Kamis, 17 Oktober 2024

Sekeping Masa Lampau dari Lautan Makam Kerkhof Kembang Kuning

Kembang Kuning hari ini laksana lautan makam yang begitu padat, nyaris tidak tersisa sejengkal tanah terbuka di pemakaman tersebut. Ketiadaan pohon-pohon perindang menjadikan sinar matahari begitu leluasa menyengat sehingga suasana pemakaman tersebut luar biasa teriknya. Tidak hanya sinar matahari, orang-orang tampaknya juga terlihat bebasnya melewati jalanan pemakaman.

Bangunan gerbang dan pendapa Kerkhof Kembang Kuning
(Sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).
Bangunan Gerbang Kerkhof Kembang Kuning saat ini yang menjadi bagian dari Puskesmas Pakis.

Tampak luar bangunan Puskesmas Pakis Surabaya tidak terlihat seperti bangunan puskesmas pada umumnya. Hal yang membuatnya berbeda dari puskesmas lainnya adalah bahwa bagian depan puskesmas tersebut memanfaatkan pendapa yang dahulu digunakan sebagai tempat untuk memberikan upacara pelepasan kepada jenazah sebelum dimakamkan. Barangkali tidak setiap pengunjung puskesmas menyangka jika tempat parkir di depan puskesmas tersebut dahulunya adalah tempat menurunkan jenazah dari mobil jenazah. Di dekat Puskesmas tersebut, memang terdapat sebuah pemakaman yang sudah dibuka sejak zaman Belanda, Algemeene Begraafplaats Kembang Koening, atau Pemakaman Umum Kembang Kuning.

Suasana jalan masuk ke pemakaman Kembang Kuning pada tahun 1930-an (Sumber : data.collectienederland.nl)

Suasana pemakaman seorang anggota militer Belanda pada tahun 1946. Terlihat suasana pemakaman Kembang Kuning yang masih rindang oleh pepohonan (Sumber : beeldbank.nimh.nl).

Sebelum Pemakaman Kembang Kuning dibuka, satu-satunya pemakaman resmi untuk orang Eropa di Surabaya adalah kerkhof Peneleh yang sudah digunakan sejak tahun 1850. Seiring berjalannya waktu, lahan kosong di Kerkhof Peneleh mulai menyempit dengan dibangunnya makam-makam baru. Persoalan tersebut sudah diketahui oleh gemeente atau pemerintah kotamadya Surabaya yang mulai dibentuk pada tahun 1906. Nyaris tidak ada pilihan untuk tempat penguburan lainnya di Surabaya. Kerkhof tua di Krembangan sudah lama tidak dipakai karena tempatnya dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk kegiatan pemakaman. Sementara pemakaman Eropa di Semarung ternyata digunakan juga untuk pemakaman orang pribumi sehingga orang-orang Eropa enggan mengubur jenazah keluarganya di sana. Kondisi ini mendorong gemeente Surabaya untuk segera mencari dan membuka lahan pemakaman baru (Faber, 1934: 186).

Suasana Kerkhof Kembang Kuning tempo dulu. Terlihat suasana kerkhof masih rindang dengan deretan pohon-pohon cemara (sumber : Nieuwe Soerabaja: 187).

Pemandangan udara Kerkhof Kembang Kuning dilihat dari sebelah barat. Terlihat deretan pohon yang ditanam rapi di sepanjang jalanan pemakaman.
(sumber : data.collectienederland.nl).

Tidak sembarang tempat dijadikan sebagai lokasi pemakaman yang ideal. Merujuk G.J. De Bruijn dalam "Indische Bouwhijgenie Deel I" (1927), lokasi pemakaman yang berada di luar kota dimaksudkan supaya keberadaan Kerkhof tidak akan menghambat perluasan kota. Hal lain yang harus diperhatikan adalah pemakaman tersebut mudah terjangkau dan jalan di sepanjang pemakaman harus terpelihara dengan baik. Jalan yang melewati pemakaman hanya dibatasi untuk kegiatan pemakaman saja sehingga tidak dilewati orang secara leluasa. Komposisi tanah pemakaman tersebut juga harus mudah digali dan jika digali tidak keluar mata air. Drainase di sekitar lokasi pemakaman juga harus dipastikan lancar agar tanah pemakaman tidak terendam banjir.

Kerkhof Kembang Kuning (dalam tulisan EUROP. KERKHOF KEMBANGKOENING) pada peta kota Surabaya tahun 1933. Terlihat posisi kerkhof yang masih berada di pinggiran kota Surabaya.

Foto keluarga Karel J. Eysma dan Lucia G. Scheffer.
Bangunan yang dahulu digunakan sebagai rumah dan kantor pengurus Kerkhof Kembang Kuning.

Pemerintah gemeente Surabaya awalnya menyiapkan tanah di Gubengjepit seluas 50 bouw sebagai lokasi pemakaman yang baru. Namun tanah yang dibeli pemerintah pada tahun 1909 tersebut batal digunakan untuk pemakaman karena drainasenya buruk dan posisi tanahnya yang terlalu cekung dapat menyebabkan banjir sehingga tidak ideal untuk pemakaman. Pencarian lahan kembali dilakukan dan akhirnya lahan untuk cikal pemakaman Eropa diperoleh di Kembang Kuning. Lahan tersebut memiliki luas sekitar 150.000 m2 dan dibeli dengan harga sebesar 0,20 per m2. Sesudah pembelian, lahan pemakaman segera digarap sehingga makam siap digunakan pada tahun 1916. Pembukaan Kerkhof Kembang Kuning menghabiskan biaya sebesar 100.000 gulden (Faber, 1934: 187).

Bangunan untuk mensucikan jenazah orang Yahudi.

Konsep pengelolaan makam Kembang Kuning pada masa kolonial mirip seperti mengelola real estate modern. Sebagaimana perumahan real estate yang dibagi menjadi klaster, lahan kerkhof Kembang Kuning dipecah menjadi empat klaster – umum, Protestan, Katolik, dan Yahudi. Masing-masing klaster tersebut kemudian dibagi lagi menjadi empat kelas sesuai dengan posisi kedekatan dengan jalan. Tiga kelas pertama yang dekat dengan jalan dipungut biaya untuk membeli atau menyewa petak makam. Biaya tersebut tidak termasuk biaya untuk menguburkan jenazah dan pemasangan monumen yang akan dikenai biaya tersendiri. Sementara kelas terakhir yang letaknya paling jauh dari jalan tidak dipungut biaya (Faber, 1934: 187). Di dekat pemakaman kluster Yahudi, kita dapat menjumpai sebuah bangunan dengan simbol bintang Daud, simbol orang Yahudi. Bangunan tersebut dahulunya merupakan tempat orang Yahudi melakukan pembersihan jenazah sebelum dimakamkan. Baik dalam agama Yahudi dan Islam, terdapat kebiasaan untuk menyucikan jenazah sebelum dimakamkan, bahkan kebiasaan tersebut memiliki nama yang sama baik dalam bahasa Ibrani maupun Arab, yakni taharah.

Makam Walikota Surabaya, G. J. Dijkerman.

G. J. Dijkerman dalam buku "Nieuwe Soerabaja" (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 97)

Sebuah monumen berdiri termangu di tengah-tengah persimpangan jalan pemakaman. Monumen tersebut dikelilingi oleh sebidang tanah terbuka yang lapang, tidak seperti makam-makam lain di Kembang Kuning yang berhimpitan satu sama lain. Mulus, polos, dan lugas. Begitulah kesan saya saat melihat monumen tersebut untuk pertama kalinya. Monumen tersebut memang tidak banyak hiasan. Satu-satunya hiasan yang ada di monumen tersebut hanyalah sebuah patung malaikat. Itupun bukan patung yang asli karena jika dibandingkan dengan foto lamanya, monumen tersebut aslinya tidak memiliki patung. Pada monumen tersebut, tergurat kalimat berbahasa Belanda “AAN DE NAGEDACHTENIS VAN BURGEMEESTER G.J. DYKERMAN DE SOERABAIASCHE BURGERY”. Kalimat tersebut menjadi penanda bahwa monumen tersebut merupakan makam walikota Surabaya tempo dulu, G.J. Dykerman. Bagaimanakah kiprah Dykerman semasa hidupnya ? Lahir pada 22 Januari 1885, Dykerman merintis karir sebagai insinyur. Pernah ia menjabat sebagai kepala pengairan Afdeeling Brantas pada tahun 1917 dan setahun berikutnya ia diangkat sebagai direktur pelabuhan Surabaya. Puncak karir Dijkerman adalah saat diangkat sebagai walikota Surabaya pada 23 Oktober 1920. Pada tahun 1929, Dijkerman meninggal dunia sebelum menjalani operasi usus buntu. Jenazah Dijkerman dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning  dan makamnya diletakkan di tempat yang begitu strategis, yakni persis di tengah-tengah pemakaman (De Locomotief 28 Januari 1929). 

Tampak makam G.J. Dijkerman tempo dulu. (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 187)

Untuk mengenang sosok Dijkerman, maka sejumlah orang Belanda di Surabaya memberikan persembahan berupa sebuah monumen di atas pusara Dijkerman. Keseluruhan monumen yang dirancang oleh Cosmas Citroen tersebut dibuat dari marmer Cararra yang mengkilap dan ditaruh di tempat yang sangat strategis, yakni di tengah kerkhof Kembang Kuning. Aslinya monumen tersebut pernah dilengkapi lempengan perunggu yang dibuat oleh pematung Poschacher dan dicetak oleh perusahaan Begeer, Van Kempen en Vos yang menggambarkan wajah Dykerman (De Indische courant, 12 Desember 1930). Sayangnya lempengan tersebut dan bejana marmer yang ada di depan makam saat ini sudah tidak berada lagi di tempatnya.

