Kamis, 02 Januari 2025

Merambah Sejarah Fort Japara

Hari ini, kita mengenal Jepara sebagai kota yang menghasilkan produk ukir-ukirannya yang khas. Kita juga mengenal Jepara sebagai tempat kelahiran tokoh emansipasi perempuan masa kolonial, R.A. Kartini. Di Jepara juga pernah hidup seorang tokoh penguasa perempuan bernama Ratu Kalinyamat dan berkat jasanya, Jepara mampu tumbuh menjadi kota bandar paling penting di Jawa tengah. Akan tetapi, nasib Jepara sebagai kota niaga penting tidak bertahan lama setelah kedatangan Belanda dan reruntuhan Fort Japara yang berada di puncak bukit Jepara menjadi saksi kemunduran tersebut. Bagaimanakah kisahnya ?

Pemandangan Kota Jepara sekitar tahun 1614. Gambar ini tidak sepenuhnya akurat karena Jepara tidak dilengkapi dengan tembok keliling dan gunung di belakangnya harusnya hanya ada satu saja, ykni Gunung Muria. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Membicarakan sejarah Fort Japara tentu tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan Jepara menjadi kota bandar mengingat Fort Japara sendiri dibangun karena nilai penting Jepara sebagai kota bandar. Sosok yang berjasa dalam mengembangkan Pelabuhan Jepara adalah Ratu Kalinyamat. Selain menjadikannya sebagai Pelabuhan komersil, Ratu Kalinyamat juga membangun pangkalan Angkatan laut di Jepara dan dari sinilah armada-armada Ratu Kalinyamat dikirimkan pada tahun 1551 untuk membantu Kesultanan Johor mengusir Portugis dari Malaka. Armada Ratu Kalinyamat juga ikut turun saat Kesultanan Aceh juga berusaha mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1573. Antara tahun 1586-1602, Jepara tampaknya jatuh di bawah kekuasaan Mataram. Kerajaan tersebut tampaknya tidak menaruh minat yang besar terhadap Jepara karena saat itu Jepara tidak memiliki koneksi jalan yang baik ke ibukota Kerajaan Mataram di pedalaman dan sebagai gantinya Kerajaan Mataram lebih memilih Semarang sebagai pelabuhan utamanya. Kendati demikian, pelabuhan Jepara masih dipandang penting (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Denah loji pertama yang dibangun VOC di Jepara. Lokasinya saat ini kemungkinan berada di kantor Bapppeda Jepara.

Pada tahun 1612, para pegawai VOC di Gresik merasa tidak aman untuk menetap di Sana. Pada saat yang sama, Raja Kerajaan Mataram, Susuhunan Anyakrawati atau lebih dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak mengajukan tawaran kepada para pedagang VOC untuk menetap di Jepara. Tawaran tersebut diterima VOC dan mereka mulai bermarkas di Jepara pada 1615 dan sebuah loji selesai dibangun di sana pada tahun 1618. Lokasi loji tersebut bukanlah di Fort Japara yang sekarang, melainkan di sebelah barat Alun-alun Jepara. Jepara kemudian dijadikan sebagai ibukota VOC untuk wilayah Pantai Timur Jawa yang terentang dari timur Batavia hingga Banyuwangi (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Pemandangan jalanan kota di Jepara. Bangunan di sebelah kanan kemungkinan besar adalah rumah residen dengan adanya dua penjaga di depan rumah. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Hubungan antara Kerajaan Mataram dengan VOC rupanya mengalami pasang surut. Tiga tahun sebelum VOC menetap di Jepara, kekuasaan Kerajaan Mataram sudah beralih ke tangan Sultan Agung yang berambisi menyatukan Jawa dan itu artinya VOC harus hengkang dari Jepara. Oleh karena itu pada tahun 1619 atau setahun setelah loji mereka selesai dibangun, VOC harus angkat kaki dari Jepara. Namun VOC akan kembali lagi ke Jepara karena pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, memilih untuk kembali menjalin hubungan dengan VOC. Demikianlah VOC dapat kembali mendirikan lojinya di Jepara pada 1651 walau lagi-lagi mereka harus angkat kaki untuk ke sekian kalinya pada tahun 1660. Entah bagaimana ceritanya, pikiran Amangkurat I berubah dengan mengizinkan VOC untuk menetap di Jepara pada tahun 1663. Selama di Jepara, VOC menempatkan seorang Comptoir atau kepala pedagang yang diangkat dari salah satu pejabat tertinggi VOC (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Cornelis Speelman.(sumber : wikimedia)

Pada tahun 1675, situasi di Jawa memanas dengan meletusnya Pemberontakan Trunajaya yang terjadi akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan Amangkurat I. Hanya dalam waktu singkat, para pemberontak dengan cepat merebut kota-kota perdagangan di utara Jawa, mulai dari Surabaya hingga ke barat di Cirebon. Kota-kota tersebut jatuh dengan mudahnya. Saat itu, satu-satunya kota pesisir yang tidak jatuh adalah Jepara. Merasa tidak mampu untuk menghadapi pergolakan tersebut sendirian, maka Amangkurat I memutuskan untuk bersekutu dengan VOC. Cornelis Speelman tiba di Jepara pada 15 Januari 1677 dan dalam waktu setengah bulan, penakluk Kerajaan Gowa tersebut berhasil mengembalikan sejumlah kota-kota pesisir utara Jawa yang sempat jatuh ke tangan pemberontak. Amangkurat I menunjuk seorang gubernur militer di Jepara mengingat kegagalan kekuatan loyalis melawan pemberontak. Untuk memperkuat kota tersebut, maka Amangkurat I yang diwakili oleh Wongsodipo menjalin suatu kontrak dengan Speelman pada 28 Februari 1677. Dalam kontrak tersebut, VOC bersedia mengamankan Jepara dari gangguan pengikut Trunajaya dengan mendirikan sebuah kubu pertahanan di bukit sebelah utara kota, di lokasi sekarang Fort Japara berdiri. Selain itu, Speelman juga memperkuat loji VOC yang sudah ada dengan pertahanan yang lebih layak. Kontrak tersebut juga berisi bahwa raja bersedia membayar biaya perang jika pemberontakan berhasil diredam (Graaff dan Stibber, 1918 : 180).

Peta Jepara saat Speelman memerintahkan untuk mendirikan kubu di bukit Jepara pada tahun 1670an. (Sumber : nationaalarchief.nl)

Detail kubu pertahanan Speelman di puncak bukit.

