Minggu, 27 Desember 2020

Singkap Jejak Konglomerasi Koloniale Bank di Tanah Vorstenlanden

Sebagai negeri yang berkelimpahan sumberdaya alam, Nusantara telah memikat banyak pedagang dari berbagai penjuru sejak berabad-abad silam. Kontak perdagangan tersebut terbukti telah memberikan dampak yang amat penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah kontak perdagangan dengan bangsa Eropa yang terintis sejak abad ke-16. Meskipun kalah tua dengan pemain lama seperti pedagang dari India, Arab, dan Cina, namun pedagang Eropa - terutama dari Belanda - sebagai pendatang baru ternyata kemudian hari meninggalkan dampak yang luas dalam berbagai kehidupan masyarakat. Para pedagang Belanda yang berhimpun di bawah bendera perusahaan multinasional VOC telah mendominasi perdagangan Nusantara selama dua abad (1602-1799). Meskipun VOC sudah bubar, namun perusahaan tersebut telah meletakan pondasi bagi kapitalisme modern yang diteruskan oleh sejumlah perusahaan swasta baru. Salah satunya adalah Koloniale Bank. Bagaimanakah kiprah perusahaan tersebut di masa lalu ?
Kantor lama Koloniale Bank di Willemskade (kini Jalan Jembatan Merah) Surabaya sebelum dirombak pada tahun 1927. (sumber : media-kitlv.nl)
Eksploitasi penjajah terhadap alam Nusantara secara terstruktur dimulai saat Gubernur Jenderal Van den Boch menerapkan cultuurstelsel dimana setiap desa menyediakan seperlima lahannya sebagai perkebunan pemerintah. Lahan itu nantinya akan ditanami tumbuhan seperti nila, kopi, dan tebu yang seringkali ditanam melebihi luas lahan yang ditentukan. Meskipun keuntungan dari cultuurstelsel mengalir deras ke kas Kerajaan Belanda, namun geliat perniagaan di Hindia-Belanda berjalan lambat. Saat itu, orang-orang Eropa tidak ada hak untuk memiliki tanah dan hanya segelintir keluarga pejabat kolonial saja yang memilikinya. Di sisi lain, Nusantara dalam benak orang-orang Belanda adalah tempat yang jauh. Perjalanan melalui laut bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan dan setibanya di sana harus membiasakan diri dengan iklim tropis. Hanya pegawai pemerintah dan orang nekat pengundi nasib saja yang menetap ke Nusantara. Pandangan tersebut perlahan mulai pudar seiring berkembangnya Revolusi Industri di Eropa yang menjadi tonggak kapitalisme modern. Melalui sistem kapitalisme, siapapun sepanjang dia menguasai modal dan mampu mengelolanya dengan baik akan mendapatkan keuntungan. Sejumlah pengusaha swasta di Belanda mulai melirik potensi dari koloni Hindia-Belanda yang masih belum tergarap sepenuhnya dengan serius. Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial pada tahun 1870 untuk menghapus Cultuurstelsel dan menggantikannya dengan Undang-Undang Agraria yang membuka keran investasi asing selebar-lebarnya pada pengusaha swasta (Lombard, 2018; 88). Para pengusaha swasta tersebut sebagian besar berinvestasi di bidang agribisnis dan mereka butuh banyak suntikan modal untuk membuka dan memperluas perkebunan. Hal inilah yang kemudian menjadi pangsa pasar yang diincar oleh Koloniale Bank, sebuah lembaga keuangan yang resmi didirkan di Amsterdam pada 22 Maret 1881 dengan modal awal sebesar 5 juta gulden. Pendiran Koloniale Bank diprakarsai oleh M.C. Calkoen dan J. Hudig Dzn. Kantor perwakilan utamanya di Hindia-Belanda dibuka di Batavia pada 1 Juli 1881. Guna mendekatkan Koloniale Bank dengan kalangan pengusaha perkebunan yang saat itu lebih banyak berada di Jawa Timur, maka Koloniale Bank membuka kantor perwakilan kedua di Surabaya pada 15 Juli 1881 yang dekat dengan sentra perkebunan tebu. Berikutnya kantor perwakilan ketiga dibuka di Semarang pada Juni 1883 (De Bree, 1918 ; 306). 
Bangunan kantor baru Koloniale Bank karya arsitek Wolff Schoemaker. (sumber : media-kitlv.nl)
Sekitar tahun 1882-1883, Koloniale Bank telah meminjamkan uang sebesar 4.600.000 gulden kepada 39 pengusaha. Pinjaman tersebut dikembalikan melalui kesepakatan bagi hasil keuntungan dengan pemilik perkebunan. Prospek usaha tersebut terlihat cukup menjanjikan namun cukup beresiko karena bergantung pada keberhasilan panen dan tingkat penjualan di pasaran. Resiko itu akhirnya menjadi kenyataan saat krisis gula mendera pada tahun 1884 akibat membanjirnya jenis gula dari sugar beet (sejenis tanaman umbi yang memiliki kadar manis besar) yang menyebabkan harga gula tebu di pasaran jatuh. Satu per satu pengusaha jatuh pailit dan terancam gagal membayar hutangnya kepada Koloniale Bank. Baru dua tahun berdiri, nasib Koloniale Bank sudah di ujung tanduk. Untuk menalangi keuangan Koloniale Bank, maka dana darurat dihimpun oleh komite berisikan perusahaan kawakan Hindia-Belanda seperti Handelsvereeneging Amsterdam, Nederlandsch Handel Maatscahppij, dan De Javaasche Bank. Komite tersebut juga menyarankan agar Koloniale Bank menyita sejumlah aset perkebunan yang tidak sanggup melunasi pinjaman. Perkebunan yang telah disita itu selanjutnya dikelola oleh suatu badan usaha baru yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh Kolonials Bank. Krisis tersebut begitu mempengaruhi arah perusahaan dari yang mulanya adalah bank umum dan sebatas menyediakan modal perusahaan perkebunan, akhirnya mulai turut dalam urusan perkebunan dari awal sampai akhir. Koloniale Bank baru kembali menjalankan peran sebagai bank umum pada 1905 dalam skala yang lebih kecil (De Bree, 1918 : 305-355).
Bekas kantor Koloniale Bank yang saat ini menjadi kantor PTPN X.
Kantor perwakilan utama Koloniale Bank di Hindia-Belanda lalu dipindahkan dari Batavia ke Surabaya pada tahun 1885 karena bisnis terbesar Koloniale Bank ada di Jawa Timur. Kantor lama di Batavia kemudian menjadi kantor firma Tiedeman en Van Kerchem yang ditutup pada tahun 1915. Kantor mereka di Surabaya terletak di Willemskade (kini Jalan Jembatan Merah) dan berhadapan dengan Kali Mas. Tempat tersebut merupakan jantung perniagaan Surabaya yang ramai. Semula, jumlah pegawai Koloniale Bank tidak lebih dari 15 orang. Seiring berkembang pesatnya bisnis Koloniale Bank pada awal abad 20, jumlah pegawai juga ikut bertambah sehingga muncul kebutuhan terhadap ruang kantor yang lebih luas. Pada tahun 1925, J.H Lager sebagai kepala perwakilan Koloniale Bank saat itu memutuskan untuk membeli parsel tanah antara kantor mereka dengan Nutsspaarbank yang ada di sebelahnya sebagai persiapan untuk perluasan kantor. Selanjutnya Koloniale Bank merombak total kantor pada tahun 1927. Lager selanjutnya memilih arsitek Belanda ternama asal Bandung, Prof. Wolff Schoemaker, sebagai arsitek yang akan merancang gedung baru Koloniale Bank. Gedung Koloniale Bank Surabaya menjadi karya kedua yang Schoemaker buat untuk kantor bank ; sebelumnya ia sudah merancang kantor Nederlandsch Indische Handelsbank di Batavia. Karya Schoemaker di  Surabaya ini  memang terlihat ringkas, praktis dan sedikit hiasan mencolok naum masih terlihat elegan. Sirkulasi udara, cahaya, dan komposisi ruang sudah diperhitungkan secara cermat oleh Schoemaker. Bagian depan tersebut memiliki beranda lebar untuk menghalau masuknya cahaya matahari tropis dan tampias air hujan ke dalam bangunan. Pekerjaan bangunan baru tersebut digarap oleh Hollandsche Beton Maatschappij dengan nilai kontrak sebesar 390.000 gulden. Upacara peletakan batu pertama pada 7 September 1927 diabadikan pada prasasti yang tertempel di dekat pintu masuk. Hanya dalam waktu kurang dari setahun gedung tersebut selesai dibangun. Pada 10 November 1928 adalah hari yang ditunggu oleh jajaran pegawai Koloniale Bank karena pada hari itu gedung kantor baru mereka diresmikan. Upacara pembukaan diadakan pada pukul 10 pagi di aula besar lantai pertama yang akan menjadi ruang kerja pegawai bagian perkebunan tebu. Undangan yang hadir antara lain Ir. D.J. van Aalst sebagai perwakilan Hollandsche Beton Maatschappij, Prof. Schoemaker sebagai arsitek gedung Koloniale Bank, dan P.E. Staverman sebagai kepala perwakilan Koloniale Bank (De Indische Courat, 10 November 1928).
Foto lama PG Randugunting (Sumber : collectietropenmuseum.nl).
