Kamis, 27 April 2017

Benteng Willem I Ambarawa, Hikayat Benteng Tua di Tepi Rawa

Salah satu peninggalan sejarah yang kondang di Ambarawa, selain Stasiun Ambarawa adalah Benteng Willem I, sebuah benteng tua yang terletak di tepian Rawa Pening. Benteng itu dibangun pada pertengahan abad ke-19, sebagai upaya pemerintah kolonial Belanda menangkal serbuan bangsa asing ke Hindia-Belanda. Seperti apakah kisah selanjutnya dari benteng yang namanya diambil dari nama Raja Belanda itu ?
Peta Ambarawa tahun 1905 yang menunjukan lokasi Benteng Willem I dan lingkungan sekitarnya yang sudah sedemian berkembang berkat jalur kereta (Sumber : maps.library.leiden.edu.)
Sebuah jalan setapak kecil yang terletak di samping RSUD Ambarawa mengantarkan saya ke area benteng yang dikelilingi oleh persawahan itu. Berlatar pemandangan Gunung Telomoyo yang begitu permai, benteng itu ingin bertutur tentang sebuah kisah. Sembari melangkah menyusuri setiap sudut benteng, saya mencoba untuk mendengarkan kisahnya.
Rencana Benteng Willem I yang dibuat pada tahun 1830an. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa bagian dalam rencana tersebut tidak jadi dibangun atau mengalami perubahan (sumber : nationaalarchief.nl)

Pendirian benteng itu sesungguhnya masih ada sangkut paut dengan bergolaknya Revolusi Belgia di Eropa pada tahun 1830. Wilayah Belgia yang dikenal sekarang, kala itu masih berada di bawah naungan kerajaan Belanda yang meraih kemerdekaan dari Spanyol tahun 1581. Sebagian besar penduduk Belgia masih setia sebagai penganut Katolik, kontras dengan mayoritas penduduk Belanda yang telah berpindah menjadi penganut Kristen Protestan. Wilayah Belgia yang menjadi basis revolusi Industri segera menjadi rebutan Belanda, Perancis, dan Austria (Simon, 1983 ; 83-86). Berakar dari perbedaan agama dan ekonomi, Belgia yang dibantu bangsa lain berusaha memisahkan diri dari kendali Kerajaan Belanda pada 1830. Maka terjadilah apa yang dikenal sejarah sebagai Revolusi Belgia. Begitulah benteng ini memulai kisahnya.
Raja Willem I ( 1772 -1843 ) yang namanya diabadikan menjadi nama Benteng di Ambarawa. Pemerintahannya diwarnai dengan Revolusi Belgia. (sumber : wikipedia).
Selanjutnya, benteng itu menuturkan bahwa pemerintah kerajaaan Belanda risau bila pergolakan yang terjadi di Eropa akan meluas ke Jawa dan perisitiwa jatuhnya Pulau Jawa ke pangkuan bangsa Eropa lain seperti yang terjadi pada invasi Inggris pada tahun 1811 akan terulang kembali. Guna mengamankan kuasa tanah kolonial berharga mereka dari bangsa asing lain yang lebih kuat, maka Kerajaan Belanda lantas menitahkan Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk mempersiapkan strategi yang dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap serangan musuh yang akan merebut Pulau Jawa. Van den Bosch, veteran Perang Jawa yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1830, menyadari bahwa pertahanan pulau Jawa selama ini masih kurang mumpuni sehingga Belanda gagal membendung serangan Inggris beberapa tahun sebelumnya. Titah tersebut rupanya menjadi tekanan tersendiri bagi Van den Bosch karena pemerintah kolonial di Jawa saat itu sedang dihadapi masalah keuangan. Akibat Perang Jawa yang bergolak lima tahun sebelum Van den Bosch menjabat sebagai Gubernur Jenderal, kas keuangan pemerintah terkuras habis dan tentunya itu adalah hal buruk bagi pemerintahan yang ingin mengukuhkan kekuasaanya. Namun bagaimanapun juga Van den Bosch harus melaksanakan tugas yang sudah diberikan kepadanya. Van den Bosch lalu menyusun suatu strategi dengan membagi pertahanan Pulau Jawa menjadi beberapa lapis. Lapis pertama adalah wilayah pesisir utara tempat musuh bakal mendaratkan pasukannya. Lapis kedua adalah wilayah pedalaman Jawa bagian tengah. Seandainya pertahanan lapis pertama jatuh, seluruh pasukan akan mundur ke lapis ini. Jika pada lapis kedua musuh gagal dihalau, barulah seluruh kekuatan ditarik ke wilayah pesisir selatan yang menjadi lapis pertahanan terakhir dan jalur pelarian jika situasi sudah mendesak. Untuk lapis kedua, Sungai Tuntang ditetapkan sebagai garis pertahanan pedalaman di Jawa bagian tengah. Sungai tersebut berhulu di Rawa Pening yang dikelilingi oleh lembah nan luas.
Benteng Willem I pada peta tahun 1845 (sumber : media-kitlv.nl)
Lembah tersebut memiliki kedudukan strategis karena berada di persimpangan jalan yang mempertemukan tiga jalan utama yang menghubungkan Semarang, Kedu, dan Surakarta (Van Brakell, 1863;327). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka lembah Ambarawa perlu dilengkapi dengan benteng baru untuk menutup pergerakan musuh yang menuju ke pedalaman. Ambarawa tersebut memiliki kedudukan paling penting di antara tempat lain di Jawa sebab ia akan menjadi titik kumpul pasukan seumpama seluruh wilayah pesisir telah diduduki musuh dan dari sini mereka dapat melancarkan serangan balik (Kielstra, 1879;23-24). Para insinyur zeni Belanda kemudian memilih sebuah lahan terbuka di selatan Ambarawa sebagai lokasi benteng. Posisinya memang lebih rendah dari dataran sekitar sehingga mudah untuk diincar. Meskipun demikian, tempat tersebut menawarkan keuntungan tersendiri karena dapat melindungi tiga sisi pertahanan, yakni jalan menuju Kedu, jalan menuju Surakarta, dan persimpangan kedua jalan tersebut. Mengingat posisinya yang terbuka dan lebih rendah maka, dibuatlah benteng tambahan yang lebih kecil di sekitar benteng utama, yakni dua benteng di Tuntang untuk menjaga sungai Tuntang, satu benteng di desa Candidukuh di selatan Rawa Pening, dan satu benteng di Jambu untuk mengawasi jalan menuju Kedu. Selain itu, dibangun jalan militer baru yang akan terbentang dari jalan pos dekat Bawen, kemudian melintas di dekat timur benteng hingga Banyubiru (Van Brakell, 1863;326).

