Senin, 21 Mei 2018

Lacak Jejak Pabrik Gula Klampok, Banjarnegara

( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Akhir bulan Juni 2017, Klampok, Banjarnegara. Cahaya matahari pagi itu terasa hangat. Awan kelabu tipis perlahan sirna, berganti dengan birunya kubah langit. Cuaca hari itu mendukung penjelajahan saya bersama kawan-kawan Komunitas Banjoemas Heritage ke bekas PG Klampok, satu-satunya pabrik gula yang pernah berdiri di Banjarnegara.
Lokasi PG Klampok, tak jauh dari pusat pemerintahan distrik Purwareja ( sumber : maps.library.leiden.edu ).
Semua orang tentu tahu bahwa bumi Indonesia tercinta ini dikaruniai Tuhan berupa hamparan tanah subur sehingga hampir segala jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Namun kesuburan tanah ini juga menjadi sumber penderitaan rakyat Nusantara selama lebih dari seabad karena kekayaan alam tersebut rupanya dikeruk oleh bangsa Belanda demi keuntungan mereka sendiri. Tidak lama setelah Belanda berhasil memantapkan kekuasaanya di sini pada pertengahan abad ke-19, lewat kebijakan cultuurstelsel mereka membuka lahan perkebunan di beberapa tempat untuk ditanami tanaman bernilai tinggi di pasaran seperti tanaman tebu yang diikuti dengan pendirian pabrik gula.
Emplasemen PG Klampok awal tahun 1900an ( sumber : maps.library.leiden.edu ).
Di Karesidenan Banyumas sendiri, industri gula dirintis oleh PG Kalibagor pada 1830an. Kesuksesan PG Kalibagor kemudian mendorong pengusaha partikelir lain untuk mendirikan pabrik gula lain di Karesidenan Banyumas. Salah satunya adalah A.W. de Rijk dari firma De Rijke, Groscamp & Co. Disahkannya UU Liberal pada 1870 yang membuka keran ekonomi tanah kolonial kepada pemodal Belanda menjadi peluang de Rijk dan ia mendirikan perusahaan baru bernama Soerabaia Bank en Handels Co. Lewat perusahaan itu, ia mendirikan PG Klampok pada 1889 dan PG Sempalwadak pada 1891. Namun karena memiliki kinerja yang buruk, maka PG Klampok diambil alih oleh sebuah badan usaha di bawah nama N.V. Cultuurmaatschappij Klampok (Wiseman,2001; 366). Perusahaan tersebut didirikan di Surabaya pada tahun 1889 dengan modal sebesar 200.000 gulden yang dibagi menjadi 40 saham dengan harga perlembar sebesar 5000 gulden. Kursi jabatan administrator atau kepala PG Klampok diduduki pertama kali oleh J.F. de Ruyter de Wildt, kemudian A.W. De Rijk menjadi akuntan editor dan kursi direktur pengawas diisi oleh Mr G. H. van Zyll de Jong dan C. W. Groskamp (Java Bode, 4 September 1889).
Foto satelit PG Klampok. Keterangan 1 : Bekas lokasi pabrik. 2 : Bekas rumah administrateur. 3 : Deretan eks rumah dinas PG Klampok. 4 : Kantor pos Klampok. 
Tibalah kami di situs PG Klampok. Tiada bangunan pabrik yang besar dengan cerobong yang tinggi menjulang di sana. Satu-satunya penanda sisa dari PG Klampok hanyalah barisan tembok batu-bata tua di belakang area gudang semen. Pabrik gula Klampok sendiri sudah lama pupus dan sepertinya dihancurkan di masa pendudukan Jepang. Sungguh tragis akhir nasib dari pabrik ini. Di masanya, ia diklaim sebagai pabrik gula paling modern karena PG Klampok adalah pabrik gula pertama di Jawa yang sudah teraliri listrik. Listrik-listrik itu dipakai baik untuk mendukung operasional mesin ataupun untuk penerangan rumah karyawan. Untuk tanah perkebunan, PG Klampok menyewa lahan seluas 3000 bouw atau 2100 hektar, menjadikannya PG dengan ladang terluas di Karesidenan Banyumas. Berbeda dengan di negara lain, pabrikan gula di Jawa seperti PG Klampok selain sebagai produsen gula juga merangkap sebagai petani. Pabrik akan mengawasi langsung jalannya penanaman tebu yang dilakukan oleh buruh tani kontrak di lapangan mulai dari penyiapan bibit, penggarapan tanah, penanaman tebu, pemupukan, pengairan, hingga pengangkutan dari ladang menuju pabrik. Ada alasan mengapa pabrik gula di Jawa juga harus terlibat dalam urusan penanaman dari awal. Menurut Tichelaar, lahan penanaman tebu di Pulau Jawa luasnya terbatas karena tidak setiap tempat dapat ditanami tebu dan jikapun tempatnya cocok harus berbagi dengan tanaman untuk makanan pokok seperti padi dan jagung. Supaya industri gula di Jawa memiliki daya saing di pasaran dunia, maka satu-satunya jalan adalah dengan melakukan intensifikasi pertanian yang ditangani sendiri oleh pabrik sehingga dengan luas lahan yang terbatas mampu menghasilkan panen yang melimpah (Tichelaar, 1927:82).
Salah satu lori PG Klampok (sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915).
Untuk membawa tebu dari perkebunan ke pabrik, dibuatlah jaringan lori yang panjang totalnya mencapai 140 km, setara dengan jarak Amsterdam-Den Haag. Seusai tebu diolah menjadi gula, berkarung-karung gula dari PG Klampok kemudian diangkut menggunakan kereta api. Dahulu PG Klampok dilintasi oleh jalur kereta milik perusahaan kereta swasta Serajoe Daal Stoomtram Maatschappij yang stasiunnya berada di sebelah barat pabrik. Jalur tersebut dibuka pada 2 Juli 1897 dan pada saat itu baru menghubungkan Klampok dengan Sokaraja. Bersamaan dengan pembukaan jalur tersebut, mulai dibangun pula jalur kereta Klampok dengan Banjarnegara karena Serajoe Daal Stoomtram Maatschappij berminat untuk melanjutkan pembangunan jalur kereta hingga Wonosobo (De Locomotief, 5 Oktober 1898)Keberadaan jalur kereta di dekat pabrik gula Klampok adalah bentuk simbiosis mutualisme antara perusahaan pemilik pabrik dengan perusahaan jasa kereta. Dengan transportasi kereta, karung-karung gula hasil olahan pabrik dapat dikirim ke pasaran dengan lancar, sementara perusahaan kereta menangguk keuntungan dari jasa pengangkutan tersebut.
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda A.W.F. Idenburg yang pernah mengunjungi PG Klampok tahun 1915.