Bagian dalam PG Randungunting. (sumber : collectietroppenmuseum.nl)
Hanya dalam waktu 25 tahun, Koloniale Bank melesat sebagai perusahaan keuangan terkemuka dan masuk dalam jajaran perusahaan konglomerat besar di Hindia-Belanda seperti Cultuur Maatschppiij der Vorstenlanden, Internatio, Handelsvereeneging Amsterdam, Nederlandsh Handel Maatschppij, dan Nederlandsch Indie Landobouw Maatschppij  yang dikenal sebagai “The Big Six”. Koloniale Bank sempat berminat untuk memperlebar sayapnya ke Pulau Sumatera meskipun akhirnya kehilangan minat karena ketidakjelasan UU Perburuhan dan lemahnya prospek tanaman karet saat itu. Meskipun Koloniale Bank menaruh ketertarikan terhadap aneka tanaman komoditi seperti kopi, kakao, tembakau, kina, dan nila. Namun dari semua tanaman itu, yang menjadi primadona adalah tebu. Sekalipun sempat didera krisis, namun sesudahnya harga gula di pasaran relatif stabil. Tanaman inilah yang berjasa mengantarkan Koloniale Bank pada pucuk kejaayannya. Layaknya anak emas, segala cara ditempuh untuk meningkatkan keuntungan dari perkebunan tebu seperti memperbarui perangkat pabrik gula, perluasan jaringan lori, dan pembangunan saluran irigasi (Indische Mercuur, 1923).
Citra satelit google map yang menunjukan kondisi PG Randugunting saat ini. Keterangan A. Bekas cerobong PG ; B. Bekas klinik / rumah sakit pembantu Randugunting.
Denah kompleks PG Randugunting ketika masih berdiri (1935).
Sebagai perusahaan konglomerat, Koloniale Bank memiliki jejaring pabrik gula yang berdiri di mana-mana. Keberhasilan beberapa tahun di sektor industri gula mendorong Koloniale Bank untuk memperluas jejaring usahanya. Gurita usaha Koloniale Bank kemudian merembet hingga tanah Kasultanan Yogyakarta. Pijakan pertama konglomerasi Koloniale Bank di tanah Kasultanan adalah PG Randugunting yang posisinya dibelah oleh tapal batas provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Bagian pabrik masuk Yogyakarta sementara kantornya berada di wilayah Jawa Tengah. Alasan mengapa pabrik tersebut letaknya ada di perbatasan karena pendirinya, K. A. Klaring, memiliki dua onderneming atau perkebunan, yakni "Randugunting" di sisi Yogyakarta dan "Tjandi Sewoe" di sisi Jawa Tengah. Klaring mengawali usahanya pada perkebunan nila, tanaman penghasil pewarna pakaian. Nila tidak laku di pasaran semenjak penemuan pewarna tekstil sintetis yang lebih murah dan mudah dibuat. Supaya bisnis agrarianya dapat bertahan, Klaring akhirnya beralih ke budidaya tanaman tebu dan diikuti dengan pendirian pabrik gula. Untuk melakukan semua hal tersebut, Klaring meminjam uang dari Koloniale Bank sebagai modal. Malangnya, Klaring tidak sanggup melunasi utangnya sehingga aset perkebunan beserta pabrik dijual Klaring pada tahun 1882 (De Locomotief, 3 April 1882). Pembeli yang berminat ternyata sedikit sehingga aset-aset tersebut langsung dikuasai oleh Koloniale Bank pada tahun 1889 (Het Vaderland, 4 September 1889). Perkebunan "Randugunting" yang semula dijalankan sebagai bisnis keluarga akhirnya menjadi badan usaha swasta bernama "N.V. Randoegoenting" pada tahun 1895. Total sahamnya sebesar 645.000 gulden dan dua pertiganya digenggam oleh Koloniale Bank. Berkat suntikan modal tambahan dari Koloniale Bank, PG Randugunting kemudian memperluas area ladang tebu dengan menggabungkan perkebunan "Tjandi-Sewoe""N.V. Randoegoenting" berubah nama menjadi "N.V. Randoegoenting-Tjandisewoe". Perluasan perkebunan tersebut lalu diikuti dengan memperbesar bangunan pabrik (Nederlandsch Staatscourant, 23 Desember 1899).
Rumah dinas kepala PG Randugunting. Terlihat di foto, J.F.H.Gessner, kepala pabrik gula yang sedang bersantai di taman depan rumah.
Sisa struktur pagar rumah pegawai PG Randugunting.
Berbekal peta topografi dari zaman Belanda yang menggambarkan sangat detail pola tata ruang ketika PG masih berjaya, saya mencoba untuk meninjau jejak PG Randugunting. Peta yang saya gunakan memandu saya pada sebuah struktur berupa barisan tembok lama tidak menarik untuk dilihat bagi orang biasa. Namun untuk saya, tembok tadi adalah data yang berharga untuk melengkapi kepingan sejarah PG Randugunting yang masih terserak. Tembok lama yang sekilas tidak memiliki arti itu sesungguhnya adalah tembok pagar halaman rumah dinas PG pegawai Randugunting. Ukurannya memang lebih rendah dibanding pagar rumah sekarang karena “Pagar halaman orang Belanda“, tulis Harriet W. Ponder di Javanese Panorama, “ biasanya dibuat rendah, sehingga para penghuni yang sedang duduk santai di teras depan dapat menikmati lingkungan yang asri” (Rush, 2013; 218).  Jika dicocokan dengan peta, lokasi tembok itu persis berada di area kompleks perumahan pegawai PG Randugunting. 