Makam  T.B.A. Faubel.
T. B. A. Faubel, walikota Surabaya periode interim 1921-1922 (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 194).

Di Kerkhof Kembang Kuning, kita juga masih dapat melacak jejak tokoh terpandang Surabaya pada masa kolonial. Salah satunya adalah Theodor Bastian August Faubel. Nama Faubel saat ini memang tidak lagi dikenal banyak orang padahal ia termasuk tokoh terpandang semasa hidupnya. Faubel lahir di Den Haag pada 17 Maret 1874 dan tiba di Hindia-Belanda pada 1895 sebagai karyawan De Javasche Bank. Faubel kemudian bekerja di pabrik spirittus Grudo sebelum ia mendirikan pabrik spiritus miliknya sendiri bernama “Spiritusfabriek Brantas”. Faubel juga merangkap jabatan sebagai konsul Belgia dan Italia di Surabaya. Faubel selanjutnya bergabung dengan dewan kotapraja Surabaya dan bahkan sempat ditunjuk mengisi kursi walikota Surabaya pada tahun 1921 yang kosong setelah walikota Dijkerman pergi menjalani cuti. Sekembalinya Dijkerman pada tahun 1922, Faubel menjabat sebagai wakil walikota Surabaya. Tiga tahun berselang, Faubel meninggal dunia di rumahnya di Ketabang. Padahal saat itu Faubel telah menghimpun banyak data sejarah kota Surabaya dan ia sedang bersiap menyusun buku sejarah Surabaya. Pekerjaan Faubel akhirnya diteruskan oleh G.H. Von Faber yang juga dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning (De Indische Courant 2 Maret 1925). 

Makam Cosman Citroen.

C. Citroen (Sumber : Nieuwe Soerabaja, 99)

Selain Dijkerman, tokoh Surabaya lain yang dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning adalah  Cosman Citroen. Bagi orang yang mendalami sejarah arsitektur, khususnya arsitektur masa kolonial di Indonesia. Lahir di Amsterdam pada tahun 1881, Citroen mulai menetap di Surabaya pada tahun 1915. Semenjak di Surabaya, Citroen diberi berbagai proyek dari gemeenteraad Surabaya untuk merancang bangunan-bangunan penting. Banyak karyanya di Surabaya yang masih dapat dilihat sampai sekarang seperti gedung Balaikota Surabaya, kompleks Rumah Sakit Darmo, Jembatan Gubeng, dan lain sebagainya. Citroen meninggal di Surabaya pada 15 Mei 1935 dan dimakamkan di Kerkhof Kembang Kuning. Makamnya jauh dari kesan megah layaknya bangunan-bangunan yang ia rancang semasa hidupnya dan bahkan sempat tidak terurus. Beruntung makam Citroen saat ini sudah dapat kembali dipugar dan menjadi monumen pengingat sosok yang membentuk wajah kota Surabaya modern pada masa lampau.

Monume korban kecelakaan pesawat D26 dan patung pilot yang menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning.

Tidak jauh dari jalan yang melintang di tengah area pemakaman, tampak sebuah makam dengan sebuah patung berwujud seorang penerbang yang duduk termangu di atas sebuah bangku. Makam tersebut dibuat untuk mengenang korban kecelakaan pesawat yang terjadi pada 14 April 1932. Saat itu, pesawat  Dornier D26 milik Marine Luchtvaart Dienst lepas landas dari pangkalan udara Morokrembangan untuk menjalani tugas latihan penerbangan malam. Saat pesawat hendak mendarat kembali, pesawat  tiba-tiba menukik tajam ke bawah dan menghujam ke perairan. Pesawat seketika meledak dan terbakar. Tidak ada yang selamat dalam peristiwa nahas tersebut kendati kapal-kapal patroli sudah dikerahkan memberi bantuan. Mereka yang gugur adalah Cornelis Wilhelmus Christiani, Valentin Jan Leder, Lambertus Jetten dan Marthin Malo Pangandaheng (De Koerier 16 April 1932). Rekan-rekan mereka yang masih hidup akhirnya mendirikan sebuah monumen kehormatan di Kembang Kuning sebagai ekspresi jiwa korsa dan penghargaan kepada mereka yang telah menunaikan tugas pengabdian hingga akhir hayatnya. 

Gambar sketsa monumen yang dibuat oleh Backer dan dimuat dalam De Indische Courant 10 Mei 1932.
Kondisi monumen pada tahun 1938 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Desain monumen korban kecelakaan Dornier D26 dirancang oleh J.W.T. Backer, pilot Marine Luchtvaart. Sekitar akhir bulan Juni 1932, monumen selesai dibuat dan diresmikan secara sederhana. Monumen terdiri dari granit abu-abu, prasasti dari marmer keabu-abuan, dan patung dari marmer. Patung tersebut dibuat menyerupai sosok penerbang angkatan laut Hindia-Belanda lengkap dengan kostum pilot dan topi penerbang yang menutupi kepala. Sosok patung dibuat dalam ekspresi muram, dimana patung dibuat seperti seorang pilot yang sedang duduk termenung sedih dengan kepala tertunduk dan tangan kiri yang terkulai ke bawah (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932). Belakangan, patung tersebut akhirnya menjadi ikon Kerkhof Kembang Kuning. Sayangnya orang lebih mengenal makam tersebut dengan cerita supranatural yang menyelubungi makam tersebut daripada sejarah sesungguhnya dari makam tersebut. Selain itu, hal yang patut disayangkan adalah prasasti yang ada di atas makam tersebut juga sudah tidak ada sehingga menghilangkan konteks sejarah dari makam tersebut.

Makam korban kecelakaan pesawat Fokker T13. (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Selain monumen korban kecelakaan pesawat Dornier D26, di Kerkhof Kembang Kuning dahulu juga terdapat monumen peringatan untuk korban kecelakaan pesawat Fokker T13. Rancangan monumen tersebut mengikuti desain yang dipilih sendiri oleh Panglima Angkatan Laut Hindia-Belanda, A.C. Van Sande Lacoste. Bahan monumen terbuat dari marmer dari perusahaan “Carrara”, termasuk prasasti yang memuat nama dan pangkat terakhir mereka saat meninggal dalam kecelakaan yang terjadi pada 12 Oktober 1937. Mereka yang gugur dalam peristiwa tersebut antara lain H.G. de Bruyne, M.Vethake, H. Uurbanus, P. Spronk, F. H. Plevier,  H. J. Rute dan A. A. Goedhart, G. J. Zuyderhoudt dan E. J. S. de Groot. Monumen tersebut diresmikan pada tahun 1938 dan dihadiri oleh para perwira tinggi angkatan laut Hindia-Belanda (De Indische courant 16 Agustus 1938). Sayangnya, saya sejauh ini belum dapat mengetahui di sebelah manakah keberadaan monumen tersebut. Foto-foto yang diperoleh dari “Nederland Instituut voor Militaire Historie” juga tidak dapat memberi banyak petunjuk soal letak makam tersebut.


Makam-makam lama di Kerkhof Kembang Kuning.

Hingga hari ini, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai tempat penguburan. Seiring dengan kepergian orang-orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1950-an, Kerkhof Kembang Kuning masih digunakan sebagai kegiatan pemakaman dan kali ini penggunanya merupakan masyarakat keturunan Tionghoa yang saat itu sudah banyak menganut agama Kristen. Di bagian lain Kerkhof Kembang Kuning, terhampar area pemakaman yang diperuntukkan sebagai makam kehormatan tentara korban Perang Dunia Kedua dan Perang Kemerdekaan dari pihak Belanda. Pemakaman tersebut kini dikenal sebagai Ereveld Kembang Kuning yang tertata dan terawat dengan begitu rapi nan bersih.

Pintu gerbang Ereveld Kembang Kuning saat pertama dibuka pada tahun 1947 (Sumber : beeldbank.nimh.nl)

Hari ini, makam-makam orang Belanda berkelindan di antara makam-makam orang Tionghoa yang boleh dikatakan jumlahnya sudah melebihi jumlah makam lama. Bagi orang yang hendak menelusuri makam orang-orang Belanda di Kerkhof Kembang Kuning, menjadi suatu tantangan tersendiri untuk menemukan makam-makam orang Belanda di Kembang Kuning, terlebih bentuk-bentuk makam Eropa di Kerkhof Kembang Kuning sudah relatif modern sehingga sulit untuk membedakan antara makam lama dan makam baru kecuali dengan melihat tulisan prasastinya. Jika mau menelisik lebih mendalam, boleh jadi kita masih dapat menemukan makam-makam kuno di sana yang akan membantu kita dalam menyusun kepingan-kepingan sejarah Surabaya yang terlupakan.

Referensi

De Bruijn, G.K. 1927. Indische Bouwhygenie Deel I. Weltevreden : Landsdrukkerij.

Faber, G. H. 1934. Nieuwe Soerabaja ; De Geschiedenis Van Indie Voornaamste Koopstad in De Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931.  Surabaya : N.V. Boekhandel en Drukkerij H. Van Ingen.