Situasi perang nampaknya terus memburuk bagi Amangkurat I. Puncaknya terjadi saat istananya di Plered berhasil diduduki pemberontak pada Juni 1677. Amangkurat I beserta putra sulungnya pindah ke Jepara pada September 1677. Speelman juga  ikut menarik pasukannya ke Jepara mendengar kabar jatuhnya istana Plered. Putra sulung Amangkurat I kemudian dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Amangkurat II di Jepara. Pada bulan Oktober 1677, Jepara menjadi saksi sebuah penandatanganan sebuah kontrak yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan sejarah Jawa. Dalam kontrak tersebut, jika VOC berhasil membantu memulihkan Mataram, maka VOC berhak menerima pendapatan dari kota-kota pelabuhan di Pantai utara. Dataran tinggi Priangan dan Semarang juga akan diserahkan kepada VOC serta raja setuju untuk mengakui yurisdiksi kekuasaan VOC atas semua orang non-Jawa yang tinggal di wilayahnya. Setelah Speelman digantikan oleh Anton Hurdt, konflik terus berlanjut, namun situasi mulai menguntungkan bagi VOC dan loyalis raja. Pemberontakan Trunojoyo akhirnya berhasil diredam dengan menyerahnya Trunojoyo pada 1679 (Ovink, 1892 : 807).

Peta Jepara sekitar tahun 1680-an. Terlihat benteng lama di sebelah kanan sungai dan benteng baru di sebelah kiri sungai (sumber : nationaalarchief.nl).
Detail lokasi benteng lama, terlihat kubu-kubu pertahanan yang dibuat pada era Speelman sudah diongkar dan diganti dengan kubu pertahanan baru berbentuk persegi. Pada masa ini, Fort Japara masih belum tampak.

Setelah perlawanan Trunojoyo berakhir, kubu pertahanan yang dibangun oleh Speelman di bukit utara kota Jepara tidak dipakai lagi. Pada perkembangan selanjutnya, nasib Jepara juga ikut berakhir dengan berakhirnya pemberontakan Trunojo karena VOC lebih memilih Semarang sebagai markas mereka karena Semarang memiliki suatu hal yang tidak dimiliki oleh Jepara, yakni jalan langsung menuju ibukota Kerajaan Mataram di pedalaman. Sekitar tahun 1697, Letnan Jenderal VOC untuk Pantai Timur Jawa mulai berkantor di Semarang. Masih ada sejumlah pegawai dan pasukan VOC di Jepara namun jumlahnya mulai dikurangi. Pada tahun 1708, VOC akhirnya secara resmi memindahkan ibukota Pantai Timur Jawa ke Semarang dan mereka hanya meninggalkan 25 orang pasukan untuk menjaga Jepara. (Graaff dan Stibber, 1918 : 180). Meskipun demikian, VOC masih berupaya untuk mempertahankan Jepara dari serangan musuh. Hal tersebut terlihat dari gambar peta dari tahun sekitar 1709 yang memperlihatkan rencana VOC yang mengganti loji lama dengan benteng baru berbentuk persegi dan mendirikan benteng kedua di mulut sungai. Namun peta tahun 1719 memperlihatkan bagian loji yang lama saja yang dirubah. Sementara benteng kedua tidak jadi dibangun dan sebagai gantinya didirikan sebuah kubu kecil di puncak bukit, di bekas lokasi garnisun milik Speelman.

Ilustrasi Kota Jepara yang digambar oleh A. De Nelly sekitar tahun 1760-an. Terlihat Fort Japara yang ada di puncak bukit.

Peta Kota Jepara tahun 1824 (Sumber : nationaalarchief.nl).

Sesudah Perang Geger Pecinan yang terjadi pada tahun 1740-1743, VOC mendirikan benteng baru di puncak bukit dengan denah berbentuk segitiga. Inilah benteng yang dikenal sebagai Fort Japara. Dari puncak bukit ini, para penjaga yang berajaga di atas dindingnya akan disodorkan dengan pemandangan laut dan kota Jepara yang terhampar di bawah. John Joseph Stockdale dalam “The Island of Java” yang diterbitkan pada tahun 1811, melukiskan benteng ini sebagi berikut : “Ketika memasuki anak sungai di sisi utara, ada bukit kecil, sekitar 50 kaki tingginya, lalu di bagian barat berdiri sebuah benteng kecil yang berbentuk segitiga, dengan satu kubu pertahanan menghadap ke laut dan dua lainnya ke daratan, di tengah tembok yang menghubungkan dua kubu terakhir terdapat pintu gerbang”. Stockdale kemudian melanjutkan, “Benteng ini juga dilengkapi dengan beberapa meriam kaliber yang berbeda. Benteng ini dibangun dari batu dan dalam kondisi yang baik, garnisun terdiri dari satu sersan, dua kopral dan 16 serdadu. Sisa wilayah lainnya digunakan untuk pemakaman, dimana sebuah tiang bendera berdiri”. (Stockdale, 2021 : 180) Dari uraian Stockdale tersebut, dapat diketahui bahwa benteng tersebut setidaknya masih digunakan saat ia mengunjungi Jepara antara tahun 1760-an hingga 1800-an. Stockadle tidak menguraikan bangunan-bangunan yang ada di dalam benteng. Namun dari peta denah benteng, bagian dalam Fort Japara kemungkinan dulunya terdiri dari rumah komandan, barak, istal, dan gudang.

Gambar Fort Japara (Sumber : nationaalarchief.nl)
Denah Fort Japara.

Bagi orang yang pertama kali mengunjungi benteng ini, mereka akan dibuat bingung. “Di manakah bangunannya ?”. Jika anda berkunjung ke benteng ini, memang jangan berharap untuk bisa menjumpai sebuah bangunan benteng yang besar dan utuh seperti Benteng Willem Ambarawa atau Benteng Van den Bosch Ngawi. Bagian dalam benteng sudah lama kosong melompong dan menyatu dengan lingkungan sekitarnya, menyisakan dinding-dinding karang yang mungkin sepintas tiada artinya. Kondisi demikian rupanya juga telah dialami oleh para pelancong-pelancong Belanda saat menyambangi benteng tersebut. Misalnya dokter P. Bleeker yang mengunjungi Jepara pada tahun 1840-an membuat uraian sebagai berikut. “Seseorang akan mencapai benteng Japara setelah menempuh beberapa ratus langkah. Benteng ini terletak di dekat muara sungai. Bentuknya segitiga dan kini hanya terdiri dari tembok batu dengan tiga bastion yang saat ini tanpa artileri. Setiap bastion memiliki celah sebanyak 36 buah. Tembok benteng itu sendiri sudah bobrok.” (Bleeker, 1850 : 39).