Reruntuhan cerobong PG Randugunting.
Bagian dalam cerobong.
Dari tempat penemuan pagar tadi, saya beranjak ke tempat-tempat yang disinyalir masih meninggalkan jejak. Selagi menyusuri, dari kejauhan mata saya menangkap sebuah puing bangunan yang menjulang tinggi dan berdiri bergeming laksana raksasa di tengah kepungan permukiman warga. Penasaran, sayapun mencoba untuk menghampirinya. Reruntuhan yang saya temukan bukanlah sekedar reruntuhan biasa karena reruntuhan tersebut adalah sisa cerobong asap monumen kejayaan PG Randugunting, yang dulu asapnya mengepul dari reruntuhan yang kini berdiri di depan mata saya ini.  Pondasi setinggi kira-kira dua meter rela saya panjati hanya untuk mengintip seperti apa bagian dalamnya. Cukup sulit karena tidak ada tangga dan hanya mengandalkan tumpuan batu saja. Sesampainya di dalam, kesan pertama yang saya dapati adalah lembab, gelap dan gatal. Saya begitu kagum pada konstruksi bangunan yang bertahan lebih dari seabad. Hanya dengan mengandalkan tumpukan batu bata yang disusun sangat tebal tanpa ada tulangan besi, bangunan yang didirikan dengan teknologi seadanya ini mampu bertahan lebih dari seabad. Sayangnya, hanya inilah jejak PG Randugunting yang sejauh ini tersisa. Menurut penuturan warga sekitar yang kebetulan menemui saya, hampir semua bagian pabrik sudah lama dibongkar dan hanya bagian cerobong saja yang disisakan karena warga kesulitan membongkar akibat temboknya yang kelewat tebal. Apa yang disampaikan warga tadi diperkuat dengan bekas pukulan linggis yang saya jumpai di dalam cerobong. 
Bangunan pabrik yang sudah selesai dibuat (sumber : geheugen.delpher.nl).
Foto udara PG Medari yang diambil dari barat pabrik (sumber : geheugen.delpher.nl). 
Sukses dengan PG Randugunting, Koloniale Bank kali ini berupaya mendirikan sebuah pabrik gula yang dibangun dari nol. Pabrik gula tersebut bernama PG Medari. Rencana pembangunannya sudah muncul di permukaan pada tahun 1906 dan mulai dibangun pada tahun 1908 (De Locomotief, 25 Maret 1908). Letaknya dekat dengan jalur kereta api Yogyakarta-Magelang agar memudahkan proses pendatangan mesin-mesin pabrik buatan Machinefabriek Gebr. Stork & Co menuju ke lokasi pembangunan pabrik (Anonim. 1922; 83). Untuk menjalankan pabrik gula tersebut, Koloniale Bank membentuk badan usaha N.V. Cultuur Maatschappij Medari yang sahamnya sebagian besar dikuasai oleh Koloniale Bank. Saat berdiri, PG Medari merupakan pabrik gula terbesar di Yogyakarta dengan luas ladang perkebunan mencapai 2363 bouw atau 1654 hektar. Luas tersebut bertambah sehubungan dengan pembelian lahan perkebunan di sekitarnya pada tahun 1920. Lahan perkebunan yang dibeli antara lain Candi, Mlesen, Kebonagung, dan Wringin. Penambahan luas kebun ini selanjutnya diikuti dengan pembaruan mesin pabrik. Mesin yang sebelumnya digerakan dengan tenaga uap kemudian digerakan dengan tenaga listrik yang sumbernya berasal dari pembangkit. Di samping itu dibangunkan pula cerobong asap baru setinggi 45 meter pada tahun 1921. Untuk mengangkut panen tebu ke pabrik, PG Medari dilengkapi armada 8 lokomotif kecil dan 200 gerbong (De Preanger Bode, 4 Mei 1922).
Proses pembangunan cerobong pabrik (sumber : geheugen.delpher.nll).
Proses pemasangan kerangka pabrik. Terlihat bangunan cerobong yang sudah selesai dibuat (sumber : geheugen.delpher.nl).
Proses pembangunan rumah dinas pegawai pabrik (sumber : geheugen.delpher.nl).
Bangunan rumah dinas pegawai pabrik yang sudah selesai dibangun (sumber : geheugen.delpher.nl).
Ruang laboratorium PG Medari
(sumber : geheugen.delpher.nl).
Instalasi mesin masakan PG Medari (sumber : geheugen.delpher.nl).