De Locomotief 28 Januari 1929

De Indische Courant 2 Maret 1925

De Koerier 16 April 1932

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 27 Juni 1932

De Indische courant 16 Agustus 1938

Rabu, 08 Mei 2024

Waduk Delingan Karanganyar, Waduk Warisan Mangkunegara VII

Semburat Gunung Lawu memantul di atas riak-riak air Waduk Delingan yang tampak tenang. Sudah lebih dari seabad air dari Sungai Jirak mengisi waduk tinggalan Mangkunegoro VII tersebut, menjadi sumber pengairan untuk pertanian yang ada di sekitarnya. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan mengantarkan anda untuk mengenal sejarah Waduk Delingan di Kabupaten Karanganyar yang masih sedikit diketahui.

Waduk Tirtomarto atau Waduk Delingan dalam peta topografi tahun 1931-1932.

Mengapa Waduk Delingan ini dibuat ? Sebagaimana diketahui, Mangkunegaran merupakan kerajaan yang berkelimpahan dengan kemakmuran yang bersumber dari usaha agribisnis yang dirintis oleh Mangkunegoro IV. Sumber pemasukan terbesar berasal dari dua industri gula milik Mangkunegaran, yakni Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu, yang mendapat pasokan bahan baku dari perkebunan tebu di Karanganyar dengan luas mencapai 12.000 bouw atau 8.800 hektar. Perkebunan tersebut jelas membutuhkan air, terlebih tebu adalah tanaman yang membutuhkan air lebih banyak dibandingkan tanaman lainnya. Malangnya, area perkebunan tebu yang luas tersebut nyatanya tidak diimbangi dengan daerah tangkapan air yang luas. Akibatnya debit air sungai yang mengalir tidak memadai untuk mengairi perkebunan tebu Mangkunegaran meskipun curah hujannya cukup bagus. Kondisi tersebut diperumit dengan kenyataan bahwa lahan perkebunan disewa dari petani-petani lokal. Langkanya air sungai di Karanganyar menyebabkan para petani menanam padi dalam waktu yang lebih lama sehingga lahan yang harusnya sudah ditanam tebu belum dapat digunakan untuk kepentingan tersebut. Kondisi tersebut tentu menyulitkan bagi kedua pihak, baik untuk manajemen PG Tasikmadu dan petani di Karanganyar (Anonim, 1924 : 6).

Tugu peringatan peresmian Waduk Delingan.

Sebagai raja yang bijak, Mangkunegoro VII tentu tidak tinggal diam begitu saja mendapati negeri yang sedang dipimpinnya dilanda persoalan pengairan. Sebelum naik tahta, Mangkunegoro VII yang masih bergelar Pangeran Prangwedono memiliki kegemaran berkelana untuk mempelajari berbagai pengetahuan, termasuk irigasi yang ia pelajari dari kunjungan beliau ke Demak, dimana di sana terdapat jaringan irigasi yang menjadi irigasi percontohan di Hindia-Belanda. Dari sana, sang pangeran menyadari pentingnya irigasi untuk menopang kegiatan pertanian yang menjadi penyangga kemakmuran suatu negeri. Mimpi sang pangeran untuk memajukan irigasi di wilayah Mangkunegaran rupanya juga mendapat dukungan Residen Surakarta, Sollewijn Gelpke. Sejak tahun 1915, irigasi di wilayah Mangkunegaran mulai dibenahi dengan bantuan insinyur F.E. Wolff yang sudah berpengalaman dalam menangani irigasi di Karesidenan Bagelen. Berkat bujukan Gelpke, Wolff akhirnya bersedia mencurahkan keahlian dan pengalamannya untuk melayani Kadipaten Mangkunegaran (Notodiningrat, 1940 : 224-226).

Waduk Delingan pada tahun 1930-an.

Persoalan utama yang dihadapi dalam penyediaan infrastruktur irigasi di Mangkunegaran, terutama di area perkebunan Tasikmadu, adalah kurang melimpahnya debit air sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Berkenaan dengan persoalan tersebut, maka para ahli irigasi Belanda di Surakarta menyarankan untuk membangun sebuah waduk daripada membuat bendung biasa. Kendati biaya pembangunan bendung biasa lebih murah dibandingkan dengan waduk, namun waduk menjadi satu-satunya solusi untuk memenuhi kebutuhan irigasi di wilayah yang debit air sungainya terlalu kecil untuk irigasi. Waduk tersebut akan menjadi tempat penampungan cadangan air irigasi saat curah hujan menurun serta dapat juga digunakan untuk membantu perluasan area perkebunan tebu PG Tasikmadu (Anonim, 1924 : 3).  

Gambar rencana pembangunan Waduk Delingan (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Waduk yang akan dibuat merupakan tipe waduk lembah, yakni waduk yang dibuat di lembah sungai dan topografinya dapat dimanfaatkan untuk menjadi tempat menampung air yang mengisi waduk. Bagian pinggir lembah dimanfaatkan sebagai tembok, sedangkan letak bendungan dibangun pada bagian yang paling sempit, yang akan memberikan kekuatan tekanan lebih besar dengan biaya yang lebih rendah. Setelah melalui berbagai survey, akhirnya lokasi waduk dipilih di Desa Delingan dan di sana terdapat Sungai Jirak yang merupakan salah satu anak sungai Bengawan Solo. Tempat tersebut dipilih karena memiliki topografi cekungan yang mendukung untuk dibuat waduk. Selain itu debit curah hujan di hulu Sungai Jirak dinilai cukup untuk mengisi waduk sebanyak 4 hingga 5 kali setahunnya (Anonim, 1924 : 5). 

Mangkunegoro VII dan tamu undangan di tenda VIP saat upacara peletakan batu pertama Waduk Delingan (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Peletakan batu pertama pembangunan menara penyadap (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Sesudah lokasi dipilih, maka dimulailah proses pembebasan lahan yang kemudian berlanjut dengan upacara peletakan batu pertama yang dihadiri oleh Mangkunegoro VII dan dilangsukan pada tanggal 11 Oktober 1920, 35 hari sesudah pernikahan Mangkunegoro VII dengan Ratu Timur. Dalam upacara tersebut, turut diundang pula J. Schuit dan F.E. Wolff, dua insiniyur yang berperan dalam pembuatan waduk baru tersebut. Sebelum dilakukan proses pengerjaan, sejumlah persiapan dilakukan secara cermat untuk mendukung penyediaan material dan logistik yang dibutuhkan selama pekerjaan. Misalnya sebuah jalan baru dibuat dari Mojogedang ke lokasi waduk untuk mempercepat proses pengangkutan logistik. Di sekitar lokasi proyek waduk juga didirikan gudang-gudang untuk menampung material (De Inidshce Courant 31 Desember 1929). 

Profil potongan tanggul (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Memasuki tahun 1921, harga kapur bakaran tiba-tiba melonjak tajam padahal material tersebut sangat diperlukan. Supaya biaya pembangunan tidak ikut melonjak, tidak jauh dari lokasi proyek didirikan pabrik pembakaran kapur. Kapur-kapur mentah tersebut dibeli dari penduduk desa yang menambang di lereng-lereng perbukitan dekat Karangpandan dan diangkut menggunakan truk. Sementara kayu bakarnya dibeli dari lahan sekitar. Harian De Preanger Bode tanggal 17 Juni 1922 melaporkan bahwa jalur decauville (kereta kecil) direntangkan dari lokasi proyek ke tempat pengambilan material di bagian hulu. Material-material seperti tanah, dan kerikil sengaja ditambang sendiri untuk menekan harga material. Harian yang sama juga melaporkan bahwa kurang lebih ada enam ratus tenaga kuli, baik laki-laki atau perempuan, yang dipekerjakan untuk proyek besar tersebut. Mereka diberi upah harian yang cukup dan istirahat di bedeng-bedeng pekerja yang ditempatkan di dekat lokasi proyek (De Preanger Bode, 17 Juni 1922).


Pemandangan waduk yang mulai terisi air (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Selain tanggul, pekerjaan yang ditargetkan untuk selesai terlebih dahulu adalah pintu air dan  terowongan yang menjadi saluran utama waduk. Bagian tersebut harus selesai terlebih dahulu supaya air Sungai Jirak dapat mengalir saat musim hujan tiba. Selama proses pembuatan tanggul dan pintu air, dibuat bendung dan saluran khusus di bagian hulu untuk mengalihkan air sungai. Posisi dan rute saluran akan diubah menyesuaikan proses pembangunan waduk. Di tengah proses pekerjaan menggali pondasi pintu air, pekerja menemukan tanah di sana sangat lunak dan mudah menyerap air. Keberadaan tanah tersebut tentu saja akan membahayakan struktur waduk sehingga tanah-tanah tersebut disingkirkan dan diisi dengan mortar. Kendati sudah dikerjakan dengan hati-hati, masih ditemukan bagian tanggul yang mengalami penurunan sehingga tanggul harus diperbaiki berkali-kali. Dua tahun setelah proses pembangunan dimulai, ketinggian tanggul sudah mencapai 14 meter dan kedua sisi tanggul sudah diperpanjang hingga beberapa ratus meter (Anonim, 1924 : 7).

Saluran pelimpah dilihat dari bawah (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Proses pembangunan menara penyadap dan tanggul (Sumber : Wadoek "Tirtomarto")

Di dekat sisi tanggul waduk, terdapat intake tower atau menara penyadap yang berfungsi untuk memasukkan air waduk ke saluran irigasi. Saat debit air penuh, bangunan ini tidak akan terlihat seperti menara karena sebagian besar bagian bawahnya terendam air. Namun saat debit menurun, barulah terlihat bangunan tersebut seperti sebuah menara dengan jembatan yang ada di atasnya. Bangunan menara penyadap inilah yang berfungsi sebagai pintu untuk mengalirkan air dari waduk ke saluran irigasi di bawah waduk. Selain menara penyadap, waduk juga dilengkapi spillway atau saluran pelimpah. Spillway ini memiliki fungsi untuk membuang kelebihan air waduk karena jika waduk tidak sanggup menampung air lagi maka akan terjadi kerusakan pada tanggul penahan yang dapat menyebabkan bencana tanggul jebol.