Sisa bastion Fort Japara pada tahun 1910-an. (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Kondisi pintu gerbang benteng sekitar tahun 1910-an.
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Bagian dalam benteng sekitar tahun 1890-an dengan gubug yang kemungkinan digunakan untuk menjaga kebun di dalam benteng.(sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Sisa bastion Utara Fort Japara.

Memasuki abad ke-19, Jepara tidak lagi menjadi kota yang terlalu penting bagi Belanda. Terlebih kota tersebut tidak memiliki koneksi jalur kereta. Akibatnya, menjadi wajar jika Fort Japara ditinggalkan begitu saja dan kondisinya nyaris terlantar. Kondisi Fort Japara pada akhir abad ke-19 diulas oleh kontrolir Th. Van Ovink pada tulisannya “Het Oude Fort en Graf van Kapiten Tak” dalam majalah Eigen Haard tahun 1892. Berdasarkan tulisannya, bagian dalam benteng sudah tidak ada bangunan yang tersisa dan oleh penduduk setempat dijadikan sebagai kebun singkong dan timun. Pemilik kebun kemudian mendirikan sebuah gubug bambu di dalam benteng untuk menjaga kebunnya. Beberapa batu karang penyusun tembok benteng lalu digunakan sebagai pagar pengaman dari hama babi hutan.

Kondisi bastion Fort Japara dengan echaugete di pojokan.(sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Sisa bastion selatan Fort Japara dengan bentuk echaugguete yang sudah berubah.

Selama beberapa waktu, keberadaan Fort Japara luput dari perhatian Oudheidkundige Commisie yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan benda-benda purbakala di Hindia-Belanda. Oudheidkundige Commisie saat itu memang belum terlalu peduli terhadap tinggalan bangsa-bangsa Belanda sendiri di Hindia-Belanda. Fort Japara baru disinggung oleh Perquin dalam Oudheidkundig Verslag tahun 1914. Dalam catatan Perquin, Fort Japara memiliki denah berbentuk segitiga sama sisi dan di ujung bastion, terdapat sebuah Menara yang dalam istilah perbentengan disebut echauguette. Echauguette adalah menara kecil atau pos jaga yang berfungsi sebagai pos pengamatan. Echauguette dilengkapi dengan celah sempit untuk pengamatan dan penembakan. Menurut Perquin, karakter Fort Japara mirip dengan Fort Speelwijk yang ada di Banten dan gerbang Fort Japara menurutnya kemungkinan dibangun belakangan (Oudheidkundige Verslag, 1914 : 55). Sayangnya gerbang benteng Fort Japara saat ini sudah tidak dijumpai lagi.

Kerkhof di depan Fort Jepara pada tahun 1892.

Sisa makam di Kerkhof Jepara.

Melangkah keluar dari Fort Japara, kita juga dapat melihat sebuah struktur yang dahulunya adalah makam. Kondisi makam seperti yang terlihat pada tahun 1892 masih terlihat utuh walau jika dilihat sudah banyak makam yang sudah rusak dan tidak diketahui namanya. Dalam tulisan Ovink, para penduduk meyakini jika salah satu makam tersebut berisi jenazah dari Kapten Francois Tak, perwira Belanda yang tewas saat menumpas perlawanan Untung Surapati. Jangan ditanya bagaimana kondisi makam-makam tersebut pada masa sekarang karena saat ini hanya tinggal satu makam yang tersisa dan itupun kondisinya jauh lebih bobrok dibanding kondisi tahun 1892. 

Sisa dinding utara Fort Japara.

Tampak dalam bastion Fort Japara.

Dalam bentangan sejarah masa kolonial, usia Fort Japara memang terbilang singkat dan reruntuhan Fort Japara hari ini termangu bisu di bawah rindangnya pepohonan sembari memandang Kota Jepara di bawahnya. Meskipun hanya tinggal seonggok tumpukan batu yang mungkin tidak akan membuat takjub orang-orang yang melihatnya, namun batu-batu tersebut setidaknya masih dapat sedikit bercerita tentang kemegahan pelabuhan Jepara di masa lampau.

Referensi

Bleeker, P. 1850. "Fragmenten Over Reis Java" dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12 (1e deel).

Graaff, S. De. dan Stibbe, D. G. 1918. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie. S-Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Ovink, Th. H. 1892. "Het Oude Fort en Het Graf Kapitan Tak". dalam Eigen Haard No. 51. halaman 804-807. Haarlem : H. D. Tjeenk Willink.

Stockdale, John Joseph. 2021. The Island Of Java : Sejarah Tanah Jawa. Yogyakarta : Indoliterasi.

Oudheidkundig verslag 1914. Weltevreden : Albrecht & Co.


De Lokomotief 23 Desember 1936

Rabu, 25 Desember 2024

Stasiun Cirebon, Ketika Kereta Negara Menembus Kota Udang

Suasana udara Cirebon terasa begitu panas menyengat. Matahari seakan mendekati ubun-ubun hingga peluh membanjiri kepala. Dengan usianya yang lebih dari seabad, bisa dibayangkan sudah berapa lama menerpa dinding putihnya. Stasiun Cirebon adalah salah satu dari sekian banyak stasiun dari zaman Belanda yang memiliki bentuk yang khas. Selain arsitekturnya yang khas, stasiun ini juga menjadi salah satu saksi bisu pembangunan jalur kereta Batavia-Cirebon yang perjalanannya cukup berliku. Bagaimanakah kisahnya ?

Kota Cirebon dalam peta jalur perkeretaapian Semarang Cheribon Stoomtram Mij. tahun 1913. Jalur eksploitasi SCS ditandai dengan garis merah dan jalur eksploitasi Staatspoorwegen ditandai dengan garis hitam. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Untuk mengetahui sejarah Stasiun Cirebon, marilah kita sejenak menarik mundur agak sedikit jauh ke belakang, kira-kira pada tahun 1871. Saat itu, pemerintah kolonial mulai membahas rencana untuk membangun jalur kereta api yang akan menghubungkan bagian barat dan timur Pulau Jawa (Rietsma, 1912 : 2). Sekalipun jalur kereta api di Jawa sudah mulai dibangun pada tahun 1864, namun sejak saat belum ada lagi pihak yang berminat untuk membangun jalur kereta di tempat lain. Terlebih setelah melihat kinerja operator kereta api satu-satunya saat itu, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, menderita kerugian cukup besar pada tahun-tahun pertamanya. Di sisi lain, pemerintah kolonial juga memiliki kepentingan terhadap keberadaan angkutan kereta api karena adanya angkutan tersebut akan memudahkan proses pengangkutan hasil bumi. Jika pihak swasta belum bisa diandalkan, maka pemerintah kolonial yang akan turun tangan sendiri dalam pembangunan jalur kereta api melalui Staaspoorwegen.