Denah PG Medari pada peta tahun 1935 (Sumber : maps.library.leiden.edu).
Citra satelit dari Google map yang menggambarkan kondisi PG Medari saat ini. Keterangan : Kotak merah : Lokasi pabri, A : Rumah dinas Administrateur (SMP N 1 Sleman), B : Rumah masinis pertama (KODIM 0732 Sleman), C : Bekas kantor pos, D : Stasiun Medari, Garis kuning : Eks jalur kereta.
Bekas bangunan rumah dinas administrateur PG Medari.
Rumah Administrateur PG Medari dilihat dari kereta api yang sedang melintas di depan rumah. (Sumber : Reis Willem I - Djocja)
Salah satu jejak PG Medari masih berdiri tegak di balik tingginya pagar SMP N 1 Sleman. Sekalipun berdiri di tengah kompleks sekolah, bangunan itu sama sekali tidak terlihat lazim untuk bangunan sekolah. Secara sepintas, bangunan itu justru mirip dengan sebuah villa besar milik seorang tuan tanah kaya raya. Kejanggalan bangunan itulah yang memicu rasa penasaran saya ketika berjumpa pertama kali dengannya. Dari kemegahan bangunannya, besar kemungkinan bila ia dulunya adalah tempat tinggal sang tuan administrateur, jabatan tertinggi dalam hirarki lingkungan pabrik gula. Tugas seorang administrateur meliputi banyak hal, dari penanaman tebu, jalannya pengolahan, urusan keuangan, hingga distribusi (Wiseman, 2001; 388). Apabila diamati secara seksama, gaya bangunan ini mencerminkan villa-villa besar di Jerman selatan yang berada di kaki pegunungan Alpen, terlihat pula dekorasi tempelan kayu di bagian gevel yang menambah manis kesan bangunan. Gaya arsitektur ini disebut gaya arsitektur Chalet, gaya yang banyak dipakai pada bangunan Indis akhir abad 19 dan awal abad 20. Tampak beranda depannya yang dulu terbuka dengan lengkungannya kini sudah ditututup. Menurut kesaksian penjaga sekolah, di dalam bangunan ini pernah terdapat arca-arca kuno. Kalangan elit Belanda memang memiliki kegemaran mengumpulkan arca-arca masa klasik untuk dipamerkan pada kolega mereka. Kepala arca itu sempat raib diambil orang dan akhirnya berhasil ditemukan di Singapura. Untuk keamanan, arca tersebut disimpan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY. Selain beberapa tahun silam, pernah ada kunjungan rombongan Belanda yang ternyata dulu pernah tinggal di situ.
Bangunan rumah masinis pertama PG Medari yang saat ini dtempati KODIM 0732 Sleman. (Sumber : geheugen.delpher.nl)
Kondisi rumah tinggal milik pegawai pribumi pada masa sekarang.
Rumah tinggal milik pegawai pribumi.Para pegawai pribumi pada umumnya memiliki jabatan yang rendah dan cukup sulit untuk naik jabatan.Rumah tinggal para pegawai pribumi berukuran kecil.Di bagian halaman,terlihat taman yang ditata dengan rapi.(Sumber : troppenmuseum.nl).
Di tepi Jalan Magelang-Yogyakarta yang ramai oleh lalu lalang kendaraan itu, masih ada sejumlah jejak eks PG Medari lainnya. Contohnya adalah bangunan Kodim 0732/Sleman yang letaknya persis di seberang SMP N 1 Sleman dan menempati bekas rumah kepala juru mesin PG Medari. Sementara itu, berdiri di balik deretan kios-kios kecil, bangunan mungil ini seolah malu-malu untuk memperlihatkan wujudnya. Mungil memang, tidak semewah dengan rumah sang tuan administrateur, namun ia memberi gambaran kepada mengenai fasilitas rumah dari perusahaan yang diterima oleh pegawai bumiputra. Pemilik pabrik gula, merekrut orang-orang Jawa terpelajar untuk mengurus administrasi pabrik. Standar gaji yang lebih rendah daripada orang kulit putih menjadi alasan mereka direkrut sebagai pegawai rendahan. Para pekerja Jawa ini sulit untuk meniti jenjang karir lebih tinggi dan tak jarang mereka mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari pegawai kulit putih. Sekalipun demikian,  mereka disediakan hunian yang terhitung layak untuk ukuran mereka.
Bekas stasiun Medari yang kini menjadi posyandu.
Bekas kantor pos Medari.