Kedatangan Gubernur Jenderal ke PG Klampok. Keterangan 1 : Gubernur Jenderal Idenburg. 2 : Administrateur PG Klampok, W. van der Haar. 3 : Residen Banyumas Doeve. ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Gubernur Jenderal seusai menengok pabrik. Keterangan 1 : Gubernur Jenderal Idenburg. 2 : Administrateur PG Klampok, W. van der Haar. 3 : Residen Banyumas Doeve. ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
24 Agustus 1915 adalah hari yang teramat istimewa untuk PG Klampok karena pada hari itu, akan ada tamu agung dari Batavia yang berkunjung ke pabrik yang terletak di tepi Sungai Serayu itu. Tamu ini bukan sembarang tamu karena ia adalah orang nomor satu di koloni Hindia-Belanda, Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg. Seperti yang diwartakan Weekblad voor Indie terbitan 5 september 1915, lawatan Zijn Execelentie ke PG Klampok didampingi oleh Residen Banyumas saat itu, Doeve dan kepala pabrik, W, van der Haar, dan bupati Banyumas. Setelah mengelilingi pabrik yang baru saja diperbesar tahun 1912 itu, Sebelum pulang, manajemen pabrik memberikan cinderamata berupa album berisi foto-foto pabrik gula kepada Idenburg.

