Sabtu, 25 Februari 2017

Kedungjati dan Kaliceret, Tapak Kolonial di Tengah Hutan Jati

Kedungjati dan Kaliceret adalah dua wilayah yang masuk dalam Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sekalipun jauh dari pusat Kabupaten Grobogan, siapa yang mengira bahwa di wilayah yang dikelilingi belantara hutan jati itu, tersimpan tapak-tapak kolonial yang penting. Tulisan saya di Jejak Kolonial kali ini akan menguak tapak-tapak tersebut…
Lokasi Kedungjati yang terletak di Kecamatan Kedungjati dan Kaliceret yang terletak di Kecamatan Tanggungharjo. Kedua wilayah ini terletak di sebelah barat Kabupaten Grobogan.

Stasiun Kedungjati.
Hembusan angin tiba-tiba menerpa hamparan pohon yang bernama Latin Tectona grandis itu. Lengangnya jalanan seketika pecah oleh gemerisik guguran daun kering yang berserakan di sepanjang jalan. Demikianlah suasana yang saya rasakan selama perjalanan ke Kedungjati. Dengan jarangnya permukiman, wilayah itu seakan dikelilingi oleh tanah kosong tak bertuan. Setibanya di Kedungjati, segera saya melawat ke satu tapak kolonial paling menonjol di sana yang tak lain ialah Stasiun Kedungjati. Saya dibuat terpana ketika melihat kemegahan stasiun itu. Bagi saya, stasiun itu terlampau agung untuk ukuran Kedungjati yang jumlah penduduknya relatif sedikit. Dengan atap baja selebar 14,65 meter, bangunan itu terlihat kontras di tengah pepohonan  jati. Atap baja tersebut melingkupi bangunan-bangunan kecil untuk kantor dan ruang tunggu penumpang yang diapit oleh dua jalur kereta. Tatanannya hampir serupa dengan Stasiun Ambarawa dan Stasiun Purwosari.
Bagian dalam Stasiun Kedungjati dulu dan sekarang. Pada foto yang lama, terlihat poster-poster iklan yang menempel di dinding dan lampu-lampu kuno yang menggantung di atap peron.
Suasana sunyi langsung menyambut saya ketika menjejak masuk ke dalam stasiun. Tak terlihat hiruk pikuk penumpang layaknya stasiun pada umumnya, begitu sunyi. Tapi kesunyian itu justru kian memperkental bumbu kekunoan stasiun itu. Setiap sudut stasiun masih terjaga keasliannya sampai sekarang, serasa bangunan itu membeku dalam arus waktu. Pandangan saya tak lepas dari lekuk-lekuk keindahan stasiun itu, mulai dari halusnya sentuhan ekspose bata merah sampai tegel tua kekuningan yang diimpor dari negeri kincir angin. Bangunan stasiun yang saya dapati sekarang pun sejatinya merupakan hasil penyempurnaan oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappiji pada permulaan abad ke-20, menggantikan bangunan lama yang sederhana. Bagian barat stasiun yang menjadi akses utama stasiun ini, terdapat sebuah ruang tunggu terbuka untuk tempat penumpang menunggu kereta. Beringsut ke timur, terdapat bangunan kantor personel stasiun dengan jam kuno yang masih bertengger di kedua sisi bangunan. Terpisah dari ruang kantor, terdapat bangunan yang dulu menjadi ruang tunggu penumpang kelas satu. Di sini, penumpang kereta yang memegang tiket kelas satu dapat melepas lelah seraya menikmati sajian kudapan ringan maupun minuman beralkohol. Sementara itu, di ujung stasiun, terdapat sebuah toilet. 
Ruang tunggu.
Ruang kantor Stasiun Kedungjati.
Tampak luar ruang tunggu penumpang kelas satu Stasiun Kedungjati.
Bagian dalam ruang tunggu penumpang kelas satu.
Senyap stasiun itu seketika pecah ketika sayup-sayup terdengar deru kereta yang akan melintas. Suara itu bertambah keras hingga akhirnya kereta itu melintas sekejap begitu saja. Deru suara kereta tadi akhirnya menghilang, tertelan oleh kesunyian yang kembali menyelimuti stasiun ini. Tiada waktu lagi bagi kereta itu untuk singgah barang sebentar di stasiun ini. Dalam sehari, setidaknya hanya dua kereta saja yang berhenti di stasiun ini, yakni kereta Kalijaga dan Majapahit (tahun 2016). Di peron selatan stasiun yang kini tak dilalui oleh kereta lagi, saya duduk sebentar bersandar di salah satu tiang penopang bajanya, menikmati angin sepoi sembari memandang sebuah jam tua yang bertengger di dinding stasiun. Saya lantas membayangkan jarum jam itu terus berputar ke belakang, membawa saya ke waktu ketika stasiun itu hendak dibangun.
Stasiun Kedungjati saat proses pembangunan (sumber : rijksmuseum.nl).
Stasiun Kedungjati sesudah selesai dibangun (sumber : media-kitlv.nl).
Riwayat stasiun Kedungjati memiliki sangkut paut dengan pembangunan jalur kereta dari Semarang ke Vorstenlanden (wilayah yang melingkupi karesidenan Surakarta dan Yogyakarta) yang pekerjaan fisiknya dimulai sejak Juni 1864. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij maskapai swasta yang mendapat konsesi jalur kereta Semarang-Vorstelanden mengerjakan jalur tersebut dan pelaksanaanya diawasi oleh insinyur J. P. De Bordes. Salah satu titik yang dilewati oleh jalur kereta tersebut adalah Kedungjati yang kala itu merupakan daerah penghasil kayu jati, sumberdaya yang jelas dibutuhkan sekali oleh perusahaan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij untuk membikin bantalan rel dan bahan bakar mesin uap. Pembangunan jalur kereta pada petak Tanggung dan Kedungjati menghadapi kendala karena pembangunanannya yang berlangsung di tengah musim hujan menyebabkan longsornya sejumlah ruas jalur dan harus diperbaiki berulangkali. Sementara itu, proses pembangunan bangunan stasiun Kedungjati ternyata sudah berlangsung sejak Mei 1867, kira-kira empat bulan sebelum jalur kereta Semarang-Tanggung resmi beroperasi pada 10 Agustus 1867 (Java Bode, 1 Mei 1867). Pada bulan Oktober 1867, bangunan stasiun Kedungjati sudah sepenuhnya selesai dikerjakan (Java Bode, 25 Oktober 1867). 
