Sabtu, 20 April 2019

Mosaik Warisan Sejarah Keluarga Schmutzer

Suasana khusyuk menyertai kunjungan saya ke kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, sebuah kompleks gereja yang berada di Ganjuran, Bantul. Selain sebagai tempat ibadah, gereja ini juga merupakan tujuan wisata religi yang cukup kondang bagi umat Katolik. Setiap harinya, selalu saja ada peziarah yang datang dan berdoa menghadap bangunan berbentuk candi yang berada di samping timur bangunan gereja utama. Kehadiran bangunan yang berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha di tengah tempat ibadah umat Katolik ini mungkin akan membuat bingung pengunjung yang pertama kali datang ke sini. Semakin bingung lagi bila mereka mengetahui jika candi tersebut ternyata adalah warisan dari keluarga pemilik pabrik gula berdarah Belanda, keluarga Schmutzer. Jejak Kolonial kali ini akan mengangkat jejak-jejak yang ditinggalkan dari keluarga Schmutzer.
Foto udara PG Gondanglipura. Bangunan besar berona putih adalah gedung pabrik yang sekarang sudah tidak ada lagi (sumber : beeldbankwo2.nl).
Sebagian dari sisa PG Gondanglipura.
Landhuis Gandjoeran, tempat tinggal keluarga Schmutzer yang dirancang oleh N.J.Kruizinga pada 1925.
Pada masa lampau, kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus bersanding dengan kompleks pabrik gula Gondanglipuro. Letaknya berada di sebelah timur kompleks gereja. Sejarah dari pabrik gula itu sendiri lebih lama dari gereja ini. Sekitar pertengahan abad 19, sepasang suami-istri dari Belanda tiba Ganjuran. Mereka adalah Stefanus Barends dan Elise Fransisca Wilhelmina Kathaus. Seperti kebanyakan pendatang Belanda kaya pada saat itu, mereka merintis usaha pabrik gula pada 1 September 1862. Pabrik gula tersebut dinamakan Gondanglipuro yang merupakan gabungan dari dua nama dusun tempat pabrik gula tersebut berdiri, Dusun Kaligondang dan Dusun Lipuro. Pada saat pabrik baru didirikan, luas tanamnya baru mencapai 435 bouw dengan hasil panen sekitar 65.000 per musim tanam. Tahun 1876, Barends meninggal dan ia mewariskan pabrik gulanya kepada istrinya. Walau sudah tujuh tahun berdiri, belum terlihat tanda-tanda kemajuan yang berarti. Bahkan pada tahun 1882, pabrik gula Gondanglipuro terancam bangkrut akibat kegagalan panen (Kalken, 1930; 147)186. Setelah menjanda selama empat tahun, Elise Kathaus kemudian menikah lagi dengan Gottfried Schmutzer. Dari pernikahan keduanya, ia dikaruniai empat anak. Mereka adalah Elise Anna Maria Antonia Schmutzer (lahir 1881), Josef Ignatius Julius Maria Schmutzer (lahir 1882), Julius Robert Anton Maria Schmutzer (lahir 1884) dan Eduard Milhelm Maria Schmutzer (lahir 1887).
Julius Schmutzer dengan medali yang diberi oleh Tahta Suci Vatikan.
Paus Leo XII, mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum pada 1891 untuk mengurangi beban penderitaan kaum pekerja (sumber : common.wikimedia.org)

