Saat berada di Gombong, sesudah mampir
ke Benteng Van der Wijck, saya mencoba singgah di Roemah Martha Tilaar Gombong
yang terletak di jalan Sempor Lama. Sengkalan berangka tahun 1920 terpampang
jelas di fasad rumah bergaya Eropa itu, menandakan bahwa rumah itu hampir
menginjak usia seabad.
Roemah Martha Tilaar dulunya merupakan kediaman seorang Tionghoa kaya bernama Liem Siauw Lam. Karena kekayaanya, Liem Siauw Lam dijuluki Rijkman van Gombong, Orang Kaya dari Gombong. |
Tampilan Roemah Martha Tilaar Gombong mengingatkan saya pada gaya arsitektur kolonial peralihan yang berkembang antara akhir abad 19 dan awal abad 20. Kehadiran arsitektur kolonial peralihan menandai terjadinya perubahan dalam trend arsitektur di Hindia-Belanda dari "Indische Empire" menuju "Kolonial Modern". Pada arsitektur kolonial peralihan, bagian depan sudah tidak menampakan kolom atau pilar bergaya Yunani yang menjadi ciri khas gaya Indische Empire. Sebagai gantinya, fasad arsitektur rumah tradisional Belanda di tepi sungai dimunculkan kembali untuk memberikan kesan romantis seperti yang terlihat pada bagian depan bangunan Roemah Martha Tilaar Gombong ini. Selain itu juga ditambahkan jenis hiasan-hiasan yang belum dikenal pada periode sebelumnya seperti kaca patri bermotif Art Nouveau. Namun jika beranjak ke dalam bangunan, penataan denah rumah utamanya tidak berbeda jauh dengan bangunan periode sebelumnya. Ciri-ciri yang masih terlihat seperti denah yang masih simetris, adanya beranda depan atau voor galerij tempat menerima tamu, beranda belakang atau achter galerij tempat keluarga berkumpul yang sifatnya privat, dan memiliki empat ruang kamar yang saling berhadapan, dipisahkan oleh sebuah koridor tengah yang menghubungkan beranda depan dengan beranda belakang. Selain itu bangunan juga masih memiliki bangunan samping yang dahulu digunakan sebagai kamar tambahan, dapur, dan kamar mandi. Gaya arsitektur ini berlangsung singkat sehingga keberadaannya masih luput dalam sejarah arsitektur Indonesia masa kolonial (Handinoto, 2012; 124-125).
Beranda depan dengan hiasan kaca patri bergaya Art Nouveau. |
Pintu depan. |
Kaki ini
kemudian menjejak ke bagian beranda depannya yang sedap dipandang mata. Dari
sini, terlihatlah keanggunan kaca patri bergaya Art Nouveau yang kaya warna,
mempercantik beranda depan yang sudah dihiasi dengan tegel kaya motif dan
perabot antik. Keindahan rumah ini merupakan cerminan kemakmuran dari seorang
Tionghoa kaya bernama Liem Siauw Lam. Moyangnya berasal wilayah Xian Men,
Tiongkok. Pada 1830, Liem Seng, kakek Liem Siauw Lam berlayar meninggalkan
kampung halamannya menuju Batavia, kemudian berpindah ke Tegal, dan akhirnya
bermukim di Gombong. Mengapa memilih Gombong ? Alasannya adalah kondisi
keamanan di Gombong relatif stabil menginat di sana terdapat kamp militer
Belanda. Komunitas Tionghoa sendiri sudah menetap di Gombong semenjak Belanda
mendirikan garnisun militer di sana pada tahun 1840an. Orang-orang Tionghoa
tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pedagang perantara dan pemasok
daging, roti, dan susu untuk garnisun militer (Rees, 1900;12-16)
Liem Kang Haij dan Oeij In Nio, orang tua Liem Siauw Liem berpose di beranda depan. |
Liem Siauw Lam dan Bhe Sian Nio. |
Liem Siauw Lam terjun dalam bisnis perternakan sapi dan perdagangan hasil bumi. Sebagai
seorang usahawan di Gombong, Liem Siauw Lam atau acap dipanggil Liem Solan
memiliki lahan tanah yang lumayan luas. Dari tanah itulah Liem Siauw Lam
mendirikan usaha peternakan yang menghasilkan daging dan susu yang dipasok untuk garnisun
Belanda di benteng Van der Wijck. Selain itu, ia juga berbisnis kopra dan
sarang walet.Seringnya Liem Siauw Lam bersentuhan dengan orang Eropa yang tinggal di Gombong tampaknya menjadi penuntun untuk mendirikan rumah tinggalnya dalam gaya Eropa agar tidak dikatakan ketinggalan gengsi. Pada saat itu, sudah menjadi hal yang lumrah bagi orang Tionghoa kaya untuk membangunnya rumah dalam bentuk yang mirip dengan rumah orang Belanda untuk menyejajarkan statusnya dengan orang Belanda. Orang Tionghoa dikenal sebagai pedagang yang pandai dan situasi perdagangan swasta pada akhir abad 20 yang tumbuh subur berkat kebijakan ekonomi liberal membuat mereka dapat menghimpun kekayaan dalam jumlah besar.