Bangunan Stasiun Kedungjati setelah dirombak. Foto ini tampaknya diambil sebelum tahun 1925 karena pada foto ini, peron sisi selatan masih belum dibuat (sumber : media-kitlv.nl).
Stasiun Kedungjati pada tahun 1930an. Tampak sebuah kereta yang siap berangkat ke Ambarawa dengan membawa muatan gelondongan kayu jati (sumber : colonialarchitecture.eu).
Lokomotif tiba untuk pertama kalinya di stasiun Kedungjati pada pertengahan Juni 1868 meskipun saat itu masih berupa uji coba. Stasiun Kedungjati baru dibuka untuk umum pada 18 Juli 1868. Rupanya atas desakan Menteri Fransen van den Putte, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij juga membuat jalur percabangan kereta ke arah Ambarawa dari Kedungjati yang dibuka pada 21 Mei 1873 (Reitsma, 1928: 119). Dengan demikian, Stasiun Kedungjati menjadi stasiun percabangan yang ramai sekalipun letaknya terpencil dan tidak banyak penduduk tinggal di sekitarnya. Dibukanya jalur kereta itu memberi kemudahan untuk pengangkutan kayu jati serta berdampak baik pada kondisi jalan biasa Purwodadi-Kedungjati lantaran sebelum ada kereta gelondongan kayu jati masih diangkut dengan gerobak-gerobak sapi secara berlebih sehingga meremukan banyak jalan yang waktu itu masih berupa tanah. Tampilan bangunan Stasiun Kedungjati awalnya jauh berbeda dari yang terlihat sekarang. Bangunan kantornya berlantai dua dan pinggiran atapnya diberi dekorasi dari kayu ulin. Di sebelahnya, terdapat bangunan tanpa dinding beratapkan seng galvanis untuk ruang tunggu penumpang kelas 3. Pada tahun 1907, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij mengganti bangunan lama stasiun Kedungjati dengan bangunan baru yang lebih besar dan indah (De Locomotief, 6 Juni 1907).
Detail ekspose bata.
Bagian peron selatan yang atap kanopinya baru dibangun pada tahun 1925. Di sinilah penumpang yang hendak ke Ambarawa menunggu kereta.  Tahun 1970a, jalur kereta Kedungjati-Ambarawa ditutup.
Imbas dari pembukaan jalur kereta ini sungguh luar biasa. Kedungjati yang semula terpencil, kini bangkit dan begeliat menjadi titik keramaian karena stasiun itu merupakan stasiun persimpangan jalur kereta dari Semarang ke Surabaya, Vorstenlanden, dan Ambarawa yang sibuk. Di stasiun ini, penumpang yang hendak ke Ambarawa harus turun berganti kereta. Kehadiran jalur kereta ini juga mendukung arus perdagangan masyarakat sekitar hingga sebuah pasar muncul di dekat stasiun. Pasalnya dengan kereta api, orang lebih mudah berpergian karena cepat dan dapat mengangkut banyak barang dagangan serta tak perlu khawati dihadang penyamun di tengah jalan. Stasiun inipun menjadi bandar penghubung Kedungjati yang dikelilingi oleh lautan hutan jati dengan tempat lain. Sayapun membayangkan, andai stasiun ini tak pernah dibangun, Kedungjati selamanya akan menjadi wilayah yang terpencil. Sayang, kejayaan Stasiun Kedungjati mulai pudar setelah jalur kereta Kedungjati-Ambarawa ditutup pada paruh 1970an.
Kamar kecil stasiun.
Di bawah sinar matahari dan udara Kedungjati yang panas dan terik, saya lakukan penyusuran di sekitar stasiun. Stasiun Kedungjati dilengkapi dengan bangunan pendukung seperti gudang dan depo kereta  (hancur dijarah tahun 1997). Lantaran para pegawai stasiun harus berurusan dengan kereta setiap harinya, maka tempat tinggal mereka didirikan tidak jauh dari stasiun. Rumah-rumah pegawai kereta itu didirikan pada tahun 1907 dengan gaya arsitektur ala villa-villa di lembah Alpen, sehingga walaupun ukurannya kecil namun bangunan itu terlihat cantik. Menariknya, baik stasiun, gudang dan rumah pegawai, materialnya terbuat dari batu-bata. Padahal Kedungjati sendiri bukanlah wilayah penghasil batu-bata karena tanahnya berkapur. Sehingga saya mengasumsikan bahwa batu-bata itu didatangkan dari tempat lain menggunakan kereta.
Rumah pegawai stasiun di sebelah utara stasiun. Terlihat lisplang bergerigi di beranda depan. Bangunan ini terdiri dari dua rumah yang berdampingan dalam satu atap.
Rumah dinas stasiun Kedungjati dengan atap tipe jerkinhead roof. Seperti halnya stasiun Kedungjati, dekorasi ekspose bata terlihat menonjol di setiap sudut dinding.
Selain tapak sejarah perkeretaapian, Kedungjati juga menyimpan tapak sejarah kegiatan perambahan kayu jati di masa lampau. Cerita bermula ketika permintaan kayu jati semakin meningkat dengan diberlakukannya Tanam Paksa di Hindia-Belanda dari tahun 1830. Pemberlakuan sistem tersebut berdampak pada meningkatnya kebutuhan kayu jati karena kayu jati menjadi bahan baku utama untuk konstruksi pabrik gula, gudang kopi, tempat pengeringan tembakau dan rumah-rumah pegawai kolonial. Masuknya mesin uap kian meningkatkan permintaan kayu jati, sehingga untuk mengendalikan perambahan hutan jati, maka pemerintah kolonial membuat undang-undang kehutanan tahun 1865. Agar pengelolaan hutan jati lebih maksimal, maka pemerintah kolonial mendatangkan dua ahli hutan dari Jerman pada tahun 1849. Pada tahun 1873, W.Buurman memperkenalkan sistem taungnya, dimana penduduk yang tinggal di tengah hutan jati diperbolehkan menanam tanaman lain seperti padi, jagung atau tembakau dengan hasil panen menjadi hak milik mereka. Sistem ini rupanya memiliki persamaan dengan sistem yang diterapkan oleh Inggris di Burma dan India. Sejak tahun 1897, seluruh industri kayu jati di Pulau Jawa berada di bawah pengelolaan Dienst van het Boswezen atau Dinas Kehutanan (Peluso, 1991; 72).
Rumah kayu yang cukup besar yang kini menjadi TK Tunas Rimba.
Rumah kayu yang sekarang menjadi kantor Komando Pengendalian Kebakaran Hutan BKPH Padas.
Rumah kayu lainnya.
Untuk mendukung kegiatan eksplotiasi kayu jati, dibangunlah jaringan jalan untuk memperlancar pemindahan gelondongan kayu jati dari tempat dia ditebang ke tempat penggegrajian kayu. Berbagai rumah kayu juga dibangun untuk tempat tinggal kepala pengelola hutan jati dan pejabat lainnya seperti beberapa rumah panggung kayu yang saya jumpai di Kedungjati. Para pejabat kehutanan Belanda pada zaman dahulu memiliki banyak tugas yang berkaitan dengan kehutanan, misalnya menentukan pohon mana yang sudah pantas untuk ditebang, menanam kembali dan merawat pohon, mengawasi para blandhong (tukang penebang pohon) serta memerangi praktik pencurian kayu.
Peta Kedungjati pada tahun 1905. Perhatikan terdapat 2 jalur kereta yang terlihat pada peta ini. Jalur di sebelah utara merupakan jalur Semarang - Surakarta. Sementara jalur yang mengarah ke selatan merupakan jalur Kedungjati-Ambarawa (sumber : maps.library.leiden.edu).
Dari Kedungjati, saya bertandang ke Kaliceret yang terletak 4,5 kilometer ke utara dari Kedungjati. Secara administratif, Kaliceret berada di Desa Mrisi, Kecamatan Tanggungharjo, Grobogan. Bentang lahan Kaliceret sebagaimana Kedungjati dikelilingi oleh hutan jati ditambah dengan sawah tegalan.
GKJTU Kaliceret di jalan Salatiga-Gubug. Hampir semua konstruksi bangunan ini terbuat dari kayu.
Tapak kolonial paling kentara di Kaliceret ialah sebuah gereja kuno yang kini sintas sebagai GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah Utara) Kaliceret. Terletak di pinggir Jalan Salatiga-Gubung, ia diperkirakan dibangun antara tahun 1904-1927. Apabila dibandingkan dengan gereja-gereja di kota besar, gereja itu amatlah bersahaja. Lihatlah seluruh material bangunan gereja yang terbuat dari kayu membuatnya tampak menyatu dengan alam sekitar. Gereja itu peninggalan dari sebuah pos zending yang dirintis oleh badan penyebaran agama Kristen bernama Salatiga Zending. Sekalipun menyandang nama Salatiga, namun kegiatan mereka tidak terbatas di kota Salatiga saja, namun juga melingkupi wilayah yang terbentang dari Tegal hingga Bojonegoro. Pionir dari Salatiga Zending adalah istri perwira angkatan darat KNIL bernama Ny. Le Joile yang dirintisinya sedari tahun 1853 (De Locomotief, 25 Maret 1934). Pada tahun 1882, Salatiga Zending mengutus Boer untuk menyebarkan agama Kristen di Kaliceret. Selain dua rumah tangga, hampir semua penduduk Desa Kaliceret akhirnya menganut agama Kristen. Mereka sudah ikut kebaktian meski setiap hari Minggu mesti berjalan kaki selama tiga jam menuju gereja terdekat. Boer ternyata juga mengampu jemaat yang ada di Tempurung, sekitar enam kilometer dari Kaliceret. Boer akhirnya kewalahan apalagi setelah ia menderita sakit parah selama dua tahun (Geiilustreerd zendingsblad, Mei 1883). Akhirnya Boer memohon bantuan kepada Neukirchener Mission yang berbasis di Jerman untuk dikirimkan tenaga yang akan membantu Boer mengampu jemaat di Jawa. Neukirchen Mission akhirnya mengirim R.J. Horstman beserta istrinya ke Jawa pada 14 Juni 1884. Horstman pada mulanya menetap di Wonorejo. Selanjutnya Horstman pindah ke Kaliceret pada tahun 1885 untuk membantu pekerjaan Boer di Kaliceret hingga Oktober 1886 (Hajer, 1908 : 17-20).
Peta Kaliceret pada tahun 1905. Lokasi pos zending ditandai dengan keterangan zendingstation pada peta ini.
Dalam rentang waktu sepuluh tahun, beberapa penginjil tiba di pos zending tersebut seperti Zimmerbeutel yang tiba di Kaliceret pada tahun 1889, Kamp yang tiba tahun 1891 dan disusul Kuhnen pada tahun 1894. Dalam perjalanannya, zending Jerman tersebut sempat berselisih dengan penduduk pribumi Kristen. Sumber ketegangan yang terjadi pada tahun 1897 tersebut muasalnya dari ditolaknya permintaan penduduk yang hendak meminjam hewan ternak kepada zending tersebut untuk membajak ladang. Alasan para zending tersebut menolak permintaan penduduk adalah karena mereka memandang kegiatan pertanian di Kaliceret tidak memberi hasil yang begitu memuaskan. Penduduk sempat mengancam akan mengusir ketiga zending Jerman tersebut meskipun tampaknya tidak dilakukan karena mereka masih bergantung pada layanan pengobatan yang ditawarkan oleh ketiga zending tersebut (Hajer, 1908 : 28). 
Bekas gedung balai pengobatan.
Kaliceret dahulu terdapat balai pengobatan yang menumpang di salah satu rumah zending. Layanan kesehatan merupakan salah satu pendekatan yang diusahakan oleh banyak zending di berbagai tempat untuk memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk pribumi. Zending memang tidak memaksa pasiennya untuk menganut agama Kristen baik sesudah atau sebelum diobati. Namun seringkali pasien yang setelah sembuh akhirnya memutuskan sendiri untuk menerima ajaran Kristen. Pasien pertama di Kaliceret diketahui bernama Sadipah. Setelah sembuh ia mengabdi sebagai perawat di balai pengobatan di Kaliceret karena saat itu belum ada perawat dari Eropa (Nederlandsch Zending Jaarboekje 1907, 41-43).
Pendeta Bansemer (baju hitam) dan Heintze (baju putih) bersama anak-anak sekolah Kaliceret.
Murid-murid dan guru sekolah Kaliceret. Di belakang tampak beranda depan rumah pendeta yang kini menjadi SD Kristen Kaliceret.
Selain melalui layanan kesehatan, zending juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan dalam rangka penyebaran agama Kristen. Kaliceret setidaknya sudah memiliki sekolah yang dibuka sewaktu Boer masih berada di Kaliceret. Awalnya hanya ada 12 anak didik. Lambat laun jumlah anak didik bertambah hingga 50 anak. Kaliceret juga memiliki sekolah perempuan yang dirintis oleh istri Kuhnen, Karoline Auguste Alwine Bulten. Kuhnen meninggalkan Kaliceret tak lama setelah istrinya meninggal pada tahun 1899. Posisinya kemudian diganti oleh H. Kabelitz pada tahun 1902. Pada masa Kabelitz, balai pengobatan yang awalnya menumpang di sebuah rumah sederhana menjelma menjadi rumah sakit yang semakin berkembang setelah mendapat bantuan subsidi dari pemerintah kolonial pada tahun 1907 (Het nieuws v.d. Dag voor N.I, 7 Februari 1907). Masyarakat luar Kaliceret yang semula datang ke sini untuk berobat, akhirnya menjadi penganut agama Kristen dan bermukim di sana sehingga jumlah umat yang semakin banyak. Pada masa Kabelitz pula, Kaliceret yang selama ini menderita kekurangan air mulai dibangunkan saluran air pada tahun 1911 sehingga dapat mengairi ladang dan sumber air untuk penduduk yang terus bertambah. Kabelitz melayani sebagai pendeta di Kaliceret sampai tahun 1925 dan setelah itu kembali ke Eropa selama dua tahun. Sepulangnya dari Eropa, Kabelitz sedianya akan kembali mengurus jemaatnya di Kaliceret. Namun karena alasan kesehatan yang menurun, Kabelitz ditempatkan di Ungaran sampai ia meninggal di sana pada 4 Desember 1929 (Algemeene Handelsblad 6 Desember 1929).
Bekas rumah pendeta yang saat ini menjadi SD Kristen Kaliceret.
Persis di sebelah utara gereja itu, saya menyaksikan sebuah bangunan tua yang bentuknya seperti rumah panggung. Ketika saya hendak melihat lebih dekat bangunan yang kini menjadi SD Kristen Kaliceret itu, di beranda depan saya disambut oleh seorang pria yang saya kira sebagai kepala sekolah. “Rumah ini dahulu ditempati oleh pendeta dari Jerman”, jawab pria tadi yang ternyata bekerja sebagai penjaga sekolah itu. Pendeta dari Jerman yang dimaksud bapak tadi tak lain ialah Pendeta Kuhnen atau Kabelitz. “Dari dibangun sampai sekarang kayunya gak pernah diganti mas karena yang dipakai kayu jati kualitas bagus” sambungnya.
Bangunan GKJKaliceret. Seiring dengan bertambahnya jemaat, maka dibangun gedung gereja lain di sisi timur jalan.
Pada hari Minggu 8 Desember 1935, Kaliceret yang mengasuh jemaat di Tempurung, Karanggeneng, Klampok, dan Kalicilik secara resmi dikukuhkan sebaga jemaat mandiri, terpisah dari Salatiga Zending. Pengukuhan ini ditandai dengan sebuah kebaktikan yang dipimpin secara langsung oleh direktur Salatiga Zending, G. van der Veen dan pendeta Josaphat Siswadarma ditunjuk sebagai ketua jemaat (De Locomotief, 5 Desember 1935). Dari sini, dapat dilihat betapa pentingnya Kaliceret sebagai pusat penyebaran agama Kristen di Grobogan dan sekitarnya.
Makam istri pertama pendeta C.R. Kuhnen.
Setelah bercakap-cakap dengan penjaga sekolah tadi, saya berkeliling untuk melihat-lihat bangunan. Murid-murid baru saja pulang sekolah sehingga suasana sekolah itu menjadi sepi. Beberapa anak yang penasaran mengikuti saya tatkala saya sedang mendokumentasikan detail setiap bangunan. Aura kekunoan dari bangunan ini masih terbungkus dengan baik. Bangunan ini sepenuhnya terbuat dari kayu, seolah melawan pandangan umum  yang selalu menyebutkan jika rumah indis bangunannya terbuat dari batu. Daun pintu dan jendela krepyak khas rumah peninggalan Belanda masih berada di tempatnya. Saya pun melongok ke dalam jendela untuk melihat bagian ruang dalam yang kini diubah menjadi ruang kelas. Tak banyak yang tahu bahwa bangunan ini beserta gereja di sebelahnya merupakan saksi penderitaan 250 pemuda yang ditawan oleh Jepang. Antara 14 Juni 1945 hingga 23 Agustus 1945, pemuda-pemuda tadi dibawa ke sini dari kamp internir Bangkong, dekat Ambarawa. Ruang kelas yang sedang saya lihat ini dulunya merupakan tempat tinggal para serdadu Jepang yang menjaga kamp. Sementara para pemuda malang tadi tinggal berdesak-desakan di dalam gereja. Setiap harinya, di bawah teriknya matahari, mereka harus menebang berpuluh-puluh pohon-pohon jati. Kehidupan mereka di dalam kamp pun tak kalah parah. Kekurangan gizi dan air sudah menjadi lalapan sehari-hari. Setelah Jepang menyerah, para tawanan tadi dikembalikan ke Bangkong.

