Kamis, 27 September 2018

Membangun Ingatan Pa van Der Steur, Sahabat Anak Yatim Piatu dari Magelang

Aliran air saluran Kali Manggis mengalir dengan tenang membelah jalan Ikhlas. Di tepi saluran tersebut, menjulang sebuah gerbang berwajah Neo-Klassik yang masih terpelihara baik. Di masa lampau, gerbang itu menyambut pengunjung yang berziarah ke Kerkhof Magelang. Ya, persis di balik gerbang itu, pernah ada lahan kerkhof yang kini telah beralih wujud menjadi deretan pertokoan. Puluhan tahun silam, ratusan pusara di kerkhof tersebut digusur oleh pemerintah kota demi pembangunan kota. Namun tak semuanya serta merta digusur. Persis di belakang sebuah kios pedagang pakan burung, masih terdapat secuil lahan yang disisakan untuk Pa van Der Steur, sosok yang telah menjadi kepingan dari semesta sejarah Magelang yang panjang. Melalui pusaranya yang masih tersisa di sini, Jejak Kolonial akan mengajak anda untuk membangun ingatan sosok Pa van der Steur….
Bekas gerbang kerkhof Magelang.
Hier Rust Een Vriend van God, De Grote Kindervriend, Papa Johannes Van der Steur “.
Beberapa penggal kata itu menjadi penanda tempat pembaringan terakhir dari Johannes van Der Steur atau akrab disapa Pa van Der Steur. Tengara lainnya ialah sebuah foto yang memperlihatkan sosok Pa van Der Steur sewaktu masih hidup. Kendati foto tersebut sedikit rusak, namun ciri khas yang melekat pada Pa van Der Steur yakni janggut putih panjang menjuntai dan dua medali penghargaan yang disemat di dadanya masih dapat dikenali. Pria kelahiran Haarlem 10 Juli 1856 ini pada masa mudanya memiliki kepribadian yang mulia walau ia sendiri bukan berasal dari keluarga yang berada. Menginjak usia dewasa, dengan keputusan bulat ia memilih menjadi seorang Penginjil sebagai jalan untuk mengabdikan diri kepada sesama. Suatu hari di kota Hardwijk, ia bersua dengan prajurit yang baru saja kembali dari koloni Hindia Timur. Melalui penuturan prajurit itu, Pa van Der Steur mendengar sendiri bagaimana kesukaran hidup mereka selama di sana dan dari situlah ketertarikannya pada Hindia-Belanda bermula. Pada 1892, hijrahlah Pa van Der Steur ke Hindia-Belanda, dimana jemari takdir tampaknya mengacungkan Magelang sebagai tempat Pa van Der Steur berkarya. 
Pa van der Steur semasa muda.
(sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).

Pa van der Steur beserta orkes Steurtjes 
(sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Magelang, tempat Pa van Der Stueur mengabdikan sebagian besar hidupnya, merupakan salah satu garnisun militer utama di Jawa tengah, tempat bermarkasnya para prajurit KNIL yang terdiri dari orang Eropa dan Indonesia timur. Di sini, Pa van Der Steur secara sukarela ditugaskan untuk mengurus balai serdadu tersebut sembari memberi pelayanan rohani di tengah bobroknya moral kehidupan barak. Mereka yang tinggal di dalam garnisun tersebut tak hanya prajurit yang hidup membujang saja. Beserta dengan mereka, ada yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Sebagai prajurit yang setia dengan kesatuannya, sudah menjadi keharusan jika mereka siap diterjunkan ke palagan perang sekalipun itu akan merenggut nyawa mereka. Tentu saja yang merasa paling kehilangan mereka adalah para istri atau anak-anak prajurit tersebut. Benar saja, pada tahun 1890an, ketika kaki Pa van Der Steur mulai menapaki tanah Hindia-Belanda, para prajurit KNIL dari seantero Hindia-Belanda dipanggil untuk terjun ke palagan perang di Aceh dan Lombok. Dahsyatnya perlawanan dari para pejuang Aceh mengakibatkan gugurnya 37.500 serdadu KNIL, meninggalkan putra-putri yang masih membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah. Hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga membuat nasib anak-anak yang sebagian besar merupakan hasil perkawinan campuran tersebut terlantar.