Mesin sentrifugal (sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915).

Pompa ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Gambaran petani tebu yang sedang memulai bercocok tanam (sumber : media-kitlv.nl).
Gubernur Jenderal Idenburg begitu puas dan terkesan dengan kinerja PG Klampok yang dalam pandangannya adalah gambaran dari semangat para kapitalis Belanda dalam memajukan industri gula kolonial kala itu. Namun ia mungkin tak tahu, bahwa kemajuan yang diraih industri gula saat harus dibayar dengan peluh derita para petani yang tanah milik mereka direnggut secara halus. Kala itu, pabrik gula tidak dapat memiliki tanah dan sebagai gantinya mereka menyewa tanah pada petani. Para petani secara halus dipaksa menanam ladangnya dengan tebu. Pemandangan hamparan hijau tanaman padi, segera berganti dengan lebatnya batang-batang tebu yang tinggi. Nasib para petani yang semula bebas mengurus lahannya, kini berakhir menjadi buruh yang terikat kontrak pabrik gula. Tak jarang masa tanamnya melebihi waktu cocok tanam padi sehingga produksi padi terganggu dan stok beras menipis di pasaran. Dengan pendapatan yang amat kecil, nasib mereka kian sengsara karena mereka masih ditarik pajak yang mencekik.
Sisa tembok belakang PG Klampok.
Waktu-waktu kejayaan PG Klampok tampaknya telah habis. Warsa 1930an adalah tahun getir bagi industri gula di Jawa. Meredupnya industri gula tak lepas dari tersungkurnya harga gula di pasaran dunia akibat krisis keuangan atau malaise. Produksi gula diciutkan sehingga banyak pabrik gula yang ditutup, salah satunya adalah PG Klampok yang akhirnya tutup usia pada 1932. Bersama PG Klampok, PG lain di Banyumas yang bernasib serupa antara lain PG Kalirejo, PG Bojong, PG Purwokerto, dan PG Kalibagor. Tiada lagi pasokan gula yang dikirim ke Cilacap. Meskipun demikian, pihak manajemen masih terus berupaya mencari harapan untuk dapat membuka kembali lahannya dan membangkitkan PG Klampok dengan mencari suntikan modal baru (De Locomotief, 9 Mei 1935). Tapi upaya tersebut tampaknya berakhir sia-sia. PG Klampok tak pernah pulih. Seiring waktu, bekas pabrik yang pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal itu akhirnya dipreteli sendiri mesin-mesinnya. Bangunan Societeit dibongkar oleh seorang pembeli Tionghoa. Selanjutnya pada tahun 1935, lahan pabrik diambil alih untuk dijadikan sebagai Landbouwkolonie, yakni semacam sekolah pelatihan pertanian. Bangunan perumahan pegawai lalu dijual seharga 4000 gulden untuk rumah tinggal peserta pelatihan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21 November 1935).
Sisa-sisa rumah dinas pegawai PG Klampok.