Sebuah lukisan yang menggambarkan panorama Gunung Andon dan Telomoyo. Di kejauhan terlihat Benteng Willem dengan Tanggul yang masih mengelilingi benteng. ( sumber : troppenmuseum.nl ).
Foto udara benteng Willem. Parit dan dinding tanah sudah diratakan (sumber : Forts in Indonesia).
Sejak tahun 1833, berbagai keperluan disiapkan dengan matang dan terencana untuk mewujudkan proyek ambisius ini. Perkampungan pekerja, barak prajurit, bengkel, dan barak dengan daya tampung 4.500 pekerja didirikan di dekat benteng. Tenaga yang terlibat dalam proyek itu antara lain insinyur zeni ahli perbentengan, penjaga, dan 3.000 kuli lokal serta beberapa tahanan yang menjalankan hukuman kerja paksa membangun benteng. Komandan zeni milter Belanda, kolonel Van der Wick, ditugaskan untuk mengawasi jalannya pembangunan.  Selama proses persiapan pembangunan, sempat terjadi insiden berupa angin puyuh yang memporak-porandakan tangsi pekerja dan selanjutnya memicu kebakaran besar karena percikan api dari dapur umum menjalar ke barak infanteri (Algemeen Handelsblad, 15 April 1835). Selain insiden kebakaran, pembangunan benteng sempat terhalang oleh keterbatasan moda pengangkutan saat itu sehingga material seperti kayu dan batu kapur yang masih didatangkan dari tempat lain terlambat datang sesuai rencana. Supaya menghemat waktu, maka di dekat benteng didirikan sejumlah tungku pembakaran untuk pembuatan batu-bata. Pada tanggal 18 Juni 1838, Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eereens melakukan upacara peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan (Javasche Courant, 23 Juni 1838). Sekalipun belum tuntas pekerjaan seluruhnya, benteng ini sudah mulai ditempati prajurit pada tahun 1844. Untuk mempercepat proses pembangunannya yang tinggal membuat dinding tanahnya saja, maka pada tahun 1848 serdadu KNIL pribumi dilibatkan dalam pembangunannya meskipun di sela pekerjaan masih diharuskan latihan militer empat kali setahun selama satu bulan. Sebagai benteng paling penting, maka benteng tersebut diberi nama yang sama dengan nama raja yang memerintah Belanda saat itu, Willem I (Utrechtsche courant, 25 Desember 1837). Nama tersebut dipilih sendiri oleh Pangeran Frederik Hendrik yang mengunjungi ke Pulau Jawa  pada tahun 1837 atas undangan Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eereens. Pangeran Frederik Hendrik adalah satu-satunya anggota keluarga kerajaan Belanda yang pernah mengunjungi koloni Hindia-Belanda (De Locomotief, 24 Desember 1880). Keseluruhan benteng akhirnya purna dibangun tahun 1850 sehingga butuh waktu 27 tahun lamanya untuk mendirikannya. Sayangnya karena anggaran sudah menipis, maka sarana pertahanan tambahan di sekitar Benteng Willem I tidak jadi dibangun.