Schmutzer sewaktu meninjau panen tebu. Sebagai pemilik, Schmutzer tidak segan untuk turun langsung ke lapangan. Dari sinilah Schmutzer tahu seperti apa kerja keras para buruh tani.
Josef dan Julius Schmutzer sama-sama memiliki ketertarikan dengan bidang teknik. Selepas mereka tamat dari HBS Surabaya, mereka melanjutkan pendidikan di Politeknik Delft, Belanda. Selama mereka kuliah di Belanda, kedua Schmutzer bersaudara melibatkan diri ke dalam gerakan Mahasiswa Katolik. Kala itu, revolusi industri yang berjalan mesra dengan kapitalisme sedang berada di masa puncaknya. Di sisi lain, revolusi industri tak hanya membuahkan aneka mesin-mesin ajaib, namun juga menciptakan beragam masalah sosial yang mengusik nurani. Sayangnya, para pemilik modal hanya berkutat mengejar kemajuan materi semata, sementara hak-hak sebagian buruh seringnya diabaikan. Buruh dilarang untuk berserikat dan kalaupun bisa biasanya dikekang. Kecilnya pendapatan membuat mereka hanya bisa tinggal di rumah yang sebenarnya kurang pantas untuk ditinggali. Hal yang hampir sama juga terjadi di Jawa, dimana kecilnya upah buruh membuat mereka tidak mampu mengenyangkan isi perut seluruh anggota keluarganya. Seringkali didapati anak-anak buruh dalam keadaan kurang gizi. Singkat cerita, baik buruh di Jawa maupun di Eropa, adalah kaum yang paling disengsarakan selama revolusi industri. Gereja Katolik sebagai otoritas keagamaan terbesar di Barat rupanya menaruh simpati pada penderitaan kaum buruh. Paus Leo XIII lantas menerbitkan ensiklik Rerum Novarum, Ajaran Sosial Gereja pada 1891. Perlu diketahui pula selain sebagai bentuk perhatian gereja terhadap hak-hak buruh, Rerum Novarum juga merupakan upaya gereja untuk menangkal pengaruh ajaran Marxsisme di lingkungan pekerja Katolik (Burchell, 1984; 80-81). Anjuran dari Rerum Novarum meliputi tidak menganggap buruh sebagai komoditi, pembagian keuntungan yang merata, perhatian kepada tuntutan buruh, dan yang paling penting adalah kesucian keluarga harus dijaga dengan cara pemberian upah yang layak dan mengurangi jam kerja untuk pekerja anak dan wanita. Sayangnya, anjuran mulia dari gereja tadi lebih banyak menuai cercaan dengan alasan akan menghambat kemajuan. Para pemilik modal, sekalipun setiap Minggunya pergi ke gereja, juga enggan menuruti anjuran ini karena itu artinya keuntungan yang masuk ke kantung mereka menjadi berkurang. Sebagai umat Katolik yang taat, Schmutzer bersaudara berusaha mendalami Ajaran Sosial Gereja. Mereka bertekad untuk menerapkannya bukan di Eropa, melainkan di Jawa (Aritonang dan Steenbrink, 2008; 702).
Keluarga sewaktu masih bersama di Ganjuran. Pria yang sedang menggendong seorang anak adalah Julius Schmutzer sementara pria di kirinya adalah saudaranya, Josef Schmutzer. Sementara dua perempuan Belanda di depan adalah Lucie Cornelle Amelie Hendriksz, istri Josef dan Caroline van Rijckevorsel, istri Julius (sumber : geheugenvannederland.nl).
Shmutzer bersaudara di masa tua.
Makam orang tua Schmutzer bersaudara, Gotfried dan Elisa Schmutzer di permakaman Belanda Peneleh Surabaya.
Meninggalnya suami kedua dan anak bungsunya dalam waktu yang berdekatan tampaknya membuat Nyonya Elise Kathaus terpukul. Bersama putrinya, ia menyusul kedua putranya ke Belanda pada tahun 1905 dan meninggal di Surabaya pada 1912. Keluarga Schmutzer sonder si sulung Elis kembali lagi ke Ganjuran pada 1910. Sepeninggal Kathaus pada 1912, pengelolaan pabrik gula Gondanglipuro dilanjutkan oleh Josef dan Julius Schmutzer. Ketika satu persatu pabrik gula di Vorstenlanden yang dirintis oleh keluarga Indo-Eropa jatuh ke tangan perusahaan besar, PG Gondanglipuro masih dimiliki oleh keluarga Schmutzer selama lebih dari lima puluh tahun. Untuk meningkatkan produksi pabrik, maka pabrik memperluas area ladang dengan pembelian tanah perkebunan Kebonongan pada tahun 1926. Selain itu, PG Gondanglipuro mulai untuk membuat jenis gula putih setelah bertahun-tahun memproduksi jenis gula merah (Soerabaiasch Handelsblad 1 September 1937). Sebagai pengusaha sekaligus umat Katolik yang taat, posisi mereka sebagai pemilik pabrik membuka kesempatan mereka untuk menerapkan Ajaran Sosial Gereja yang dulu mereka pelajari selama di Belanda. Perbedaan warna kulit Schmutzer bersaudara dengan buruhnya tidak menjadi halangan untuk mereka. Bagi Schmutzer bersaudara, buruh bukanlah barang komoditi yang dapat diperlakukan sesukanya sebagaimana pandangan kebanyakan pemangku pabrik gula saat itu, melainkan sebagai mitra kerja. Schmutzer bersaudara memberi hak kepada buruh mereka untuk membentuk serikat buruh pabrik Gondang Lipuro, Tjipto Utomo (Kalken, 1930; 144). Dari kesepakatan kontrak dengan serikat buruh tersebut, Schmutzer bersaudara memutuskan untuk mengurangi jam kerja, menaikan upah buruh sebesar 5% per tahun, memberi tunjangan pensiun dan asuransi kesehatan, menyediakan perumahan yang layak, dan memberi jatah hari libur. Di samping itu, anggota serikat buruh diperkenankan untuk mengetahui keadaan keuangan pabrik (Aritonang dan Steenbrink, 2008; 703).
Poliklinik PG Ganjuran yang dikelola oleh tarekat biarawati Carollus Borromeus.
(sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Rumah sakit Santa Elizabeth Ganjuran, karya sosial di bidang kesehatan yang bermula dari garasi rumah keluarga Schmutzer. 
Pada 1919, Josef Schmutzer menikah dengan Lucie Cornelle Amelie Hendriksz dan setahun berikutnya, ia menerima tawaran sebagai anggota Volksraad. Karena hal itu ia pindah ke Bogor. Walau demikian ia masih menjalin kontak dengan saudaranya di Ganjuran. Sepeninggal saudaranya, Julius Schmutzer lalu menikah dengan Caroline van Rijckevorsel, saudari muda dari pastor Leopold van Rijkevorsel. Sebelum menikah, Caroline sempat bekerja sebagai perawat dan sebagaimana suaminya, ia memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Karena itu, pada 1921 garasi rumahnya disulap menjadi poliklinik. Dari hanya sekedar menumpang garasi rumah, poliklinik tersebut menempati gedung rumah sakit yang lebih besar pada 1 Juni 1934. Dalam pelayannya, Caroline Schmutzer dibantu oleh empat suster dari tarekat Carolus Boromeus. Mereka adalah Bunda Cunegundis, Suster Barbarine, Suster Iris, dan Suster Amonia (Kalken, 1930; 146). Pada awalnya mereka sempat kesulitan berkomunikasi dengan pasien karena kendala perbedaan bahasa. Namun beruntung ada seorang perempuan pribumi bernama Waginem yang bersedia membantu mereka dalam berkomunikasi sebagai penterjemah. Untuk meningkatkan pelayanan, rumah sakit tersebut dilengkapi sebuah mobil untuk menjemput pasien. Rumah sakit tersebut hari ini menjadi Rumah Sakit Santa Elisabeth Ganjuran. Karya sosial keluarga filantropi ini juga merambah ranah pendidikan. Mereka membuka 12 sekolah rakyat yang diperuntukan baik untuk anak laki-laki atau anak perempuan. Mereka sengaja memilih angka 12 sebagai lambang dari 12 rasul yang diutus Yesus. Guru-gurunya didatangkan dari kweekschool Muntilan. Untuk menghidupi karya sosial tersebut, Schmutzer menyisihkan sebagian keuntungan pabrik. Sepeninggal Schmutzer, sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh Yayasan Kanisius. Atas karya sosialnya selama di Ganjuran, Tahta Suci Vatikan menganugerahkan Bintang Gregorius kepada Julius Schmutzer pada tahun 1930. Berikutnya pada tahun 1933, istrinya mendapat bintang Oranje Nassau dari Kerajaan Belanda disertai ucapan selamat dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Rumah sakit Panti Rapih, dulunya bernama Ziekenhuis Onder de Bogen.