Kantor pos Klampok.
Walau PG Klampok telah musnah, namun beberapa jejaknya masih dapat dilacak di dekat dulu PG Klampok pernah berdiri yakni, di sekitar lapangan Balai Latihan Kerja Klampok. Di sana masih  berdiri rumah-rumah bergaya Indis peralihan yang diperuntukan pada para tenaga ahli pabrik seperti chemist, machinist, zinder, dan akuntan. Beberapa rumah bagian depannya memang sudah dirombak untuk keperluan tertentu, namun bentuk aslinya. Mengapa rumah-rumah itu dibangun di dekat pabrik ? Sebelumnya perlu dipahami tugas-tugas para pekerja pabrik gula tadi. Chemist adalah karyawan yang ahli dalam menentukan mutu produksi gula. Kemudian machinist berperan dalam perawatan mesin pabrik, baik mesin penggiling atau lori tebu. Sementara itu, tugas pengawasan proses pembibitan, penanaman, dan pemanenan di perkebuan diserahkan kepada Zinder ( Wiseman, 2001; 394-401 ).Dengan kesibukan pegawai yang tiap hari bergumul dengan urusan pabrik, tentu mereka butuh tempat tinggal yang dekat dengan pabrik. Apalagi saat itu kendaraan masih jarang, tidak seperti sekarang dimana para karyawan pabrik dapat tinggal di luar emplasemen pabrik. Sehingga untuk menunjang kinerja pegawai maka kompleks perumahan pegawai pabrik gula zaman Belanda, seperti PG Klampok, selalu dibangun di dekat pabrik.
Bekas rumah adminsitrateur yang kini menjadi kantor BLKP Klampok, Banjarnegara.
Interior rumah administrateur. ( sumber : Weekblad voor Indie 25 September 1915 ).
Persis di sebelah barat lapangan BLK, terdapat kantor BLKP Klampok. Walau bagian depan sedikit beralih rupa ; beranda depan ditutup dan ditambah kanopi, namun dinding sampingya tidak bisa menipu jika itu adalah sebuah bangunan kuna. BLKP Klampok menempati bekas rumah administrateur PG Klampok. Dalam struktur manajemen pabrik gula, administrateur adalah jabatan yang paling tinggi karena dialah yang menjalankan segala urusan dalam pabrik. Salah satu administrateur yang pernah tinggal di situ adalah W. van der Haar. Di masa kepemimpinannya, ia PG Klampok dimutakhirkan dan mendapat kunjungan kehormatan dari Gubernur Jenderal Idenburg.
Bekas makam Belanda di dekat PG Klampok.
Pelacakan PG Klampok tak berhenti sampai di bekas pabrik dan kompleks rumah pegawai saja. Sedikit menjauh ke utara, memasuki hutan bambu, kami menjumpai keberadaan beberapa makam Belanda yang jumlahnya tak sampai sepuluh buah. Sayangnya semua prasasti yang semula melekat di makam itu sudah hilang tak diketahui kemana rimbanya. Walhasil kami tidak mengetahui siapa saja yang dimakamkan di sini.

Referensi

Fajar Riadi. 30 Maret 2018. "Cara Penguasa Genjot Produksi Gula" dalam https://historia.id/modern/articles/cara-penguasa-genjot-produksi-gula-P0o5g

Jatmiko W. 28 Desember 2012. "Suikerfabriek Klampok" dalam  http://www.banjoemas.com/2010/10/suikerfabriek-klampok.html

Petrik Matanasi. 7 April 2017. "Swastanisasi Gula, Meliberalkan Jawa" dalam https://tirto.id/swastanisasi-gula-meliberalkan-jawa-cmhe

Suhendra. 7 April 2017. "Pasang Surut Industri Gula Indonesia " dalam https://tirto.id/pasang-surut-industri-gula-indonesia-cmhg

Tichelaar, J.J. 1927. De Java Suikerindustrie en hare beteekenis voor Land en Volk. Surabaya : N.V. Boekhandel en Drukkerij H. van Ingen.

Wiseman, Roger. 2001. "Three Crises : Management in The Colonial Java Sugar Industry". Tesis. Adelaide : University of Adelaide, Departement of History.

Java Bode, 4 September 1889

Weekblad voor Indie edisi 5 September 1915.