Sekian penelusuran saya pada tapak-tapak kolonial di Kedungjati dan Kaliceret. Setidaknya saya dapat menyimpulkan, bahwa keberadaan peninggalan kolonial tak hanya terpusat di pusat-pusat kota saja. Nyatanya di wilayah yang terpencil seperti Kedungjati dan Kaliceret, dapat dijumpai peninggalan kolonial yang menyimpan sejarah dan tidak kalah menarik. Semoga keberadaan bangunan ini dapat dilestarikan dengan baik…

Referensi
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. 2013. Laporan Inventarisasi Cagar Budaya Tak Bergerak Kabupaten Grobogan. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis & Militer Belanda, Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Hajer,F.W. 1908. Overzicht van het ontstaan en de ontwikkeling der Salatiga-Zending. Utrecht : Firma J.  Bokma HZN.

Peluso, Nancy Lee. 1991. The History of State Fores Management in Colonial Java dalam jurnal Forest & Conservation History. Vol 35. No. 2 April 1991. Oxford University Press.

Rietsma, S.A. 1928. Korte Geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramwegen. Weltevreden : G.Kolff & Co.

Geiilustreerd zendingsblad, Mei 1883

Java Bode, 1 Mei 1867

Java Bode, 25 Oktober 1867

De Locomotief, 6 Juni 1907

De Locomotief, 25 Maret 1934

De Locomotief, 5 Desember 1935

Het nieuws v.d. Dag voor N.I, 7 Februari 1907

Nederlandsch Zending Jaarboekje 1907, 41-43

https://www.indischekamparchieven.nl/en/search mivast=963&mizig=276&miadt=968&miaet=14&micode=kampen&minr=1397413&milang=en&misort=unittitle%7Casc&mizk_alle=Kaliceret&miview=ika2