Angka tahun pembangunan casemate.
Pintu gerbang utama benteng.
Sambil berjalan menuju benteng, pandangan saya melihat sebuah bangunan bata berlantai dua yang berdiri di tengah sawah. Ia seolah ingin menjelaskan perihal teknologi yang dipakai pada benteng ini untuk menghadang musuh yang datang dari berbaga sisi. Sebagai benteng yang memiliki kedudukan paling utama dalam strategi pertahanan pulau Jawa, Benteng Willem I merupakan puncak dari arsitektur perbentengan Belanda di Nusantara. Benteng Willem I walau dibangun pada abad ke-19, sejatinya ia masih menerapkan teknologi benteng abad-17 yang diciptakan oleh insinyur zeni Perancis, Le Preste de Vauban. Teknologi tersebut pada dasarnya menekankan adanya sistem pertahanan luar yang mampu berdiri sendiri, sehingga apabila pertahanan luar diserang tidak berpengaruh langsung pada pertahanan dalam benteng. Benteng Willem I dikelilingi oleh gundukan tanah. Material tanah dipilih karena sifatnya yang lentur mampu meredam hantaman peluru meriam.  Gundukan tanah itu memiliki dua lapis, lapis depan dan lapis belakang. Lapis belakang memiliki ukuran yang lebih tinggi dibanding lapis belakang. Di antara lapisan tersebut terdapat parit berair. Pertahanan kian diperkuat dengan tambahan delapan casemate yang berada di delapan penjuru benteng.
Bekas casemate yang dahulu terlindungi oleh gundukan tanah dan bagian dalam salah satu casemate.
Casemate adalah kubu pertahanan tertutup yang di dalamnya berisi meriam dengan lubang tembak yang menghadap ke arah luar benteng. Kebaradaan casemate dimaksudkan untuk memberi perlindungan awak yang mengoperasikan meriam saat terjadi pertempuran. Bangunan-bangunan casemate itu memiliki inskripsi berisi angka yang menunjukan tahun mulai dan selesainya bangunan tersebut. Tahun yang tertera pada setiap bangunan berbeda-beda. Paling tua dibangun tahun 1834 dan paling muda dibangun tahun 1847. Dari inskripsi tersebut dapat diketahui bahwa bangunan casemate dibangun tidak dalam waktu yang bersamaan tapi secara bertahap. Rentang penyelesaiannya berkisar antara 5 hingga 9 tahun. Selain casemate, benteng ini memiliki gatehouse atau rumah gerbang utama benteng yang diletakan di sebelah timur, menghadap ke jalan lingkar Ambarawa yang sekarang. Pintu masuk tersebut dahulu dilengkapi dengan jembatan angkat untuk menghambat musuh. Gatehouse juga menjadi markas satuan provost atau polisi militer yang bertugas untuk menjaga keamanan di dalam benteng. Selain pertahan buatan, Benteng Willem I diperkuat pertahanan alami berupa Danau Rawapening yang terhampar di timur benteng. Dengan pertahanannya yang berlapis-lapis, benteng tersebut diklaim mampu membendung segala serangan dari berbagai sisi dan tidak ada satupun tentara musuh yang mampu menembusnya.
Foto benteng Willem tahun 1947 ( sumber : gahetna.nl ).
Bagian benteng yang dipakai penjara. Foto tahun 1940an. (Sumber : media-kitlv.nl)
Benteng ini selanjutnya bercerita bagaimana ia mulai berkurang kegarangannya. Sekalipun dengan pertahanan yang sungguh tangguh, prajurit yang berdiam di sini akhirnya harus menyingkir dari benteng ini. Bukan musuh bersenjata kuat yang membuat mereka tersingkir, melainkan oleh rentetan gempa bumi yang pernah mengguncang Ambarawa tahun 1865 dan 1872. Gempa bumi tersebut menyebabkan konstruksi benteng pada bagian lantai satu dinilai sudah tidak aman lagi untuk ditinggal sehingga sebagian prajurit dipindahkan ke barak di luar benteng. Prajurit yang masih tinggal di dalam benteng adalah prajurit dari kesatuan zeni yang tinggal di bagian lantai dua. Bagian ini langit-langitnya dirasa terlalu rendah dan alhasil, ruangan menjadi terasa pengap dan tentu terasa gerah untuk ukuran orang Eropa yang tidak biasa dengan iklim panas. Kondisi diperparah dengan lingkungan sekitar benteng