De Locomotief, 9 Mei 1935

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21 November 1935

Minggu, 13 Mei 2018

Sejarah Perang Dunia Kedua yang Terpendam di Benteng Pendem Bagelen

30 menit adalah waktu yang saya butuhkan untuk menempuh perjalanan dari Purworejo kota ke situs Benteng Pendem yang tersebar di Desa Bapangsari, Desa Tlogokates, dan Desa Dadirejo, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo. Dari jalan raya Purworejo-Yogyakarta, saya masih harus melalui jalan kecil yang kira-kira hanya bisa dilalui satu mobil saja.
Pergerakan Jepang di Hindia-Belanda.
Sejarah dari Benteng Pendem Kalimaro tak bisa dilepaskan sejarah Perang Dunia Kedua, dimana saat itu Jepang yang sedang diembargo oleh Amerika Serikat berusaha memenuhi kebutuhan perangnya sendiri dengan merambah koloni-koloni Eropa di Asia Tenggara yang kaya SDA. Salah satu koloni Eropa yang diincar adalah Hindia-Belanda. KNIL ( Koninklijke Nederlands Indische Leger ) yang selama ini menjadi tulang punggung pertahanan koloni Hindia-Belanda dianggap kurang mumpuni karena mereka hanya kuat menghadapi musuh dari dalam tapi tidak dari luar( Roccher dan Santosa, 2016;176 )Karenanya,pertahanan  Hindia-Belanda bergantung kepada kerja sama militer dengan AS, Inggris, dan Australia dalam satu komando dibawah pimpinan Jend. Archibald Wavell, ABDACOM ( Australia, British, Dutch, Command ). 
Kapal penjelajah Jepang, IJN Haguro, kapal inilah yang menenggelamkan HNMLS De Ruyter.
HNMLS De Ruyter, kapal dimana Laksamana Karel Doorman menemui ajalnya.
Setelah Filipina dan Singapura dikuasai, maka terbukalah jalan bagi Jepang untuk menguasai Hindia-Belanda. Genderang perang Hindia-Belanda versus Jepang  segera ditabuh. Dalam rancangan operasinya, Jepang membagi tiga jalur serangan. Jalur pertama dari timur, dengan Maluku dan Timor sebagai sasaran. Jalur kedua dari tengah dengan mengincar Kalimantan dan Sulawesi. Jalur ketiga dari barat dengan Sumatera sebagai incaran. Bila ketiga wilayah tadi berhasil dikuasai, Jepang lantas akan bergerak ke Jawa yang menjadi pusat pemerintahan dan komando ABDACOM.
Laksamana Karel Doorman, pemimpin armada sekutu yang gugur di Lau Jawa.



Laksamana Takeo Takagi, pemimpin armada Jepang yang berhasil mengalahkan armada Sekutu di Laut Jawa. Sempat memimpin armada Jepang dalam pertempuran Laut Coral sebelum hilang dalam pertempuran Saipan.
Pertempuran Laut Jawa menjadi kesempatan terakhir Sekutu untuk mempertahankan Pulau Jawa. Keunggulan kekuatan udara armada Jepang pimpinan Laksamana Takeo Takagi menjadi kunci kemenangan Jepang dalam pertempuran itu. Armada Sekutu pimpinan Karel Doorman berhasil dibinasakan dan terbuklah jalan bagi Jepang untuk menaklukan Jawa( Cribb & Cahin, 2012;206 ). Segera saja pada 1 Maret 1942, secara serentak Jepang mendaratkan pasukannya di Jawa pada tiga tempat berbeda, yakni di Merak, Eretan Wetan dan Kragan untuk menjepit markas ABDACOM di Bandung. Setelah mendarat, Jepang mulai merangsek ke beberapa kota di Jawa melalui tiga titik. Salah satu titik ialah Kragan, dimana di sana mendarat detasemen Sakaguchi yang kemudian memecah beberapa unit untuk menduduki kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu unit ialah unit Yamamoto yang bergerak ke selatan untuk menduduki beberapa kota penting speerti Yogyakarta, Purworejo, Gombong, dan Cilacap. Pada 6 Maret 1942 pagi pukul 04.30, dari Yogyakarta dilancarkan serangan ke Purworejo untuk membuka jalan ke Cilacap. Sebelum sampai Purworejo, unit Yamamoto sempat mendapat perlawanan sengit dari pasukan KNIL dari Batalyon Infanteri Ke 2 yang berjaga di tenggara kota Purworejo. Jepang pun berhasil melumpuhkan Pasukan KNIL. Alhasil, pada pukul 11.00, seluruh Purworejo berhasil dikuasai Jepang dan mereka melanjutkan serangan ke barat ( Angkasa Edisi Koleksi XLIX 2006;90 ).
Peta pergerakan tentara Jepang dalam penaklukan Jawa 1942.

Jenderal Hitoshi Imamura, komandan Angkatan Darat Jepang di Jawa yang sedang mengkoordinir pendudukan Jawa.
Setelah lini pertahanan Belanda di Jawa ditundukan Jepang, Belanda akhirnya harus mengakui kedigdadayaan Jepang di Kalijati. Pada masa awal pendudukan Jepang di Jawa, militer Jepang tidak terlalu peduli dengan pendirian sarana pertahanan karena doktrin militer Jepang yang lebih menekankan pada aksi menyerang. Setelah situasi perang mulai tidak menguntungkan bagi Jepang, maka militer Jepang mulai beralih ke doktrin pertahanan aktif, dimana tentara Sekutu sebisa mungkin dihalau saat mendarat di pantai, sehingga kekuatan musuh melemah dan pihak bertahan dapat melancarkan serangan balik (Rotmann, 2003;5). Berkaitan dengan doktrin tersebut, maka dibuatlah sarana pertahanan berupa bungker berlapis beton yang didirkan di tempat strategis, terutama di dekat garis pantai. Salah satu tempat yang dibangun bunker adalah Kalimaro, Bagelen yang berada di selatan gugus perbukitan Menoreh dan masih dekat dengan pantai selatan itu. Tempat tersebut dipilih karena letaknya yang berada di pucuk bukit memberi kelelusasan pandang bagi pihak bertahan dan sebaliknya musuh akan kesulitan menyerang pihak bertahan yang ada di atasnya (Rotmann, 2003;9). Selain untuk mengantisipasi pendaratan musuh di pantai selatan, Jepang juga menjadikan Benteng Pendem Kalimaro sebagai tempat untuk mengintai jalur perhubungan darat Cilacap-Yogyakarta yang melintasi Bagelen.
Persebaran bunker di Situs Benteng Pendem. Peta dibuat oleh Wiyan Ari Tanjun ( 2008 ).
Pemandangan laut selatan Jawa, tempat dimana Jepang memperkirakan pendaratan Sekutu.
Jarak yang jauh antara Jepang dengan wilayah yang didudukinya serta gangguan rantai logistik yang dilakukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang menimbulkan masalah pada logistik dan tenaga untuk membangun pertahanan. Maka dari itu, bahan material diperoleh dari lingkungan sekitar seperti batu karang, kapur, atau pohon kelapa. Sementara itu, penduduk Kalimaro dan sekitarnya, baik yang muda atau tua, dipekerjakan untuk membangun pillbox.  Selain itu, mereka juga ditugaskan melapisi jalan menuju kubu dengan batang pohon kelapa karena jalan menuju Kalimaro menjadi becek di kala musim hujan tiba. Penduduk yang ikut bekerja membangun benteng mendapatkan upah tergantung usia dan jenis pekerjaan (Angkasa XLIX, 2008;91). Sebelum membangun, penduduk yang tinggal di sekitar diharuskan untuk pindah karena lahannya akan dipakai sebagai sarana pertahanan. Dengan kubu pertahanan yang sudah dibangun di sini, Jepang sudah siap menanti kedatangan musuh. Seandainya pun pertahanan tersebut tidak berhasil, maka Jepang akan menjalankan perang atrisi dibantu oleh milisi lokal seperti prajurit PETA.  Namun apa daya, musuh yang ditunggu ternyata tak kunjung mendarat di pantai selatan. Berbalik dengan pandangan Jepang, Sekutu sadar bahwa walau letaknya lebih dekat dengan Australia, pantai selatan sebenarnya bukanlah tempat yang tepat untuk mendaratkan pasukan karena gelombangnya yang tinggi. Jadi sia-sialah  kubu pertahanan yang dibangun Jepang ini.
Casemate di situs benteng pendem. Tampak kubah pemantau di atas kubu.
Ruangan di dalam casemate. Keterangan 1 : Ruangan amunisi. 2 : Ruangan komunikasi.


Bekas dudukan meriam.
Akhirnya tibalah saya di situs Benteng Pendem Kalimaro. Di situs ini, terdapat dua buah casemate, yakni kubu meriam yang diberi struktur perlindungan. Pada masa awal perang, meriam-meriam Jepang ditempatkan dalam posisi terbuka sehinga menjadi incaran empuk pesawat-pesawat sekutu. Oleh karena itu, meriam-meriam pertahanan ditempatkan di dalam casemateSaya pun mencoba masuk ke dalam salah satu casemate itu. Sayang, di dindingnya tertoreh coret-coretan hasil dari ulah orang tak bertanggungjawab. Sampah dedaunan berserakan di lantai yang sudah tertimbun tanah. Setiap casemate memiliki empat ruang di bagian dalam. Ruangan terbesar dipakai sebagai tempat meriam, lalu ada ruang kecil yang dipakai sebagai ruang radio untuk komunikasi, dan di sebelahnya terdapat ruangan tempat menyimpan proyektil. Casemate itu dilengkapi dengan semacam kubah kecil sebagai ruang pemantau.
Lubang intai pada casemate. Dari sinilah pergerakan musuh dipantau.


Pintu masuk salah satu casemate. Tampak bekas pintu masuk yang dibongkar.

Lalu darimana asal sebutan Benteng Pendem ? Disebut Benteng Pendem karena gua-gua itu seperti terpendam tanah. Benteng-benteng beton itu memang sengaja dibuat terpendam dan disamarkan dengan lingkungan sekitar untuk meyembunyikannya dari mata pilot pesawat sekutu. Timbunan tanah tadi juga mampu menahan ledakan peluru meriam kapal atau bom pesawat musuh. Antar kubu dihubungankan dengan jaringan parit untuk memudahkan tentara mengisi sektor pertahanan yang terancam (Angkasa, 86; 2010). Selain untuk pergerakan, parit-parit tadi juga dapat digunakan sebagai tempat menembak yang aman. Namun karena tergerus erosi dan sudah diubah menjadi lahan pertanian, maka parit-parit Benteng Pendem kini sudah tidak tampak lagi wujudnya. Di Pasifik, bunker-bunker seperti yang terjumpai di situs Benteng Pendem cukup ampuh menahan laju serangan sekutu walau pada akhirnya Jepang kalah perang.
Meriam tipe '3' kaliber 140 mm yang dipakai luas oleh Jepang untuk mempertahankan pantai.
Melihat lubang tembaknya yang lumayan besar, saya memperkirakan jika meriam yang dipakai adalah meriam tipe '3' kaliber 140 mm, meriam yang diperkenalkan tahun 1914 dan merupakan meriam andalan Kaigun atau angkatan laut Jepang. Dari casemate ini, moncong meriam diarahkan ke pantai untuk menyapu musuh yang sedang mendarat. Dengan jarak tembak maksimum hampir 20 km, peluru yang dimuntahkan meriam itu dapat mencapai pantai selatan Purworejo. Meriam-meriam tersebut dirakit di tempat karena ukurannya yang besar sulit di bawa apalagi jika melalui medan perbukitan.
Beberapa pillbox.