Minggu, 19 Februari 2017

Stasiun Bringin, Sengsara Sebuah Stasiun Tua

Sengsara telah lama mendera stasiun yang berada di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang itu. Hentakan musik dangdut yang sayup-sayup terdengar dari sebuah kios pedagang VCD, tak mengurangi suasana sunyi Stasiun Bringin. Di tengah kesunyiannya, saya mencoba mengingat kembali sejarah stasiun ini, kala kereta masih melintas stasiun ini.
Ingatan saya melangkah ke masa lampau, masa dimana kebijakan cultuurstelsel mulai berjalan di pertengahan abad ke-19. Lewat kebijakan cultuurstelsel, lahan-lahan dibuka untuk perkebunan yang menghasilkan berbagai tanaman komoditas ekspor seperti tebu, teh, tembakau, kopi, nila, karet, dan lain-lain. Sayangnya, gairah dunia agrobisnis milik Belanda tadi belum didukung dengan sarana pengangkutan yang layak. Saat itu, sarana pengangkutan masih mengandalkan tenaga manusia atau hewan yang terbilang lambat dan tidak dapat memuat banyak barang. Belum lagi kondisi jalan yang sebagian besar masih berupa jalan tanah yang sulit dilalui di musim hujan. Tentu saja hal tersebut merugikan pemilik perkebunan. Guna memperlancar arus pengangkutan hasil perkebunan, pemerintah kolonial memberi konsesi kepada perusahaan kereta swasta Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij  untuk membangun jaringan jalan kereta api. Jalur kereta pertama kali dibangun dari Semarang ke Tanggung, Grobogan pada tahun 1867. Selanjutnya pembangunan diteruskan sampai wilayah Vorstenlanden, sebutan wilayah yang saat ini mencakup Yogyakarta dan Surakarta.
Peta Bringin dari tahun 1909 (sumber : maps.library.leiden.edu).
Jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden baru menginjak usia 6 tahun, namun keberadaanya sudah disambut antusias sehingga jalur yang ada mulai padat. Melihat hal itu, Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij  berencana membuka jalur percabangan kereta ke Vorstenlanden dengan mengambil jalan lewat Ambarawa (Maulana, 2012;  87). Selain alasan tersebut, di wilayah ini juga terdapat banyak perkebunan kopi sehingga keuntungan yang diraih akan melimpah dari usaha pengangkutan hasil perkebunan tadi. Maka dari itu, NIS membuka jalur kereta Kedungjati-Ambarawa pada tahun 1871. Beberapa stasiun dibangun di antara ruas Kedungjati-Ambarawa seperti Tempuran, Gogodalem, Bringin, dan Tuntang untuk tempat transit kereta. Pada 4 April 1871, Raja Chulalongkorn dari Kerajaan Siam meninjau pembangunan jalur tersebut. Selain dibangun jalur kereta didirikan pula kabel telegraf sebagai sarana komunikasi antar stasiun (Java Bode, 18 Februari 1873). 
Keberadaan perkebunan kopi milik “Landbouw Maatschappij Getas” ( Anonim, 1914; 62 ) mungkin menjadi alasan dibangunnya stasiun kereta di Bringin. Selain itu, terdapat sebuah pasar yang letaknya dekat dengan stasiun sehingga. Stasiun Bringin kemungkinan besar mulai beroperasi sejak tanggal 21 Mei 1873 bersamaan dengan dibukanya jalur kereta api Kedungjati-Ambarawa. Keberadaan stasiun ini cukup membantu mobilitas masyarakat Bringin mengingat letak Bringin cukup jauh dari jalan utama antar kota. Stasiun ini juga meningkatkan geliat Pasar Bringin karena semakin banyak barang dagangan yang dapat diangkut dan diturunkan di stasiun ini. Selain dibangun untuk mendukug perekonomian setempat, Stasiun Bringin juga berfungsi sebagai stasiun persinggungan kereta karena saat itu lintas Kedungjati-Ambarawa hanya memiliki satu lajur saja. Keberadaan stasiun Bringin disambut antusias oleh masyarakat Salatiga yang kotanya tidak dilalui jalur kereta. Masyarakat yang hendak menggunakan kereta dapat naik dari Stasiun Bringin atau stasiun Tuntang. Oleh karena itu dibuka trayek bis Salatiga-Bringin dan Salatiga-Tuntang pada 1 Agustus 1918 sebagai layanan antar jemput penumpang. Melihat potensi tersebut, Dewan Direksi N.I.S di Den Haag pada tahun 1922 menyetujui rencana jalur kereta sambungan Bringin-Salatiga. Dari sana akan dioperasikan kereta ekspres pagi-sore dari Salatiga ke Semarang dan sebaliknya (Preanger Bode, 13 Januari 1922). Di belakang hari, rencana tersebut urung dilaksanakan. Memasuki tahun 1970an, kejayaan transportasi kereta perlahan mulai terkikis oleh transportasi lain seperti bus dan truk yang lebih praktis. Jalur yang sudah susah-susah dibangun Belanda itu pada akhirnya dimatikan begitu saja oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1976.
Denah Stasiun Bringin.
Habis manis, sepah dibuang. Seperti itulah ungkapan yang sekiranya menjadi gambaran kondisi Stasiun Bringin saat ini. Bangunan Stasiun tampak dicampakan begitu saja oleh empunya setelah ia melayani penumpang selama puluhan tahun lamanya. Dengan awan mendung yang menggantung di langit, Stasiun Bringin pada hari itu terlihat suram. Daun pintu dan jendela sudah raib. Sementara bagian jendela, pintu, dan loket terlihat sengaja ditutup dengan dinding bata untuk dijadikan sarang walet. Entah siapa pelaku yang bertanggung jawab atas hal ini. Sebelum tahun 2014 keadaan Stasiun Bringin bahkan lebih parah dibanding saat ini dimana bangunan-bangunan liar berkerumun di sekitar stasiun. Karena lama tak terurus, Stasiun Bringin terkesan seperti bangunan angker. Namun bagi saya, nilai keangkeran tadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai sejarah, arsitektur dan arkeologis yang terdapat pada bangunan ini. Lagipula, mengeksploitasi hal-hal gaib bagi saya sendiri adalah hal yang tidak etis.
Bagian dalam Stasiun Bringin.
Bekas lubang tiket.
Rasa iba terbangun di hati ketika saya masuk ke dalam bangunan stasiun. Kotor, gelap dan bau, itulah kesan pertama saya ketika berada di dalam. Hal ini tentu berbanding terbalik ketika stasiun ini masih aktif, dimana pada waktu itu masih terdapat jendela dan pintu tinggi yang membuat udara dan cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan sehingga ruangan terasa terang dan sejuk. Namun karena bagian pintu dan jendela ditutup untuk sarang walet, maka kondisinya sekarang menjadi gelap dan pengap.
Perbandingan bentuk Stasiun Tuntang dan Stasiun Bringin.
Dari segi arsitektur, layout bangunan stasiun Bringin hampir mirip dengan stasiun Tuntang yang masih berada di jalur Kedungjati-Ambarawa. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan pada detail bangunan misalnya atap stasiun Tuntang berbentuk atap pelana, sementara atap dari stasiun Bringin berbentuk atap perisai. Inilah salah satu ciri khas stasiun dari zaman Belanda, yakni terdapat persamaan pada layout denah dan komposisi stasiun namun detail setiap bangunan stasiun dibuat berbeda satu sama lain. Bangunan Stasiun Bringin yang saya lihat sekarang merupakan buah dari perombakan yang dilakukan N.I.S pada tahun 1902 untuk menggantikan bangunan lama yang menua (De Locomotief, 24 September 1902). Perombakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan menarik perhatian penumpang. Bangunan stasiun baru dibuat dengan filosofi yang diarahkan oleh perusahaan NIS, yakni bangunan tidak perlu monumental tapi juga tidak boleh terlihat buruk.
Konstruksi bata.
Kondisi bangunan ini memang sudah tidak karuan namun di situlah saya justru bisa mengupas konstruksi bangunan stasiun yang sebelumnya tidak terlihat. Misalnya dari tembok yang roboh, kita dapat mengetahui bahwa bangunan ini dibuat dengan batu-bata yang disusun dengan pola irregular bond. Pada pola ini, satu lapis dinding dibuat dengan dua lapis batu bata, sehingga dinding terlihat kuat dan tebal (Davis dan Jokkiniemi, 2008;462). Oleh karena itulah meski pada masa itu teknologi beton bertulang belum ditemukan, bangunan stasiun ini mampu berdiri dalam jangka waktu lama karena bangunan stasiun mengandalkan dinding tebal sebagai konstruksi utama. Konstruksi seperti ini sering digunakan pada bangunan-bangunan masa kolonial
Bekas sinyal "Alkmaar"
Lantai stasiun.
Peron stasiun.
Stasiun Bringin memiliki dua beranda, yakni beranda depan tempat para penumpang membeli tiket dan beranda belakang sebagai peron atau tempat penumpang menunggu kereta. Di bagian peron, masih terlihat barisan tiang kayu penyangga atap stasiun yang antik. Meski kondisi bangunan stasiun sudah rusak parah, namun untungnya saya masih bisa menjumpai lantai tegel kotak-kotak khas stasiun. Selain itu, terdapat salah satu artifak sejarah perkeretaapian, yakni alat pengatur sinyal merk “Alkmaar”. Peron Stasiun Bringin dapat dibilang lumayan besar untuk ukuran sebuah stasiun yang berada di lokasi yang terpencil. Ah, bayangan saya sejenak kembali di masa ketika Stasiun Bringin masih aktif, masa dimana peron yang sekarang sepi ini ramai akan para penumpang yang sebagian besar adalah pedagang pasar Bringin. Apalagi di musim mudik lebaran, stasiun ini tentu akan ramai dengan kedatangan para perantau untuk bersilahturami dengan keluarga mereka yang tinggal di desa.
Bekas menara air. Perhatikan dinding bangunan yang berwarna putih karena bangunan ini dibuat dari batu kapur.
Bekas pipa air.
Bekas gudang stasiun.
Di sebelah barat empalsemen stasiun, saya menjumpai bangunan kecil yang dimaksudkan sebagai menara air. Di masa ketika lokomotif masih mengandalkan tenaga uap, air adalah komponen yang penting. Tiada air, kereta tak mau jalan. Sumber air di Stasiun Bringin berasal dari sumur yang terdapat di bawah menara air. Air kemudian ditampung di bak di dalam menara air. Selanjutnya air disalurkan ke dalam ketel lokomotif melalui pipa air. Tak jauh dari menara air, terdapat gudang stasiun tempat penyimpanan hasil-hasil perkebunan seperti kopi dan karet yang berasal dari perkebunan sekitar Bringin.
Rumah dinas Stasiun Bringin.
Beranjak ke sebelah timur stasiun, terdapat sebuah rumah tua yang juga sama terabaikannya dengan Stasiun Bringin. Untunglah jendela krepyak dari rumah ini masih berada di tempatnya. Dari segi arsitektur, rumah yang dulu dihuni pegawai stasiun itu menggunakan gaya arsitektur chalet yang  ditandai dengan keberadaan lisplang kayu bergerigi pada bagian atap pelana depan. Aslinya, rumah ini memiliki beranda depan, namun beranda depan ini ditutup untuk sarang walet. Yang menarik adalah bentuk rumah dinas ini mirip dengan rumah dinas Stasiun Tuntang. Arah hadapnya juga sama, yakni menghadap ke barat.
Jalur ke arah Ambarawa.
Sekitar akhir tahun 2014, jalur rel Kedungjati-Ambarawa yang lama mati akan dihidupkan kembali. Sisa-sisa rel yang masih ada kemudian dicopot. Namun entah kenapa rencana tadi terkesan tertatih di tengah jalan sebelum akhirnya berhenti sama sekali. Bantalan rel yang sudah dipersiapkanpun kini menumpuk dan menganggur di jalur yang sudah dibersihkan.

Meninggalkan Stasiun Bringin, hanya ada rasa penyesalan di hati saya. Bangunan stasiun yang dulu begitu elok, kini menghabiskan hari tuanya dalam suasana pilu seraya pasrah pada sang Penentu Nasib. Sengsara Stasiun Bringin di masa sekarang tidak terlepas dari dosa yang dibuat oleh generasi sebelum kita yang tidak memiliki kesadaran untuk melestarikan peninggalan sejarah dan lebih mementingkan nilai ekonomi praktis saja. Kini, untuk merehab bangunan Stasiun Bringin, dibutuhkan biaya yang cukup besar. Sekalipun itu sudah berhasil direhab, nilai otentitas dari bangunan stasiun ini juga sudah berkurang. Maka ada benarnya juga ungkapan “kehilangan sebuah warisan sejarah bukan generasi sekarang yang merasakan dampaknya tapi generasi selanjuntnyalah yang akan merasakan dampaknya”. Akankah ia di masa depan akan bernasib baik atau tetap didera sengsara seperti sekarang ? Biarlah waktu yang menjawab.

Referensi
Anonim. 1914. Lijst van Ondernemingen in Nederlandsch Indie. Batavia ; Landsdrukkerij.

Davis, Nikkolas dan Jokinemi, Erkki. 2008. Dictionary of Architecture and Building Construction. Oxford : Architectural Press.

Maulana, Caesar Bayu. 2012. Latar Belakang Pembangunan dan Perkembangan Jalur Kereta Api Nederlandsh Indisch Spoorweg Maatschappij Yogyakarta-Ambarawa 1898-1942 (Kajian Ekonomi Sosial dan Politik). Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Tim Penyusun. 2014. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

De Locomotief, 24 September 1902