Dahulu, di sisi barat jalan, tempat saya berdiri sekarang, pernah membentang rel kereta Magelang – Yogyakarta yang ditutup tahun 1976. Jalan baja ini tentu amat vital perannya bagi industri gula. Tanpanya, gula-gula pabrik gula ini tak kan pernah sampai di dapur konsumen. Kereta-kereta uap yang dulu lalu lalang di halaman depan rumah sang tuan administrateur, juga merupakan sarana pengangkut utama yang membawa mesin-mesin besar untuk keperluan pabrik. Di sekitar sini, masih ada beberapa jejak perkeretapian, seperti bekas stasiun, pondasi jembatan, dan tiang sinyal. Sementara itu, tak jauh dari bekas stasiun Medari, terdapat bangunan bekas Hulp-post kantoor atau kantor pos pembantu yang kondisinya kini sudah terbengkalai. Di sinilah segala urusan surat menyurat para pegawai pabrik dan masyarakat lokal diurus. Keberadaan kantor pos ini jelas membantu urusan administrasi pabrik. Di belakang eks kantor pos ini, dulunya ada sebuah gedung sus atau kamar bola, tempat para pegawai kulit putih bersenang-senang.
PG Sendangpitu pada peta tahun 1925. (sumber : maps.library.leiden.edu)
Sisa PG Sendangpitu.
Bekas jembatan Lori PG Sendangpitu di atas Sungai Krasak, perbatasan Sleman-Magelang.
Jejak konglomerasi Koloniale Bank pada industri gula di Yogyakarta tidak hanya berhenti pada PG Medari saja. Seiring dengan lahan perkebunan PG Medari yang terus meluas, maka jarak antara PG Medari dengan lokasi perkebunan semakin jauh. Untuk itu, direksi Koloniale Bank memutuskan untuk mendirikan pabrik gula baru bernama PG Sendangpitu pada tahun 1920. Salah satu lahan perkebunan PG Medari, yakni Kebonagung yang memiliki luas 950 bouw ditetapkan sebagai area tanam PG Sendangpitu. Pada 6 Maret 1921, diadakan upacara peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan PG Sendangpitu. Tanggung jawab pembuatan desain pabrik diserahkan kepada penasihat teknis Koloniale Bank, Ir. Helmers. Sementara pekerjaan pembangunannya dilaksanakan oleh Ir. Leefers yang sebelumnya pernah membangun PG Banjaratma di Brebes. Setahun berikutnya, PG Sendangpitu selesai dibangun dan pada 25 April 1922, diadakan upacara giling pertama yang dihadiri sejumlah direksi Koloniale Bank dan PG Medari. Untuk pengangkutan tebu, jaringan rel lori dengan panjang total mencapai 35 km dipasang di berbagai penjuru perkebunan. Selain itu dibuatkan juga sekitar 200 jembatan lori baik berukuran besar maupun kecil. (De Preanger Bode, 30 April 1922).
Dam Pete.
Dam Tempur.
Pada masa Koloniale Bank masih berjaya, perusahaan tersebut sudah mengenal konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau dalam istilah asing disebut Corporate Social Responbility. Beberapa media massa saat itu menyebut Koloniale Bank sebagai "teladan mulia untuk kepekaan sosial sebuah perusahaan swasta". Koloniale Bank menyisihkan sejumlah anggaran untuk kegiatan sosial seperti pendidikan, perbaikan jalan dan jembatan, serta pendirian sejumlah pekerjaan irigasi (Indishce Mercuur, 1923).  Pada awal bulan Agustus tahun 1924, di rumah Residen Yogyakarta diadakan pertemuan antara pihak Koloniale Bank (yang diwakili oleh Van Holst Pellekaan, Mac Donald, dan Hellendoorn) dengan asisten residen, controleur Yogyakarta, Bupati Sleman, Bupati Kalasan, dan dr. Offringa dari Rumah Sakit Petronella. Pertemuan tersebut membahas tentang rencana Koloniale Bank yang akan membagikan sebagian keuntungan pabrik gula milik mereka (PG Randungunting, PG Medari, dan PG Sendangpitu) untuk sejumlah program sosial di Yogyakarta. Beberapa program yang dimaksud yakni pendirian bank desa untuk usaha peternakan, pendirian Ambatchschool atau sekolah pertukangan di Sleman, perbaikan rumah sakit pembantu di Medari dan Bedoyo, pendirian balai pertemuan desa, dan pendirian beberapa bendung permanen untuk masyarakat (De Indische Courant, 2 Agustus 1924). Salah satu jejak program sosial Koloniale Bank yang masih ada adalah bendung permanen yang awalnya dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan tebu. Ladang tebu harus dialiri dengan saluran irigasi yang baik supaya air senantiasa mengaliri tanaman tebu yang rakus air. Sumber air irigasi disadap dari sungai yang sudah dibendung oleh dam. Pada perkembangan selanjutnya, pembangunan saluran irigasi juga menyasar untuk masyarakat sekitar karena belum tersedianya sarana irigasi di wilayah timur Yogyakarta. Selama ini, air untuk ladang penduduk masih mengandalkan air hujan atau bendung semi-permanen yang harus berulangkali diperbaiki. Bendung-bendung buatan Koloniale Bank yang masih ada misalnya adalah Dam Pete dan Dam Tempur. Berdasarkan prasasti-prasasti yang tertempel di dam, pembuatan bendung tersebut dilakukan sekitar rentang tahun 1924 hingga 1926. Irigasi tersebut sampai saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat. Dari sini terlihat bahwa keberadaan irigasi tersebut berguna bagi masyarakat sekarang sekitar meskipun proyek irigasi tersebut aslinya dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan. 