Makam Pa van der Steur beserta makam-makam lainnya yang masih tersisa.
Suatu hari, seorang prajurit Belanda yang tampak sempoyongan sehabis mabuk mendatangi Pa van der Steur. Di hadapan Pa van Der Steur, ia menceritakan keberadaan seorang perempuan pribumi dan empat anaknya yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya, seorang prajurit berdarah Italia. “Tunjukanlah bukti padaku jika tuan memang adalah orang yang taat pada agama”, tutur mulut si serdadu mabuk itu yang  ternyata menggugah hati kecil Pa van Der Steur. Keempat anak yatim yang dimaksud tadi lantas dijemput Pa van der Steur. Hanya bermodalkan rasa kasih pada sesama, keempat anak tersebut ia rawat dengan penuh rasa kasih sayang. Kendati masih bujang, Pa van der Steur mampu berperan sebagai seorang ayah yang baik untuk keempat anak asuhnya. Rumah bambu yang ia namakan “Oranje-Nassau” dijadikan sebagai rumah asuh. Bagai bola salju, lambat laun banyak anak yatim-piatu yang diasuh oleh Pa van der Steur. Mereka selain ditinggal mati oleh ayahnya di medan perang, beberapa di antaranya juga merupakan korban praktik pergundikan, dimana para serdadu kesepian menikah secara tidak resmi dengan perempuan pribumi  lalu setelah masa dinas habis, mereka meninggalkan begitu saja istri dan anak-anaknya.

Makam-makam berbentuk tugu untuk anak-anak asuh Pa van der Steur yang meninggal di usia muda.
Makam bersama yang dibuatkan Pa van der Steur untuk para Steurtjes
(sumber :  Zoo Leuk Zeg ! Alles van Huis ).
Makam-makam lainnya.

