Kamis, 25 Februari 2021

Gang Afrikan ; Sepenggal Sejarah Serdadu Afrika yang Tertinggal di Purworejo

Ketiga rumah yang berdiri di jalan Jenderal Sudirman, Purworejo itu tampak seperti rumah dari masa kolonial di tempat lainnya yang ditunjukkan dengan jendela krepyaknya yang tinggi. Namun jika menilik sejarahnya, deretan rumah tersebut menyimpan kisah yang cukup istimewa. Petunjuknya terletak pada nama gang dekat rumah tersebut, “Gang Afrikan". Membaca nama gang tersebut membuat kita teringat pada sebuah benua yang identik dengan masyarakat kulit hitam. Apa hubungan benua tersebut dengan gang beserta rumah-rumah itu ?

Seorang Belanda Hitam di Batavia.
 (sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl)

Setelah VOC bubar pada tahun 1799, urusan tanah jajahan Hindia-Belanda berada di tangan pemerintah kerajaan Belanda. Kendala timbul saat jajaran ketentaraan untuk koloni mengalami kekurangan personel. Sebelumnya kekurangan tersebut dapat diatasi dengan mengambil tentara bayaran asing. Sialnya adalah sedikit sekali pemuda Belanda yang berkenan untuk mengabdi di koloni karena tingginya angka kematian akibat penyakit tropis di sana. Hanya mereka yang betul-betul berniat atau tentara buangan saja yang dikirimkan ke Hindia-Belanda. Pecahnya Perang Jawa dari 1825 hingga 1830 semakin menguras jumlah tentara yang ada di koloni. Guna mengurai masalah tersebut, maka ada usulan untuk memasukan orang-orang Afrika ke dalam tubuh pasukan Angkatan Perang Hindia Belanda atau KNIL (Kessel, 2005: 41).

Lukisan yang memperlihatkan seorang serdadu Belanda Hitam sedang beraksi
(sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl).

Penggunaan orang Afrika dalam ketentaraan kolonial Eropa memang sedang marak dilakukan pada abad ke-19. Perancis membentuk kesatuan kulit hitam yang dikenal sebagai korps Tirallieurs Senegalais. Kemudian Inggris membentuk kesatuan sejenis, West Indian Regiment. Menurut Ineke van Keesel dalam “Serdadu Afrika di Hindia-Belanda, 1831-1945”, ada alasan mengapa negara-negara Eropa mengambil orang kulit hitam untuk ditempatkan di tanah jajahannya. Saat serdadu koloni direkrut dari orang pribumi, ada potensi mereka bakal melawan balik tuannya. Hal itu akhirnya terbukti dalam peristiwa pemberontakan Sepoy di India pada 1857. Dengan merekrut orang kulit hitam, maka akan didapat pasukan yang lebih setia sekaligus memenuhi jumlah tentara yang diperlukan. Kemudian timbul pertanyaan, darimana Belanda akan memperoleh tentara kulit hitam mengingat mereka tidak memiliki banyak jajahan di Afrika ? Ada beberapa usulan. Seorang perwira Inggris bernama Hamilton Smith menyarankan mengambil orang kulit hitam dari Pantai Guinea dan budak dari Suriname. Sementara Van Saksen-Weimar mengusulkan untuk mengambil orang kulit hitam  dari Amerika Serikat.(Kessel, 2011; 24-29)

Elmina Castle atau Fort St. George menjadi markas Belanda di Gold Coast (kini Ghana) setelah benteng tersebut direbut dari Portugis pada 1637. Belanda bercokol di benteng tersebut hingga tahun 1872. Selama ditempati Belanda, benteng ini menjadi tempat pengiriman budak-budak dan serdadu kulit hitam(sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl). 

Saran Hamilton Smith kemudian yang dipilih namun Belanda akan mengambil orang-orang kulit hitam dari Pantai Guinea, bukan dari Suriname dengan pertimbangan bahwa para budak kulit hitam dari Suriname diragukan kesetiaanya dan tidak ada orang kulit hitam merdeka yang mau ditugaskan ke Hindia-Belanda karena mereka sudah berkeluarga. Di Pantai Guinea yang dulu bernama Gold Coast, Belanda memiliki pos dagang di Elmina yang sudah berdiri sejak abad ke-17. Pada tahun 1831, Raja Willem I memberi perintah untuk merekrut satu kompi dari Elmina dan mengirimkannya ke Jawa sebagai ujicoba. Pada ujicoba tersebut, baru diperoleh 44 serdadu, jauh dari target yang diinginkan yakni 150 serdadu (Kessel, 2004: 44). Meskipun tidak mencapai target, perekrutan tentara baru tetap dilakukan karena militer Belanda puas dengan keberanian dan daya tahan orang Afrika dalam beradaptasi di lingkungan barunya. Berkaca dari kegagalan perekrutan pertama, maka Belanda mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Ashanti pada tahun 1837 supaya kuota rekrutan sanggup terpenuhi. Raja Ashanti akan  menyerahkan seribu orang baik yang memenuhi syarat fisik dan sebagai imbalannya raja akan diberi senjata, emas, atau benda yang dapat dipesan pemerintah Belanda. Perekrutan sempat terhenti karena Inggris yang melarang perdagangan budak sejak tahun 1808 menilai tindakan perekrutan orang kulit hitam yang dilakukan oleh Belanda termasuk dari perdagangan budak. Perekrutan kembali dilakukan pada tahun 1855 karena desakan dari Gubernur Jenderal Rochussen untuk menambah jumlah pasukan karena pergolakan di Eropa saat itu dikhawatirkan akan meluas ke Hindia-Belanda. Untuk menghindari persoalan dengan Inggris, maka perekrutan kali ini dibatasi hanya untuk orang merdeka saja. Semenjak Elmina diserahkan dari Belanda ke Inggris pada tahun 1872, upaya mendatangkan orang Afrika sebagai tentara di Hindia-Belanda boleh dikatakan sudah berakhir. Meskipun demikian, masih ada upaya untuk merekrut orang Afrika dari tempat lain seperti Liberia, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Suriname namun jumlahnya sangat terbatas (idem, 2011; 170-171).

Potrait Jan Kooi, serdadu kulit hitam yang menerima medali Militarie Willemsorde
(sumber : digitalcolletions.universiteitleiden.nl).

Penampilan pertama serdadu Afrika di bawah panji-panji Belanda adalah saat mereka diterjunkan untuk meredam perlawanan di Lampung pada tahun 1832. Selanjutnya, mereka dilibatkan dalam upaya pemerintah kolonial menaklukan wilayah yang belum ditundukan seperti Sumatera Barat, Bali, Timor, Sulawesi, Kalimantan, dan Aceh. Palagan-palagan tersebut menjadi pembuktian keunggulan serdadu Afrika. Mereka memiliki keberanian tinggi, badan yang cukup tahan terhadap keganasan iklim tropis, dan sanggup beradaptasi. Beberapa serdadu Afrika itu ada yang mendapat medali Wilitaire Willemsorde seperti Kopral Jan Kooi. Ia dianugerahkan medali itu karena menyelamatkan seorang letnan Belanda dan menahan serangan musuh pada saat Perang Aceh. Sekalipun demikian, ada sejumlah keluhan mengenai serdadu Afrika itu. Sejumlah perwira Belanda mencap orang-orang Afrika itu sebagai bodoh, malas, dan biang onar. Pandangan mereka kian menguat saat serdadu Afrika itu melakukan pemberontakan dan desersi di beberapa garnisun tak terkecuali di Purworejo. Pada bulan Juni 1842, tujuh serdadu Afrika melakukan desersi dan mereka melawan balik saat akan dtiangkap. Hanya seorang desertir saja yang dikembalikan ke garnisun dalam keadaan hidup. Keonaran yang dibuat oleh para serdadu Afrika itu bukannya tanpa sebab. Setelah diusut, para serdadu Afrika tersebut rupanya sakit hati karena merasa militer Belanda sudah mengingkari janjinya soal kesetaraan. Kedudukan serdadu Afrika resminya disetarakan dengan orang Eropa. Tujuannya adalah untuk menjamin kesetiaan dan mencegah berbaurnya mereka dengan orang pribumi. Kenyataanya menujukan bahwa perlakuan yang mereka terima tidak mencerminkan janji pemerintah kolonial tentang kesetaraan seperti keterlambatan upah dan hal sepele seperti pembagian alas tidur. Sikap ingkar janji itulah yang memicu para serdadu Afrika untuk memberontak (Kessel, 2011: 109).

Peta Purworejo tahun 1903. Letak kampung Afrikan ditandai dalam kotak warna merah.

Toponim Gang Afrikan.

Sebuah rumah lama di Gang Afrikan I.

Sebuah rumah lama di Gang Afrikan II.

Sesudah masa dinasnya habis, beberapa serdadu Afrika memilih pulang kampung ke negeri asalnya. Namun ada juga yang memilih untuk menghabiskan hidupnya di Hindia-Belanda. Mereka lalu membina rumah tangga dengan perempuan pribumi dan beranak-pinak di sini. Jejak-jejak kehidupan masyarakat kulit hitam itu terekam dan tertinggal di suatu kampung di Purworejo yang bernama kampung Afrikan. Tidak mengherankan bila di kota kecil itu dapat ditemukan adanya komunitas kulit hitam karena Purworejo dulunya adalah kota garnisun. Kompi-kompi serdadu Afrika itu ditempatkan di di Purworejo yang sejak Perang Jawa berakhir menjadi markas dari sebuah batalion KNIL. Riwayat dari kampung tersebut diuraikan oleh seorang pensiunan letnan Afrika bernama Doris Land dalam naskahnya, Het ontstaan van de Afrikaansche kampong te Poerworedjo. Riwayat terbentuknya kampung itu dimulai saat jumlah serdadu kulit hitam di Purworejo bertambah sehingga mereka hampir tidak muat di dalam tangsi. Supaya mereka tidak tinggal berbaur dengan orang pribumi dan kehidupan orang kulit putih di dalam tangsi tidak terganggu, maka pemerintah melalui Besluit tanggal 30 Agustus 1859 membelikan sebidang lahan seluas 1.150 m di Pangenjurutengah untuk serdadu kulit hitam sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam (Kessel, 2011: 219). Karena tanah tersebut sering tergenang banjir, keluarga serdadu Afrika itu pindah ke bagian timur yang lebih tinggi. Tanah yang ditinggalkan itu nantinya dilepas untuk pembangunan Zendinghospitaal (kini RS Dr. Tjitrowardojo).


Foto lama pernikahan Theo Klink dan Juliana Klink pada tahun 1935. Mereka berfoto di depan rumah keluarga Klink. Rumah tersebut masih ada sampai hari ini. (sumber foto lama : koleksi Cordus dalam Kessel, Zwarte Hollander).

Tempat mereka tinggal di Pangenjurutengah itu kemudian dikenal sebagai kampung Afrikan. Kurang lebih ada 29 keluarga Afrika yang tinggal di kampung itu seperti keluarga Ruiter, Land, Beelt, Klink, Artz dan lainnya. Rumah-rumah di kampung Afrikan semula masih terbuat dari kayu. Setelah kehidupan mereka membaik, mereka mendirikan rumah batu. Perbaikan lingkungan kampung juga turut dilakukan dengan melebarkan jalan dan penggalian selokan. Semua pekerjaan itu dilakukan secara gotong royong oleh warga kamp (Kessel, 2011: 221). Hari ini, beberapa rumah lama di Gang Afrikan masih berdiri dan sekiranya dapat menunjukan seperti apa kehidupan mereka di masa lalu. Gaya bangunan yang tidak beda jauh dengan kelurga kelas menengah Eropa di Hindia-Belanda menunjukan bahwa keluarga Afrika itu tidak begitu kaya namun juga tidak terlalu kekurangan. Gaji tentara dan pensiunan tidak terlalu besar sehingga mereka menggarap kebun kecil untuk keperluan sehari-hari. Orang-orang Afrika merasa kedudukan mereka sudah sejajar dengan orang Eropa sehingga selain urusan tempat tinggal, beberapa gaya hidup orang Eropa juga berusaha mereka tiru. Mereka memakai nama Eropa, menganut agama Katolik dan untuk urusan pendidikan anak-anak mereka disekolahkan di sekolah dasar Eropa. Jenasah mereka  dimakamkan di Kerkhof Purworejo yang notabene adalah permakaman untuk golongan Eropa. Hanya dalam dua-tiga generasi, derajat orang Afrika begitu cepat terangkat dari budak hingga menjadi bagian dari lingkungan elite kolonial yang mapan. Karena orang-orang kulit hitam itu mengikuti gaya hidup orang-orang Belanda, mereka disebut sebagai Belanda Hitam, Zwarte Hollander, atau Londo Ireng (Kusruri, 2001; 29).


Foto keluarga Baas, Land, Blind, dan Cordus di depan rumah keluarga Land sekitar tahun 1930. Bangunan rumah keluarga Land masih berdiri namun saat ini tidak dimanfaatkan (sumber foto lama : koleksi Cordus dalam Kessel, Zwarte Hollander).