Emplasemen Stasiun Cirebon dalam peta tahun 1913. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Pemerintah kolonial membentuk suatu tim ahli yang terdiri dari Kool, Henket, De Bordes, Van Kappen, Mullemeister, dan d’Aulnis de Bourrouiil. Pada dasarnya, mereka mendukung rencana pemerintah kolonial untuk membangun jalur kereta yang akan menjalin Jawa dari timur ke barat. Pertanyaan selanjutnya adalah rute manakah yang akan dipilih, apakah lewat rute selatan atau utara ? Sebagian besar rupanya lebih mendukung pembangunan jalur kereta via selatan, yakni lewat Batavia-Buitezorg-Bandung-Yogyakarta-Solo. Mereka beralasan bahwa di Pantura sudah ada jalan raya pos Daendels yang dinilai sudah cukup untuk angkutan darat sehingga tidak perlu dibuatkan jalur kereta. Prioritas pembangunan jalur kereta akhirnya diutamakan untuk melewati Batavia-Bogor-Bandung-Yogyakarta. Meskipun demikian, gagasan jalur kereta Pantura via Depok-Karawang-Cirebon-Semarang tidak dilupakan begitu saja (Rietsma, 1912 : 2). 

Stasiun Cirebon sekitar tahun 1914. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Tampilan bangunan stasiun milik Semarang Cheribon Stoomtram Mij yang lebih sederhana dibanding Stasiun Cirebon milik Staaspoorwegen. Bangunan ini kini menjadi Stasiun Cirebon Prujakan.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Kendati pembuatan jalur kereta di Pantura Jawa belum mendapat perhatian, namun sudah ada pihak-pihak yang tertarik untuk menggarap jalur tersebut setelah perusahaan kereta swasta NISM mulai dapat memperoleh keuntungan. Misalnya P.F.W Pels dan B.V. de Jong yang mengajukan konsesi jalur kereta dari Anyer hingga Semarang walau mereka tiba-tiba memilih mundur karena besarnya modal yang dikeluarkan untuk mewujudkan rencana tersebut. Pada tahun 1882, konsesi pembangunan jalur kereta Cirebon-Semarang jatuh kepada Ruyl dan Van Daalen meskipun mereka tidak langsung segera menggarapnya. Selanjutnya pada 1 Oktober 1883, konsesi jalur kereta Batavia-Bekasi diberikan kepada H.J. Meertens dan perusahaan Tiedeman en Van Kerchem yang disertai pembentukan Bataavia Ooster Spoorweg Mij. (BOS) untuk mengoperasikan jalur tersebut. Perusahaan tersebut berhasil membuka jalur kereta Batavia-Bekasi pada 31 Maret 1887 sebagai cikal jalur kereta di Pantura. Perusahaan tersebut tentu hendak meneruskan jalurnya hingga ke Cirebon. Hal tersebut terlihat dari upaya BOS untuk menambah jaringan kereta ke Kedunggede yang dibuka pada 21 Juni 1891. Sayangnya BOS sendiri rupanya belum bisa melanjutkan pembangunannya sampai ke Cirebon karena terganjal persoalan jaminan bunga  dari pemerintah sehingga untuk sementara waktu belum ada kereta yang akan sampai di Cirebon (Rietsma, 1912 : 3-4).



Dokumentasi Stasiun Cirebon dalam buku peringatan 50 tahun Staatspoorwegen.

Stasiun Cirebon pada tahun 1930-an. Terlihat mobil-mobil taksi di depan stasiun yang sedang menunggu penumpang.(Sumber : https://data.collectienederland.nl/)

Pada 1893, Menteri Kolonial, W.K. Baron van Dedem merancang Algemeen Spoorwegplan voor Java atau Rencana Umum Kereta Api untuk JawaDalam rencana tersebut, jalur kereta Kedunggede-Cirebon ditetapkan sebagai jalur trem lebar 1067 mm. Tujuannya supaya rangkaian kereta milik SS dapat melintasi jalur tersebut karena SS menggunakan lebar rel yang sama dengan lebar kereta trem milik maskapai swasta (Rietsma, 1912: 12). Pemerintah mulai serius menggarap jalur kereta di Pantura dengan dibelinya BOS pada 1898. Pembangunan jalur kereta Pantura yang semula hanya sampai di Karawang diteruskan ke arah Bandung pada tahun 1900 dan mulai beroperasi pada 1902. Kendati kereta Staaspoorwegen belum menjangkau Cirebon, namun kereta api berhasil menembus Cirebon setelah dibukanya jalur kereta Cirebon-Sindanglaut pada 1 Mei 1897. Jalur kereta tersebut merupakan bagian dari jaringan kereta milik perusahaan swasta Samarang-Cheribon Stoomtram Mij. Perusahaan tersebut bahkan meneruskan pembangunannya hingga ke Kadipaten mengingat di sana terdapat sejumlah pabrik gula. Jalur kereta sendiri Cirebon-Kadipaten dibuka pada 29 Desember 1901 (Anonim, 1907 : 43).

Stasiun Cirebon pada tahun 1914 dilihat dari sisi peron.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Emplasemen Stasiun Cirebon pada tahun 1914. Terlihat bantalan kereta yang dipersiapkan untuk pembangunan jalur kereta Cirebon-Kroya.(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Berselang enam tahun sesudah dibukanya jalur Cirebon-Kadipaten, Staaspoorwegen telah menyelesaikan draft rancangan jalur kereta Cikampek-Cirebon. Pembangunannya disahkan secara legal lewat Staatsblad No. 477 tanggal 14 Juli 1909. Selama pelaksanaan, insinyur  J. van der Waerden mengawasi proyek jalur kereta sepanjang 137 km tersebut. Pada bulan Mei 1912, pembangunan jalur kereta Cikampek-Cirebon mengalami kemajuan yang pesat dan pekerjaan yang tersisa tinggal pemasangan peralatan perkeretapian di stasiun. Rasa pesimis dari pihak-pihak yang menganggap jalur tersebut baru dapat beroperasi pada 1 Agustus 1912 akhirnya terhapus. (Het Nieuws van den dag Voor N.I. 2 September 1912). 