Suasana peresmian Waduk Delingan oleh Mangkunegoro VII yang ditandai dengan pembukaan pintu air waduk (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Suasana kerumunan yang sedang menyaksikan upacara pembukaan Waduk Delingan (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Sarana pembagi air yang ada di bawah waduk.

Tenaga, pikiran, dan biaya yang dicurahkan untuk proses pembangunan yang melelahkan akhirnya terwujud dalam bentuk sebuah tanggul setinggi 23 m dengan bentang panjang 886 m. Proses pembangunannya selesai pada Desember 1923 dan perlahan waduk mulai terisi dengan air. Waduk dambaan Mangkunegoro VII di Desa Delingan itu diresmikan pada 9 September 1924 dan diberi nama “Tirtomarto” yang dapat diartikan sebagai “sumber air yang subur”. Meski demikian, orang lebih mengingat nama waduk tersebut dengan Waduk Delingan. Peresmian Waduk Delingan diabadikan dalam sebongkah prasasti dari batu andesit yang hingga hari ini masih terpancang di pinggir waduk. Patut disayangkan kondisi tulisannya sudah aus sehingga sulit terbaca dengan jelas. Kehadiran Waduk Delingan sangat membantu dalam penyediaan irigasi yang diperlukan. Namun berhasil atau tidaknya sebuah irigasi tidak hanya ditentukan oleh keberadaan waduk saja namun juga adanya aturan pembagian air yang harus ditaati oleh semua pengguna. Manfaat dari Waduk Delingan tidak hanya dinikmati oleh PG Tasikmadu yang dapat memperluas area penanaman. Bagi petani lokal, mereka dapat memanen padi lebih banyak dari sebelumnya dan di musim kemarau mereka dapat menanam tanaman palawija (De Indische Courant, 31 Desember 1929).

Tanggul waduk.

Pintu air waduk. Saat air waduk surut, struktur ini akan terlihat seperti sebuah menara.

Pintu saluran pelimpah. Saluran ini dibuka manakala air di dalam waduk dinilai sudah melebihi ambang batas yang dapat membahayakan struktur waduk.

Bersama Waduk Cengklik, dan Jombor, Waduk Delingan menjadi salah satu waduk tinggalan Mangkunegara VII. Waduk-waduk tersebut menjadi bukti ikhtiar Mangkunegara VII untuk memajukan pertanian di wilayahnya dan keberadaannya tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang hidup pada masa Mangkunegara VII saja. Hasil dari kebijakan Mangkunegara VI tersebut dewasa ini juga menjadi sumber pencaharian bagi masyarakat sekitar. Pemandangan Gunung Lawu nan indah menjadikan Waduk Delingan memiliki panorama yang indah sehingga memikat banyak orang untuk mendatangi waduk tersebut. Hal ini tentu saja membuka peluang rezeki untuk warga sekitar dengan berjualan aneka makanan dan minuman. Ada juga warga yang mencari udang atau memancing ikan yang disebar di waduk agar ekosistem tetap hidup. Pada akhirnya, Waduk Delingan tidak hanya merupakan tinggalan sejarah Mangkunegara VII saja, namun juga menjadi sumber penghidupan bagi warga sekitar dan para petani yang mengandalkan air irigasinya hingga hari ini.


Sumber :

Comite voor Triwindoe Gedenkboek. 1940. Notodhiningrat. 224-228. dalam Supplement op Het Triwindoe - Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII. Soerakarta.

Anonim. 1924. Wadoek „Tirtomarto, Gelegen in Het M. N. Regentschap Karanganjar Afdeeling Sragen Residentie Soerakarta. Weltevreden : Albrecht & Co.

De Preanger-bode 17 Juni 1922

Minggu, 12 November 2023

Masa Silam yang Nyaris Tenggelam di Candibaru

Nama Candibaru memang tidak asing di telinga warga Semarang karena boleh jadi mereka setiap hari mereka melintas kawasan tersebut atau bahkan tinggal dan bekerja di sana. Namun boleh jadi masih belum banyak yang tahu bahwa kawasan tersebut adalah suatu kawasan bersejarah. Candibaru memang tampak tidak sekuno Kota Lama Semarang karena kawasan tersebut baru muncul belakangan pada awal abad ke-20. Namun demikian bukan berarti Candibaru adalah kawasan tanpa sejarah karena terselip kisah panjang untuk membuka kawasan tersebut. Bagaimanakah kisah munculnya Candibaru dan apa saja jejak yang masih tersisa akan Jejak Kolonial kupas pada tulisan kali ini.
Sebaran bangunan lama di Candibaru. Keterangan : A : RS. Dr Kariadi, B : GKI Gereformeerde Kerk, C : AKK Ibu Kartini, D : Puri Wedari, E : RS Elizabeth, F : Reservoir Siranda, G : Ereveld Candi.

Sejak zaman dahulu, Semarang merupakan kota bandar dengan perniagaan yang bergeliat. Hal tersebut tidak lepas dair posisi Semarang sebagai pintu gerbang menuju kerajaan-kerajaan di pedalaman Pulau Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta. Meski perekenomiannya relatif berkembang, namun di bidang kesehatan Semarang memiliki reputasi yang buruk. Wabah malaria, kolera, dan tifus terus menerus datang merenggut banyak korban jiwa. Masalah tersebut mencuat ke permukaan setelah diangkat ke publik oleh seorang dokter bernama W. de Vogel. Sebagai dokter, ia merasa sudah sepantasnya bertanggung jawab dalam memperbaiki masalah kesehatan di kota ia bertugas. Dokter W. Vogel kemudian mengumpulkan data angka kematian penduduk Semarang saat dilanda wabah kolera pada tahun 1901-1902. 
Tampak udara kawasan Candibaru (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Bersumber dari data tersebut, Vogel mendapati bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dan akhirnya ia menemukan jika angka kematian di Semarang tetap tinggi sekalipun wabah kolera tidak merebak. Data yang dihimpunnya menunjukan bahwa banyak penduduk meninggal akibat terjangkit disentri, tifus, dan terutama malaria yang paling menelan banyak korban. Dunia kesehatan saat itu, baru mengetahui jika penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk anopheles yang bersarang dengan nyaman di genangan rawa yang tersebar di Semarang. Oleh karena itu, Vogel menyarankan supaya penduduk Semarang tinggal menjauhi rawa. Hal ini menimbulkan persoalan lain karena ruang-ruang kota Semarang bagian bawah kebanyakan adalah genangan rawa. Sementara itu pada saat yang sama jumlah penduduk Semarang terus bertambah. Satu-satunya ruang kota yang dapat dipilih adalah hamparan perbukitan di selatan kota yang tandus, jarang penduduk, dan tidak cocok untuk pertanian. Tempat tersebut dikenal masyarakat sebagai Candi (Stadsgemeente, 1939: 17).
Tiga tokoh penting yang mengawali pembukaan kawasan Candibaru.
Upaya membuka perbukitan Candi mulai menemukan jalannya sesudah dibentuknya Gemeenteraad atau Dewan Kotapraja Semarang pada tahun 1906. Selain sebagai upaya untuk menjauhkan dari sumber penyakit, pemekaran Candibaru juga menjadi solusi untuk memecahkan persoalan ketersediaan perumahan di Semarang. Masalah tersebut sudah diramalkan oleh anggota dewan seperti Vogel, Tillema, dan R.M. Soenario. Mereka menyadari bahwa sudah waktunya Semarang untuk mempersiapkan diri menghadapi masalah perumahan sebagai dampak dari penambahan penduduk dengan melakukan pengembangan wilayah Candi. Jauh hari sebelum daerah Candi dibuka, orang-orang Belanda sudah menetap di sana sekitar tahun 1886. Mereka kebanyakan tinggal di dekat jalan menuju Ungaran. Kawasan tersebut sering disebut dengan Candilama untuk membedakan dengan Candibaru. Sekalipun orang-orang Belanda mulai menetap di Candilama, namun kawasan tersebut belum berhasil tumbuh menjadi permukiman karena sulitnya memperoleh pasokan air di sana (Stadsgemeente, 1939 : 17-21).
Rencana pengembangan Candibaru yang dirancang oleh Karsten dan Plate
(Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917).

Peta Candibaru tahun 1917. Keterangan warna : Merah muda : perumahan orang Eropa, hijau : perkampungan penduduk pribumi, merah : bagian jalan yang belum dikerjakan.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi, 1939)
Alih-alih menjadi permukiman orang hidup, kawasan perbukitan Candi justru berkembang menjadi rumah kuburan warga Tionghoa Semarang. Hal ini lantas menimbulkan pergulatan kepentingan saat proses pembebasan kawasan Candi. Gemeentraad yang bermaksud membuka kawasan tersebut berdalih bahwa kepentingan permukiman sehat untuk manusia yang masih hidup perlu didahulukan dan sia-sisa rasanya jika perbukitan Candi yang berpotensi untuk dikembangkan hanya berakhir menjadi kuburan saja. Sementara warga Tionghoa Semarang jelas tidak rela melihat tempat yang selama ini menjadi rumah peristirahatan terakhir leluhur mereka digusur begitu saja. Perselisihan tersebut kemudian diuraikan lewat pembentukan suatu komisi yang terdiri dari Stemmetz, Vogel, van Sijk, Kapitan Tan Siauw Lip, dan Tan Ing Tjiang. Akhirnya dibuatlah kesepakatan bahwa kegiatan penguburan di Candibaru hanya dibatasi untuk anggota keluarga yang makam leluhurnya sudah ada di sana. Sebagai gantinya, disediakanlah tanah kuburan baru untuk penduduk Tionghoa di Kedungmundu (Liem Thian Joe, 2004 : 224-225). Dalam foto-foto lama, masih terlihat bila permukiman Candibaru masih berdampingan dengan kuburan-kuburan Tionghoa.
Pemandangan rumah-rumah orang Eropa yang dibangun di atas perbukitan. Tampak bangunan yang saat ini menjadi Hotel Candibaru (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Pemandangan villa orang Eropa di atas perbukitan dan perkampungan Lempongsari yang ada di lereng di bawahnya (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Pemandangan Semarang bagian bawah dilihat dari perbukitan Candibaru. Tampak bangunan CBZ Semarang yang baru selesai dibangun (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Sejumlah manuver kemudian dilakukan sebagai persiapan pembukaan kawasan. Pertama dengan mendekati pemerintah di Batavia. Pada 6 Juli 1908, pemerintah bersedia melepas kepemilikan kepemilikan tanah pemerintah di Genuk, Gajahmungkur dan Bendungan kepada pemerintah Kotamadya dengan harga setengah sen per meter persegi. Sementara tanah lain yang menjadi milik perseorangan lekas dibeli oleh salah satu anggota dewan kota, H.F. Tillema, dengan atas nama dirinya dengan tujuan mencegah aksi spekulan tanah yang dapat membuyarkan rencana pembukaan Candibaru. Manuver lainnya juga dilakukan oleh anggota dewan kotamadya lain bernama R.M. Soenario juga turut terlibat dalam pembukaan kawasan Candibaru karena sebagai aristokrat pribumi, ia lebih mudah membujuk penduduk desa Gajahmungkur agar mereka bersedia dipindahkan. Penduduk desa akhirnya kemudian dipindahkan ke Kalilangse yang tidak jauh dari Candibaru (Soerabaiasch Handelsblad 18 November 1939). Tanah-tanah yang sudah dibeli oleh Tillema kemudian dialihkan hak miliknya ke kotamadya dengan mengganti biaya yang dikeluarkan oleh Tillema. Tanggapan pers Hindia-Belanda bermacam-macam ketika mendengar rencana pemerintah kotamadya Semarang hendak menyulap perbukitan tandus menjadi suatu daerah hunian yang nyaman dengan pemandangan nan elok. Pers lokal Semarang seperti surat kabar De Locomotief jelas menyambut baik rencana tersebut. Sementara tulisan dengan nada menghina datang dari pers luar Semarang, terutama dari Surabaya. Namun berkat pengaruh beberapa tokoh penting di Dewan Kotamadya, maka pembukaan kawasan Candibaru tetap berlanjut.
Pembangunan Nieuwe Tjandiweg pada tahun 1914. Terlihat rel untuk gerobak yang membawa material jalan.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Jalan Nieuwe Tjandiweg sesaat setelah selesai dibangun.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Pembuatan jalan Oei Tiong Bingweg pada tahun 1914.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Proses pembangunan Oei Tiong Hamweg pada tahun 1914. Tampak pameran Koloniale Tentoonstelling di latar belakang.
(Sumber : Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi)
Perbukitan Candibaru mulanya adalah tempat yang terpencil. Satu-satunya jalan menuju ke sana adalah dengan menyusuri Groot Toerweg (kini Jalan Kyai Saleh) dan kemudian mengambil sepenggal jalan kecil di seberang rumah Oei Tiong Ham. Setelah rencana pemekaran Candibaru dipastikan akan berjalan, maka penggal demi penggal jalan baru dibuat untuk menembus Candibaru. Kehadiran jalan baru tersebut juga akan menjadi jalan alternatif selain jalan lama di Tanahputih yang menanjak dan sulit dilewati kendaraan saat itu. Jalan baru akhirnya dibuat dari Kintelan, menanjak melewati Gunung Sawo, berkelok mengikuti kontur medan, dan selanjutnya lurus ke selatan hingga bertemu jalan lama di Karangpanas. Pembangunan jalan tersebut dibantu menggunakan angkutan kereta kecil karena kendaraan truk saat itu belum mampu sampai ke sana. Jalan tembus bernama Nieuwe Tjandiweg tersebut dibuka untuk umum pada tahun 1914, bersamaan dengan momen digelarnya Koloniale Tentoostelling. Hal tersebut bertujuan agar pengunjung pameran dapat mengagumi keindahan pemandangan kota Semarang dari atas perbukitan dan diharapkan mereka akan tertarik untuk menetap di Candibaru. Pada saat yang sama pula, dibuat jalan penghubung Candibaru dengan area Koloniale Tentoostelling. Jalan tersebut dikenal sebagai Oei Tiong Ham Weg atau kini dikenal sebagai Jalan Pahlawan (Stadsgemeente, 1939 : 39-40).

Pemandangan jalan Nieuwe Tjandiweg (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Meski berstatus sebagai pencetus proyek, namun Vogel bukanlah seorang arsitek. Maka dari itu tugas teknis penataan kawasan diserahkan kepada De Bazel. Rancangan penataan kawasan yang disiapkan Bazel tidak jadi digunakan pasalnya dia menggunakan peta yang gambar konturnya tidak sesuai dengan keadaan. Akhirnya insinyur A. Plate diberi mandat untuk membuat perancangan teknis dan rancangan tersebut disempurnakan oleh Karsten pada tahun 1916 dan disetujui dewan kota setahun setelahnya. Rancangan itulah yang digunakan dan menjadi wajah dari kawasan Candibaru yang dikenal sekarang. Untuk mempercepat akses antara Candibaru dengan Semarang bagian bawah, maka dibukalah Sirandaweg atau Jalan Siranda pada tahun 1925. Pembangunan-pembangunan jalan di Candibaru diikuti dengan penyediaan sarana angkutan umum murah berupa bus. Angkutan umum tersebut umumnya digunakan untuk anak-anak sekolah atau pembantu pribumi yang turun ke Semarang bawah untuk mencari bahan makanan di pasar atau mengantar bekal majikannya (Stadsgemeente, 1939 : 39-40). 

Pemandangan Oei Tiong Hamweg setelah dibangun. Terlihat kondisi jalan yang masih sepi dan perbukitan Candi yang saat itu gersang (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Jalan tembus lain menuju Candibaru adalah Dr. Vogelweg. Jalan tersebut dibuat karena jalan Nieuwe Tjandiweg dirasa terlalu banyak tikungan dan lebih panjang sehingga waktu tempuh perjalanan menjadi lama. Dr. Vogelweg dibuat dari pertigaan Jalan Rinjani dan Jalan S.Parman sekarang, hingga pertigaan dekat SPBU Gajahmungkur. Dengan dibukanya Dr. Vogelweg, maka perjalanan Candibaru ke Semarang bawah dapat dipersingkat. Nieuwe Tjandiweg kemudian terhubung ke Jalan Bojong dengan dibukanya Koningin Emmalaan (kini Jalan DR. Sutomo) pada tahun 1918. Koningin Emmalaan nyaris tidak jadi dibangun karena keberadaan jalan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu ketenangan pasien Rumah Sakit Julianna. Pada akhirnya Koningin Emmalaan tetap dibangun karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Sedianya, akan dibuat pula jalan tembus ketiga, yaitu melalui Nogosariweg (kini Jalan Kawi Raya) yang kemudian diperpanjang ke timur menuju Jomblang. Namun jalan tembus tersebut tidak jadi dibuat (Stadsgemeente, 1939 : 39-40). 

Kondisi Reservoir Siranda pada tahun 1930an. (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Reservoir Siranda pada masa sekarang.

Letak Candibaru yang berada di perbukitan menjadikan kawasan tersebut dalam sumber-sumber lama disebut dengan Heuvelterrein atau Tanah Berbukit. Kondisi geografis tersebut akhirnya membuat perbukitan tidak menguntungkan untuk dihuni karena kawasan tersebut miskin sumber air yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Berangkat dari situasi tersebut, maka infrastruktur dasar yang dipersiapkan terlebih dahulu adalah air mengingat suatu kawasan permukiman tidak akan pernah berkembang tanpa adanya air. Sumber airnya didatangkan jauh dari mata air Mudal di lereng Gunung Ungaran yang potensinya sudah diketahui sejak tahun 1897. Merebaknya wabah kolera di Semarang pada tahun 1910 menjadi momentum untuk memperbaiki prasarana air bersih di Semarang. Pemerintah Kota Semarang kemudian diberi pinjaman yang cukup besar dari pemerintah pusat untuk mengerjakan jaringan air keran yang dilaksanakan pada tahun 1911. Secara bertahap, reservoir-reservoir dibuat dan jaringan air keran kota Semarang diresmikan pada 21 Maret 1914 (De Expres 23 Maret 1914). Selain air, listrik yang mulai menjadi kebutuhan dasar manusia modern juga mulai dipasang di Candibaru. Listrik tersebut dipasok dari pembangkit listrik yang berada di Tuntang, Salatiga. Dengan demikian perbukitan Candi siap untuk ditempati dan lahirlah Novo Semawis, Nieuwe Semarang, atau Semarang Baru.


Rumah-rumah di Candibaru yang mulai terbangun pada masing-masing kavling
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).


Rumah-rumah di Candibaru. (sumber : data.collectienederland.nl/)

Sesudah infrastruktur dasar tersedia dan jalan penghubung siap dilewati, maka satu persatu jengkal tanah mulai siap dibangunkan rumah tinggal. Kapling tanah yang ada di Candibaru statusnya dikuasai oleh pemerintah kota Semarang dan disewakan kepada setiap orang. Di atas tanah sewa tersebut, didirikan bangunan rumah dengan biaya mandiri. Hal tersebut bertujuan supaya pemerintah kotapraja tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membangun seluruh rumah. Selain itu jika pemerintah kotapraja melepas tanah-tanah di Candibaru menjadi hak milik, maka harga tanah menjadi tidak terkendali dan akhirnya hanya orang kaya yang dapat membeli tanah di sana. Sementara orang-orang kurang beruntung tidak mendapat kesempatan untuk tinggal di daerah yang lingkungannya sehat seperti Candibaru. Berbeda dengan masa sekarang dimana kebanyakan pembangunan kawasan perumahan diarahkan untuk investasi, tujuan awal proyek pembukaan Candibaru memang dimaksudkan untuk tujuan sosial, yakni untuk menyediakan tempat tinggal di lingkungan yang sehat untuk setiap orang. Hal ini membuat Candibaru awalnya belum dilirik banyak orang karena mereka masih harus mendirikan rumah dengan biaya sendiri di atas tanah yang tidak dapat dijadikan sebagai aset investasi yang berharga. Untuk menarik calon penghuni, pemerintah kota akhirnya memberi iming-iming harga sewa yang lebih murah dari biasanya. Selain dibangun mandiri, beberapa rumah di Candibaru ada juga yang dibangun oleh pemerintah kotaparja atau asosiasi perumahan (Gemeente Semarang, 1931 : 155-157).

Rumah tinggal walikota Semarang pada tahun 1930an. Terlihat atap asli bangunan yang lebih tinggi dan curam dibanding atap bangunan sekarang (Sumber : data.collectienederland.nl).

Perlahan Candibaru menjadi populer sebagai lokasi perumahan karena kondisi lingkungannya lebih baik dibanding Semarang bawah apalagi Candibaru memiliki pemandangan yang indah. Candibaru memiliki sejumlah aturan yang harus ditaati saat membangun rumah agar rumah yang dibangun betul-betul rumah yang layak dari segi kesehatan. Meskipun demikian para penghuni rumah merasa tidak terkekang dengan aturan tersebut karena hal ini demi mewujudkan Candibaru sebagai permukiman sehat nan estetik. Selanjutnya para penghuni Candibaru berlomba-lomba mendirikan rumahnya seindah mungkin. Kecil tidak menjadi masalah selama masih sedap dipandang mata. Rumah-rumah dalam aneka bentuk dan ukuran akhirnya mengisi jengkal demi jengkal Candibaru. Beberapa di antara rumah-rumah tersebut dirancang oleh arsitek ternama seperti Burgemeesterwoning atau rumah dinas walikota Semarang yang dirancang oleh arsitek Thomas Karsten (Algemeene Handelsblad, 4 Januari 1930). Jabatan walikota Semarang baru ada pada tahun 1916, sepuluh tahun sesudah pemerintah Gemeente terbentuk. Bangunan rumah dinas walikota Semarang selesai pada tahun 1930 dan saat ini menjadi Puri Wedari. 


Eks villa keluarga Thio

Rumah keluarga Han Tiauw Tjong rancangan Liem Bwan Tjie.
Bangunan Villa Helly milik keluarga Liem. Bangunan ini sekarang menjadi Puri Gedeh.
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kawasan Candibaru dibuat tidak hanya untuk orang Eropa saja karena sejatinya setiap orang dapat mendirikan kediaman di sana sepanjang memiliki kemampuan finansial. Hal ini disambut dengan antusiasi terutama oleh beberapa hartawan Tionghoa yang selama ini terbentur dengan aturan Wijkenstelsel yang memaksa mereka hanya dapat membangun rumah tinggal di dalam lingkungan Pecinan. Dihapusnya atruan Wijkenstelsel menjadi momen untuk mendirikan villa di Candibaru. Villa tersebut dirancang oleh arsitek-arsitek kenamaan pada masa itu. Misalnya adalah villa milik Thio Sing Liong yang diracang oleh Thomas Karsten pada tahun 1922. Kemudian villa milik Liem yang bangunannya merupakan rancangan dari arsitek C.P. Wolff Schoemaker. Selain arsitek Eropa, ada juga arsitek Tionghoa yang merancang villa di sana. Misalnya adalah Liem Bwan Tjie yang merancang villa untuk temannya yang juga anggota Volksraad, Han Tiauw Tjong pada tahun 1932. Villa-villa dibangun hampir sepenuhnya dalam gaya arsitektur modern. 

Gambar sketsa rencana taman Raadsplein. Lokasinya saat ini menjadi Taman Diponegoro (Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917).

Gambar sketsa rencana taman Lotosvyver. Taman ini tidak jadi dibangun.
(Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917)
Kondisi Raadsplein sesaat setelah dibuat. Tampak cerobong dari Pusat Penelitian Gula Semarang.
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Di hadapan Burgermeesterwoning, terbentang sebuah taman terbuka yang disebut Raadsplein atau kini dikenal sebagai Taman Diponegoro. Perbukitan atas Semarang yang semula adalah kawasan tandus tak berpenghuni disulap menjadi stadstuin atau kota taman. Julukan kota taman memang pantas disematkan karena sejumlah ruang terbuka hijau turut menyertai dalam perencanaanya. Pada saat itu, pengembangan kota di Hindia-Belanda dibuat dengan konsep kota taman seperti Menteng. Letak Candibaru yang berada di medan perbukitan yang tidak rata membuat perancang taman harus pandai merancangnya. Akan tetapi kekurangan ini justru menjadi kelebihan tersendiri yang dimiliki Candibaru. Sebelum Candibaru memiliki bangunan sebanyak masa sekarang, keindahan Gunung Ungaran akan tersaji jelas saat cuaca cerah dan saat menoleh ke utara akan tampak pemandangan pesisir Semarang. Keindahan inilah yang menjadi nilai tambah Candibaru di antara kota taman lain di Hindia-Belanda (Indische Genootschap, 1917 , 25-26).

Gambar sketsa rencana taman De Vogelplein. Lokasinya saat ini menjadi Taman Gajahmungkur (Sumber : Het uitbreidingsplan der Indische Gemeente, 1917).

Pengunjung dari arah Semarang bawah disambut oleh taman lainnya bernama De Vogelplein yang saat ini menjadi Taman Gajahmungkur. Penamaan taman tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap sosok Dokter Vogel yang telah berjasa membuka Candibaru. Dahulu terdapat monumen Dr. Vogel di tengah taman namun monumen tersebut sudah tidak tampak lagi saat ini. Selain kedua taman tersebut, sedianya juga akan dibuat sebuah taman kolam teratai. Kolam tersebut dimaksudkan sebagai tempat menampung limpasan air hujan sehingga posisinya berada di cekungan lembah. Rencana tinggal rencana saja. Kolam teratai tersebut dan beberapa bagian lain dari kawasan Candibaru tidak pernah jadi dibangun.

Deretan rumah-rumah penduduk Pribumi yang disediakan oleh Gemeente Semarang di Kintelan, Candibaru (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Kawasan Candibaru rupanya tidak hanya diperuntukan untuk golongan elite semata. Sebagian dari Kawasan Candibaru yang berada di lereng bukit sengaja diproyeksikan sebagai perkampungan untuk golongan pribumi berpenghasilan rendah. Perkampungan di Candibaru ini berbeda dengan perkampungan pada umumnya karena rumah-rumah tersebut ditata layaknya perumahan umum. Deretan penduduk pribumi dengan atap jenis kampung tampak berdiri dengan rapinya. Masing-masing rumah diberi jarak sehingga cahaya dan udara tetap bisa masuk ke dalam rumah. Perkampungan tersebut mulai dibangun pada tahun 1918 dan proyeknya awalnya dikerjakan oleh Burgerlijke Openbare Werken atau Dinas Pekerjaan Umum. Awalnya dibangun dengan bahan semi-permanen namun karena biaya pemeliharaannya tinggi akhirna rumah-rumah tersebut digainti dengan bahan permanen pada tahun 1921. Saat ini, perumahan tersebut dikenal sebagai kampung Kintelan, Lempongsari, Ngaglik, Kalilangse dan Kagok (Gemeente Semarang, 1931 : 171). Pada masanya, kota Semarang termasuk progresif dalam urusan penyediaan rumah tinggal terjangkau untuk masyarakat ekonomi lemah.  Dalam peta kota Semarang tahun 1917 yang diterbitkan NILLMIJ, terlihat beberapa lahan ditandai sebagai “ontworpen voor Kampong” atau “dirancang untuk perkampungan”. Sayangnya, kebijakan perumahan rakyat tersebut tidak membawa perubahan yang berarti karena masih dilakukan dalam skala kecil. Pada masa kemudian, kebijakan tersebut ditinggalkan dan dilupakan begitu saja sehingga perkampungan di Kota Semarang tumbuh tanpa penataan sehingga menghasilkan kawasan yang terlihat kumuh.