Di sisi pusara Pa van Der Steur, beberapa steutjes terbaring damai dalam sebuah pusara khusus berbentuk rumah-rumahan. Beberapa yang lain dibuatkan tugu kecil berbentuk obelisk. Melalui tulisan yang tertera, Pa van Der Steur menyebut para anak asuhnya sebagai “domba-domba Tuhan”. Dari nama-nama steurtjes yang ada di sini, dapat ditemukan beberapa nama anak-anak Indo dan Ambon. Para Steurtjes, entah itu anak Belanda totok, Indo, Jawa, Ambon atau Minahasa, diperlakukan secara adil. Mereka oleh Pa van der Steur diberi sepatu dan pakaian, serta diajarkan baca tulis untuk memberi rasa percaya diri. Tidak ketinggalan, beberapa serdadu baik hati membantu pekerjaan Pa van der Steur seperti mencuci, menjahit, dan bermain dengan anak-anak. Suatu hari, salah satu Steurtjes, sebutan untuk anak asuhnya, menanyakan nama apa yang akan dipakai untuk menyapa ayah angkat mereka. “ Kalian boleh sapa aku Pa seakan aku adalah ayah kandung kalian “, mungkin seperti itulah jawaban dari Pa van der Steur dan sapaan “Pa” melekat pada diri Johannes van der Steur hingga akhir hayatnya.
Pa van der Steur beserta saudarinya, Marie (memegang topi) (sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Atas permintaan Pa van der Steur, salah satu saudarinya yang bernama Marie, tiba di Magelang pada 1893 untuk membantu kerja Pa van der Steur. Saat itu, Pa van der Steur masih berjuang keras untuk membesarkan rumah asuh “Oranje Nasau” yang kian bertambah jumlah anak asuhnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang para Steurtjes, Pa van der Steur rela menjual harta bendanya sebelum akhirnya pemerintah kolonial memberi hibah sebesar 100 gulden setiap bulan. Supaya lebih teratur pengelolaanya, dibentuk yayasan Vereeniging tot bevordering van Christelijk leven en onderling hulpbetoon gevestigd te Magelang pada 1896. Yayasan tersebut lebih mahsyur dengan nama “Oranje-Nassau Stichting”, merujuk pada nama rumah asuh pertama yang dipakai Pa van der Steur.
Istri van der Steur ( kedua dari kiri ) di ruang makan untuk Steurtjes perempuan ( sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09 ).
Bengkel tempat para Steurtjes melatih keterampilan membuat barang ( sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09 ).
Karya mulia Pa van der Steur terus berlanjut meski hambatan masih menemui seperti ketika Marie van der Steur kembali ke Belanda dan di saat yang sama, Pa van der Steur didera penyakit yang memaksanya untuk kembali ke kampung halamannya. Selagi berobat di Belanda, kesempatan tersebut ia pakai untuk menggalang bantuan dari masyarakat luas termasuk keluarga kerajaan Belanda seperti ibu suri Ratu Emma. Tidak sia-sia, jumlah yang berhasil dihimpun sebesar 20.000 gulden dan uang itu dipakai untuk membeli bekas barak polisi di kampung Meteseh, di utara Karesidenan Kedu. Di kompleks panti asuhan yang baru ini, para Steurtjes diberi pendidikan sebagai bekal ketika mereka sudah beranjak dewasa dan keluar dari panti asuhan. Selain diberi pendidikan teori, mereka juga diberi keterampilan seperti pandai besi, tukang kayu, pelukis, dan tukang batu sehingga mereka bisa bekerja di perusahaan swasta atau zeni militer. Untuk membentuk karakter anak didik, disiplin militer dipakai, “terutama untuk menghadapi anak Indo yang enggan untuk melakukan kerja kasar”. Panti asuhan “Oranje-Nassau” dibagi menjadi tiga jenis, yakni untuk anak-anak di bawah usia 10 tahun (kleintjehuis), remaja putra (jongenshuis), dan remaja putri (meisjehuis). Beban Pa van der Steur sedikit teringankan dengan kehadiran Anna Maria Zwagger, yang ia nikahi pada tahun 1907. Pasangan suami-istri tersebut sepakat untuk tidak memiliki keturunan dan mencurahkan hidupnya untuk senantiasa merawat ratusan steurtjes bagaikan anak mereka sendiri. Pusara istrinya dapat ditemukan tak jauh dari pusara Pa van der Steur.
Para steurtjes kecil dan perawat (sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Para steurtjes perempuan di halaman panti asuhan "Oranje-Nassau" (sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Panti asuhan “Oranye-Nassau” memasuki masa berat ketika Jepang menduduki Hindia-Belanda. Beberapa orang Eropa ditawan termasuk turut di dalamnya adalah Pa van der Steur yang ditawan berpindah-pindah tempat. Perpisahan dengan ratusan anak asuhnya menekan batin Pa van der Steur yang saat itu berusia 78 tahun, apalagi kondisi jasmaninya mulai melemah karena faktor umur. Selang satu bulan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya 16 September 1945, Pa van der Steur beristirahat dalam damai untuk selamanya. Walau telah tiada, namun jiwa welas asihnya memberi ilham bagi beberapa mantan Steurtjes untuk melanjutkan karya Pa van der Steur dengan mendirikan yayasan panti asuhan di Jakarta pada 1949. Bersama istri dan para steurtjes tercintanya, Pa van der Steur terbaring damai di kerkhof Magelang yang kini tinggal sekelumit  saja. Walau panti asuhannya sudah tidak berbekas lagi, namun segala karya yang dicurahkan Pa van der Steur akan selalu membekas di benak setiap orang. Pusara Pa van der Steur yang ada di kerkhof Magelang seakan menjadi monumen yang tak sekedar mengingatkan orang pada nama Pa van der Steur belaka, namun juga karya dari seorang pria bersahaja dengan hati nan kaya.

Referensi :

Aritonang, Jan Sihar dan Steerbink, Karel ( ed ). 2008. A History of Christiantit in Indonesia. Leiden : Brill.

De Braconier, A. 1916. “ Pa van Der Steur en De Stichting Oranje Nassau Te Magelang ” dalam Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1, Issue 09. Halaman 409 - 422.

Ming, Hanneke. 1983. “Barrack-Concubinage in the Indies, 1887-1920” dalam Indonesia , No.35 ( April 1983 ), halaman 65-94. Cornell University : Southeast Asian Program Publications.

Sabtu, 01 September 2018

Mengenal Mojowarno, Pusat Siar Kristen di Jawa Timur

Beberapa kilometer dari pondok pesantren Tebuireng, pesantren terbesar di Jombang, terdapat sebuah desa yang pada masanya pernah menjadi pusat siar Kristen di Jawa Timur di masa kolonial. Desa itu bernama Mojowarno. Bagaimanakah Mojowarno dapat tumbuh menjadi sebuah desa Kristen di tengah kabupaten yang pondok pesanternya berjibun itu ?
Letak Mojowarno pada peta Jawa Timur. Di masa kolonial, Mojowarno masuk ke dalam Karesidenan Suabaya.
Beserta kawan saya, Samuel Heru P, kami berangkat dari Mojokerto menuju Mojowarno. Selama di perjalanan, saya tak habis pikir, bagaimana sebuah tempat yang dulunya hutan lebat tak bertuan bisa disulap menjadi desa Kristen paling berpengaruh di Jawa Timur. Sesampainya di Mojowarno, saya mendapati sebuah desa yang sekilas terlihat seperti desa-desa di Jawa Timur pada umumnya, rumah-rumah petak dengan halaman lumayan luas berdiri di sepanjang jalan. Sebagian besar penduduknya mengais rezeki dengan menjadi petani, mata pencaharian yang sama dengan penduduk yang dulu membuka Desa Mojowarno.
Karolus Wiryoguno, pembuka hutan Kracil ( sumber : id.wikipedia.org ).
Sebelum mengenal Mojowarno lebih lanjut, kisah akan dimulai dulu dari Ngoro, suatu desa di selatan Jombang yang menjadi titik awal penyebaran agama Kristen di Jawa Timur. Di sana, tersebutlah seorang mantan zinder hutan jati bernama Coenraad Laurens Coolen yang akhirnya menjadi tuan tanah di sana. Coolen sendiri hanyalah orang Kristen awam, bukan pendeta ataupun penyebar agama. Namun pria keturunan Rusia-Jawa itu mencoba untuk mengajarkan agama Kristen kepada para pekerjanya. Apa yang dilakukan Coolen terbilang nekad karena pemerintah kolonial secara tegas melarang penyebaran Kristen di tengah pemeluk Islam karena dapat menimbulkan perselisihan. Selama mengajarkan agama Kristen, Coolen menerjemahkan pengakuan iman rasuli, hukum sepuluh perintah tuhan, dan doa bapa kami ke dalam bahasa Jawa. Maka dari itulah ajaran Kristen ala Coolen seringkali bercampur dengan kepercayaan lokal. Kemudian ada pengikut Coolen yang bernama Wiryoguno, seorang dalang berdarah Madura yang tersohor namanya di Sidoarjo dan Surabaya. Wiryoguno memiliki ketertarikan kuat akan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan sehingga tatkala ia mendapat wangsit untuk mendalami ilmu Musqab Gaib ia pun melakakun sebuah pencarian yang akhirnya mempertemukan Wiryoguno dengan Coolen di Ngoro. Setelah bertemu dengan Coolen, ia melanjutkan pertemuan dengan Emde di Surabaya. Di sana ia dibaptis dan setelah itu nama Karolus kemudian dibubuhkan padanya. Wiryoguno bercita-cita untuk bisa membangun sebuah desa bersama keluarganya.
Pendeta Jelle Eeltjes Jellesma.
Hutan Kracil di dekat Ngoro menarik perhatian Wiryoguno. Setelah menerima izin membuka hutan dari residen Surabaya dan mengurus birokrasi di Mojokerto, Wiryoguno beranjak ke Dukuh Dagangan yang berada di dekat Hutan Kracil. Di dukuh itu, Wiryoguno bersua dengan rekan lamanya di Ngoro, Ditotaruno yang diusir oleh Coolen dari Ngoro. Hutan Kracil yang luas itupun dibuka secara perlahan dan menjadi padukuhan baru. Oleh Wiryoguno, padukuhan itu diberi nama  “Mojowarno”, diambil dari kata Mojo karena berada di dekat pusat kerajaan Majapahit dan “warno” karena penghuninya berasal dari beragam daerah dan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Singkat cerita, pada 1850, Hutan Kracil yang angker itupun akhirnya berganti menjadi tiga desa makmur, yakni Mojowarno, Mojowangi dan Mojoroto. Tiga desa itu tumbuh sebagai desa agraris dengan membuat proyek seperti irigasi, bendung, dan jalan penghubung antar desa. Setelah berita pembukaan Hutan Kracil terdengar di telinga pemerintah kolonial, maka tiga desa tersebut diresmikan dengan Wiryoguno sebagai Bau Aris atau koordinator kepala desa.  Tiga desa yang didirikan oleh orang Jawa Kristen itu menarik orang Kristen Jawa di tempat lain seperti Paulus Tosari, Yakobus Singotruno, Simon Suryo, dan lain-lain yang ada di Sidokare, Sidoarjo. Pendatang baru ini diterima dengan baik oleh Wiryoguno dan mereka dipersilahkan untuk membuka hutan. Hutan-hutan itupun akhirnya menjadi tiga desa baru, yakni Mojodukuh, Mojokembang, dan Mojojejer. Enam desa ini kemudian membentuk kesatuan jemaat yang bernama jemaat Mojowarno.
Rumah Jellesma di Mojowarno
(sumber : Van Zendingsarbeid tot zelfstandige Kerk in Oost-Java).
Tahun 1851, tibalah di Mojowarno, seorang pengabar Injil kelahiran Frieslan, Belanda. Namanya Jelle Eeltje Jellesma, pendeta yang diutus oleh kelompok pekabar Injil Nederlands Zending Genootschap (NZG) ke Jawa Timur. Saat Jelessma tiba di Mojowarno, desa itu dipimpin oleh Kyai Abisai Ditotaruno. Jumlah jemaatnya sudah mencapai 244 orang, angka yang besar untuk sebuah desa pelosok. Selain mengajarkan Kristen, Jellesma juga membuka sekolah. Sayangnya tugas Jellesma di Mojowarno berlangsung singkat karena ia keburu meninggal pada 1858. Walau saat itu sudah banyak orang Jawa yang memeluk Kristen, hal tersebut tidak berarti menjauhkan mereka dari perilaku buruk seperti menghisap madat, mabuk, dan berjudi. Buruknya moral orang Jawa Kristen menimbulkan kekecewaan di kalangan penginjil Belanda seperti Pdt. Harthoorn yang menganggap zending di Jawa adalah sebuah kegagalan. Namun anggapan Harthoorn tidak berlaku pada Paulus Tosari, Pdt. Hoezoo, dan Pdt. Kruyt senior. Mereka adalah pengganti Jellesma di Mojowarno yang dengan sabar mengajarkan Kristen di kalangan orang Jawa. Disemai sepenuh hati secara perlahan oleh penginjil Belanda dan Jawa, tunas Kekristenan di Jawa Timur itu mulai tumbuh ( Nortier, 1939; 70 ).
Pendeta J.Kruyt (1835-1918), pendeta Belanda terlama di Mojowarno.
(sumber : Van Zendingsarbeid tot zelfstandige Kerk in Oost-Java).
Ary Kruyt, putra pendeta J. Kruyt yang membantu ayahnya di Mojowarno
(sumber : Van Zendingsarbeid tot zelfstandige Kerk in Oost-Java ).
Pendeta J. Kruyt tiba di Mojowarno pada 1864. Saat itu ia masih berusia 29 tahun. Cukup lama ia menjadi pendeta di Mojowarno, yakni dari tahun 1864 hingga ia meninggal pada tahun 1918. Oleh penduduk desa, J. Kruyt diangkat sebagai pemimpin desa. Wibawa dan sikap tegasnya membuat nasihat dari J. Kruyt selalu didengar dan dipatuhi oleh penduduk desa.  J. Kruyt membuat peraturan desa berlandaskan ajaran Kristen, semisal penduduk desa yang beragama Kristen tidak diperkenankan bekerja di sawah pada hari Minggu dan harus menghadiri kebaktian. Hiburan pertunjukan semacam tayub dilarang sebagai hiburan penyerta upacara perkawinan. Lalu anak laki-laki dan perempuan diwajibkannya untuk bersekolah. Upaya yang dilakukan oleh Kruyt ini bertujuan untuk mematahkan pandangan negatif dari para zending Belanda seperti Harthoorn, yang memandang bahwa orang Jawa tidak mampu menjadi penganut Kristen yang saleh. Tahun 1882, putra pendeta J. Kruyt, Ary Kruyt menyusul ayahnya di Mojowarno setelah menyelesaikan studi di Belanda. Laksana buah yang tak jatuh jauh dari pohonnya, Ary Kruyt juga seorang pendeta yang cakap mengurus jemaat. Keberhasilan  di Mojowarno membuat mereka berdua diberi amanat yang lebih besar lagi, yakni mengasuh semua orang Kristen di Karesidenan Surabaya.
Tampak luar gedung GKJW Mojowarno.