Fasad bangunan Stasiun Cirebon. Pada bagian tulisan "Cirebon", dahulu terdapat tulisan "Kaartjes" dan "Bagatie".

Mari sejenak kita membayangkan diri kita kembali pada tanggal 2 Juni 1912, ketika kereta yang membawa Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg dan pengiringnya tiba di Stasiun Cirebon sekitar pukul sepuluh pagi. Di peron tersebut, telah menunggu sejumlah tokoh penting Cirebon seperti Residen Cirebon, Van Den Moore, Bupati Indramayu, Bupati Cirebon, Kapitan-kapitan Tionghoa, pejabat-pejabat sipil, perwakilan dari Samarang-Cheribon Stoomtram Mij, dan pengusaha-pengusaha swasta di Cirebon. Kereta tersebut dengan kecepatan pelan meneruskan perjalanannya ke pelabuhan dan baru kembali ke stasiun Cirebon pada tengah hari. Jamuan makan siang diadakan di stasiun, dimana tamu undangan menikmati hidangan dari Batavia Stam en Weijns. Mereka duduk di meja panjang, dihiasi dengan mewah, dan Gubernur Jenderal menempati kursi kehormatan di ujung meja. Sementara itu, pertunjukan wayang digelar di area stasiun dari jam sepuluh hingga dua belas siang. Selain wayang, masih ada sejumlah permainan dan tidak ketinggalan pula upacara slametan yang selalu diadakan setiap kegiatan peresemian-peresmian. Rangkaian upacara dan kemeriahan tersebut adalah penanda dibukanya jalur Cirebon-Cikampek yang mulai beroperasi keesokan harinya pada 3 Juni 1912. Meskipun jalur Cikampek-Cirebon sudah beroperasi, bangunan Stasiun Cirebon masih belum seutuhnya selesai. Pembangunan Stasiun Cirebon setidaknya baru selesai sekitar bulan Agustus (De expres 21 Mei 1912).

Plafon stasiun Cirebon.
Kaca patri stasiun Cirebon.

Dari mulai beroperasi hingga hari ini, arsitektur Stasiun Cirebon masih membuat orang terkesima dengan gaya bangunannya yang tampil elegan dan menjadi salah satu permata arsitektur kota Cirebon. Bangunan Stasiun Cirebon merupakan karya arsitektur yang patut untuk diapresiasi.  Sosok yang bertanggungjawab dalam rancangan stasiun Cirebon adalah P.A.J. Moojen. Pada masanya, ia adalah salah satu arsitek yang berusaha membuat pembaharuan arsitektur di Hindia-Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tampilan bangunan Stasiun Cirebon seakaan berusaha melepaskan diri dari pengaruh arsitektur stasiun-stasiun milik SS di tempat lainnya yang cenderung mengikuti gaya arsitektur neoklasik. Sekitar awal abad ke-20, arsitek-arsitek di Eropa memulai pembaharuan dalam arsitektur, salah satunya adalah Berlage dan semangat Berlage diteruskan oleh Moojen di Hindia-Belanda. Dalam perancangan Stasiun Cirebon, Moojen dibantu arsitek lainnya bernama George Elenbaas (Bataviaasch nieuwsblad, 18 April 1912). Sejumlah kelengkapan perkeretaapian juga didirikan di sekitar Stasiun Cirebon seperti depo, turntable atau meja pemutar lokomotif, dan perumahan pegawai stasiun.


Perbandingan interior Stasiun Cirebon dulu dan sekarang.

Pembangunan jalur Cirebon-Kroya masih diteruskan oleh Staatspoorwegen. Jalur Cirebon-Margasari dibuka pada 1 Juli 1916 dan Cirebon akhirnya tersambung dengan Kroya pada 1 Januari 1917 dengan dibukanya jalur Margasari-Patuguran. Mulai saat itu, terciptalah jalur kereta yang berkesinambungan antara Cirebon dan kota-kota lain yang dilewati oleh jalur SS seperti Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, hingga Surabaya. Selain Cirebon, kota-kota lain di sepanjang pantura Jawa Tengah seperti Tegal, Pekalongan, hingga Semarang juga diuntungkan dengan jalur tersebut karena jalur kereta yang melewati kota tersebut secara otomatis juga tersambung dengan jalur kereta menuju ibukota Hindia-Belanda dan kota-kota lain di Jawa bagian barat meskipun penumpang harus berganti kereta terlebih dahulu di Cirebon sebelum meneruskan perjalanannya. Kereta malam saat itu belum ada sehingga penumpang kereta yang transit di Cirebon harus mencari penginapan. Mengingat jauhnya jarak Stasiun Cirebon yang baru dengan pusat kota Cirebon, maka Hotel Wilhelmina memindahkan hotelnya dekat Stasiun Cirebon pada 1 Mei 1914, yang mulanya hotel tersebut berlokasi di utara alun-alun. Harapannya adalah para penumpang tidak perlu berjalan jauh jika ingin mencari penginapan. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 14 April 1914)


Peron Stasiun Cirebon.

Stasiun Cirebon menjadi tempat turunnya tamu-tamu penting yang melakukan kunjungan kenegaraan di Cirebon. Sejumlah Landvoogd atau Gubernur Jenderal Hindia-Belanda menjadikan stasiun ini sebagai tempat pemberhentian saat berkunjung ke Cirebon dan di stasiun ini juga mereka menaiki kereta untuk kembali ke Batavia atau melanjutkan perjalanan ke tempat lainnya. Sewaktu Perundingan Linggarjati diadakan pada tahun 1946, Presiden Soekarno turun di stasiun ini sebelum beliau meneruskan perjalanan ke Desa Linggarjati yang berada di kaki Gunung Ciremai untuk mengikuti jalannya perundingan (De waarheid 11 November 1946). Hingga hari ini, deru suara kereta masih menggema di Stasiun Cirebon. Sekalipun mungkin sudah tidak ada lagi tamu-tamu penting yang turun di sini, namun stasiun ini akan tetap terasa penting perannya untuk Cirebon.