yang tidak sehat. Meskipun berada di dataran tinggi, keberadaan parit berair yang ada di sekitar benteng ternyata menjadi sarang nyamuk yang membawa penyakit malaria dan parit tersebut mengeluarkan bau tidak sedap. Karena banyak tentara yang terkena penyakit, maka satuan Zeni yang semula tinggal di benteng Ambarawa dipindahkan ke Malang pada tahun 1893. Sesudah tentara zeni menyingkir dari dari benteng, benteng Willem I dihuni oleh korps infanteri orang Afrika (Java Bode, 26 September 1893). Mereka hanya tinggal satu bulan di dalam benteng dan benteng ditinggalkan dalam keadaan kosong. 
Denah barak untuk barak untuk 4 kompi infanteri (sumber :nationaalarchief.nl)
Perlahan Benteng Willem I mulai kehilangan perannya sebagai sarana pertahanan seperti yang direncakan semula. Situasi politik Belanda saat itu mulai damai dengan negara Eropa dan tidak ada pemberontakan yang berarti di Jawa sehingga tidak ada ancaman yang perlu ditakutkan. Pada saat yang sama, pesatnya perkembangan teknologi pertahanan membuat pertahanan benteng segera menjadi usang. Pada saat benteng Willem I dibangun, tembakan artileri dari arah perbukitan belum mampu menjangkau benteng. Namun semuanya berubah semenjak ditemukannya teknologi meriam Armstrong pada pertengahan tahun 1850an Berbeda dengan meriam bikinan era sebelumnya, meriam Armstrong memiliki laras yang bagian dalamnya dibuat berulir sehingga tembakan lebih akurat dengan daya jangkau yang lebih jauh. Apabila musuh menempatkan meriam-meriam berteknologi mutakhir itu di perbukitan di sekeliling Ambarawa, maka benteng itu tidak akan berdaya menghadapi serangan bombardir meriam. Berhadapan dengan teknologi seperti itu, maka tanggul tanah dan parit yang melindungi benteng menjadi tidak berguna lagi. Sekitar akhir tahun 1890an, parit dan tanggul tanah yang mengelilingi benteng diratakan. Setelah cukup lama dalam keadaan kosong, separo benteng diubah menjadi penjara pada tahun 1926. Untuk kepentingan tersebut, maka deretan bangunan rumah dinas kapten di dalam benteng dibongkar dan diganti menjadi tembok penjara 
(Algemeen Handelsblad, 3 April 1930). Penjara tersebut menampung tahanan sebanyak 500-600 orang. Pemerintah kolonial menjadikan penjara tersebut sebagai penjara untuk tahanan politik yang membangkang terhadap kekuasaan pemerintah kolonial (De Locomotief, 28 Agustus 1926).
Pintu masuk barak sisi utara.
Sudut Benteng Willem I.
Jembatan kayu di dalam benteng.
Batu-bata merah yang menyusun konstruksi benteng.
Saya kemudian berjalan menyusuri beceknya tanah benteng yang tampaknya baru saja diguyur hujan. Di hadapan saya sekarang, terbentang sebuah jembatan yang menghubungkan bagian utara dan selatan benteng. Kayu-kayu jembatan itu sudah mulai lapuk sehingga sudah tidak bisa dilalui lagi. Aura kekunoan benteng ini terasa begitu kentara. Lihatlah deretan lengkungan yang menopang konstruksi benteng itu. Ia dibuat ketika teknologi beton bertulang belum ditemukan, sehingga tumpuan beban hanya bergantung pada tebalnya dinding bangunan itu sendiri. Supaya beban di atasnya sanggup ditopang, maka digunakanlah sebuah teknik kuno warisan bangsa Romawi yang dikenal sebagai teknik lengkung, dimana batu-bata dibuat agak mirip baji sehingga ketika ditata menghasilkan bentuk setengah lingkaran. Dengan teknik lengkung, ia mampu kokoh berdiri hingga hari ini meskipun tidak memakai tulangan besi.
Bekas barak untuk tentara berpangkat letnan.
Beranda terbuka pada bagian lantai dua.
Tandon air untuk menampung air dari sumur bor.
Bekas gudang mesiu.
Bagian dalam Benteng Willem I terdiri dari bangunan barak, rumah sakit, istal dan rumah perwira (Bleeker, 1850 : 258). Berdasarkan angka tahun yang terdapat pada salah satu bangunan, pembangunan bangunan-bangunan dibuat dari rentang tahun 1835-1843. Empat barak ditata menjadi bentuk persegi empat jika dilihat dari atas. Separo bangunan saat ini digunakan sebagai penjara. Ada juga yang ditempati oleh keluarga pegawai penjara. Sayangnya sebagian besar bangunan barak dalam keadaan terlantar. Dari bekas barak itu, setidaknya saya mendapat cerita dari benteng ini, bagaimana kehidupan keluarga para tentara di masa kolonial. Pada penghujung tahun 1848, penghuni benteng mencapai 4000 orang, terdiri dari 60 perwira, 2000 bintara dan serdadu, 1100 istri dan anak yang tinggal bersama, dan 370 pelayan (Bleeker, 1850 : 259). Menyadur catatan Philibert Dabry De Thiersant, seorang diplomat Perancis, prajurit militer Hindia-Belanda atau KNIL “diizinkan membawa istri dan anak keluarga, kecuali di saat perang“. Di dalam barak yang luas dan ramai itu, “mereka makan, menyiapkan makanan, dan membersihkan barak bersama“. Tempat tidur diatur sesuai kompi pasukan yang ada. Masing-masing prajurit memiliki tempat tidur yang tinggi dilengkapi kelambu, mebel sederhana dan kelengkapan lain (untuk personel Eropa disediakan selimut katun tebal dan personel bumiputra disediakan sarung yang dicap khusus agar tidak tertukar). Supaya gerak-gerik tentara Bumiputera mudah diawasi, sejumlah bintara Eropa tinggal di dalam barak kompi Bumiputera (Santosa, 2016; 141-142). Setiap tentara dijatah dengan daging segar roti, beras, garam, dan merica yang pembagiannya tidak ada perbedaan antara tentara Eropa dengan Bumiputera, kecuali bagi daging babi yang tidak diberikan untuk yang beragam Islam. Sementara pasokan air minum diperoleh dari sumur bor di dalam benteng dan sebagiannya diambil dari sungai terdekat. Air sumur meski dapat diminum jarang dikonsumsi karena dianggap sudah tercemat banyak zat asing.
Bagian dalam benteng (sumber :collectie.troppenmuseum.nl)
Letnan S.W. Albreda dan istrinya di beranda depan rumahnya. Terlihat pot-pot tanaman yang tertata rapi di halaman depan rumah ( sumber : media-kitlv.nl ).
Bekas bangunan rumah tinggal komandan benteng.
Puing bangunan rumah perwira bergaya Indis.
Ketika melangkah ke arah penjara yang ada di selatan benteng, entah mengapa saya merasa aura militer benteng ini hidup kembali, apalagi ketika melihat petugas berseragam yang sedang berjaga di pintu masuk penjara. Tembok tinggi yang berdiri melintang di tengah-tengah benteng memisahkan pengunjung luar dengan kelamnya dunia penjara. Di hadapan tembok penjara itu, berdiri lima buah bangunan berlanggam Indis Klasik dengan pilar-pilar Yunaninya yang bertengger di beranda depan. Dari lima rumah itu, dua bangunan kini hanya menyisakan puing dindingnya saja. Dibangun pada tahun 1838, rumah-rumah itu dulunya dihuni oleh perwira. Seorang dokter militer bernama Bleeker sempat menyinggahi Ambarawa pada tahun 1850an dan ia menanggapi kehidupan di dalam benteng saat itu. Menurut ukuran orang Eropa, kehidupan perwira lebih beradab dibandingkan anak buahnya karena para perwira tersebut umumnya membawa keluarganya ikut serta dari Eropa ke Ambarawa. Sementara itu, para serdadu baik Eropa maupun pribumi yang masih bujangan justru menunjukan kelakukan bejat. Waktu senggang serdadu Eropa dihabiskan di kantin militer, mengeluhkan ketidaknyamanan hidup di tanah koloni yang jauh nan asing. Dengan sedikitnya perempuan Eropa saat itu, maka serdadu Eropa menyalurkan hasrat asmaranya dengan perempuan lokal. Mengingat mereka tidak menjalin hubungan secara sah, maka perempuan tersebut tidak diperkenankan tinggal bersama di dalam benteng sehingga di dekat benteng terdapat kampung yang dihuni oleh para perempuan tersebut (Bleeker, 1850 : 258). Anggota militer yang sudah menikah kehidupan pernikahannya juga tidak berakhir baik seperti pasangan suami-istri Rudolf MacLeod dan Margaretha Zelle yang ditempatkan di Ambarawa