Klinik PG Randugunting. Saat PG Randgunting bangkrut, pengelolaan klinik ini diambil alih oleh Petronella Hospitaal (sekarang RS Bethesda Yogyakarta) (sumber : troppenmuseum.nl)


Bekas klinik PG Randugunting.
Bekas klinik PG Medari yang dibuka tahun 1914. Bangunan sudah tidak ada dan kini menjadi RSUD Sleman. (sumber ; troppenmuseum.nl)
Bidang kesehatan dan kebersihan masyarakat juga tidak luput dari perhatian Koloniale Bank dengan membantu pemberantasan penyakit (seperti malaria, frambusia, dan cacing tambang) dan membuka banyak klinik kesehatan yang tidak jauh dari pabrik gula. Pada abad ke 20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit di Hindia-Belanda. Kemunculan fasilitas klinik di pabrik gula tidak lepas dari anjuran H.F. Tillema agar setiap pemilik modal seperti Koloniale Bank memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Bila karyawan sejahtera, tentu akan berdampak terhadap meningkatnya produktivitas usaha. Di Yogyakarta, Koloniale Bank membangun klinik untuk karyawan pribumi di dekat PG Randungunting pada tahun 1910. Pabrik gula Randugunting adalah pabrik gula pertama di Yogyakarta yang memiliki fasilitas tersebut. Biaya operasional klinik mendapat subsidi dari pemerintah kolonial dan pengelolaan sehari-harinya dilakukan oleh tenaga kesehatan dari Rumah Petronella. Mengingat saat itu belum ada fasilitas kesehatan di sekitar PG Randugunting, maka klinik tersebut juga menerima pasien dari masyarakat sekitar dengan daya tampung lima puluh pasien. Mereka dirawat di klinik ini secara gratis dan dilayani oleh tenaga kesehatan yang terdiri seorang mantri dan dua perawat. Pembukaan klinik di pabrik gula tidak sepenuhnya murni karena kemanusiaan. Di balik itu, ada maksud ekonomis yakni untuk memberikan pengobatan secepat mungkin untuk karyawan sehingga mereka dapat kembali bertugas. Boleh dikatakan jika klinik-klinik perkebunan tersebut secara tidak langsung adalah bentuk investasi Koloniale Bank sebagai pemodal untuk meningkatkan produktivitas pabrik. Akibat krisis ekonomi yang mendera pada tahun 1930an, kepemilikan klinik di Randgunting itu selanjutnya diserahkan kepada Rumah Sakit Zending Petronella yang ada di Yogyakarta dan klinik tersebut menjadi bagian dari jaringan hulphospitaal atau rumah sakit pembantu milik Petronella yang tersebar di berbagai penjuru Yogyakarta untuk menjangkau lebih banyak pasien. Pasien yang berpenyakit ringan dirawat secara rawat jalan, sementara yang agak berat dirawat di rumah sakit pembantu terdekat. Pasien baru akan dirujuk ke RS Petronella apabila penyakitnya butuh penanganan serius. Untuk memudahkan komunikasi, RS Petronella terhubung dengan rumah sakit pembantu melalui jaringan telepon (Groot, 1936 : 45). Jejak klinik kesehatan tersebut masih ada namun saat ini kondisinya sudah merana dan beberapa bagian roboh saat gempa tahun 2006. Upaya lain Koloniale Bank untuk menjamin kesejahteraan karyawannya adalah pembentukan yayasan 'Onderling Pensioenfonds' pada tahun 1916 sebagai penyedia tunjangan pensiun karyawan dan santunan keluarga. Sedikit sekali perusahaan swasta di Hindia-Belanda saat itu yang sudah memikirkan jatah pensiun meski diprioritaskan untuk karyawan Eropa. Pegawai non-Eropa baru mendapatkan jatah dana pensiun pada tahun 1920 meskipun masih terbatas jumlahnya.
Kondisi PG Medari pada tahun 1949. (Sumber : indiegangers.nl)
Bekas dinding pembatas halaman pabrik.