Referensi

Anonim. 1907.Gedenkboek Samengesteld Ter Gelegenheid Van Het Vijf en twintig-jarig Bestaan Der Samarang Joana Maatschappij. 'S-Gravenhage : Kon. Ned. Boek- En Kunsthandel Van M.M. Couvee

Rietsma, S.E. 1912. Bij Opening Cheribon Tjikampek Lijn. Soerabaiasch Handelsblad.

Bataviaasch nieuwsblad, 18 April 1912

De expres 21 Mei 1912

De waarheid 11 November 1946

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 14 April 1914

Kamis, 17 Oktober 2024

Sekeping Masa Lampau dari Lautan Makam Kerkhof Kembang Kuning

Kembang Kuning hari ini laksana lautan makam yang begitu padat, nyaris tidak tersisa sejengkal tanah terbuka di pemakaman tersebut. Ketiadaan pohon-pohon perindang menjadikan sinar matahari begitu leluasa menyengat sehingga suasana pemakaman tersebut luar biasa teriknya. Tidak hanya sinar matahari, orang-orang tampaknya juga terlihat bebasnya melewati jalanan pemakaman.

Bangunan gerbang dan pendapa Kerkhof Kembang Kuning
(Sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).
Bangunan Gerbang Kerkhof Kembang Kuning saat ini yang menjadi bagian dari Puskesmas Pakis.

Tampak luar bangunan Puskesmas Pakis Surabaya tidak terlihat seperti bangunan puskesmas pada umumnya. Hal yang membuatnya berbeda dari puskesmas lainnya adalah bahwa bagian depan puskesmas tersebut memanfaatkan pendapa yang dahulu digunakan sebagai tempat untuk memberikan upacara pelepasan kepada jenazah sebelum dimakamkan. Barangkali tidak setiap pengunjung puskesmas menyangka jika tempat parkir di depan puskesmas tersebut dahulunya adalah tempat menurunkan jenazah dari mobil jenazah. Di dekat Puskesmas tersebut, memang terdapat sebuah pemakaman yang sudah dibuka sejak zaman Belanda, Algemeene Begraafplaats Kembang Koening, atau Pemakaman Umum Kembang Kuning.

Suasana jalan masuk ke pemakaman Kembang Kuning pada tahun 1930-an (Sumber : data.collectienederland.nl)

Suasana pemakaman seorang anggota militer Belanda pada tahun 1946. Terlihat suasana pemakaman Kembang Kuning yang masih rindang oleh pepohonan (Sumber : beeldbank.nimh.nl).

Sebelum Pemakaman Kembang Kuning dibuka, satu-satunya pemakaman resmi untuk orang Eropa di Surabaya adalah kerkhof Peneleh yang sudah digunakan sejak tahun 1850. Seiring berjalannya waktu, lahan kosong di Kerkhof Peneleh mulai menyempit dengan dibangunnya makam-makam baru. Persoalan tersebut sudah diketahui oleh gemeente atau pemerintah kotamadya Surabaya yang mulai dibentuk pada tahun 1906. Nyaris tidak ada pilihan untuk tempat penguburan lainnya di Surabaya. Kerkhof tua di Krembangan sudah lama tidak dipakai karena tempatnya dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk kegiatan pemakaman. Sementara pemakaman Eropa di Semarung ternyata digunakan juga untuk pemakaman orang pribumi sehingga orang-orang Eropa enggan mengubur jenazah keluarganya di sana. Kondisi ini mendorong gemeente Surabaya untuk segera mencari dan membuka lahan pemakaman baru (Faber, 1934: 186).

Suasana Kerkhof Kembang Kuning tempo dulu. Terlihat suasana kerkhof masih rindang dengan deretan pohon-pohon cemara (sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).

Pemandangan udara Kerkhof Kembang Kuning dilihat dari sebelah barat. Terlihat deretan pohon yang ditanam rapi di sepanjang jalanan pemakaman.
(sumber : data.collectienederland.nl).

Tidak sembarang tempat dijadikan sebagai lokasi pemakaman yang ideal. Merujuk G.J. De Bruijn dalam "Indische Bouwhijgenie Deel I" (1927), lokasi pemakaman yang berada di luar kota dimaksudkan supaya keberadaan Kerkhof tidak akan menghambat perluasan kota. Hal lain yang harus diperhatikan adalah pemakaman tersebut mudah terjangkau dan jalan di sepanjang pemakaman harus terpelihara dengan baik. Jalan yang melewati pemakaman hanya dibatasi untuk kegiatan pemakaman saja sehingga tidak dilewati orang secara leluasa. Komposisi tanah pemakaman tersebut juga harus mudah digali dan jika digali tidak keluar mata air. Drainase di sekitar lokasi pemakaman juga harus dipastikan lancar agar tanah pemakaman tidak terendam banjir.

Kerkhof Kembang Kuning (dalam tulisan EUROP. KERKHOF KEMBANGKOENING) pada peta kota Surabaya tahun 1933. Terlihat posisi kerkhof yang masih berada di pinggiran kota Surabaya.

Foto keluarga Karel J. Eysma dan Lucia G. Scheffer.
Bangunan yang dahulu digunakan sebagai rumah dan kantor pengurus Kerkhof Kembang Kuning.

Pemerintah gemeente Surabaya awalnya menyiapkan tanah di Gubengjepit seluas 50 bouw sebagai lokasi pemakaman yang baru. Namun tanah yang dibeli pemerintah pada tahun 1909 tersebut batal digunakan untuk pemakaman karena drainasenya buruk dan posisi tanahnya yang terlalu cekung dapat menyebabkan banjir sehingga tidak ideal untuk pemakaman. Pencarian lahan kembali dilakukan dan akhirnya lahan untuk cikal pemakaman Eropa diperoleh di Kembang Kuning. Lahan tersebut memiliki luas sekitar 150.000 m2 dan dibeli dengan harga sebesar 0,20 per m2. Sesudah pembelian, lahan pemakaman segera digarap sehingga makam siap digunakan pada tahun 1916. Pembukaan Kerkhof Kembang Kuning menghabiskan biaya sebesar 100.000 gulden (Faber, 1934: 187).

Bangunan untuk mensucikan jenazah orang Yahudi.

Konsep pengelolaan makam Kembang Kuning pada masa kolonial mirip seperti mengelola real estate modern. Sebagaimana perumahan real estate yang dibagi menjadi klaster, lahan kerkhof Kembang Kuning dipecah menjadi empat klaster – umum, Protestan, Katolik, dan Yahudi. Masing-masing klaster tersebut kemudian dibagi lagi menjadi empat kelas sesuai dengan posisi kedekatan dengan jalan. Tiga kelas pertama yang dekat dengan jalan dipungut biaya untuk membeli atau menyewa petak makam. Biaya tersebut tidak termasuk biaya untuk menguburkan jenazah dan pemasangan monumen yang akan dikenai biaya tersendiri. Sementara kelas terakhir yang letaknya paling jauh dari jalan tidak dipungut biaya (Faber, 1934: 187). Di dekat pemakaman kluster Yahudi, kita dapat menjumpai sebuah bangunan dengan simbol bintang Daud, simbol orang Yahudi. Bangunan tersebut dahulunya merupakan tempat orang Yahudi melakukan pembersihan jenazah sebelum dimakamkan. Baik dalam agama Yahudi dan Islam, terdapat kebiasaan untuk menyucikan jenazah sebelum dimakamkan, bahkan kebiasaan tersebut memiliki nama yang sama baik dalam bahasa Ibrani maupun Arab, yakni taharah.

Makam Walikota Surabaya, G. J. Dijkerman.

G. J. Dijkerman dalam buku "Nieuwe Soerabaja" (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 97)

Sebuah monumen berdiri termangu di tengah-tengah persimpangan jalan pemakaman. Monumen tersebut dikelilingi oleh sebidang tanah terbuka yang lapang, tidak seperti makam-makam lain di Kembang Kuning yang berhimpitan satu sama lain. Mulus, polos, dan lugas. Begitulah kesan saya saat melihat monumen tersebut untuk pertama kalinya. Monumen tersebut memang tidak banyak hiasan. Satu-satunya hiasan yang ada di monumen tersebut hanyalah sebuah patung malaikat. Itupun bukan patung yang asli karena jika dibandingkan dengan foto lamanya, monumen tersebut aslinya tidak memiliki patung. Pada monumen tersebut, tergurat kalimat berbahasa Belanda “AAN DE NAGEDACHTENIS VAN BURGEMEESTER G.J. DYKERMAN DE SOERABAIASCHE BURGERY”. Kalimat tersebut menjadi penanda bahwa monumen tersebut merupakan makam walikota Surabaya tempo dulu, G.J. Dykerman. Bagaimanakah kiprah Dykerman semasa hidupnya ? Lahir pada 22 Januari 1885, Dykerman merintis karir sebagai insinyur. Pernah ia menjabat sebagai kepala pengairan Afdeeling Brantas pada tahun 1917 dan setahun berikutnya ia diangkat sebagai direktur pelabuhan Surabaya. Puncak karir Dijkerman adalah saat diangkat sebagai walikota Surabaya pada 23 Oktober 1920. Pada tahun 1929, Dijkerman meninggal dunia sebelum menjalani operasi usus buntu. Jenazah Dijkerman dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning  dan makamnya diletakkan di tempat yang begitu strategis, yakni persis di tengah-tengah pemakaman (De Locomotief 28 Januari 1929). 

Tampak makam G.J. Dijkerman tempo dulu. (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 187)

Untuk mengenang sosok Dijkerman, maka sejumlah orang Belanda di Surabaya memberikan persembahan berupa sebuah monumen di atas pusara Dijkerman. Keseluruhan monumen yang dirancang oleh Cosmas Citroen tersebut dibuat dari marmer Cararra yang mengkilap dan ditaruh di tempat yang sangat strategis, yakni di tengah kerkhof Kembang Kuning. Aslinya monumen tersebut pernah dilengkapi lempengan perunggu yang dibuat oleh pematung Poschacher dan dicetak oleh perusahaan Begeer, Van Kempen en Vos yang menggambarkan wajah Dykerman (De Indische courant, 12 Desember 1930). Sayangnya lempengan tersebut dan bejana marmer yang ada di depan makam saat ini sudah tidak berada lagi di tempatnya.

Makam  T.B.A. Faubel.
T. B. A. Faubel, walikota Surabaya periode interim 1921-1922 (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 194).

Di Kerkhof Kembang Kuning, kita juga masih dapat melacak jejak tokoh terpandang Surabaya pada masa kolonial. Salah satunya adalah Theodor Bastian August Faubel. Nama Faubel saat ini memang tidak lagi dikenal banyak orang padahal ia termasuk tokoh terpandang semasa hidupnya. Faubel lahir di Den Haag pada 17 Maret 1874 dan tiba di Hindia-Belanda pada 1895 sebagai karyawan De Javasche Bank. Faubel kemudian bekerja di pabrik spirittus Grudo sebelum ia mendirikan pabrik spiritus miliknya sendiri bernama “Spiritusfabriek Brantas”. Faubel juga merangkap jabatan sebagai konsul Belgia dan Italia di Surabaya. Faubel selanjutnya bergabung dengan dewan kotapraja Surabaya dan bahkan sempat ditunjuk mengisi kursi walikota Surabaya pada tahun 1921 yang kosong setelah walikota Dijkerman pergi menjalani cuti. Sekembalinya Dijkerman pada tahun 1922, Faubel menjabat sebagai wakil walikota Surabaya. Tiga tahun berselang, Faubel meninggal dunia di rumahnya di Ketabang. Padahal saat itu Faubel telah menghimpun banyak data sejarah kota Surabaya dan ia sedang bersiap menyusun buku sejarah Surabaya. Pekerjaan Faubel akhirnya diteruskan oleh G.H. Von Faber yang juga dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning (De Indische Courant 2 Maret 1925). 

Makam Cosman Citroen.

C. Citroen (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 99)

Selain Dijkerman, tokoh Surabaya lain yang dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning adalah  Cosman Citroen. Bagi orang yang mendalami sejarah arsitektur, khususnya arsitektur masa kolonial di Indonesia, nama Citroen termasuk nama besar dalam sejarah arsitektur. Lahir di Amsterdam pada tahun 1881, Citroen mulai menetap di Surabaya pada tahun 1915. Semenjak di Surabaya, Citroen diberi berbagai proyek dari gemeenteraad Surabaya untuk merancang bangunan-bangunan penting. Banyak karyanya di Surabaya yang masih dapat dilihat sampai sekarang seperti gedung Balaikota Surabaya, kompleks Rumah Sakit Darmo, Jembatan Gubeng, dan lain sebagainya. Citroen meninggal di Surabaya pada 15 Mei 1935 dan dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning. Makamnya jauh dari kesan megah layaknya bangunan-bangunan yang ia rancang semasa hidupnya dan bahkan sempat tidak terurus. Beruntung makam Citroen saat ini sudah dapat kembali dipugar dan menjadi monumen pengingat sosok yang membentuk wajah kota Surabaya modern pada masa lampau.

Monume korban kecelakaan pesawat D26 dan patung pilot yang menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning.

Tidak jauh dari jalan yang melintang di tengah area pemakaman, tampak sebuah makam dengan sebuah patung berwujud seorang penerbang yang duduk termangu di atas sebuah bangku. Makam tersebut dibuat untuk mengenang korban kecelakaan pesawat yang terjadi pada 14 April 1932. Saat itu, pesawat  Dornier D26 milik Marine Luchtvaart Dienst lepas landas dari pangkalan udara Morokrembangan untuk menjalani tugas latihan penerbangan malam. Saat pesawat hendak mendarat kembali, pesawat  tiba-tiba menukik tajam ke bawah dan menghujam ke perairan. Pesawat seketika meledak dan terbakar. Tidak ada yang selamat dalam peristiwa nahas tersebut kendati kapal-kapal patroli sudah dikerahkan memberi bantuan. Mereka yang gugur adalah Cornelis Wilhelmus Christiani, Valentin Jan Leder, Lambertus Jetten dan Marthin Malo Pangandaheng (De Koerier 16 April 1932). Rekan-rekan mereka yang masih hidup akhirnya mendirikan sebuah monumen kehormatan di Kembang Kuning sebagai ekspresi jiwa korsa dan penghargaan kepada mereka yang telah menunaikan tugas pengabdian hingga akhir hayatnya. 

Gambar sketsa monumen yang dibuat oleh Backer dan dimuat dalam De Indische Courant 10 Mei 1932.
Kondisi monumen pada tahun 1938 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Desain monumen korban kecelakaan Dornier D26 dirancang oleh J.W.T. Backer, pilot Marine Luchtvaart. Sekitar akhir bulan Juni 1932, monumen selesai dibuat dan diresmikan secara sederhana. Monumen terdiri dari granit abu-abu, prasasti dari marmer keabu-abuan, dan patung dari marmer. Patung tersebut dibuat menyerupai sosok penerbang angkatan laut Hindia-Belanda lengkap dengan kostum pilot dan topi penerbang yang menutupi kepala. Sosok patung dibuat dalam ekspresi muram, dimana patung dibuat seperti seorang pilot yang sedang duduk termenung sedih dengan kepala tertunduk dan tangan kiri yang terkulai ke bawah (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932). Belakangan, patung tersebut akhirnya menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning. Sayangnya orang lebih mengenal makam tersebut dengan cerita supranatural yang menyelubungi makam tersebut daripada sejarah sesungguhnya dari makam tersebut. Selain itu, hal yang patut disayangkan adalah prasasti yang ada di atas makam tersebut juga sudah tidak ada sehingga menghilangkan konteks sejarah dari makam tersebut.

Makam korban kecelakaan pesawat Fokker T13. (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Selain monumen korban kecelakaan pesawat Dornier D26, di Kerkhof Kembang Kuning dahulu juga terdapat monumen peringatan untuk korban kecelakaan pesawat Fokker T13. Rancangan monumen tersebut mengikuti desain yang dipilih sendiri oleh Panglima Angkatan Laut Hindia-Belanda, A.C. Van Sande Lacoste. Bahan monumen terbuat dari marmer dari perusahaan “Carrara”, termasuk prasasti yang memuat nama dan pangkat terakhir mereka saat meninggal dalam kecelakaan yang terjadi pada 12 Oktober 1937. Mereka yang gugur dalam peristiwa tersebut antara lain H.G. de Bruyne, M.Vethake, H. Uurbanus, P. Spronk, F. H. Plevier,  H. J. Rute dan A. A. Goedhart, G. J. Zuyderhoudt dan E. J. S. de Groot. Monumen tersebut diresmikan pada tahun 1938 dan dihadiri oleh para perwira tinggi angkatan laut Hindia-Belanda (De Indische courant 16 Agustus 1938). Sayangnya, saya sejauh ini belum dapat mengetahui di sebelah manakah keberadaan monumen tersebut. Foto-foto yang diperoleh dari “Nederland Instituut voor Militaire Historie” juga tidak dapat memberi banyak petunjuk soal letak makam tersebut.


Makam-makam lama di Kerkhof Kembang Kuning.

Hingga hari ini, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai tempat penguburan. Seiring dengan kepergian orang-orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1950-an, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai kegiatan pemakaman dan kali ini penggunanya merupakan masyarakat keturunan Tionghoa yang saat itu sudah banyak menganut agama Kristen. Di bagian lain Kerkhof Kembang Kuning, terhampar area pemakaman yang diperuntukkan sebagai makam kehormatan tentara korban Perang Dunia Kedua dan Perang Kemerdekaan dari pihak Belanda. Pemakaman tersebut kini dikenal sebagai Ereveld Kembang Kuning yang tertata dan terawat dengan begitu rapi nan bersih.

Pintu gerbang Ereveld Kembang Kuning saat pertama dibuka pada tahun 1947 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Hari ini, makam-makam orang Belanda berkelindan di antara makam-makam orang Tionghoa yang boleh dikatakan jumlahnya sudah melebihi jumlah makam lama. Bagi orang yang hendak menelusuri makam orang-orang Belanda di Kerkhof Kembang Kuning, menjadi suatu tantangan tersendiri untuk menemukan makam-makam orang Belanda di Kembang Kuning, terlebih bentuk-bentuk makam Eropa di Kerkhof Kembang Kuning sudah relatif modern sehingga sulit untuk membedakan antara makam lama dan makam baru kecuali dengan melihat tulisan prasastinya. Jika mau menelisik lebih mendalam, boleh jadi kita masih dapat menemukan makam-makam kuno di sana yang akan membantu kita dalam menyusun kepingan-kepingan sejarah Surabaya yang terlupakan.

Referensi

De Bruijn, G.K. 1927. Indische Bouwhygenie Deel I. Weltevreden : Landsdrukkerij.

Faber, G. H. 1934. Nieuwe Soerabaja ; De Geschiedenis Van Indie Voornaamste Koopstad in De Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931.  Surabaya : N.V. Boekhandel en Drukkerij H. Van Ingen.

De Locomotief 28 Januari 1929

De Indische Courant 2 Maret 1925

De Koerier 16 April 1932

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932

De Indische courant 16 Agustus 1938