Foto tampak udara kompleks CBZ dengan latar Candibaru
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Rumah Sakit Mata William Booth
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Suasana tenang dan sejuk kawasan Candibaru dimanfaatkan oleh rumah sakit dengan tujuan supaya selama dirawat pasien dapat beristirahat dengan tenang sehingga pemulihannya berjalan baik. Setidaknya terdapat tiga rumah sakit yang dibangun di Candibaru, yakni Rumah Sakit Mata William Booth, Rumah Sakit Elisabeth, dan Centraal Burgerlijke Zikenhuis (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pusat. Dari ketiga rumah sakit tersebut, yang paling besar adalah CBZ yang dibangun di kaki perbukitan Candibaru. Sebelum dibangunnya CBZ, layanan kesehatan untuk warga sipil di Semarang adalah Stadsverband yang terletak di Tawang dan Stadsverband pembantu di Alun-alun Semarang. Kedua Stadsverband menempati bangunan yang kecil dan fasilitas yang tersedia juga tidak memadai. Gagasan untuk menyatukan kedua layanan kesehatan tersebut menjadi satu rumah sakit terpadu dicetuskan pertama kali oleh Dr. Schulein dan N.F. Liem pada tahun 1912. Empat tahun semenjak gagasan tersebut mengemuka, bangunan rumah sakit belum dapat dibangun karena sulitnya mendapatkan lokasi yang sesuai. Pilihan lokasi akhirnya tertuju pada sebidang lahan antara Kalisari dengan lereng perbukitan Candi. Tempatnya memang agak jauh dari jalan utama, namun lingkungannya lebih sehat dibandingkan Stadsverband lama. Setelah lahan diperoleh, pembangunan rumah sakit sebenarnya sudah dapat dimulai pada tahun 1917. Rintangan datang saat pemerintah kolonial merampingkan anggaran belanja sehingga rancangan rumah sakit yang sudah terlanjur dibuat akhirnya diubah mengikuti anggaran yang tersedia (Lemey, 1926 : 17-19). 

Bangunan utama CBZ Semarang
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

CBZ Semarang yang saat ini menjadi RSUP Dr. Kariadi.

Rancangan rumah sakit yang sudah disederhanakan tersebut akhirnya mendapat persetujuan dari BGD (Burgerlijke Geneeskundige Dienst/Dinas Kesehatan), pembangunan rumah sakit akhirnya mulai dikerjakan pada November 1918 dan selesai pada tahun 1925. Total biaya yang dikeluarkan untuk membangunnya mencapai lebih dari dua juta gulden. Tingginya angka tersebut dikarenakan pembangunannya harus meratakan medan dan memperbaiki drainase. Insinyur Lemei dan Bolsius, arsitek perancang CBZ Semerang, menata bagian-bagian di dalam kompleks rumah sakit secara terpisah setelah mempelajari bangunan rumah sakit saat itu. Bangsal perawatan pasien ditempatkan jauh dari jalan raya supaya pasien dapat beristirahat senyaman mungkin dan pasien dirawat berdasarkan jenis penyakit yang diderita untuk memudahkan perawatan. Fasilitas seperti asrama, dapur, binatu, laboratorium, gudang obat, kamar bedah, dan kamar jenazah turut melengkapi CBZ Semarang (Lemey, 1926 : 19-24). Sejak tahun 1964, RSUP Semarang menyandang nama RSUP Dokter Kariadi untuk mengenang jasa Dokter Kariadi, salah satu dokter RSUP yang gugur dalam Pertempuran Lima Hari. RSUP Dokter Kariadi kini menjadi rumah sakit terbesar di Jawa Tengah dan pembangunan terus dilakukan guna meningkatkan layanan. Banyak bangunan lama yang akhirnya dikorbankan untuk kepentingan tersebut dan salah satu bagian kecil CBZ yang tertinggal adalah muka kompleks CBZ yang dahulu menjadi gedung administrasi dan tempat pelatihan calon perawat pribumi.

Bangunan Gereformeerde Kerk pada tahun 1930an
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Bangunan Gereformeerde Kerk yang sekarang menjadi GKI Gereformeerde Kerk.

Tidak jauh dari kompleks CBZ, bertengger sebuah gedung beratap khas yang dulunya dikenal sebagai Gereformeerde Kerk. Semenjak didirikan di Belanda pada tahun 1892, denominasi Gereformeerde Kerk mulai memperluas jemaatnya ke berbagai tempat termasuk di Semarang dengan mengutus Van Andel sebagai pendeta pertama di sana pada tahun 1918. Kebaktian semula dilangsungkan di Frobelschool yang terletak di Bojong. Tempat tersebut kemudian dirasakan tidak cukup menampung jemaat sehingga kebaktian dipindahkan ke Bijbelschool (Sekolah Injil). Keinginan untuk memiliki gedung gereja sendiri akhirnya menguat sehingga jemaat mulai menghimpun uang sedikit demi sedikit untuk mewujudkan keinginan tersebut. Keinginan untuk memiliki gedung gereja sendiri memang cukup tinggi sampai-sampai ada pembahasan untuk mendirikan gedung gereja semipermanen walau akhirnya ditolak. Berkat semangat jemaat yang tinggi rencana pembangunan gereja akhirnya dapat diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Arsitek J.Th.Van Oyen lalu mendapat tugas merancang gedung gereja. Lelang tender diadakan pada 22 Agustus 1922 dan upacara peletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan gereja dilakukan pada 31 Oktober 1928. Pembangunannya berlangsung singkat dan gereja diresmikan pada 19 Mei 1929 oleh pendeta Sillevis Smit. Arsitek Oyen merancang bangunan gereja ini dalam gaya arsitektur ekspresionisme sehingga arsitektur gereja ini sangat menonjol dari lingkungan sekitarnya (De Locomotief 18 Mei 1929).

Bangunan Van Deventerschool beberapa saat setelah diresmikan
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Candibaru juga menjadi pilihan lokasi lembaga pendidikan Van Deventer School yang bangunannya kini dipakai oleh AKK & SMK Ibu Kartini. Sesuai namanya, pendirian Van Deventer School merupakan upaya memenuhi harapan Van Deventer School, sosok yang berjasa dalam upaya pendirian Kartini-School di Hindia-Belanda. Mengambil nama sosok R.A. Kartini, putri bupati Jepara yang dikenal akan pemikirannya gagasannya untuk memajukan pendidikan perempuan pribumi, Kartini-School dibuka untuk pertama kalinya di Semarang pada 15 September 1914 oleh Yayasan Vereeniging Kartinifonds. Kartini-School dibuka untuk anak-anak perempuan pribumi dan mengadopsi pola pendidikan modern. Lebih jauh lagi, Van Deventer berharap supaya pendidikan perempuan yang ada saat itu mampu mengangkat harkat perempuan pribumi sebagai ibu, istri, dan pendidik yang terpelajar dan bermutu. Harapan tersebut baru dapat terpenuhi setelah Van Deventer meninggal pada tahun 1915 dengan dibentuknya Van Deventer Stichting pada 2 Juni 1917 oleh Vereeniging Kartinifonds. Perjalanan sejarah Van Deventer School dimulai dari peresmiannya pada 4 Juni 1921. Karena belum memiliki gedung sendiri, maka kegiatan belajar mengajar masih menginduk di gedung Kartini School yang berlokasi di jalan Dr. Cipto. Pendidikan yang diajarkan di Van Deventer School meliputi kerajinan, ilmu alam, ilmu kerumahtanggan, dan pendidikan guru Frobelschool (Taman Kanak-kanak). Untuk yang terakhir pelajaran tersebut diberikan sebagai syarat sekolah tersebut mendapat tunjangan subsidi dari pemerintah (Vereeniging van Kartinifonds, 1938 : 83).

Sekolah Van Deventer School yang sekarang menjadi AKK Ibu Kartini.

Van Deventer School menerapkan pendidikan asrama dan untuk keperluan tersebut sekolah dua rumah di Jalan Dr. Cipto disewa sebagai asrama. Berulang kali mereka berpindah asrama karena jumlah murid bertambah setiap memasuki tahun ajaran baru sehingga muncul keinginan untuk memiliki gedung sekolah sendiri. Keinginan tersebut akhirnya terkabulkan setelah pemerintah kolonial bersedia mensubsidi pembelian tanah dan pembangunan gedung sekolah baru. Kendati Vereeniging Kartinifonds sudah mempunyai lahan luas di sebelah Kartini-School, namun Van Deventer School kurang berminat karena tempatnya tidak cocok untuk asrama dari segi kesehatan. Daerah yang lebih sehat seperti Candibaru jelas lebih cocok untuk lokasi sekolah asrama. Akhirnya pemerintah dan yayasan sepakat untuk menukar lahan masing-masing sehingga Van Deventer School berhasil mengamankan lokasi sekolah. Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan pada 9 Februari 1924 dengan arsitek Thomas Karsten sebagai perancangnya dan pekerjaan konstruksi dilakukan oleh pemborong Lutjens. Gedung baru Van Deventer School Semarang diresmikan pada 30 Oktober 1924 (Vereeniging van Kartinifonds, 1938 : 84). Pusat utama dari bangunan Van Deventer School adalah pendapa besar yang ada di tengah yang berfungsi sebagai ruang serbaguna. Ruang-ruang kelas dirancang sedemikian rupa untuk mendukung pelajaran yang kebanyakan diajarkan secara praktik. Fasilitas penunjang lain seperti rumah dinas pengajar juga dibangun menyatu dengan bangunan utama. Pada zaman pendudukan Jepang, kegiatan Van Deventer School terhenti dan baru aktif kembali pada tahun 1950. Kali ini, operasional Van Deventer School dijalankan oleh orang Indonesia dengan Nyonya Nafsiah Budiono sebagai ketuanya (De Locomotief 8 Mei 1950).

Tampak depan Rumah Sakit Elizabeth saat tahap akhir pembangunan (sumber : Arsitektur di Nusantara).

Dua tahun sesudah dibukanya Van Deventerschool, proyek besar lainnya juga dibangun di Candibaru. Kali ini adalah rumah sakit milik kongregasi Suster Fransiskan (OSF) biara induk Heythuizen. Sejak tahun 1870an, kongregasi tersebut telah memulai pengabdiannya di kota Semarang dengan pelayanan pendidikan dan perawatan anak-anak panti asuhan Katolik di Gedangan. Meskipun sudah lama berada di Semarang, OSF pengabdian mereka belum terasa sempurna tanpa kehadiran rumah sakit. Jalan untuk mendirikan rumah sakit dimulai dari kegiatan-kegiatan pengumpulan sumbangan pada tahun 1920. Sejumlah dermawan dari Semarang baik yang Katolik maupun non-Katolik ikut menyumbang untuk pendirian rumah sakit yang rencananya akan dibangun di Candibaru. Bukan tanpa alasan kongregasi memilik tempat tersebut karena kawasan Candibaru memiliki udara yang bersih, mudah dicapai oleh angkutan umum, dan bebas banjir menjadi prasyarat ideal untuk mendirikan rumah sakit. Terlebih lahan sekitarnya masih kosong sehingga memungkinkan perluasan di masa mendatang. Sumbangan yang sudah diterima selanjutnya digunakan untuk membeli sepetak lahan milik Oei Tiong Ham pada 3 September 1923. Namun proses untuk menjadikan tanah itu sebagai hak milik terbentur oleh aturan. Proses pembangunan baru dimulai kembali sesudah mendapat kepastian soal status tanah.

Bagian depan RS Elizabeth pada masa sekarang.

Arsitek Thomas Karsten didapuk merancang gedung rumah sakit dan kali ini ia dibantu oleh A. Schouten. Mengingat Karsten belum pernah menggarap kompleks rumah sakit, maka ia mempelajari sejumlah standar kesehatan saat itu. Karsten juga tidak segan meminta pendapat ahli-ahli kesehatan perihal kendala yang ditemukan pada bangunan rumah sakit modern serta bagaimana pemecahannya. Jadwal tender yang semula dijadwalkan pada bulan Agustus akhirnya mundur pada November 1925 karena terdapat sejumlah perubahan dalam rancangannya. Dari lima pemborong, tender dimenangkan oleh Pieters & Co pada Februari 1926 dengan kontrak sebesar 499.000 gulden. Kontrak tersebut selanjutnya diturunkan menjadi 396.00 gulden karena angka sebelumnya dinilai terlalu tinggi (De Indische Courant, 2 Maret 1926). Berdasarkan prasasti lama yang tertempel di dinding rumah upacara peletakan batu pertama pada 26 Mei 1926 oleh Mgr. A. van Velsen. Di tengah pembangunannya, harga bangunan tiba-tiba naik secara tajam. Sehubungan masalah tersebut, Pieters menghentikan kontrak karena tidak mendapat dana tambahan dari kongregasi untuk meneruskan pekerjaan. Kongregasi saat itu juga sedang mengalami kesluitan. Kendati bagian seperti kapel dan susteran belum tuntas pengerjaanya, namun setiap kamar sudah terisi dengan perlengkapan yang diperlukan dan peresmian RS Elisabeth pada 18 Oktober 1927 oleh Mgr. A. van Velsen membuka lembaran sejarah RS Elisabeth. Sekalipun Rumah Sakit Elisabeth dikelola oleh kongregasi Katolik, namun seluruh pasien dirawat dan diperlakukan sama baiknya terlepas dari latar belakang agama, ras atau kedudukan sosialnya.

Gedung Penelitian Gula Semarang
(Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Sayangnya tidak semua bangunan-bangunan bersejarah di Candibaru selamat dari perkembangan zaman. Sepotong sejarah yang hilang dari Candibaru bangunan Suiker Proefstation atau Pusat Penelitian Gula. Sejarah pendiriannya dapat ditarik mundur jauh sebelum kawasan Candibaru dibuka. Sebelum adanya Suiker Proefstation, sampel-sampel gula harus dikirim ke Eropa untuk diteliti. Proses tersebut jelas tidak praktis karena jauhnya jarak dan keterbatasan transportasi. Hal ini mendorong para industriawan gula dI Jawa mendirikan pusat penelitian gula pertama di kota Semarang pada tahun 1885 dan belakangan menjadi "Pusat Penelitian Gula Jawa Tengah". Kemudian disusul pula pusat penelitian gula untuk Jawa bagian barat di Kagok pada tahun 1886 dan untuk Jawa bagian timur didirikan di Pasuruan pada tahun 1887. Seiring waktu, dilakukan beberapa reorganisasi. Kantor "Pusat Penelitian Gula Jawa Tengah" dibubarkan pada tahun 1893. Kemudian dilakukan spesialisasi dimana kantor di Pasuruan untuk bidang pertanian tebu dan kantor di Pekalongan khusus untuk bidang teknologi (De Indische Courant 8 Juli 1937). Kantor Pusat Penelitian Gula Pekalongan dipindahkan ke perbukitan Candibaru pada tahun 1919. Bangunannya dibuat tidak semegah dari rancangan awal karena penjualan gula yang sedang menurun akibat Perang Dunia I dan adanya sejumlah penyimpangan saat pembangunan. Kehadiran bangunan pusat penelitian gula ini rupanya menuai kontroversi. Salah satu sumbernya berasal dari keberadaan cerobong asap yang menjulang di tengah Candibaru dan dinilai merusak pemandangan kawasan (De Locomotief 11 Maret 1919). Keberadaan pusat penelitan gula di Candibaru tidak bertahan lama karena semua pusat penelitian gula di Jawa dilebur di Pasuruan dan proses pemindahannya berlangsung dari tahun 1921-1924 (De Indische Courant 8 Juli 1937). Bekas gedungnya kemudian beralihfungsi menjadi kantor dan asrama veldpolitie atau polisi lapangan pada tahun 1927 (De Locomotief 25 Januari 1927). Pada tahun 1992, gedung ini sempat ditetapkan sebagai cagar budaya namun entah bagaimana ceritanya gedung bersejarah tersebut akhirnya dilibas habis tak bersisa. Lokasi gedung tersebut saat ini sudah berdiri Padma Hotel yang menjulang tinggi seperti cerobong proefstaton di masa lalu.

Sekian ulasan Jejak Kolonial mengenai Candibaru, suatu kawasan permukiman yang lahir dari niat mulia sejumlah tokoh masa lampau Semarang terhadap keadaan lingkungan kotanya yang butuh perbaikan. Tanpa kepedulian dan keseriusan berbagai pihak saat itu, barangkali perbukitan Candi hanya akan menjadi perbukitan gersang yang tiada artinya dan. Kendati penataanya masih berbingkai dengan segregasi ras, namun upaya mengintegrasikan antara perkampungan pribumi ke dalam perluasan kota adalah suatu hal yang progesif di masanya dan hal inilah yang membuat unik Candibaru dibandingkan kota taman lain di Hindia-Belanda. Pada masa sekarang, wajah tempo dulu Candibaru telah tenggelam oleh berbagai bangunan baru yang telah mengisi setiap jengkal lahan. Kendati demikian karisma Candibaru sebagai kawasan hunian elit nan eksklusif belum sepenuhnya hilang. Hal tersebut dibuktikan dengan deretan rumah-rumah berarsitektur kekinian yang tersembunyi di balik pagar tinggi dan gerbang yang senantiasa tertutup. Sudah semestinya Candibaru menjadi kawasan bersejarah yang patut dilindungi kendati kenyataan di lapangan berkata lain. Oleh karena itu,  pemegang kebijakan diharapkan dapat menciptakan regulasi dan rencana pengelolaan yang berkelanjutan dan tepat, sehingga kawasan bersejarah ini tak sekedar menjadi catatan tertulis semata, namun juga dapat dilihat dan dirasakan oleh anak cucu suatu hari nanti…..

Referensi

Stadsgemeente Semarang. 1939. Gedenkschrif Uitgegeven door De Stadsgemeente Semarang ter Gelegenheid van het 25 Jarig Bestaan van Nieuw Tjandi. Semarang : Druk Masaman & Stroink.

Gemeente Semarang. 1931. Gedenkboek der Gemeente Semarang 1906-1931. Semarang : N.V. Dagblad de Locomotief.

Indishce Genootschap, 1917. Het Uitbreidingsplan der Indische Gemeente, s' Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Lemey, W. 1926. "De Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting te Semarang" dalam Bouwen Tijdschrift voor Holland en Indie. Rotterdam : Van Staal & Co. halaman 17-24.

Pont, Maclaine. 1918.  "Een algemeen uitbreidings- en verbeteringsplan voor de gemeente Semarang" dalam De Ingenieur No.18 halaman 328-334.

Algemeene Handelsblad, 4 Januari 1930

De Indische Courant, 2 Maret 1926

De Locomotief 18 Mei 1929

De Locomotief 8 Mei 1950

De Indische Courant, 8 Juli 1937

De Locomotief, 11 Maret 1919

De Indische Courant, 8 Juli 1937

De Locomotief, 25 Januari 1927