran penting sebagai ibukota karesidenan dan pangkalan militer Belanda di Kedu. Puncaknya adalah tahun 1906, lewat UU Decentralitatiewet, Magelang disahkan sebagai kotamadya sejak 21 Februari 1906 (Anonim, 1836; 7). Dengan adanya kebijakan ini, kota Magelang memiliki pemerintahan otonom yang dikelola secara profesional layaknya kota-kota di dunia barat . Sebagai kepala wilayah, ditunjuk seorang walikota atau kepala daerah. Gementee Magelang sempat memiliki sebuah kantor atau raadhuis yang sayangnya sudah hancur sewaktu perang kemerdekaan.
Kawasan kampung Kwarasan dewasa ini.
Miniatur Kampung Kwarasan (sumber : Locale Techniek 1937).
Bekerja sama dengan arsitek Thomas Karsten, gementee Magelang melakukan pemekaran wilayah dengan membuat sebuah kampung yang sekarang dikenal dengan nama Kwarasan pada 1937. Sesuai artinya dalam bahasa Jawa yang berarti “sehat”, perancangan kampung itu memperhatikan betul kualitas hidup sehat masyarakat seperti yang dianjurkan oleh H.F. Tillema pada bukunya, Kromoblondo. Antar rumah diberi sedikit ruang dengaan jarak yang tidak terlalu renggang agar udara dan cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah. Di kampung itu disediakan pula tanah lapang agar warga bisa berolahraga. Jalan diaspal dan di kanan kirinya diberi pohon perindang. Selain menata perkampungan, tugas utama Gementee lainnya mencakup memperindah taman-taman umum, membersihkan jalan raya, memperkeras jalan dan membersihkan saluran pembuangan.
Bekas markas polisi militer zaman Belanda (sumber : media-kitlv.nl).
Hingga hari ini, Magelang dikenal sebagai kota militer. Selain keberadaan Akademi Militer yang ada di selatan kota, keberadaan garnisun di tepi utara kota yang dibangun sejak zaman Belanda menjadi alasan kuat gelar kota militer disematkan pada kota ini. Garnisun atau militaire encampment di Magelang sudah ada jauh sebelum Perang Jawa pecah, tepatnya pada tahun 1817. Gill berpendapat bahwa alasan garnisun ditempatkan di pinggir utara kota ialah adanya niatan pemerintah kolonial untuk melanjutkan pembangunan berdasarkan karakter bentuk kota Magelang (Gill, 1995; 220). Memang pada akhirnya Magelang sengaja dibesarkan oleh pemerintah kolonial sebagai garnisun militer utama Belanda di Jawa bersama Cimahi, Bandung, dan Malang. Besarnya tentara yang berkedudukan di Magelang membuat militer Belanda membentuk kesatuan polisi militer untuk mendisiplinkan mereka. Kesatuan itu bermarkas di sebuah gedung di ujung lapangan latihan (kini lapangan RINDAM). 


Perumahan-perumahan tentara. Ukuran dan bentuk rumah tergantung pangkatnya. Sebagian besar masih dalam kondisi baik. ( sumber : media-kitlv.nl )

Perumahan tentara pada masa kini.
Akomodasi yang baik dan sehat juga penting dalam ketentaraan. Pada masa awal militer Belanda bermarkas di Magelang, barak-barak tempat tinggal serdadu masih terbuat dari bambu yang notabene menjadi sarang tikus pembawa penyakit pes. Banyak tentara yang meninggal di barak karena terjangkit penyakit ketimbang mati di medan tempur. Oleh karena itu zeni militer mulai membenahi barak tentara di dalam kompleks garnisun pada akhir abad ke-19 (Anonim, 1936; 20). Di dalam garnisun itu, para serdadu menempati barak yang di dalamnya terdapat tempat tidur sesuai kompi pasukan yang dilengkapi kelambu dan mebel sederhana. Mengingat keterbatasan ruangan, maka anak-anak serdadu tinggal di bawah kolong tempat tidur (yang dari situlah lahir istilah anak kolong). Setiap tangsi diberi batas berupa pagar kawat dan terdapat penjagaan 24 jam untuk menjaga ketertiban. Di dalam tangsi, ada kantor, gudang senjata, barak tempat tinggal, dapur, istal, kantin, dan ruang olahraga. Serdadu mandi di sebuah ruangan besar dengan bak mandi panjang. Sementara di luar kompleks, terdapat lapangan tembak dan baris berbaris serta lapangan untuk apel prajurit (Rocher & Iwan Santosa, 2016; 208). 
Military ziekenhuis dulu dan sekarang ( sumber : (Sumber : collectie.wereldculturen.nl). ).
Berikutnya militer Belanda melalui Military Geneeskundige Dienst mendirikan sebuah rumah sakit militer pada 1867 (https://historicalhospitals.com/hospitals-2/military-hospitals/garrison-hospital-magelang/). Rumah sakit ini dahulu dikenal memiliki peralatan kesehatan yang lengkap dan dokter spesialis yang ahli di bidangnya.
Bekas sekolah Kweekschool voor Inlandsch Ambtenaaren (sumber : media-kitlv.nl).
Selain bangunan militer, Magelang juga memiliki banyak bangunan sekolah yang dapat dijumpai di setiap penjuru kota, tanda bahwa pendidikan di Magelang sudah menjadi perhatian utama semenjak dulu kala. Pemerintah kolonial memang berusaha menunjukan kepada penduduk koloni bahwa Hindia-Belanda adalah tempat yang baik untuk membesarkan anak. Sekolah-sekolah bernuansa Eropa dengan sistem pendidikan yang sama di Belanda dibuka. Total ada 39 sekolah dari berbagai jenjang untuk setiap kelompok masyarakat yang dibuka. Sekolah-sekolah itu ada yang milik pemerintah ada pula yang milik swasta. Pendidikan mula-mula hanya menyasar untuk anak-anak keturunan Eropa, namun seiring waktu orang pribumi juga mendapat jatah kursi di sekolah milik Belanda walau hanya dididik sekedar untuk menjadi pamong pemerintah tanpa mengembangkan keilmuan mereka. Kompleks sekolah terbesar di Magelang adalah sekolah Kweekschool voor Inlandsch Ambtenaren yang kini menjadi kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dibangun tahun 1899, sekolah di Jalan Yos Sudarso No.31 itu dibuka dengan maksud mencetak tenaga guru dari kalangan bumiputera. Guru-guru ini nantinya akan mengajar pada sekolah-sekolah kader pamong praja kolonial.

Societeit "De Eendracht" dan ruang bilyar di dalamnya. Gedung societeit hancur sewaktu perang kemerdekaan (sumber : media-kitlv.nl).
Mengenai hiburan, ada banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh orang Eropa untuk mencari kegembiraan di waktu senggang. Buku Magelang de Middlepunt van Den Tuin van Java menyebutkan beberapa sarana hiburan di masa kolonial seperti Societeit  “De Endracht” di dekat alun-alun, societeit militer, tiga buah kedai teh, dan dua bioskop modern yang memutar 6 film per minggunya (Anonim, 1936; 56). Sarana hiburan paling elit adalah Soceiteit “ De Endracht”, dimana hanya orang kulit putih saja yang boleh masuk ke sana. Di sana mereka dapat bermain bilyard, minum-minum, berdansa-dansi, atau menonton pertunjukan musik tonil.
Stasiun Magelang Pasar di kanan gambar ( sumber : media-kitlv.nl ).
Bekas rumah dinas pegawai Stasiun Magelang Kota.
Bekas depo Stasiun Magelang Kota.
Sebuah bangunan tua tampak teronggok bisu di salah satu sudut sub terminal angkutan kota Kebonpolo. Sebelum menjadi tempat pemberhentian angkutan kota, tempat itu pernah menjadi satu dari dua stasiun kereta api di kota Magelang. Bangunan tua tadi adalah bekas depo kereta stasiun ini. Jalur kereta mulai melewati Magelang pada tahun 1898. Jalur itu menghubungkan Magelang dengan Yogyakarta dan pada tahun 1905 dibuka jalur kereta ke arah Secang. Selain Stasiun Magelang Kota ada pula Stasiun Magelang Pasar dan sebuah halte di tengah alun-alun Magelang. Ada alasan mengapa kota ini bisa memiliki dua stasiun. Saat itu, Nederlandsch Indsche Spoorweg Maatshappij perusahaan kereta swasta masa kolonial, diminta pemerintah untuk membangun jalur kereta melewati Magelang. Pertimbangannya, Magelang adalah kota militer terbesar di Jawa Tengah. Nederlandsch Indsche Spoorweg Maatshappij menyanggupi permintaan ini. Namun timbul tarik ulur mengenai dimanakah stasiun kereta akan ditempatkan. Pemerintah kolonial meminta untuk ditempatkan di utara kota, dekat dengan garnisun sehingga pergerakan militer menjadi mudah. Namun insting bisnis Nederlandsch Indsche Spoorweg Maatshappij, melihat bahwa stasiun itu akan jauh lebih menguntungkan jika ditempatkan di dekat Pasar Rejowinangun, urat perdagangan kota Magelang. Maka jadilah kota ini memiliki dua buah stasiun. Kejayaan kereta di Magelang telah lama berlalu, kira-kira pada tahun 1970an, yakni saat moda angkutan kereta mulai dikalahkan oleh angkutan lain.
Bekas pabrik cerutu milik Ko Kwat Ie.
Rumah tinggal Ko Kwat Ie.
Dari sektor industri, terdapat beberapa industri seperti es, tegel, dan cerutu. Di antara industri tersebut, industri paling menonjol di Magelang adalah cerutu mengingat wilayah sekitar Magelang merupakan penghasil tembakau utama. Kira-kira ada delapan industri rokok yang pernah berjaya di Magelang. Tujuh di antaranya dipegang oleh orang Tionghoa dan yang paling mahsyur adalah “Ko Kwat Ie & Zonen Sigatenfabriek” yang dirintis oleh Ko Kwat Ie. Pabrik tersebut awalnya dibuka di Batavia pada tahun 1900 dengan modal awal sebesar 200 gulden dan baru memiliki dua belas karyawan. Dari Batavia, Ko Kwat Ie memindahkan pabrik cerutunya ke Magelang pada tahun 1908 supaya lebih mudah mendapatkan tembakau untuk bahan baku. Sebenarnya saat pabrik cerutu Ko Kwat Ie didirikan di Magelang, sudah ada industri pengolahan tembakau di sana namun masih sebatas industri rumahan dan pemasaranya hanya mencakup wilayah setempat. Pabrik cerutu Ko Kwat Ie yang pertama di Magelang terletak di kawasan Pecinan. Pabrik itu menghasilkan cerutu dengan nama dagang Panama Steer, Deli Havana, Missigit Deli, Carnaval, dan Armada menyasar pangsa pasar orang Eropa dan priyayi pribumi. Pecahnya Perang Dunia I membuat permintaan cerutu dari Eropa meningkat pesat. Ko Kwat Ie memanfaatkan momentum tersebut untuk menembus pasar di Eropa, Afrika, Australia, hingga Asia. Sementara pasar di dalam negeri diperluas dari Sabang hingga Merauke. Selama bertahun-tahun, perusahaan cerutu Ko Kwat Ie tumbuh dengan mantap. Pada tahun 1920, Ko Kwat Ie mendatangkan mesin produksi baru dan pabrik yang lebih besar di lokasi sekarang (Jalan Tarumanegara) yang tidak jauh dari rumah Ko Kwat Ie. Pabrik tersebut produksi harian rata-rata mencapai tiga ratus ribu cerutu dan mempekerjakan lebih dari 1.600 pekerja, laki-laki dan perempuan, yang sebagian besar berasal dari Magelang dan sekitarnya (De Locomotief, 15 Mei 1928). Pesatnya industri cerutu Ko Kwat Ie menarik perhatian sejumlah pembesar negeri. Jika Gubernur Jenderal sedang melawat ke Magelang, mereka akan menyempatkan berkunjung ke pabrik cerutu Ko Kwat Ie. Supaya menghasilkan cerutu berkualitas tinggi, pabrik tersebut senantiasa dijaga kebersihanya. Menukil dari buku “Tabakscultuur en Tabaksproducten”, pabrik cerutu Ko Kwat Ie merupakan saingan berat pabrik cerutu Mac Gillvary yang dijalankan oleh orang Eropa (Vlemming, 1925: 190). Saat ini, bekas pabrik cerutu Ko Kwat Ie digunakan sebagai sekolahan.
Rumah Sakit Jiwa Kramat.
Rumah dinas RSJ Kramat.
Kala pinggiran kota Magelang masih lapang, beberapa prasarana umum yang memerlukan lahan luas dibangun di sana. Salah satunya adalah Rumah Sakit Jiwa Dr. Soerojo atau dulu dikenal dengan nama Krankzinnigengesticht Kramat. Tanah sekitar saat itu masih kosong dan belum banyak penduduk sehingga masih memungkinkan untuk dilakukan perluasan dan lingkungannya yang jauh dari keramaian kota sangat membantu dalam pemulihan kesehatan jiwa. Rencana pembangunan RSJ tersebut oleh pemerintah kolonial sebenarnya sudah tercetus sejak tahun 1916. Semula pemerintah hanya berniat untuk membuat rumah singgah untuk pasien gangguan jiwa di Magelang sebelum dibawa ke RSJ utama di Buitenzorg dan Lawang. Namun dengan kondisi RSJ di Buitenzorg dan Lawang sudah hampir penuhserta di Jawa Tengah sendiri belum ada fasilitas sejenis, maka diputuskanlah untuk membangun RSJ besar yang berlokasi di Magelang. Pemerintah telah menganggarkan dana awal sebesar 700.000 gulden untuk pembangunan RSJ Kramat dan juga menunjuk arsitek Beraud sebagai perancangnya (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27 Desember 1916). Sebagai permulaan, tanah yang akan menjadi cikal RSJ mulai diratakan pada tahun 1917. Pembangunan RSJ sendiri sedianya ditargetkan tuntas pada tahun 1918. Namun entah suatu hal yang belum diketahui, pembangunan rumah sakit sama sekali belum dimulai pada tahun itu. Barulah pada tahun 1919 tahap pertama pembangunan RSJ mulai dikerjakan. Tahap tersebut meliputi pembangunan 24 paviliun, dapur, binatu, penataan lanskap, dan pemasangan saluran listrik. Ketika paviliun selesai dibangun, kompleks RSJ Kramat ternyata belum dapat beroperasi karena belum adanya fasilitas rumah tinggal pegawai. Fasilitas tersebut baru dibangun pada tahap kedua pembangunan pada setelah 1920 dan termasuk di antaranya adalah bangunan depan RSJ. Pada bulan September 1923, RSJ Kramat mulai menerima sebagian kecil pasien dari Klinik Jiwa Porong dan RSJ Buitenzorg. Kemudian disusul dengan pasien RSJ dari Solo sebanyak 700 pasien. RSJ Kramat akhirnya diresmikan pada 20 Oktober 1923 dan daya tampung awalnya mencapai 1000 pasien (De Indische Courant 1 Oktober 1923). Kompleks RSJ Kramat selanjutnya ditambahkan bangsal baru pada tahun 1925 sehingga pasien ada tambahan ruang untuk 300 pasien. Secara keseluruhan, pembangunan RSJ Kramat memakan total biaya sebesar 1.233.922 gulden.

Rumah residen Kedu.
Saat kota Magelang tumbuh menjadi pusat pemerintahan kolonial, baik bangunan milik orang Eropa ataupun orang Tionghoa banyak yang masih terbuat dari bambu. Hanya sedikit saja bangunan yang menggunakan batu, yakni rumah residen, rumah kontrolir dan rumah perwira. Pada masa awal kolonial di Magelang, rumah terindah adalah rumah residen Kedu yang kini menjadi Kantor Bakorwil Kedu. Sebagai hoofdnegorij atau ibukota pemerintahan kolonial di Kedu, keberadaan rumah residen adalah hal mutlak. Tahun 1819, rumah ini didirkan dengan rancangan dari kolonel J.C. Schultze dan biaya sebesar 10.000 gulden digelontorkan untuk pembangunannya (Anonim, 1936; 20). Rumah ini menjadi tersohor dalam sejarah nasional setelah Belanda menjadikan rumah ini sebagai tempat melaksanakan tipu daya untuk menjebak Pangeran Diponegoro. Setelah Perang Jawa usai, rumah ini beberapa kali berubah bentuk. Semburat Gunung Sumbing terlihat elok dari beranda belakang gedung ini, tempat residen menjamu tamu. Di belakang rumah ini, ada sebuah taman indah yang dilengkapi gazebo, rusa-rusa jinak, dan pajangan patung-patung kuno yang diambil di sekitar Magelang. Beberapa langkah ke utara dari bekas rumah residen, terdapat kantor residen kedu. Di sinilah roda adminstrasi pemerintahan Karesidenan Kedu dijalankan. Dalam birokrasi pemerintah kolonial, pangkat residen adalah yang paling tinggi di tingkat karesidenan, di bawahnya ada asisstent residen yang ditempatkan di daerah dan di bawahnya lagi ada controleur. Tidak seperti para pendahulunya, pegawai VOC yang dikenal melakukan korupsi secara menggila, aparat pemerintah kolonial abad ke-19 lebih bersih dan efisien. Hal ini merupakan buah dari reformasi birokrasi yang dijalankan oleh Daendels. Pertengahan abad ke-19, reformasi birokrasi disempurnakan dengan peningkatan upah, pendidikan, serta pembagian tugas yang tegas dan jelas. Para pegawai ini bukan lagi para petualang yang hendak mencari keuntungan, melainkan para pegawai terdidik berintegritas tinggi. Sayangnya reformasi birokrasi pada tubuh pemerintah kolonial tidak sampai menyentuh ranah pemerintah lokal dimana urusan administrasi dengan kepentingan pribadi masih berkelindan dan berlanjut hingga hari ini.
Kantor residen Kedu yang kini menjadi Museum BPK.
Sebagaimana pembagian tata permukiman di Jawa pada abad ke-19, kawasan permukiman di kota Magelang dibagi tiga jenis. Pertama adalah permukiman orang Eropa dan elite pribumi berupa kompleks rumah tembok berhalaman luas. Kedua adalah kawasan pecinan yang berupa dereta rapat rumah toko. Ketiga adalah permukiman golongan pribumi berupa rumah kampung beratap ijuk dan berdinding bambu. Mulanya orang Eropa biasanya akan kembali ke negeri asalnya setelah masa bekerjanya di sini sudah habis. Namun pada akhirnya, mereka kemudian memutuskan untuk tinggal di sini sepanjang hidupnya. Dari situlah muncul rumah-rumah gaya Indis, sebuah gaya yang memadukan unsur Eropa dengan lokal. Gaya inipun rupanya ditiru pula oleh orang Tionghoa kaya. Magelang, seperti halnya kota-kota di pedalaman yang fungsi perdagangan kurang menonjol, bentuk kotanya kabupaten tidak teralu berbeda dengan lingkungan pedesaan dimana setiap rumah memiliki halaman depan yang sangat luas. Dengan iklim yang boleh dikatakan sejuk dan sarana yang lengkap, banyak warga Eropa yang betah tinggal di sini. Tersimpan harapan di hati ereka agar masih dapat tinggal tenang di sini dalam waktu yang lebih lama. Namun apa daya, harapan mereka pupus, sirna ditelan kenyataan setelah Hindia-Belanda ditaklukan Jepang pada 1942 dan mereka terusir dari Magelang. Walau orang Belanda telah lama pergi, cukup banyak rumah kuno peninggalan mereka yang masih dapat disaksikan.
Aneka rupa rumah Indis Empire di Magelang.
Rumah-rumah kuno yang dibangun sekitar tahun 1890-1910an.
Seperti itulah kiranya kisah beberapa bangunan kuno yang telah menemani hari tua kota Magelang,kota yang begitu dibanggakan oleh gementee Magelang, kota pegunungan yang kenyamanannya disetarakan dengan Bandung dan Malang. Sudah sepatutnya warga Magelang bangga dengan kota yang masih menyimoan segudang bangunan sarat kisah yang menjadikan sejarah Magelang terasa lebih hidup. Kebanggan itu dapat diwujudkan dengan bersama-sama menjaga bangunan berserajah itu, agar kebanggan yang dirasakan oleh generasi masa kini dapat dirasakan oleh generasi berikutnya. Sekianlah tulisan singkat Jejak Kolonial kali ini mengenai bayang-bayang masa lalu Magelang, . permata berharga yang dimiliki oleh ibu alam Kedu.

Referensi
Anonim, 1936. Magelang, Middlepunt van den Tuin van Java. Magelang ; Bestuur der Stadsgementee Magelang.

Dreckmeier, G.J. 1937. "De Medische Zending" dalam Gedenkboek Zending Der Gereformeerdekerken van Zeeland, Noord Brabant en Limburg in Magelang en Temanggoeng. hlmn77-85.

Gill, Ronald G. 1995. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft ; Publikatieburo, Faculteit der Bouwkunde, Techinse Universiteit Delft.

Nessel van Lissa, R.C.A.F.J. "Uit Het Verleden van Magelang" dalam De Locomotief 31 Januari 1936.

Soesilo. 1937. "Inhemeesche Missigitgebouw" dalam Locale Techniek No.6 November-Desember 1937.

Van Nes, C. 1937. "Van overvloedigen Arbeid en Nog Overvloediger Zegen" dalam Gedenkboek Zending Der Gereformeerdekerken van Zeeland, Noord Brabant en Limburg in Magelang en Temanggoeng. hlmn32-48

Vlemming, J.L. 1925. Tabakscultuur en Tabaksproducten. Weltevreden : Landsdrukkerij.

De Locomotief, 15 Mei 1928

https://historicalhospitals.com/hospitals-2/military-hospitals/garrison-hospital-magelang/

https://historicalhospitals.com/specialized-hospitals/psychiatry/psychiatry-hospital-magelang/

https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/04/gereja-st-ignatius/

https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/30/saluran-air-kali-manggis/

https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2013/01/30/sejarah-perkeretaapian-di-magelang-temanggung/