Julius Schmutzer, Caroline Schmutzer-van Rijckvorsel, Mgr van Velsen, dan para suster Carolus Boromeus sewaktu upacara pemberkatan rumah sakit Onder de Bogen (sumber : Ir. F.J.L. Ghisels, Architect in Indonesia).
Selain di Ganjuran, warisan sejarah lain dari keluarga Schmutzer dapat dijumpai di lingkungan kota Yogyakarta. Warisan sejarah berupa kompleks rumah sakit tersebut boleh jadi sudah dikenal banyak orang namun sedikit yang mengetahui asal-usulnya. Warisan sejarah itu tak lain adalah Rumah Sakit Panti Rapih. Kisah bermula pada Februari 1920, ketika ketua badan sosial Katholieken Socialen Bond saat itu, J. van Roosendaal menyurati VLV (Vorstenlandsche Landhuurders Vereeniging) perihal rencana pembukaan rumah sakit di kota Yogyakarta. Julius Schmutzer yang juga anggota VLV saat mendengar rencana tersebut akhirnya berkenan untuk mendanai pembangunanya. Rencana tersebut sayangnya belum bisa diwujudkan secepatnya karena belum adanya SDM yang akan menjalankan rumah sakit itu. Pada tahun 1926, Kongregasi Biarawati Carolus Borromeus dari Maastricht bersedia untuk mendatangkan sejumlah suster dari kongregasi itu untuk mengelola rumah sakit yang akan dibangun di Yogyakarta itu. Sebagai langkah persiapan, dibentuklah Yayasan Onder de Bogen pada 22 Februari 1927 yang diketuai oleh Schmutzer. Selama dua bulan, yayasan tersebut mempersiapkan lahan yang akan dibangun rumah sakit dan akhirnya memperoleh sebidang lahan di pinggir utara kota Yogyakarta. Yayasan selanjutnya membuat kontrak kepada agensi arsitektur AIA (Algemenee Ingineurs en Architect) khususnya pada Ir. F.J.L Ghijsles untuk merancang kompleks rumah sakit tersebut (De Locomotief, 16 September 1929). Ghijsels secara khusus mendalami kelebihan dan kekurangan gedung-gedung rumah sakit di Jawa supaya dapat menghasilkan rancangan gedung rumah sakit bermutu tinggi.
Bagian bangsal Ziekenhuis "Onder de Bogen" (Sumber : Gedenkboek bij Het Honderd-Jarig, Bestaan Der Liefdezusters van de H. Carolus Borromeus)
Setelah rancangan gedung rumah sakit disepakati oleh keduabelah pihak, pada 15 September 1928 dilakukan upacara peletakan batu pertama yang dilakukan oleh istri Julius Schmutzer. Rumah sakit tersebut diberi nama Ziekenhuis Onder der Bogen yang dapat diartikan sebagai "Rumah Sakit di Bawah Plengkungan". Penamaan tersebut merujuk pada biara induk kongregasi Carolus Boromeus di Maastricht yang letaknya dekat dengan struktur lengkung kuno. Ketika rumah sakit mulai ditempati sekitar bulan April, sarana seperti air dan listrik belum tersedia di sana. Sesudah rumah sakit tersebut diberkati oleh Mgr van Velsen 24 Agustus 1929, barulah pembangunannya dikebut sampai pembukaanya pada 14 September 1929. Dalam kesempatan itu, hadir Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Para tamu undangan yang terdiri dari pejabat kolonial, petinggi gereja dan keluarga keraton dibuat terpana dengan arsitektur bangunan yang memasukan unsur arsitektur lokal (Onder de Bogen, 1937; 376-378).
Ziekenhuis Onder de Bogen dengan lengkungan dan atapnya yang meniru bentuk rumah tradisional Nusantara (sumber : Ir. F.J.L. Ghisels, Architect in Indonesia).
Rumah Sakit Onder de Bogen awalnya memiliki 4 bangsal rawat inap dengan kapasitas 61 pasien. Supaya bagian dalam ruangan tidak terasa panas akibat cahaya matahari, maka bangunan bangsal dibangun melintang timur-barat. Keempat bangsal tersebut dibagi berdasarkan kemampuan pasien. Bangsal A merupakan bangsal paling mewah di antara keempat bangsal lain dan memiliki beranda yang menghadap ke Gunung Merapi. Sementara bangsal D diperuntukan bagi pasien kurang mampu. Selain bangsal rawat inap, rumah sakit juga dilengkapi sejumlah sarana seperti ruang bedah, klinik bersalin, binatu, dapur, dan gudang penyimpanan yang dibuat mengikuti standar kebersihan tinggi. Rumah sakit tersebut juga sudah memiliki mesin rontgen meskipun baru didatangkan beberapa bulan setelah pembukaan karena belum ada ahli rontgen di Yogyakarta (Algemeen Handelsblad 16 Juli 1929). 
Gambar tampak burung Ziekenhuis Onder de Bogen (Sumber : Sint Claverbond 1929)
Tahun pertama rumah sakit Onder de Bogen tidak dilalui dengan mulus. Pasien yang datang masih sedikit karena rumah sakit tersebut masih belum menerima bantuan keuangan dari pihak lain sehingga pasien dari kalangan bawah belum bisa dirawat di sana. Baru sejak bulan Januari 1932 ketika bantuan keuangan dari pihak luar telah mengalir, secara berangsur-angsur banyak pasien yang berobat dan dirawat di rumah sakit Onder de Bogen (Onder de Bogen, 1937; 376-378). Kendati rumah sakit tersebut milik yayasan berlatar Katolik, namun sehari-harinya mereka menerima pasien dari segala latar belakang. Kalangan bangsawan Jawa di Yogyakarta menjadikan rumah sakit “Onder de Bogen” sebagai pilihan tempat perawatan karena lengkapnya fasilitas yang dimiliki rumah sakit tersebut. Ketika Sultan Hamengkubuwono VIII kesehatannya memburuk, beliau langsung dibawa ke sana walau akhirnya beliau wafat di rumah sakit tersebut pada 22 Oktober 1939.
Bangunan baru gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, menggantikan gereja lama yang hancur karena gempa 2006.

Bangunan lama gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (sumber : Sint Claverbond 1934).
Prasasti yang memperingati upacara peletakan batu pertama gedung gereja.
Sebagai umat Katolik yang baik, keluarga Schmutzer mendukung kegiatan keagamaan umat Katolik di Ganjuran yang saat itu diampu oleh Rm,Van Driessche, SJ. Keluarga Schmutzer bersedia memberi tumpangan ketika Romo tersebut datang ke Ganjuran untuk menggelar ibadah misa dan memberikan pelajaran agama. Sungguhpun keluarga Schmutzer adalah penganut agama Katolik yang taat, tidak ada paksaan bagi buruh yang bekerja pada mereka atau warga sekitar pabrik untuk mengikuti agama mereka. Di antara mereka memang ada yang akhirnya yang menjadi Katolik, namun itu karena atas kehendak mereka sendiri. Karena itulah jumlah umat Katolik di Ganjuran terbilang kecil. Sebelum Schmutzer memutuskan untuk mendirikan bangunan gereja pada 1924, kegiatan ibadah selama ini dilangsungkan di kediaman keluarga Schmutzer (Kalken, 1930; 144). Biarpun kecil dan sederhana, gereja tersebut cukup untuk menampung umat Katolik ketika beribadah. Sayangnya, rupa gereja Ganjuran yang sekarang tidaklah sama dengan gereja yang diresmikan Schmutzer. Sayangnya, gereja ini tidak mampu menahan kuatnya guncangan gempa bumi yang terjadi 2006 silam. Bagian depan bangunan gereja lama itupun runtuh dan karena hal itu, selama beberapa bulan jemaat beribadah di gereja darurat yang terbuat dari bambu. Kini, di atas gereja lama telah berdiri gereja baru yang bentuknya lebih tradisional dibanding gereja lama. Satu-satunya jejak dari gereja lama yang masih dapat dijumpai adalah batu prasasti yang menandai upacara peletakan batu pertama pada 1924.
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus.
Monumen HKTY setelah diresmikan pada 11 Februari 1930 (sumber ; Sint Claverbond 1930)
Di samping timur gereja, berdiri sebuah monumen berwujud candi yang menjadi titik utama di kompleks gereja HKTY. Kendati tidak semonumental Candi Prambanan atau Candi Borobudur, namun candi ini amatlah unik dan mungkin tiada padanannya di dunia karena candi HKTY adalah candi yang bercorak agama Katolik. Sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dan kasih yang telah dilimpahkan oleh Tuhan kepada usaha dan karyanya, Julius Schmutzer mendirikan monumen yang didevosikan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Namun monumen yang dirancang sendiri oleh Julius Schmutzer lain daripada yang lain karena dibangun dalam wujud seperti candi. Julius Schmutzer sengaja memilih bentuk candi karena baginya, kepercayaan dan kebudayaan tradisional Jawa telah menjadi anasir yang mendarah daging pada setiap orang Jawa dan sulit untuk ditinggalkan. Karena itulah untuk mempermudah pengenalan dan pemahaman orang Jawa terhadap ajaran Katolik, Schmutzer menyelipkan beberapa unsur budaya Jawa yang sekiranya tidak bertentangan dengan ajaran Katolik (Soekiman, 2014;87). Candi merupakan wujud kebudayaan Jawa yang monumental dan mudah dikenali orang. Candi yang pada masa silam adalah tempat suci umat agama Hindu-Buddha, oleh Schmutzer dijadikan sebagai sarana ibadah umat agama Katolik. 
Rancangan Candi HKTY yan dibuat oleh Julius Schmutzer.
(Sumber : Europanisme of Katholiksme)