Pintu masuk salah satu pillbox yang sudah terpendam tanah.
Senapan mesin tipe 92 atau Juki, senapan mesin yang digunakan untuk mempertahankan pillbox. Sekutu menjulukinya " Burung Pelatuk" karena suaranya. ( Koleksi Museum Sasmita Loka Bintaran ).
Selain casemate, di beberapa pucuk bukit atau lereng juga terdapat beberapa pillbox, yakni kubu pemantauan yang ukurannya lebih kecil. Karena letaknya yang ada di lereng atau di pucuk bukit yang curam, untuk menuju ke sana saya harus bersusah payah mendaki dan menuruni bukit. Kendala lainnya adalah banyak pillbox yang sudah diselimuti tanaman liar sehingga semakin mempersulit usaha pencarian. Untuk pertahanan, pillbox-pillbox itu dilengkapi dengan persenjataan senapan mesin tipe 92 kaliber 7,7 mm. Senapan mesin itu baru memuntahkan peluru jika musuh sudah masuk dalam jarak 1.500 m dari titik tembak. Kadang mereka menggunakan senapan Arisaka manakala peluru senapan mesin sudah habis. Penempatan pillbox-pillbox itu sudah direncanakan dengan matang, dimana mereka ditempatkan di titik-titik yang diperkirakan akan menjadi jalan prajurit Sekutu bergerak menyerbu posisi mereka, sehingga lawan yang hendak menduduki casemate di puncak bukit dapat dihadang (Tanjung, 2008: 67).
Bunker-bunker yang sengaja dipendam tanah untuk perlindungan.
Bagian dalam salah satu bunker.
Tentara Jepang tinggal di dalam bunker-bunker yang berada di lereng bukit tidak jauh dari casemate untuk mempercepat pergerakan jika terjadi serangan darurat. Bunker itu juga sekaligus menjadi ruang komando operasi dan tempat penyimpanan segala keperluan yang diperlukan tentara seperti senjata, amunisi, obat, dan makanan. Logistik didatangkan dari markas di Purworejo yang menempati bekas tangsi KNIL.
( Ilustrasi pendaratan sekutu dari film Letters from Iwo Jima dan Flags of Our Father ) 

Walau hal ini tidak mungkin terjadi, namun saya mencoba membayangkan seandainya Sekutu melakukan pendaratan besar-besaran di pesisir selatan Purworejo. Bayangan saya mungkin sama dengan adegan film Letters from Iwo Jima. Di film itu, digambarkan pasukan Marinir Amerika mulai mendarat di pantai Iwo Jima dengan kendaraan amfibi. Sementara tentara Jepang sudah membuat persiapan terbaik mereka dengan membuat bunker-bunker bawah tanah dan pillbox yang disamarkan. Ketika jumlah pasukan Amerika yang mendarat semakin banyak dan perlahan bergerak maju ke garis depan, tiba-tiba mereka diberi sambutan mengejutkan oleh tentara Jepang berupa rentetan tembakan senapan mesin dan hujan artileri yang ditembakan dari pillbox yang disamarkan. Perlawanan sengit terjadi hingga akhirnya pulau itu jatuh setelah dibombardir dengan pesawat bomber.

Dari 11 bunker yang disebutkan Tanjung dalam penelitiannya, saya hanya menemukan 9 bunker saja. Sementara sisanya gagal saya temukan karena sudah tertutup tanaman liar. Mungkin akan lebih baik lagi bila di situs ini diberi papan petunjuk arah ke setiap bunker agar pengunjung umum tidak tersesat manakala menelusuri bunker-bunker di situs ini. Semoga situs yang menjadi saksi sejarah Perang Dunia Kedua dan pendudukan Jepang di Indonesia ini dapat digarap dengan lebih baik lagi.

Referensi
Angkasa. 2010. Marine at The Pacific, Pertempuran Terdahsyat Marinir Sepanjang Sejarah. Jakarta;Penerbit Gramedia.

Angkasa Edisi Koleksi XLIX. 2008. Perang Asia Timur Raya, Kedigdayaan Dai Nippon. Jakarta; Gramedia Majalah.

Crib, Audrey dan Kahin, Audrey.2012. Kamus Sejarah Indonesia. Depok ; Komunitas Bambu.

Rotmann. Gordon. L. 2003. Japanese Pacific Island Defense. Oxford : Osprey Publishing.

Wiyan Ari Tanjung. 2008. Latar Belakang Penempatan dan Fungsi Benteng Pendem Kalimaro Purworejo. Skripsi. Yogyakarta; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada