Sabtu, 09 Maret 2019

Kerkhof Peneleh, Nekropolis di Tengah Metropolis Surabaya

Kala bertandang ke pemakaman Belanda atau kerkhof yang berada di tengah padatnya kampung Peneleh, Surabaya itu, tiada sambutan dari gerbang megah nan mencolok seperti lumrahnya beber. Namun bila melangkah ke dalam, siapapun yang masuk ke sini akan terpukau dengan pesona hamparan makam bergaya Eropanya yang masih berdiri di tempatnya.

Seperti kerkhof di kota lain, Kerkhof Peneleh dahulu memiliki pintu gerbang bergaya klasik. Namun gerbang ini hancur sewaktu perang dan tidak pernah dibangun lagi (sumber : media-kitlv.nl).

Berisikan 3.821 makam, kerkhof yang terletak di tengah sesaknya perkampungan Peneleh ini boleh jadi adalah salah satu pemakaman Eropa terluas di Indonesia yang masih tersisa. Banyaknya jumlah makam di dalamnya membuat kerkhof ini tampak seperti sebuah nekropolis, kota kematian. Sulit dibayangkan bagaimana nekropolis seluas 4,5 ha ini mampu sintas di tengah ramainya metropolitan Surabaya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kerkhof di kota-kota besar di Indonesia semakin ke sini makin tergerus oleh pesatnya perkembangan ruang, tersisihkan hingga hanya menyisakan sebagian kecil makam atau bahkan lenyap sama sekali. Andaipun masih utuh, banyak makam-makam di dalamnya sudah sulit dikenali lagi. Namun tampaknya kerkhof Peneleh terhindar dari takdir getir tersebut. 

Peta kota Surabaya tahun 1866. Tampak permukiman Eropa (1)  dan letak kerkhof Peneleh (2).

Hari ini, pemakaman tersebut hampir menapaki usia dua abad. Kisah dari kerkhof Peneleh bermula pada tahun 1830an, saat pemakaman Eropa yang ada di Krembangan hampir terisi penuh. Sementara tanah sekitar yang berupa rawa membuat pemakaman tersebut sukar diperluasDewan gereja selaku pihak pengurus pemakaman meminta kepada pemerintah kolonial untuk disediakan lahan pemakaman baru di tempat lain. Pada mulanya, pemerintah kolonial menawarkan daerah Kupang sebagai lahan pemakaman pengganti di Krembangan. Setelah itu, ketua dewan Gereja dan insinyur Tromp menjajaki calon lokasi yang ditawarkan. Mereka mendapati jika jarak tempat tersebut terlampau jauh dengan permukiman. Akibat pembatalan tersebut, pemakaman Krembangan yang sudah kelebihan daya tampung akhirnya tidak menerima penguburan baru. Selagi pemakaman untuk golongan masyarakat Eropa belum tersedia, maka jenazah mereka dimakamkan pada suatu pemakaman pribumi yang ada di Semarung  (Von Faber,1932; 314-315).

Berbagai sudut kerkhof Peneleh.

Batalnya pemilihan daerah Kupang sebagai lokasi pemakaman Eropa membuat pemerintah berpaling ke tempat lain. Belajar dari pengalaman sebelumnya, pemerintah kolonial kali ini lebih perhitungan dalam memilih lahan yang akan dijadikan sebagai pemakaman golongan Eropa. Beberapa pertimbangan yang telah ditentukan antara lain tanahnya tidak boleh tanah rawa, tidak mudah tergenang air dan tanahnya mudah digali. Letaknya sedapat mungkin tidak menghalangi perluasan kota dan hendaknya lingkungan sekitarnya masih belum berpenghuni sehingga pemakaman dapat diperluas bila dibutuhkan. Tempatnya juga harus mudah dijangkau supaya rombongan pengantar jenazah tidak menempuh perjalanan terlalu lama. Berdasarkan pertimbangan di atas, pilihan tempat pemakaman Eropa baru akhirnya jatuh pada sebidang lahan di pinggiran kampung Peneleh yang saat itu masih berupa hutan bambu. Pembersihan, pengurugan tanah, dan pembuatan saluran drainase beserta jalan menuju pemakaman dimulai pada 24 Februari 1846. Untuk proyek tersebut, pemerintah kolonial menganggarkan dana sebesar 10.000 gulden. Insinyur Geil dari kesatuan zeni militer menjadi pengawas untuk proyek yang dituntaskan sampai bulan Agustus 1847 itu. Pemakaman Peneleh dibuka untuk umum terhitung sejak 1 Desember 1847 (Von Faber,1932; 314-315).

Ketika seseorang meninggal, mereka umumnya akan cenderung membuat makam yang lebih besar dari lainnya dan kadang menciptakan kesan sombong.

Menapaki bagian dalam pemakaman, pengunjung akan disuguhkan dengan tatanan kerkhof Peneleh yang tampak begitu rapi. Setiap makam diberi jarak teratur dan letaknya ditata sedemikian rupa hingga jika dilihat dari atas pemakaman tersebut memiliki pola yang kotak-kotak yang rapi. Keteraturan tatanan tersebut menunjukan sejarah panjang seni tata lahan pemakaman ala Eropa yang sampai ke Nusantara melalui kolonisasi. Pada tahun 1910, pemerintah kota Surabaya menyusun “De Verordening op het beheer der Europeesche begraafplaatsen” sebagai peraturan hukum dalam pengelolaan pemakaman Eropa di Surabaya. Dalam peraturan tersebut, penduduk asing yang disetarakan dengan golongan Eropa seperti orang Jepang atau orang Tionghoa dan pribumi yang beragama Kristen, diperbolehkan untuk dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh (Faber G. v., 1931: 190).

Makam-makam bercungkup.

Penguburan di sini dilakukan dalam dua cara, yakni penguburan Grafkelders, dan Aarden Graven. Pada penguburan Grafkelders, sudah disediakan suatu relung berdinding. Peti mati ditaruh ke dalamnya dan setelah itu relung tersebut ditutup. Sementara untuk jenis Aarden Graven, jenazah dimasukan ke liang lahat dan dipendam dengan tanah. Beberapa makam terbuat dari besi untuk mencegah penjarah mengambil benda berharga yang turut dikubur atau lebih gila lagi, mencuri jenazah untuk dijadikan obyek penelitian anatomi atau mencari kesaktian. Sulit diterima rasanya bila ada orang lain yang mengusik ketenangan dari jasad sanak keluarga mereka.



Batu nisan berbahasa Inggris, Armenian, dan Perancis.
Selain bahasa Belanda, beberapa makam juga menggunakan bahasa Inggris, Jerman, Perancis. Armenia, Ibrani, dan Jepang. Perbedaan jenis bahasa tersebut seakan menjadi bukti metropolitannya Surabaya di masa lalu. Dari awal keberadaanya, Surabaya yang terletak di pesisir dan dilalui jalur pelayaran menjadi kota persinggahan pedagang asing dari berbagai tempat seperti pedagang Tionghoa, Arab, dan Eropa. Lambat laun, Surabaya tumbuh menjadi kota pusat aktivitas dan menjadi tujuan banyak orang dari berbagai wilayah dan beragam latar budaya. Perjumpaan lintas budaya ini kemudian membangun karakter masyarakat Surabaya sebagai masyarakat yang terbuka dan mampu menerima hal-hal baru sehingga terbentuklah citra Surabaya sebagai kota majemuk dan harmonis. Majemuknya kehidupan di Surabaya akhirnya mendorong terjadinya persentuhan antar dua budaya yang berbeda seperti kebudayaan Belanda dengan Jawa yang melahirkan budaya Indisch. Karya dari budaya Indisch yang terjumpai di pemakaman Belanda Peneleh adalah cungkup-cungkup yang menudungi sejumlah makam. Tradisi pembuatan cungkup makam dilakukan oleh orang-orang Jawa untuk melindungi makam supaya tidak rusak tergerus oleh cuaca. Tradisi itu lalu ditiru oleh orang Eropa untuk makam-makam mereka.
Orang-orang Barat kadang menyertakan simbol-simbol yang terkait dengan kematian, misalnya guci berselimut seperti yang tampak pada makam paling kanan yang merupakan simbol dari jiwa yang sudah beristirahat.
Kadangkala sebauah batu nisan memiliki lebih dari satu simbol seperti makam Amalie van Hassen ini. Jam pasir bersayap (bagian atas), menunjukan bahwa waktu yang sudah dilaluinya sudah pergi. Obor dalam posisi biasa dan terbalik menunjukan bahwa ada kehidupan, ada pula kematian.
Pilar patah menjadi simbol putusnya kehidupan seseorang.
Makam keluarga Ch. M. Haccoue. Di bagian bawah tampak simbol jangkar yang mnyimbolkan harapan atau petunjuk bahwa dulunya ia adalah seorang pelaut.
Simbol ular yang menggigit ekor atau ouroboros yang berarti hidup selalu ada awal dan akhir.
Beginilah keadaan kerkhof Peneleh sekarang. Makam-makam mulai ambruk, atap cungkup sudah koyak, batu nisan mulai aus dan pecah. Sedikit pohon perindang yang tumbuh di pemakaman yang sangat luas ini. Hal itu tampaknya disengaja supaya pohon tidak menandingi kesan monumental sebuah makam.  Makam memang tidak sekedar pengabar bahwa di sana ada kuburan seseorang. Ia adalah penanda kenangan, perkabungan, rasa kehilangan dan sekaligus media pengingat kematian. Kenangan itu diukir dalam wujud nama insan yang telah meninggalkan rasa kehilangan bagi setiap orang yang mencintainya. Kematian itu tak hanya sekedar dalam nama yang dipahat pada kerasnya batu. Oleh sang pembuat makam, kematian diperingatkan dalam wujud monumen estetik, ukir-ukiran penyerta yang sarat dengan pesan akan kematian, dan patung-patung yang menambah rasa hormat kepada jiwa-jiwa yang kini terbaring dalam ketenangan dan kedamaian abadi di kota kematian ini. Sebagai contoh adalah ukiran jam pasir yang memiliki pesan tersirat bahwa segala yang hidup akan kembali mati dan segala yang telah mati akan dihidupkan kembali. Simbol lain adalah ukiran obor yang dibuat terbalik sebagai lambang dari kehidupan yang telah padam. Suatu simbol terkadang bisa bermakna ganda. Misalnya adalah simbol jangkar yang selain menunjukan bahwa yang dimakamkan di sana adalah pelaut, kadang bisa juga menjadi simbol harapan agar arwah dapat berlabuh dengan selamat  di dermaga akhirat.
Gubernur Jenderal Pieter Hendrik Merkus (sumber : common.wikimedia).
Makam Gubernur Jenderal Pieter Hendrik Merkus, satu-satunya gubernur jenderal Hindia-Belanda yang dimakamkan di luar Batavia.
Nisan sesungguhnya merupakan media perantara manusia dengan mereka yang telah meninggalkan dunia ini. Dari nisan lah seseorang yang telah tiada dapat menunjukan jatidirinya sewaktu masih hidup. Di salah satu sudut pemakaman, terdapat sebuah makam yang tidak terlalu megah, namun dari kata-kata yang terukir pada batu nisan yang kusam, kita dapat mengetahui bahwa ia dulunya adalah seorang yang berkuasa di masanya. Batu nisan tersebut tak lain adalah batu nisan dari Pieter Hendrik Merkus, gubernur jenderal Hindia-Belanda ke 47. Tentang Merkus, tidak banyak yang diketahui dari pria kelahiran Naarden 18 Maret 1787 ini. Disebutkan dalam Encyclopedia Nederlandsch Indie, sesudah merampungkan belajarnya di Leiden, Merkus diangkat menjadi pegawai negeri pada tahun 1815 dan setahun kemudian ditugaskan ke Hindia-Belanda. Karir Merkus di sini boleh dikatakan cemerlang. Pada tahun 1817, Merkus naik jabatan menjadi wakil sekretaris jenderal. Lalu pada tahun 1822 ditunjuk menjadi Gubernur Maluku. Saat duduk di kursi Dewan Hindia, Merkus membuat suatu keputusan bersejarah bahwa kekuasaan wilayah Banyumas, Bagelen, Madiun, dan Kediri harus diserahkan kepada pemerintah kolonial sebagai pampasan Perang Jawa. Merkus menentang rencana Sistem Tanam Paksa yang digulirkan oleh Johannes van den Bosch sehingga Merkus dicopot dari dari kursi Dewan Hindia pada 1836. Merkus kembali menduduki kursi Dewan Hindia tiga tahun setelahnya untuk menangani Perang Paderi. Merkus diangkat sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1842. Itulah karir tertinggi Merkus sekaligus karir terakhirnya. Baru dua tahun lamanya menjabat, Merkus meninggal dunia di Huize Simpang (kini menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Timur) pada 2 Agustus 1844 (Graaff & Stibbe, 1918; 713-714)Ketika Merkus meninggal, pemakaman Belanda Peneleh belum dibuka sehingga jasad Merkus dikebumikan di area Benteng Prins Hendrik. Pada akhir abad ke-19, benteng tersebut dibongkar untuk keperluan pembangunan trem dan makam-makam di sana dipindahkan ke Peneleh termasuk makam Merkus ini. 
Frans Jacob Huber Bayer (sumber : Oud Soerabaia)
Simbol jangka dan siku seperti yang terlihat pada makam F.J.H Bayer ini umumnya merujuk bahwa yang dimakamkan di sini dahulunya adalah anggota Freemason. F.J.H Bayer sendiri dikenal sebagai industriawan yang memrakarsai industri baja di Surabaya.
Bentuk sebuah makam seringkali mengikuti keadaan ekonomi seseorang saat dia hidup. Untuk orang kaya, mereka berlomba mendirikan makam megah dengan hiasan menonjol di kaveling yang dibeli untuk dirinya. Sementara untuk orang yang kurang kaya, mereka cenderung membangun makam yang kecil atau kadang menyewa pada kaveling orang lain. Namun tidak semuanya  demikian. Sebagai contoh adalah makam Frans Jacob Hubert Bayer, raja baja Surabaya tempo dulu. Untuk orang sekelas Bayer, makamnya tampak berlainan dengan makam orang kaya pada umumnya. Makamnya hanya berupa lempengan baja mendatar. Kesederhanaan makamnya seakan berbanding terbalik dengan perannya yang luar biasa sebagai industriawan pembuka jalan industri baja di Hindia-Belanda. Kisah Bayer di Surabaya dimulai sebagai mekanik di pabrik Lands-Contructie Winkel, bengkel baja milik pemerintah. Bayer kemudian keluar dan dengan pengetahuannya ia mendirikan pabrik baja sendiri bernama Stoomfabriek van F.J.H Bayer yang kemudian berubah nama menjadi De Phoenix. Pada tahun 1844, pabriknya diterpa krisis keuangan sehingga Bayer menjual pabriknya kepada pemerintah dengan harga 100.000 gulden. Tidak patah semangat, Bayer mendirikan pabrik baja lagi dengan nama "Volharding". Untuk memperdalam pengetahuan soal industri baja, pada 1863 Bayer menyambangi negara-negara industri Eropa seperti Belanda, Perancis, Inggris, Jerman, dan Belgia. Safari Bayer tersebut tidak sia-sia. Pabrik baja "Volhrading" menuai kesuksesan dan semakin maju setelah bea masuk untuk bijih besi mentah dipangkas. Kehadiran pabrik baja "Volharding" dapat mengurangi ketergantungan pasokan baja dari Eropa sehingga mendorong pertumbuhan industri-industri lain, terutama industri gula yang selama ini bergantung dari pabrikan Eropa (Knight, 2014; 52-55). Pabrik baja tersebut juga dilirik oleh para pelaku industri dari Jepang yang saat itu sedang menapaki Revolusi Industri. Atas jasanya yang mendorong kemajuan industri baja di Hindia-Belanda, Bayer dianugerahi medali Ridder den Orde van Nederland Leeuw. Karena alasan kesehatan, Bayer mengundurkan diri dari kegiatan pabrik dan meninggal pada tahun 1879.
Makam Pastor Martinus van den Elsen. Batu nisan sang pastor dibuat oleh pematung Kuyper dan dibawa langsung dari kota Maastricht, Belanda. Pastor Elsen memainkan peran penting dalam penyebaran agama Katolik di kota Surabaya.
Makam suster Mere Lousie, suster dari ordo Ursulin yang pertama tiba di Surabaya. Ia dimakamkan dengan suster-suster Ursulin yang lain.
Makam Wakil Presiden Raad Van Indie, Pierre Jan Baptiste Perez. Meninggal 16 Maret 1859 saat perjalanan ke Bajo. Tubuhnya dimakamkan pada tanggal 29 Maret 1859. Dalam prosesi kematiannya, 6 kuda berkulit hitam menarik kereta jenazahnya dan diiringi dengan dua batalyon infanteri, satu divisi kavaleri, dan satuan artileri.
Makam D.F.W. Pietermaat, Residen Surabaya dari tahun 1839 hingga 1848.
Makam Johannes Emde, salah satu tokoh penyebar agama Kristen di Jawa Timur.

Sebenarnya masih ada beberapa tokoh penting yang dimakamkan di sini. Misalnya adalah makam tokoh penyebar agama seperti makam pastor Martinus van den Elsen, tokoh yang membawa Ordo Jesuit ke Surabaya dan makam Johannes Emde, penyebar agama Kristen di Karesidenan Surabaya. Kemudian ada tokoh pengusaha seperti Frans Jacob Hubert Bayer, raja besi Surabaya yang memperkenalkan industri besi ke Jawa sehingga harga besi menjadi murah. Lalu ada makam tokoh emansipasi perempuan sebelum Kartini, Rosalia Josepha. Berikutnya fotografer kondang Ouhannes Kurkdijan yang berkat fotonya orang-orang di masa kini dapat mengetahui suasana Surabaya tempo dulu. Sungguh masih tersimpan beribu kisah dari nekropolis ini namun semuanya tidak bisa diceritakan satu persatu di tulisan kecil ini. 
Osuarium kerkhof Peneleh yang oleh masyarakat setempat dinamai omah balung.
Di kerkhof ini, terdapat sebuah reruntuh bangunan yang kini hanya menyisakan dinding dan sebuah kolom. Masyarakat setempat menjuluki banguan tersebut dengan nama omah balung, merujuk pada banyaknya tulang-tulang yang ditaruh di rongga bawah bangunan tersebut. Keberadaan bangunan tersebut menunjukan masalah ketersediaan lahan pemakaman yang terjadi di Surabaya pada akhir abad ke 19. Di luar bayangan pemerintah kolonial, meningkatnya arus urbanisasi Surabaya rupanya telah mengubah lahan di sekitar kerkhof yang semula masih berupa kebun bambu menjadi perkampungan padat. Upaya perluasan pemakaman pun terhalang oleh perkampungan yang mengepung pemakaman. Sementara itu, dengan bertambahnya makam baru, maka lahan kosong yang tersedia mulai berkurang dan belum ada pemakaman Belanda lainnya di Surabaya selain di Peneleh saat itu (Soerabiasch Handelsblad, 13 Mei 1899). Ketika kebutuhan pemakaman kian mendesak, beberapa kuburan lama dibongkar dan sisa kerangkanya diambil untuk kuburan baru. Kerangka manusia kemudian ditempatkan di dalam ossuarium yang kemudian disebut omab balung. Masalah keterbatasan lahan makam juga diatasi dengan menerapkan sistem kubur huurkelder, dimana ruang kubur milik seseorang dapat disewakan untuk makam orang lain sehingga dalam satu kubur ada lebih dari satu jenazah. Meskipun demikian, upaya tersebut dirasakan belum mampu mengurai akar masalah yang ada ada sehingga pemerintah kolonial membuka pemakaman baru di Kembang Kuning pada tahun 1916 (Von Faber, 1934 ; 186-187). Pemakaman Belanda Peneleh tidak menerima jenazah lagi pada tahun 1960an.

Sekian kisah dari kerkhof Peneleh, sebuah nekropolis yang sedang berjuang untuk bertahan di tengah pesatnya pertumbuhan metropolis Surabaya. Keheningan kerkhof Peneleh kontras dengan hingar-bingar kehidupan metropolitan Surabaya di luar tembok makam. Pada setiap makam yang terpancang, terkandung kisah lika-liku kehidupan manusia masa silam, petuah bijak tentang kematian, cita-rasa seni, latar belakang sosial-budaya, serta perasaan terhadap keabadian yang diungkapkan dalam tulisan dan karya pahatan. Sudah semestinya bila kerkhof ini untuk dilestarikan sebagai pembelajaran untuk manusia masa kini yang tampaknya sudah tidak terlalu peduli dengan kematian. Namun yang terjadi justru adalah aksi vandalisme oleh orang tak bertanggung jawab. Beberapa makam yang masih utuhpun setiap harinya semakin rusak.  Jalan untuk melestarikan nekropolis ini memang masih berliku. 

Referensi
Knight, G. R. (2014). Sugar, Steam, and Steel ; The Industrial Project in Colonial Java 1830-1885. Adelaide: University of Adelaide Press.

Mahendrani, Cahya Ratna. 2013. “Nisan Makam Belanda Peneleh Surabaya (Kajian Bentuk dan Ragam Hias)”. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Muller, Stephen. 2915. “ Colonial experiences of death, burial and memorialisation in West Terrace Cemetery,Adelaide: applying a phenomenological approach to cultural landscapes in historical archaeology ” dalam Australasian Historical Archaeology, Vol. 33 (2015), hlm 15-26

Graaff, S. D., & Stibbe, D. 1918. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie. 'S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Von Faber, G.H. 1932. Oud Soerabia ; De Geschiedenis van Indies Eerste Koopstad van de Oudste Tijden tot de Instelling van Den Gemeenteraad. Surabaya : Gementee Soerabaia.
Von Faber, G.H. 1932. Nieuw Soerabia ; De Geschiedenis van Indies Voornaamste Koopstad in De Eerste Kwareeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931. Surabaya ; N.V. Boekhandel en Drukkerij H.van Ingen.

Worpole, K. (2003). Last Landscape ; The Architecture of The Cemetery in The West. Reaktion Books: London.

Soerabiasch Handelsblad, 13 Mei 1899.