pada tahun 1895. Kelak, dunia mengenal Margaretha Zelle sebagai mata-mata dengan nama Mata Hari (Algemeen Handelsblad, 15 April 1835)Sementara itu para serdadu pribumi yang berasal dari suku Jawa, Madura, dan Bugis, tidak menyenangi ketatnya kehidupan militer. Untuk menghabiskan waktu luangnya, serdadu pribumi umumnya memilih bercengkerama di pasar atau menghisap candu. Mereka yang sudah berkeluarga akan membawa anak-istrinya tinggal di dalam benteng. Karena tidak cukup ruang di dalam benteng, maka anak-anak mereka tidur di kolong tempat tidur sehingga lahirlah istilah anak kolong yang merujuk pada anak serdadu (Bleeker, 1850; 262).
Bagian benteng yang terlantar.
Dari dalam benteng, saya menjajal untuk jalan kaki mengitari benteng ini. Benteng Willem I rupanya masih belum selesai bercerita. Kali ini, dengan raut sedih, ia bertutur kisah kelam di masa pendudukan Jepang. Kala itu, ia dipakai sebagai kamp tawanan perempuan dan anak-anak Eropa sejak Desember 1942. Setidaknya ada seribu orang yang ditahan di dalam benteng itu. Jatah ransum untuk mereka amat sedikit. Dalam dua kali sehari, yakni di pagi dan siang hari, mereka memasak jagung yang seringkali tidak matang dimasak. Malam harinya, mereka harus puas dengan nasi dan sayuran yang sedikit. Tiada air untuk mencuci, tapi untungnya, masih ada air untuk diminum.
Parade peserta pelatihan polisi pada tahun 1948 (sumber : gahetna.nl).
Dengan berapi-api, benteng ini kembali bertutur, kali ini di masa republik ini masih belia. Kala itu oleh para republikan dijadikan kamp tahanan orang Eropa dan tentara Jepang yang sudah menyerah. Tentara sekutu datang ke sini untuk mengevakuasi para tawanan itu dari benteng ini. Namun tanpa diduga, pemerintah Belanda membonceng mereka dan berusaha menegakan kembali kuasa mereka di negeri yang baru saja merdeka itu. Mula meletuslah pertempuran yang berjuluk Palagan Ambarawa itu. Tatkala pengepungan dilakukan oleh TKR (tentara Indonesia pada saat itu), segala serangan balik dilancarkan oleh sekutu. Pesawat Thunderbolt meraung di langit Ambarawa, menjatuhkan bom-bom ke tanah. Tembakan artileri bertubi-tubi menghujam bumi Ambarawa. Namun serangan itu gagal mematahkan perlawanan TKR sehingga pada bulan Desember, Sekutu bergegas mengevakuasi rombongan tawanan dan mundur kembali ke Semarang. Pada tahun 1948, benteng Willem I dipilih sebagai sekolah pelatihan polisi yang diadakan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Benteng Willem I dipilih karena ruangnya luas, memiliki akomodasi yang cukup untuk peserta dan pelatih (De Locomotief, 18 Agustus 1948). Setelah itu, pada tahun 1965 benteng ini dijadikan penjara bagi tahanan politik yang terlibat G-30 S/PKI. Selepas fungsinya sebagai penjara tapol 1965, benteng ini dijadikan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Ambarawa. Sebagian benteng yang tidak terpakai dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Begitulah benteng tua di tepi rawa itu menceritakan hikayatnya, sebuah hikayat yang menceritakan perjalanan sejarah sebuah bangsa, dari puncak masa kolonial, dimana pemerintah kolonial berupaya mengamankan Hindia-Belanda dari ancaman asing, berlanjut ke masa pendudukan Jepang, ketika orang-orang barat diperlakukan sebagai tawanan oleh orang timur yang dulu dipandang rendah, hingga awal kemerdekaan, ketika benteng ini menjadi saksi dari perjuangan anak bangsa yang mati-matian mempertahankan kemerdekaan negeri tercinta. Dahsyatnya kisah sejarah yang dituturkan benteng ini ternyata tidak sebanding dengan perlakuan yang diterimanya saat ini. Entah karena tiada biaya untuk mengurusnya atau ia dianggap sebagai peninggalan penjajah sehingga sengaja dibiarkan rusak termakan usia. Entah apakah benteng ini di kemudian hari masih sanggup bercerita atau tidak…

Referensi
Bleeker, P. 1850. "Fragmenten eener Reis over Java" dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. hlmn 245-254. Groningen : C.M Van Holhuis Hoitsema.
Kielstra, E.B. 1879. De Grondslagen der Verdediging van Java. Padang
Santosa, Iwan. 2016. KNIL, Perang Kolonial di Nusantara Dalam Catatan Perancis. Jakarta: Penerbit Kompas.
Tim Penyusun. 2012. Forts in Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Van Brakell, Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Amsterdam : P.N. van Kampen.
Algemeen Handelsblad, 15 April 1835
Utrechtsche courant, 25 Desember 1837
Javasche Courant, 23 Juni 1838
De Locomotief, 24 Desember 1880
Java Bode, 26 September 1893
Algemeen Handelsblad, 15 April 1835
De Locomotief, 28 Agustus 1926
De Locomotief, 18 Agustus 1948
https://www.indischekamparchieven.nl/

13 komentar:

  1. sudah pernah kesini setelah dari Museum Kereta Api Ambarawa, tapi ga tau benteng apa.
    terima kasih atas penjelasannya...

    BalasHapus
  2. kerennya info ini.. trimakasih..

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. kerennya info ini.. trimakasih..

    BalasHapus
  5. Pemerintah melalui kementerian pariwisata seharusnya bisa mengalokasikan buget untuk merelokasi kawasan ini agar dapat dinikmati kembali dalam wajah pariwisata..tentu saja dpt lbh berguna..karena daya tarik wisata kususnya wisata mancanegara dapat membantu devisa negara yg sangat berarti..

    BalasHapus
  6. Terimakasih dan alhamdulillah sangat membantu

    BalasHapus
  7. Terimakasih atas ceritanya, sungguh artikel yg sangat bagus.. sangat membantu kita menemukan sejarah tentang peninggalan yg tersisa..
    Semoga segera mendapatkan perhatian pemerintah, agar lebih terawat & bs dinikmati sebagai salah 1 tempat wisata sejarah di amb.

    BalasHapus
  8. Informasinya bagus .sy sering brtanya2 kl pas lewat jalan itu

    BalasHapus
  9. Mas tau g tentang satu makam yang ada di depan Benteng, makamnya bernama Mahfud Salam,apakah salah satu pejuang yg gugur melawan Jepang pd saat itu?

    BalasHapus
  10. Today, 25 november 2020 we visited the fortress. Stayed there 3 hours looking every corner of the building. We hope the fortress will not disappear and will be saved.
    Thank you for your research.
    Mr. Jan Willem Berends. Belanda

    BalasHapus
  11. Sangat informatif dan membantu sekali mas, terimakasih

    BalasHapus
  12. Sayang tdk terawat.. .padahal bagus utk tujuan wisata dan pengetahuan generasi skrg.
    Tlg pemda dan pemerintah khususnya kementrian pariwisata jgn tinggal diam..krn ini harta yg tdk ternilai

    BalasHapus