Suasana pada upacara pemberkatan candi HKTY pada 26 Desember 1927 (sumber ; Sint Claverbond 1928).
Suasana pada upacara peresmian candi HKTY pada 10 Februari 1930
(sumber : Sint Claverbond 1930).
Pada 26 Desember 1927, diadakan upacara pemberkatan monumen yang dipimpin oleh Mgr. A. van Velsen. Bahan untuk pembangunan candi dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya untuk disusun menjadi landasan candi. Pengerjaanya tampak begitu halus dan tanpa cacat. Pada kesempatan tersebut, sebuah lempengan tembaga yang berbunyi “Bila candi ini hancur, Kristus Raja tetap selamanya di Ganjuran” ditanamkan di dalam sumur peripih. Bersamaan dengan lempengan tersebut, ditanamkan pula arca Yesus buatan pematung bernama Iko yang ditampilkan duduk di atas tahta dan berbusana layaknya raja Jawa di masa silam. Sebagai elemen penting dari ikonografi Hati Kudus Tuhan Yesus, terdapat atribut ikonografi hati menyala di dada arca (Van Rijckvorsel, 1928 ; 130-137). Setelah pembangunannya selesai, monumen candi tersebut kemudian diresmikan pada 11 Februari 1930. Di dalam relung candi, ditempatkan arca Yesus yang serupa dengan arca yang ditanamkan pada tahun 1927 namun dengan ukuran yang lebih besar. Secara tidak langsung, upaya yang dilakukan Schmutzer tersebut telah memberi nafas baru pada kebudayaan Jawa.
Patung Hati Kudus Tuhan Yesus, replika dari patung yang dibuat oleh pematung Iko.


Adegan penyaliban Yesus yang dibuat seperti relief candi dari masa Mataram Kuna.
Schmutzer bersaudara tidak selamanya hidup bersama di Ganjuran. Selepas menjadi anggota Volksraad, Josef Schmutzer kembali ke Belanda. Lantaran kesibukannya sebagai pengajar, Josef tidak sempat kembali ke Ganjuran hingga ia meninggal di Belanda pada 26 September 1946. Walau demikian, Josef selama di Belanda berusaha memberi dukungan pada saudaranya di Ganjuran. Sementara itu, Julius Schmutzer yang kesehatannya sedikit memburuk akhirnya menyusul kakaknya kembali ke Belanda pada 1934 guna mendapatkan perawatan lebih baik di sana. Kepergian keluarga Schmutzer menjadi kehilangan besar bagi para buruh, suster, guru, dan warga sekitar yang telah menganggap keluarga Schmutzer sebagai bagian dari mereka. Secara ajaib, pabrik gula Gondanglipuro lolos dari amukan krisis ekonomi pada tahun 1930an padahal krisis tersebut telah membuat banyak pabrik gula gulung tikar (Soerabaiasch Handelsblad, 1 September 1937). Meskipun mampu melalui masa-masa kemalangannya pada krisis ekonomi dan pendudukan Jepang, namun operasional pabrik sempat terhenti sewaktu Agresi Militer Belanda Kedua. Saat itu Pabrik Gula Gondanglipuro adalah satu-satunya pabrik gula di Yogyakarta yang utuh. Hari-hari terakhir Julius Schmutzer akhirnya dihabiskan untuk menghidupkan kembali pabriknya Beberapa kali ia berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan beberapa tokoh politik dan pemerintah. Salah satunya adalah I.J. Kasimo yang juga sama-sama penganut Katolik. Sungguhpun sudah mengeluarkan segala daya upaya, situasi politik yang tidak menentu serta tidak tercapainya kesepakatan dengan petani sekitar membuat Schmutzer menanggalkan harapannya untuk memulihkan PG Gondanglipuro seperti sediakala (Kedaulatan Rakyat 3 Desember 1953).

Tidak bisa dipungkiri bila kehadiran pabrik gula di Jawa selama masa kolonial sudah memberikan jalan bagi industrialisasi Jawa. Namun di sisi lain, industrilaisasi tersebut memunculkan masalah sosial dari ketimpangan kesejahteraan hingga pertikaian kaum pekerja dengan majikan. Dari sekian cerita buruk yang ditinggalkan dari industri gula di Jawa, masih ada secercah cerita mulia seperti yang sudah ditunjukan oleh keluarga Schmutzer, tokoh kunci yang memainkan peran besar dalam penyebaran agama Katolik di Yogyakarta. Perbuatan-perbuatan mulia mereka terekam dalam kepingan sejarah yang telah mereka tinggalkan dan bila kepingan tersebut disatukan, maka hasilya adalah suatu mosaik yang akan melengkapi lembaran sejarah industri gula di Jawa.


Referensi
Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink, Karel. 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden : Brill.

Burchel, S.C. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta : Tira Pustaka.

Kalken S.J, A Van. 1930. "Hunne Werken Immers Volgen Hen" dalam Sint Claverbond. Nijmegen ; N.V. Centrale Drukkerij.

Onder de Bogen. 1937. Gedenkboek bij Het Honderd-Jarig, Bestaan Der Liefdezusters van de H. Carolus Borromeus. Amsterdam : Drukkerij. H. J. Koersen.

Rijkevorsel S.J., L. Van. 1928. "Eerste Steenleggeing van Eeen H. Hart Monument op Java" dalam Sint Claverbond. Nijmegen ; N.V. Centrale Drukkerij.

Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis ; Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.

Soerabaiasch Handelsblad, 1 September 1937

Kedaulatan Rakyat, 3 Desember 1953