Sayangnya kekayaan yang berhasil diraih mereka belum cukup untuk membuat kedudukan sosial mereka setara dengan orang Eropa yang setingkat di atasnya. Beberapa pembatasan diberlakukan untuk orang Tionghoa seperti dilarang tinggal di luar kawasan Pecinan dan tidak boleh mengenakan pakaian bergaya Eropa. Baru memasuki abad 20 pembatasan tersebut mulai dihapuskan (Liem Thian Joe, 1931;184). Selain membangun rumah mewah, dari kekayaannya Liem Siauw Lam mampu membeli mobil Ford Model T yang tersohor. Sekalipun bergaya hidup flamboyan, namun keluarga Liem Siauw Lam memiliki jiwa sosial. Istri Liem Siauw Lam menyediakan peralatan batik untuk pembatik perempuan di Gombong. Di masa perjuangan, rumah ini pernah dipakai sebagai dapur umum dan tempat perawatan tentara Indonesia yang terluka kala melawan tentara NICA.
Kendati tampak bergaya hidup kebarat-baratan, orang-orang Tionghoa masih tetap memegang teguh tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Di Roemah Martha Tilaar Gombong yang bentuknya seperti rumah orang Belanda ini, ada perabot yang sama sekali tidak ditemukan pada rumah orang Belanda namun jamak dijumpai di setiap rumah keluarga Tionghoa yakni altar leluhur sebagai tempat untuk mengenang dan menghormati leluhur yang sudah tiada. Selain itu, kaidah fengshui yang dipercayai dapat mempengaruhi kehidupan seseorang juga dipatuhi dengan memasang pintu penghalang di mulut koridor tengah karena tidak baik pintu masuk berhadapan langsung dengan pintu belakang dianggap sehingga perlu adanya sebuah penghalang.
Beranda belakang tempat keluarga dahulu bercengkerama. |
Saat melintas di koridor tengah, saya
melihat keterangan pohon silsilah dari keluarga Liem. Dari sekian nama yang ada di pohon
silsilah itu, ada satu nama yang semua perempuan di negeri ini pasti
tahu sosoknya, Martha Tilaar. Hingga usia sebelas tahun, Martha Tilaar
kecil tinggal di rumah kakeknya. Kamarnya dulu terletak di bangunan samping kiri
rumah. Setelah itu, ia pergi dari Gombong untuk meneruskan pendidikannya.
Singkat cerita, Martha Tilaar akhirnya sukses di bisnis kosmetik. Semangat jiwa
sosial Liem Siauw Lam menurun pada Martha Tilaar. Kesuksesan yang diraih oleh
Martha Tilaar tidak membuatnya serta merta melupakan tanah kelahirannya. Di
situlah Martha Tilaar bercita-cita ingin memberi sumbangsih nyata untuk tanah
kelahirannya.
Selasar pada bangunan samping. |
Bersama putrinya, Wulan Tilaar, Martha Tilaar mewujudkan bakti
pada kampung halamannya dengan membuka “ Roemah Martha Tilaar “ pada Desember
2014. Roemah Martha Tilaar menempati bekas rumah kakeknya yang sempat terlantar
selama puluhan tahun. Tahun 2014, rumah itu dipoles oleh Martha Tilaar dan keontetikan bangunan dijaga sebaik mungkin. “ Rumah ini bukan
hanya bersejarah tapi merupakan bakti kami kepada Gombong, Kebumen, dan kota
sekitar. Dengan dukungan pemangku kepentingan kota Gombong, semoga rumah ini
berguna siapa tahu akan lahir bibit muda bangsa asal Gombong “, pesan Martha
Tilaar dilansir dari laman roemahmarthatilaar.org. Setelah bersolek kembali, rumah
kuno kakeknya yang menjadi salah satu warisan sejarah Gombong dimanfaatkan
untuk beragam kegiatan dari diskusi, lokalatih, festival, pertunjunkan dan
pameran seni, sehingga keberadaan warisan sejarah ini dapat memberi faedah untuk masyarakat sekitar, tak sekedar menjadi barang mati saja yang hanya bisa
dilihat. Ya, Roemah Martha Tilaar Gombong kini menjelma laksana seorang gadis cantik
berbudi mulia.
Begitulah cara Martha Tilaar memuliakan
sejarah Gombong, tanah kelahirannya. Apa yang dilakukan oleh Martha Tilaar memang patut diacungi jempol di tengah carut marutnya pelestarian warisan sejarah di Indonesia. Di negara maju, para filantropis dan dermawan biasanya akan membeli
gedung-gedung tua bersejarah untuk dipakai kegiatan masyarakat, dengan demikian
keberadaanya tak hanya lestari namun juga memberi faedah untuk masyarakat. Andai
saja di negeri ini ada banyak sosok Martha Tilaar yang peduli dengan warisan
sejarah – dan tentunya memiliki banyak modal, saya percaya akan sedikit cerita
suram nasib Cagar Budaya yang terdengar di telinga…
Referensi :
Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Liem Thian Joe. 1931. Riwajat Semarang. Semarang : Boekhandel Ho Kim Joe.
Rees. A.W, 1900. Herinneringen van Een Indisch Officier. Batavia : G. Kolff & Co.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar