Citarasa gula yang manis membuat barang satu ini hampir digemari
oleh setiap orang sehingga keberadaanya hampir ditemukan di setiap dapur rumah.
Di balik manisnya gula, terbentang sejarah panjang industri gula yang bertebaran di segala penjuru pulau Jawa pada masa kolonial. Dari sekian banyaknya pabrik gula yang dibangun, PG Colomadu adalah pabrik gula pertama yang dibangun oleh penguasa lokal Mangkunegara IV, yang kemudian diikuti dengan pendirian PG Tasikmadu. Inilah tulisan Jejak Kolonial tentang kedua pabrik gula itu.
PG Colomadu sebelum direnovasi pada tahun 1928 (sumber : media-kitv.nl). |
Sebelum menilik sejarah PG Colomadu, ada baiknya kita kembali ke
tahun 1830, masa ketika sistem tanam paksa mulai diterapkan. Terpisah dari
penderitaan rakyat yang diperbuat oleh sistem itu, nyatanya sistem tersebut
berhasil membumikan komoditas tanaman yang laku di pasaran dunia seperti tebu,
kopi, dan teh. Di antara tanaman-tanaman tersebut, yang menjadi primadona ialah
tebu. Didukung oleh ketersediaan tenaga lokal, tanah yang subur, air yang
melimpah, dan iklim yang cocok, industri gula di Jawa berkembang pesat. Tercatat
ada sekitar 185 pabrik gula yang pernah berdiri di Jawa, menjadikan Jawa
sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia di belakang Kuba. Kemunculan pabrik gula di Jawa sesungguhnya hanyalah buah kecil
dari gegap gempita Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-19. Sebelum Revolusi
Industri, sumber daya alam masih diolah dengan bantuan tenaga manusia, hewan
atau alam. Misalnya saja, sebelum teknologi mesin dikenal di Jawa, industri
gula masih bergantung pada hewan seperti sapi atau air untuk menggiling tebu.
Mengolahnya tentu lebih lama dan hasilnya tidak sepadan dengan modal yang
dikeluarkan. Permasalahan tersebut akhirnya teratasi tatkala jauh di Inggris
sana, Thomas Savery merancang mesin uap yang kemudian disempurnakan lagi oleh
James Watt pada tahun 1769. Adalah James Hagraves, pencipta mesin pemintal
benang bertenaga uap yang menerapkan teknologi tersebut untuk kepentingan
industri. Dari Inggris, mekanisasi industri segera menyebar luas ke daratan Eropa hingga akhirnya tiba di tanah jajahan mereka seperti Jawa.
KGPAA Mangkunegara IV, merupakan pemimpin dari Kadipaten Mangkunegara, sebuah kadipaten yang lahir dari perjanjian Salatiga tahun 1757 yang memisahkan Kasunanan Surakarta dengan Kadipaten Mangkunegaran. Ketika Mangkunegara IV naik tahta pada 1853, kondisi perekonomian Mangkunegaran terpuruk akibat warisan utang dari pendahulunya, Mangkunegara III sebesar 46.000 gulden kepada pemerintah kolonial Belanda. Secara keseluruhan, Kadipaten Mangkunegaran berutang kepada pemerintah kolonial Belanda sebesar 100.000 gulden (Sri Budiarti Sulastri, 2006; 37). Berbagai kebijakan-kebijakan agraria yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dipelajari oleh Mangkunegara IV untuk mengetahui bagaimana caranya mengentaskan Kadipaten Mangkunegaran dari jurang kebangkrutan. Pada masa itu, tanah-tanah milik bangsawan pribumi disewa oleh para pengusaha Eropa. Keuntungan yang diraih pengusaha Eropa itu cukup besar dan kadangkala melebihi pendapatan sewa yang diterima oleh bangsawan pribumi.
“Tanah-tanah tersebut akan saya gunakan untuk industri agar hasilnya lebih banyak, sehingga lebih bermanfaat bagi seluruh rakyat Mangkunegaran, sebab pajak tanah tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan Mangkunegaran”.
Begitulah tulis Mangkunegara IV dalam suratnya kepada residen Surakarta J, H. Tobias ketika ia hendak mengambil kembali tanah-tanahnya setelah sadar bahwa kalau tanah itu dikelola sendiri dengan baik akan memberi hasil keuntungan yang tinggi. Akhirnya Mangkunegara IV sejak tahun 1857 tidak memberi perpanjangan kontrak pengusaha Eropa yang menyewa tanahnya. Selanjutnya sebuah pabrik gula merah didirikan di Desa Krambilan pada tahun 1853. Namun Mangkunegara IV tampaknya tidak puas dengan hasil produksinya. Apalagi setelah ia melawat ke Demak dalam rangka bertemu dengan Arya Condronegoro IV, Bupati Demak sekaligus menantunya. Mangkunegara IV mendapati hasil pabrik gula merah di sana jauh lebih baik daripada di Malangjiwan.
Karya fotografi studio Woodbury & Page yang memperlihatkan PG Colomadu pada tahun 1869 (Sumber : collectie.wereldculturen.nl). |
Dari hasil kunjungannya ke Demak dan masukan dari pemilik perkebunan nila di Baron bernama Manuel, Mangkunegara IV akhirnya berencana untuk mendirikan pabrik gula pasir karena harga gula pasir lebih tinggi daripada gula merah. Sebagai persiapan, Mangkunegara IV menunjuk seorang ahli dari Jerman bernama Johann Robert Kampf untuk menyelidiki kondisi tanah di sekitar Malangjiwan. Setelah diketahui bahwa tanah di Malangjiwan memungkinkan untuk ditanami tebu, maka sebuah pabrik gula didirikan di sana. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada hari Minggu, tanggal 8 Desember 1861. Tanggal tersebut selanjutnya diperingati sebagai hari jadi PG Colomadu. Pembangunan pabrik itu sendiri sempat tersendat karena butuh biaya banyak untuk membangun pabrik dan disaat bersamaan keuangan Mangkunegaran masih terpuruk. Lantaran itulah Mangkunegara IV meminjam uang sebesar f 400.000 dari teman dekatnya yang juga seorang Mayor Tionghoa di Semarang, Be Biauw Tjoan (De Locomotief, 19 Apirl 1937).
Setelah melalui perjalanan yang
panjang, pabrik gula di Desa Malangjiwan itu akhirnya tuntas dibangun dan dapat
menggiling untuk pertama kalinya pada 1862. Dalam upacara pembukaannya, pabrik
gula itu dinamai “Colomadu” oleh Mangkunegara IV. Jika diartikan, Colomadu berarti "Gunung Gula". Penamaan tersebut sejatinya
adalah sebuah doa supaya pabrik ini dilimpahkan keuntungan setinggi gunung. Doa itupun terkabulkan. Sejak pertama kali gilingnya pada tahun
1862, keuntungan dari PG Colomadu amatlah tinggi bagaikan gunung. Hal itu
rupanya tak lepas dari pilihan sistem mesin yang digunakan PG Colomadu, yakni
sistem pengolahan triple effect, sistem teknologi paling mutakhir dan terbaik di masanya (Knight, 2014; 178-179). Dari hal ini, terlihat bahwa
Mangkunegara IV tidak main-main dalam membangun PG Colomadu. Selain didukung dengan kapasitas produksi yang baik, keberhasilan PG Colomadu di masa awal juga tidak lepas dari
harga gula yang bagus. Untuk pemasarannya, PG Colomadu bekerja sama dengan
perantara firma Cores de Fries yang menjualnya ke Singapura dan Bandaneira.
Adapun keuntungan yang diperoleh dipakai untuk melunasi utang dan membiayai
pembangunan di wilayah Kadipaten Mangkunegaran.
Bangunan PG Tasikmadu sebelum diperbesar (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl) |
Bangunan PG Tasikmadu saat diperbesar (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl) |
Bangunan PG Tasikmadu sesudah diperbesar (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl) |
Berkaca dari kesuksesan PG Colomadu, Mangkunegara IV kemudian terdorong untuk mendirikan pabrik gula lain yang kini dikenal sebagai PG Tasikmadu. Peletakan batu pertama pabrik gula kedua Mangkunegaran tersebut dilakukan pada 11 Juni 1871. Pembangunannya berlangsung di bawah pengawasan H. Kamp. Bangunannya terhitung luas untuk ukuran masa itu. Awalnya PG Tasikmadu menggunakan tenaga air sebagai penggerak utamanya dan mesin uap saat itu masih digunakan sebagai cadangan. Sialnya, selepas Mangkunegara IV meninggal pada 1881, kejayaan PG Colomadu dan PG Tasikmadu beberapa kali goyah. Pertama
disebabkan oleh kemarau berkepanjangan. Kedua adanya penyakit sereh dan yang
ketiga yang hampir membuat bangkrut adalah kejatuhan harga gula pada tahun 1885. Beberapa
upaya dilakukan untuk menyelamatkan kedua pabrik gula tersebut dari kejatuhannya dan bahkan
ada rencana untuk menjualnya kepada pihak lain. Baru pada tahun 1894 sejumlah langkah
dilakukan untuk memperbaiki kinerja dan berkat pulihnya harga gula, baik PG Colomadu maupun PG Tasikmadu berhasil melalui masa sulitnya (De Locomotief, 19 Apirl 1937)..
Memasuki abad ke-20, ladang PG
Colomadu terus diperluas. Perluasan ini akhirnya membuat pabrik gula yang selama
ini ada mengalami kelebihan kapasitas. Oleh karena itu, pabrik gula yang lama
diganti dengan bangunan baru yang lebih besar pada tahun 1928. Meskipun sempat
terjadi krisis malaise pada tahun 1930an, PG Colomadu masih mampu bertahan
meski banyak pabrik gula yang tumbang. Bekas ladang tebu milik PG Bangak dan PG
Kartasura yang ditutup kemudian diakuisisi oleh PG Colomadu. Masa sulit PG Colomadu kembali menerpa ketika Jepang menduduki Hindia-Belanda pada tahun 1942. Demi kepentingan perang Jepang, berbagai perkebunan terabaikan karena Jepang memaksa rakyat untuk menanam padi, jarak, dan kapas. Sepeninggal Kadipaten Mangkunegaran yang dihapus pada 1946, kepemilikan PG Colomadu diambil oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia milik pemerintah RI (kini menjadi PTPN).
Semenjak diambil oleh pemerintah RI, baik PG Colomadu maupun Tasikmadu gagal memulihkan kejayaannya kembali. Sebaliknya, PG Colomadu justru mulai berjalan ke arah liang lahat. Biangnya adalah semakin sedikitnya petani yang menanam tebu karena hasilnya kurang menguntungkan. Pasokan tebu pun berkurang. Hal itu kian diperparah dengan manajemen yang carut marut pada masa Orde Baru. Setelah melalui perjalanannya selama 137 tahun, takdir PG Colomadu berakhir pada tahun 1998 dan nasibnya terlunta dan terkatung dalam ketidakpastian. Selama beberapa tahun, rumput dan tanaman liar tumbuh lebat di sela-sela bangunan yang lama tak terurus menjadi pemandangan yang umum saat memandang PG Colomadu dari luar. Setelah lama terbaring bisu, PG Colomadu akhirnya dihidupkan kembali dari alam kematiannya pada tahun 2017 dan kini telah bersolek sebagai tempat wisata dengan nama "De Tjolomadoe". Sayangnya sejumlah bangunan lama lain dibongkar meliputi kantor administrasi, gudang, depo lokomotif, dan stasiun timbangan. Dibandingkan saudara tuanya, nasib PG Tasikmadu sedikit lebih mujur karena masih mampu beroperasi meski nafasnya terengah-engah.
Hari ini, cerobong asap PG Colomadu masih menjulang begitu tinggi di bawah bentangan langit biru meski sudah lama asap tak membumbung dari cerobong tua itu. Angka tahun 1861 yang terpampang di wajahnya seolah menjadi pengingat, bahwa PG itu didirikan pada masa industri gula mulai tumbuh subur di Jawa. Di dalam bangunan pabrik utama, terdapat bagian-bagian pabrik yang dibagi berdasarkan jenis kerjanya, seperti stasiun
gilingan yang letaknya paling depan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan nira,
stasiun masakan, stasiun putaran, dan stasiun penyelesaian. Lewat
mesin-mesinnya yang masih tersisa, terbayang bagaimana mesin-mesin besar itu
dulu bergerak kompak dengan irama mesin yang menggelora di setiap sudut pabrik. Saat PG Colomadu ditutup, beberapa mesin-mesin dijual
sebagai rongsokan besi tua untuk membayar pesangon karyawan. Selama beberapa tahun, berbagai mesin yang tersisa menjadi artefak yang tergeletak
tak berdaya bersama sunyi dan gelap di bawah atap sengnya yang lapuk. Tungku-tungkunya, pipa-pipanya,
baut-bautnya, pernah menjadi bagian dari manisnya industri gula Mangkunegaran.
Walau terlihat usang dan berkarat, namun mesin-mesin itu menghasilkan ilham
bagi segelintir seniman yang kemudian menghelat pertunjukan seni bertajuk “Fabriek Fikr” di dalam pabrik ini beberapa waktu sebelum revitalisasi PG Colomadu dimulai pada tahun 2017.
Bekas generator listrik. |
Cerobong PG Colomadu. |
Berada di sebelah barat
emplasemen pabrik, terdapat hamparan semak belukar luas tempat dimana dulu
barisan lori-lori yang memuat berbatang-batang tebu menunggu gilirannya untuk
ditimbang di depan pabrik. Sebelum digiling, batang-batang tebu yang sudah
dihimpun dari berbagai penjuru ladang ditimbang terlebih dulu dengan cara
menghitung selisih berat lori penuh dengan berat lori kosong. Pada masa dimana
lori-lori kecil membawa berbatang-batang tebu dari berbagai penjuru ladang ke
PG Colomadu, kadang ada satu atau dua batang tebu yang jatuh ke tanah dan
segera saja menjadi rebutan anak-anak kecil. Industri gula tempo dulu amat
berkaitan erat dengan kereta api, mulai dari proses pengumpulan tanaman
bergenus Saccharum ini hingga pengiriman gula ke pasaran. Setiap ladang
tebu dilengkapi dengan sarana berupa jaringan rel kereta lori atau decauville, sehingga batang-batang tebu yang telah dipanen dapat
diangkut oleh kereta lori. Sebelum ada decauville, tebu-tebu itu diangkut dengan pedati. Kereta lori
tersebut rutin dirawat di sebuah garasi atau depo lori yang kini sudah hilang.
Ketika PG Colomadu tutup, kereta lori itu dibantai di tangan pedagang besi
bekas menjadi rongsokan besi kiloan. Sementara kereta lori yang belum laku
hanya teronggok begitu saja di dalam depo hingga akhirnya dibawa ke PG
Tasikmadu. Dalam pengiriman gula ke pasaran, PG Colomadu memiliki sebuah jalur
kereta besar yang tersambung dengan jalur kereta Boyolali-Surakarta milik N.I.S.
Rumah dinas administrateur PG Colomadu pada tahun 1930an. (sumber : media.kitlv.nl). |
Walau kepemilikan PG Colomadu
ada di tangan Mangkunegaran, tanggung jawab pengelolaannya diserahkan kepada
seorang adiministratur berkebangsaan Eropa. Jabatan tersebut pertama kali
dipegang oleh R. Kampf, sosok yang turut andil dalam pendirian PG Colomadu.
Para administrateur menempati rumah tinggal yang dekat dengan pabrik gula.
Rumah itu disebut sebagai rumah besaran. Selain karena ukurannya terbilang
besar, rumah itu juga ditempati administrateur yang merupakan jabatan
besar di lingkungan pabrik. Rumah sang administrateur itu terlihat
pantas menghadap ke timur, ke arah Surakarta tempat dimana sang pemilik PG
Colomadu tinggal. Barangkali rumah itu sengaja dibuat demikian sebagai bentuk
penghormatan pada Mangkunegaran. Di depan rumah dinas administrateur, terdapat
sebuah gazebo yang dulu menjadi tempat sang administrateur bersantai dan
menjamu tamu. Selintas, bangunan itu lebih tampak seperti sebuah rumah seorang
pembesar Jawa. Namun ketika melangkah ke beranda depannya, ada sedikit nuansa
Eropa dengan keberadaan pilar-pilar klasik di sana. Wim F. Wirtenheim dalam
tulisannya bertajuk “Conditions on Sugar Estates in Colonial Java:
Comparisons with Deli” menyebutkan para adminsitrateur umumnya
menjalani gaya hidup mestizo atau percampuran antara gaya hidup seorang
Eropa dengan gaya hidup seorang aristokrat Jawa. Maka dapat dimaklumi jika
tempat tinggalnya memiliki gaya campuran antara Eropa dengan Jawa (Wirthenheim,
1993; 273).
Monumen peringatan 75 tahun PG Colomadu. |
Setelah mengalami
perjalanan panjangnya selama 75 tahun, para pegawai PG Coomadu mencetuskan ide
untuk mendirikan tugu peringatan pendirian PG Colomadu. Biaya pembangunan monumen tersebut bersumber
dari sumbangan pegawai serta pemerintah desa setempat. Sedianya tugu tersebut
akan diresmikan pada 8 Desember 1936 bertepatan dengan hari jadi pabrik gula ke
75. Namun karena Mangkunegara VII saat itu sedang dalam perjalanan di Eropa,
maka peresmian tugu tersebut baru dapat dilakukan pada 18 April 1937 yang
bertepatan dengan pembukaan musim giling tahun tersebut. Pada monumen tersebut,
terdapat prasasti yang menggunakan bahasa Belanda dan Jawa. Sementara di atas
pedestal terdapat figur patung setengah badan dari Mangkunegara IV, pendiri PG
Colomadu. Desain patung tersebut dirancang oleh pematung Belanda, Van der
Noorda dan pengerjaanya dibuat oleh pematung lokal bernama Raden Soemadi. Sementara
batunya diambil dari Baturetno, Wonogiri (De Locomotief, 19 Apirl 1937).
Rumah dinas di sepanjang jalan Surakarta-Bandara. |
Rumah-rumah dinas pegawai di utara pabrik gula Colomadu. |
Di sebelah utara jalan Adi Sucipto yang ramai dengan hilir mudik kendaraa, bejejer rumah-rumah
pegawai PG Colomadu dalam beraneka bentuk. Di rumah-rumah itulah tinggal para
pegawai Eropa tingkat menengah yang memiliki keahlian tertentu. Mulai dari
masinis yang mengurus mesin-mesin uap, zinder
yang ahli tanaman tebu, chemicer yang
mengatur kualitas gula, dan pegawai administrasi. Ukuran rumah-rumah itu memang lebih kecil ketimbang rumah besaran, tapi bentuknya tampak lebih modern. Rumah-rumah itu diperkirakan dibangun pada tahun 1920an, bersamaan dengan renovasi PG Colomadu pada 1928. Beberapa rumah masih dihuni oleh pemiliknya, namun ada pula yang ditinggal kosong.
Sedikit tersembunyi di sebelah selatan PG Colomadu, terdapat
semacam perkampungan kecil yang dahulu dihuni oleh para pegawai pribumi yang kebanyakan bekerja sebagai buruh. Sebelum
terjadi wabah pes tahun 1910an, para buruh tidak disediakan tempat tinggal dari
pemilik pabrik. Atas himbauan Tillema, maka pemilik pabrik didorong untuk
memperhatikan kesejahteraan buruh karena jika buruh mudah sakit, maka hal
tersebut berdampak pada produktivitas pabrik. Oleh karena itu dibangunlah
permukiman buruh yang lebih bersih. Tatanan jalanan perkampungan itu amat rapi. Setiap rumah di sini bentuknya
diseragamkan dalam model rumah kampung. Untuk kebutuhan air bersih,
perkampungan ini dilengkapi dengan sumur yang terdapat di pertigaan jalan. Perkampungan
ini diletakan terpisah dari kompleks perumahan pegawai Eropa, sehingga boleh
jadi ada semacam upaya segregasi atau pemisihan antara pegawai pribumi dengan
pegawai Eropa.
Ambatschool Tjolomadoe ketika pertama kali dibuka (sumber : Djocja Solo halaman 33).
|
Selain permukiman pegawai, PG Colomadu juga dilengkapi sarana lain
seperti sekolah pertukangan, klinik, dan tempat hiburan yang disebut Panti
Soeka. Lengkapnya sarana yang tersedia di PG Colomadu selintas mengingatkan
saya pada konsep Industrial Village yang
digagas oleh Robert Owen, begawan industri asal Skotlandia yang mendirikan
pabrik kapas di New Lanark Skotlandia (Burchell, S.C 1984; 78). Robert Owen tak
hanya mendirikan pabrik saja, namun juga menyediakan tempat tinggal yang layak
dan fasilitas yang dapat menyejahterakan pekerjanya. Apa yang diperbuat oleh
Robert Owen tampaknya juga ditiru oleh Mangkunegaran. Sekolah pertukangan atau ambatschool dibuka untuk mendidik
anak-anak pribumi menjadi tenaga professional sehingga mereka dapat
meningkatkan status sosialnya. Klinik pabrik atau Hospitaal voor Inlandsche
Personel tak hanya diperuntukan untuk tempat berobat pegawai saja,
namun juga untuk penduduk sekitar. Karena disubsidi menggunakan keuntungan PG
Colomadu, maka pasien tak dipungut biaya. Betapa mulianya !
PG Colomadu sungguhlah sebuah pabrik gula yang istimewa.
Ia didirikan oleh raja Jawa yang sadar akan potensi bumi tempatnya berpijak. PG
Colomadu bukan pula pabrik yang rakus mencari keuntungan semata, namun juga
memperhatikan kesejahteraan pegawainya dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Keberadaan pabrik ini seolah menjadi tamparan bagi kita semua di masa
sekarang yang mensia-siakan potensi
sumber daya alam yang kita miliki sehingga akhirnya lari begitu saja ke luar
negeri. Begitulah, sayapun perlahan meninggalkan monumen kedigdayaan industri
gula yang kini telah redup itu.
Referensi
Burchell, S.C. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta : Tira Pustaka.
Roger, Knight. G. 2014. Sugar, Steam & Steel ; The Industrial Project in Colonial Java 1830-1885. Adelaide : Adelaide University Press.
Sulastri, Sri Budi. 2006. "Pola Tata Ruang Kompleks PG Colomadu". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Roger, Knight. G. 2014. Sugar, Steam & Steel ; The Industrial Project in Colonial Java 1830-1885. Adelaide : Adelaide University Press.
Sulastri, Sri Budi. 2006. "Pola Tata Ruang Kompleks PG Colomadu". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah. 1999. Pendokumentasian Pabrik Gula
Colomadu Karanganyar. Klaten : Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah.
Wirthenheim, Wim F. 1993. "Conditions on Sugar Estates in Colonial Java ; Comparasion with Deli" dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol.24 no.2.
De Locomotief, 19 Apirl 1937