Pada tahun 1930, terjadi krisis ekonomi yang dikenal sebagai Great Depression. Sebagai buah dari laju arus globaliasi, krisis tersebut menjalar sampai Hindia-Belanda. Krisis tersebut menghempas industri gula di Jawa karena untuk memperbaiki harga gula di pasaran, maka angka produksi gula harus diturunkan dan itu artinya akan ada banyak pabrik gula yang ditutup (Wilde & Moll, 1936 : 38). Salah satu yang terdampak adalah PG Randugunting. Sejak tahun 1932, ladang PG Randugunting tidak melalui musim tanam dan akhirnya PG Randugunting tutup selamanya pada tahun 1937 (Bataviaasch Nieuwsblad, 5 Februari 1936). Nasib serupa juga menimpa PG Sendangpitu yang sudah ditutup dari tahun 1931. Akhirnya tinggal PG Medari saja yang dipertahankan oleh Koloniale Bank dan tebu dari ladang pabrik gula yang ditutup selanjutnya dilimpahkan ke PG Medari. Tidak diketahui bagaimana nasib PG Medari saat zaman pendudukan Jepang, namun bangunan PG Medari tampaknya selamat dari perang. Hanya saja saat masa Agresi Militer Belanda Kedua, kondisi pabrik sudah berhenti beroperasi sepenuhnya. Masa pendudukan Jepang memang merupakan masa sulit untuk semua perusahaan perbankan di Hindia-Belanda tidak terkecuali Koloniale Bank. Sesudah kemerdekaan, kejayaan Koloniale Bank sudah sulit dipulihkan seperti sediakala. Sejumlah asetnya dincara pemerintah Republik Indonesia untuk dinasionalisasi. Di Yogyakarta situasinya lebih buruk. PG Medari yang tinggal menjadi pabrik gula satu-satunya Koloniale Bank di Yogyakarta sempat diduduki oleh militer Belanda dan setelah pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1949, bangunan pabrik dibongkar. Berlalulah kejayaan Koloniale Bank di Hindia-Belanda. Koloniale Bank akhirnya mengganti namanya menjadi N.V. Cultuur-, Handel-, en Industriebank (Cultuurbank) pada 1949 (Nieuwe Courant, 7 Desember 1949). Lalu bagaimanakah dengan sisa-sisa dari bangunan utama ketiga pabrik tempat tebu digiling dan sarinya dikristalkan menjadi gula ? Tidak banyak lagi yang bisa menemukan jejaknya. PG Randugunting hancur dan menyisakan cerobong. Sementara PG Sendangpitu tinggal seonggok puing di sudut lapangan. Sementara PG Medari separo lahannya telah menjadi pabrik GKBI dan satu-satunya jejak yang tersisa darinya hanyalah dinding pembatas halaman pabrik yang masih kokoh sampai sekarang. Kendati sudah lama berkalang tanah, namun setidaknya masih ada sekelumit jejak yang tersisa dari pabrik gula milik Kolonial Bank yang dulu berdiri begitu angkuhnya di tanah Vorstenlanden. 

Di akhir tulisan ini ada sesuatu yang dapat direnungkan bahwa betapa roda nasib betul-betul memainkan perannya di sini. Perusahaan konglomerat bermodal besar dengan aset yang tersebar dimana-mana, kini sudah tidak terdengar lagi namanya dengan jejak yang hampir lenyap samasekali. Jejak-jejak itu adalah salah satu aspek kehidupan sosial terkait kapitalisme pada masa kolonial yang menurut arkeolog Daud Aris Tanudirjo dalam buku "Kuasa Makna ; Prespektif Baru dalam Arkeologi Indonesia" dapat menjadi bahan kajian Arkeologi Kapitalisme. Kajian tersebut dapat mengisi kekosongan pengetahuan arkeologi tentang hubungan sosial, ekonomi, dan budaya antar manusia yang diharapkan mampu memperkaya sudut pandang terhadap fenomena kapitalisme di Indonesia.

Referensi
Anonim. 1922. Machinefabriek Gebr. Stork. & Co. Hengelo.
Bree, L. De. 1918. Het Bankwezen. Batavia :Ruygrok & Co.
De Wilde, A. Neytzell & Moll, J. Th. 1936. The Netherlands Indie During Great Depression. Amsterdam : J. M. Muelenhoff.
Dingemans, L.F. 1925. Gegevens over Djokjakarta.
Groot, K.P. 1936. Het Zendingsziekenhuis Petronella. Yogyakarta : Kolff-Buning.
Knight, G. Roger. 2013. Commodities and Colonialism, The Story of Big Sugar in Indonesia 1880-1942. Brill : Leiden.
Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya ; Batas Pembaratan. Jakarta : Gramedia.
Rush, James R. 2013, Jawa Tempo Doeloe, 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985, Depok : Komunitas Bambu.
Wiseman, Roger. 2001. "Three Crises : Management in The Colonial Sugar Industry 1880-1930s". Tesis. Adelaide : Departement of History, University of Adelaide.
De Locomotief, 25 Maret 1908
Bataviaasch Nieuwsblad, 5 Februari 1936
De Indische Courant, 2 Agustus 1924
De Indische Courat, 10 November 1928
Nieuwe Courant, 7 Desember 1949
Indische Mercuur, 23 Juni 1908
Indishce Mercuur Jubilleum Nummer 1898-1923