Bagian dalam gereja.
Bagian mimbar gereja.
Saya kini berdiri termenung di hadapan bangunan GKJW Mojowarno yang terlihat sangat anggun dengan gaya neogotiknya. Umat gereja ini memang terdiri dari orang-orang Jawa, namun tampilan bangunan gereja itu justru terlihat sangat Eropa. Di bagian fronton, tertera tulisan aksara Jawa yang berbunyi “Duh Gusti ingkang kawula sinten malih ? Paduka kagungan Pangandikanipun gesang tanggeng” dan “Margane slamer rahe pamenthangan”. Jika diterjemahkan, pesan dari tulisan tersebut adalah kepasrahan jemaat gereja pada Tuhan. Hingga sekarang gereja ini masih menjadi tempat diajarkannya ajaran Kristen yang dibawakan oleh Isa Almasih dua ribu tahun silam. Melangkah kaki ke dalam, aura kekunoaan gereja masih belum lekang sama sekali.
Lukisan gedung gereja setelah selesai dibangun ( sumber : troppenmuseum.nl ).

Bangunan GKJW Mojowarno pada 1894.
Bagian dalam gereja Mojowarno pada tahun 1894
(sumber : datacollectie.nederland.nl)
Gedung gereja GKJW Mojowarno adalah warisan kemandirian jemaat Mojowarno di masa lampau. Untuk mengatur jemaat yang semakin banyak, maka pada 1873 dibentuk majelis gereja. Sungguhpun jemaat Mojowarno adalah penganut Kristen yang taat, nyatanya mereka juga mahir dalam mengatur keuangan dan mengelola harta benda. Keadaan semakin menguntungkan karena tidak seperti di tempat lain, tanah pertanian sepenuhnya dikuasai oleh jemaat Mojowarno. Sejak tahun 1871, jemaat menghimpun tabungan untuk pembangunan gereja dengan membentuk lumbung persekutuan. Para jemaat secara sukarela akan menyerahkan sebagian hasil panenan kepada lumbung persekutuan, lalu hasil panenan yang terkumpul dijual dan pendapatannya disimpan di De Javaasche Bank cabang Surabaya. Dana yang berhasil  terkumpul sebesar 25.000 gulden. Dengan uang yang terhimpun tersebut, pada 1879 mereka mendirikan gedung gereja Mojowarno yang tampilannya tak kalah megah dengan gedung gereja bikinan pemerintah kolonial yang ada di kota-kota besar. Pembangunan gereja ini ditandai dengan upacara peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Christina Catarina Kruyt  pada 24 Februari 1879 dan upacara tersebut diabadikan pada sebuah prasasti yang masih menempel di dinding gereja. Gereja yang selesai dibangun tahun 1881 ini tak sekedar wujud ketaatan jemaat Mojowarno pada agama Kristen. Lebih dari itu, ia juga simbol kemakmuran Mojowarno berkat kemandirian jemaatnya ( Nortier, 1939; 76 ).
Suasana sidang pertama Madjelis Agoeng pada 12 Desember 1931.
(Sumber : datacollectie.nederland.nl).
Majelis Agung GKJW di Mojowarno pada 1931
(sumber : Van Zendingsarbeid tot zelfstandige Kerk in Oost-Java).
Pada tahun 1900, jemaat Kristen di Mojowarno sudah menyentuh hingga angka 3555 orang, jumlah yang terbilang banyak dan menjadikan Mojowarno sebagai desa dengan jemaat Kristen terbesar di Jawa Timur (Wolterbeek, 1995;104). Sebagai tanda kematangan jemaat, para jemaat Mojowarno pada hari Pantekosta tahun 1923 telah mengangkat pendeta dari bangsa mereka sendiri, yakni Pdt. M. Driya Mestaka. Baru merekalah yang melakukan hal tersebut di Jawa Timur dan dengan demikian mereka sudah tidak diatur lagi oleh lembaga zending Belanda. 
NZG akhirnya memutuskan untuk menjadikan jemaat jawa menjadi persekutuan gerejawi Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing Tanah Djawi Wetan atau Oost Javaansche Kerk yang direncanakan akan dideklarasikan pada 11 Desember 1931. Hari yang ditunggu pun tiba dan gedung gereja Mojowarno mendapat kehormatan sebagai tempat dilangsungkannya acara bersejarah tersebut. Kendati ruang gereja penuh sesak, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat jemaat dari berbagai tempat yang menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut. Dari pertemuan tersebut terbentuklah Madjelis Agoeng sebagai wadah sinodial Oost-Javaansche Kerk. Keesokan harinya di tempat yang sama, Madjelis Agoeng mengadakan sidang perdananya untuk memilih pengurus (Wolterbeek, 1995; 129-130). Dari sebuah hutan angker, Mojowarno akhirnya tumbuh menjadi pusat siar agama Kristen di Jawa Timur dan saksi jemaat pribumi di Jawa Timur membuka lembaran baru.
Saya kemudian beranjak naik ke menara lonceng. Di sana saya menjempui sebuah lonceng besar yang sudah tak tergantung lagi di tempatnya dan hanya tergeletak di dalam menara. Sebuah lambang cakra dibubuhkan pada lonceng perunggu tersebut dan mengingatkan saya pada keraton Cakraningrat yang ada di Madura. Karolus dan keluarganya memang masih ada pertalian darah dengan keraton Cakraningrat. Ia adalah putra ke 3 Pangeran Cokrokusumo dan cucu dari Sultan Cakradiningrat II.
Sekolah zending Mojowarno.
Dari menara lonceng tersebut, saya dapat memandang lebih jelas lingkungan sekitar gereja. Di sebelah utara gereja ada sebuah kompleks sekolah sementara persis di seberang timur jalan, terdapat rumah sakit yang cukup ramai. Mencontoh pendeta Jellesma, bapak-anak Kryut mendirikan sekolah yang berada tak jauh dari rumah pendeta. Tidak seperti sekolah zaman sekarang, jam belajar dimulai agak siang, yakni pukul 10.00 dan berakhir pukul 14.00, sehingga masih ada kesempatan untuk anak-anak membantu orang tuanya. Anak laki-laki bisa membantu ayahnya mencari rumput dan menggembalakan ternak, sementara anak perempuan bisa membantu ibunya memasak di rumah. Ada pula sekolah calon guru yang mengajarkan pengetahuan Injil, sejarah perkembangan gereja, dan teologi. Di sekitar Mojowarno dahulu banyak pabrik gula, maka agar para pemuda Mojowarno dapat bekerja di sana maka dibukalah sekolah pertukangan (Wolterbeek, 1995;110).

Rumah Sakit Kristen Mojowarno kini dan dulu.
Para pasien zendinghospitaal Mojowarno yang sedang mendapat perawatan.
Berbekal ilmu kedokteran yang mereka miliki, bapak anak Kruyt membuka pelayanan kesehatan. 3000 orang yang berobat sudah berobat kepada Kruyt sejak tahun 1867. Karena kewalahan, Kruyt meminta bantuan NZG untuk mengirimkan tenaga kesehatan dan mendirikan rumah sakit. Permintaan Kruyt terwujud pada 1894 dengan dibangunnya Zendinghospitaal Mojowarno.  Pelayanan rumah sakit ini terbilang prima sehingga orang rela datang jauh-jauh hanya demi berobat ke rumah sakit ini. Selain ada dokter Belanda seperti Bervoets, Duymer, dan A.Pijzel, ada pula seorang dokter Jawa yang bernama dokter Ismael. Adalah hal yang luar biasa ketika ada seorang dokter Jawa di sana karena orang Jawa saat itu dianggap bodoh perihal kebersihan. Karena hal itu Dr. Bervoets sempat dicemooh ketika mendidik orang Jawa sebagai juru rawat (Nortier, 1939; 259).
Makam orang Jawa Kristen.
Slaah satu makam dengan batu nisan berbahasa Jawa.
Sesudah melihat-lihat bangunan di sekitar gereja, saya bersama Samuel mencari dimana orang-orang Kristen Mojowarno dulu dimakamkan. Dengan menerabas jalan pematang sawah, kamipun berhasil menemukan makam yang sebagian besar sudah tertutup semak belukar. Di sana, kami menziarahi makam Karolus Wiryoguno, pemimpin babad Hutan Kracil. Karolus Wiryoguno meninggal pada 1899 dan sepeninggalnya, usaha merawat jemaat dan desa Mojowarno diteruskan oleh anak-anaknya. 
Makam Karolus Wiryoguno dan istrinya yang kedua.
Sebagaimana makam Belanda, makam orang Jawa Kristen ini memakai batu marmer putih walau hiasannya jauh lebih sederhana dibanding makam Belanda. Sebagai tanda bahwa walau mereka sudah menganut agama Kristen bukan berarti menghilangkan jatidiri mereka sebagai orang Jawa, nama pada batu nisan menyandingkan nama baptis dengan nama Jawa. Ditinjau dari segi bahasa yang dipakai, ada dua jenis makam, yakni yang memakai bahasa Belanda dan Jawa. Selain makam orang Belanda, bahasa Belanda rupanya dipakai pula untuk orang Jawa, tanda bahwa sudah banyak penduduk di Mojowarno yang sudah melek huruf.
Makam J. Kruyt dan Ary Kruyt.
Di saat saya melihat makam sembari membaca isi batu nisan, secara lekat mata saya menangkap sebuah nama yang tampaknya cukup familiar. “Johannes Kruyt”. Sayapun akhirnya sejenak termenung di hadapan makam tua itu. Inilah makam dari pendeta berwajah tenang yang berjasa membesarkan jemaat Mojowarno bersama Karolus Wiryoguno. Kontras sekali perbedaan makam keduanya. Makam Karolus terlihat berkilau setelah dipugar. Sementara makam J. Kruyt terlihat jangkankan terawat, ditengok pun tampaknya jarang. Batu nisannya tampak sudah pecah dan semak-semak tumbuh liar di sekitarnya. Keadaan makam anaknya, Ary Kruyt, juga sama-sama tidak terawat. Walau demikian setidaknya patut disyukuri jika batu nisan makam mereka masih utuh di tempatnya sehingga siapapun masih dapat mencari jejak zending Belanda yang berperan penting dalam penyebaran Kristen di Jawa Timur. Selain makam J.Kruyt dan Ary Kruyt, ada pula makam Adriaan Nortier, salah satu dokter yang pernah bekerja di RS Mojowarno. Termasuk di sana, ada makam Ismael, si dokter Jawa dan istrinya. Keberadaan makam-makam tersebut memperlihatkan bahwa para dokter tersebut rela meninggalkan zona nyaman dan mencurahkan hidupnya untuk memberi pelayanan yang terbaik sekalipun itu berada jauh dari tempat asal mereka.

Warisan budaya di Mojowarno selain bangunan-bangunan kunonya yang masih terpelihara, adalah tradisi riyaya unduh-unduh. Dengan latar belakang agraris, penduduk Mojowarno merupakan para petani yang masih menghormati tradisi Jawa, dimana sebagai bentuk Rasa syukur atas panen melimpah biasanya akan digelar upacara tertentu. Agar tradisi leluhur dapat selaras dengan keyakinan mereka sekarang sebagai umat Kristen, maka digelarlah tradisi riyaya unduh-unduh sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat berupa hasil panen yang melimpah. Setiap musim panen padi tiba, Mojowarno akan riuh dengan tradisi rutin tahunan tersebut, dimana berbagai penduduk dari berbagai latar belakang ras dan agama dapat menyaksikan tradisi riyaya unduh-unduh ini. Saat upacara digelar, halaman gereja akan dipadati dengan gerobak hias yang mengangkut hasil bumi, makanan, dan hewan ternak yang nantinya akan didoakan. Setelah didoakan, barang-barang tersebut dilelang dan hasilnya digunakan untuk keperluan gereja. Tradisi ini selintas persis dengan tradisi slametan di berbagai tempat di Jawa yang mulanya menggunakan mantra-mantra berbahasa Jawa Kuno, berganti dengan doa berbahasa Arab ketika agama Islam masuk, dan di Mojowarno yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen, dipakai doa-doa cara Kristen.

Masa lalu memang belum habis di Mojowarno. Bahana lonceng gereja yang dibangun lebih dari seabad silam masih bergema setiap minggu. Murid-murid masih ceria belajar di sekolah yang dulu dibesarkan para zending dan para pasien masih mendatangi rumah sakit yang sudah ada sejak paruh pertama abad 20. Tradisi riyaya unduh-unduh, pasar rakyat khas Mojowarno juga masih diselenggarakan setiap musim panen. Dengan saling menghargai perbedaan, jemaat Kristen Mojowarno hidup rukun bersama lingkungan masyarakat Islam yang kental seperti Jombang, yang dikenal sebagai tempat kelahoran ulama-ulama kondang seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H, Wachid Hasyim, hingga Abdurahman Wahid yang membesarkan organiasi Islam paling berpengaruh di Indonesia, Nahdalatul Ulama. Ya itulah Mojowarno, pusat siar Kristen di Jawa Timur yang masa lalunya belum habis.

Referensi
Crommelin, D. 1909. Modjowarno, Een Zendingpost. Rotterdam ; Eletriche Drukkerij M.Wyt & Zonen.


Hadi Wahjono, Bau Aris R. Karolus Wiryoguno : Pemimpin Babad Hutan Kracil (Cikal Bakal Berdirinya Desa-Desa di Mojowarno), Taman Pustaka Kristen Indonesia (TPK), Yogyakarta.

Nortier, C.W . 1939. Van Zendingsarbeid tot zelfstandige Kerk in Oost-Java. Zendingstudie-raad
.
Wolterbeek, J.D . 1995. Babad Zending di Pulau Jawa. Yogyakarta ; Taman Pustaka Kristen.