Rumah bercat biru itu dulunya adalah rumah dari Doris Land, kepala kampung Afrikan tahun 1930an yang juga penulis dari sejarah kampung Afrikan. Jabatan kepala kampung sejatinya sudah dihapus pada tahun 1923, namun tampaknya warga kampung tersebut membutuhkan sosok pemimpin. Kepala kampung Afrikan pertama adalah Sersan J. Klink yang tiba di Hindia-Belanda tahun 1837. Ia menjabat sebagai kepala kampung sampai tahun 1890. Kepala kampung Afrikan diberi mandat untuk menyelesaikan masalah dan perselisihan yang terjadi di dalam kampung (Kessel, 2011: 220). Kadang perselisihan juga bisa meluas hingga keluar kampung. Suatu hari di tahun 1910, ada seorang pemuda Jawa dari kampung Sindurjan yang dicemooh oleh pemuda Afrika karena bahasa Belandanya yang buruk. Pemuda itu lalu mengajak gerombolannya untuk mengepung kampung Afrika seraya memaki pemuda Afrika. Pemuda Jawa yang dicemooh oleh pemuda Afrika itu bernama Urip Sumoharjo (Kusruri, 2001: 27). Perselisihan memang kerap terjadi antarpenghuni namun bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Meskipun ada perselisihan, namun irama kehidupan di dalamnya penuh dengan kegembiraan dan kearakaban bagi penghuninya terutama bagi anak muda. Mereka bermain, berburu hewan, dan memancing di persawahan dekat kampung. Puncak kehidupan kampung itu adalah saat Natal dan Tahun Baru. Hubungan warga kampung Afrika dengan kampung tetangga yang dihuni orang pribumi juga terpelihara dengan baik.

Makam salah satu keturunan Afrika bernama Lena de Ruiter di kerkhof Purworejo.

Pendudukan Jepang adalah masa-masa sulit bagi warga Kampung Afrikan. Kala derap kaki barisan pasukan Jepang sedang menuju Purworejo, garnisun KNIL di Purworejo sudah dikosongkan sehingga hanya tersisa perempuan, anak-anak, dan laki-laki sipil. Mereka yang tersisa dikumpulkan. Orang-orang Eropa ditawan di Hotel van Laar sementara keluarga Afrika diperbolehkan pulang. Status Eropa yang tanggung justru menyelamatkan mereka dari nasib malang yang akan dialami oleh orang Eropa selama pendudukan Jepang. Kampung Afrikan kini hanya terisi perempuan, anak-anak, dan lansia. Karena sekolah ditutup, anak-anak lalu dipekerjakan Jepang di pabrik. Tidak pendapatan sama sekali untuk keluarga sehingga mereka menjual perabotan, perhiasan, dan kue buatan rumah. Untungnya masih ada kebun yang menyediakan buah dan sayuran. Berkat kebun itu setidaknya dapur mereka masih bisa mengepul di tengah masa sulit. Kehidupan warga Kampung Afrikan di Purworejo lebih baik dibanding warga Afrika di tempat lain yang ditawan di kamp (Kessel, 2011: 246-247). Riwayat komunitas Belanda Hitam di Gang Afrikan akhirnya terputus persis 2 hari sebelum proklamasi kemerdekaan RI. Pada 15 Agustus 1945, warga kampung Afrika diperintahkan untuk mengemas barang-barangnya. Mereka lalu diangkut keluar Purworejo. Mereka rupanya terhitung sebagai warga Eropa sehingga mereka perlu diamankan keluar (Kessel, 2011: 254-255). Hal yang terjadi selanjutnya adalah perpisahan antar penghuni kampung Afrikan karena mereka dibawa ke tempat yang terpisah. Rumah-rumah mereka di Kampung Afrikan dibeli oleh orang Indonesia. Beberapa keluarga Afrika itu ada yang masih menetap di Indonesia namun lebih banyak yang memilih angkat kaki dari Indonesia dan pergi ke Belanda karena golongan mereka sudah terlanjur dianggap sebagai bagian dari penjajah meskipun memiliki warna kulit berbeda.

Makam serdadu asal Afrika bernama G. Artz di kerkhof Purworejo yang sudah hilang prasastinya.

Demikianlah tulisan Jejak Kolonial kali ini mengenai jejak komunitas orang Afrika di Purworejo. Hal ini seakan menunjukan bahwa meskipun Purworejo adalah kota kecil, tapi di masa lalu pernah menjadi kota metropolitan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dari berbagai belahan benua dunia. Di Elmina, kenangan akan kehadiran orang Afrika di Indonesia diwujudkan dalam bentuk museum "Elmina-Java Museum". Sementara di Indonesia tepatnya di Purworejo, jejak yang membuktikan kehadiran itu nyaris terhapus setelah prasasti makam orang Afrika di Kerkhof Purworejo diambil oleh orang tidak bertanggung jawab dan nama gang Afrikan bahkan sempat diganti oleh pemerintah daerah setempat. Beruntung bagi generasi sekarang karena berkat perjuangan ibu Endri Kusruri, nama gang itu bisa dikembalikan lagi sesuai sejarahnya pada tahun 2002. Kini jejak itu hanya ditulis di papan logam kecil yang sudah mulai berkarat.

Referensi

Kessel, Ineke van. 2005. "West African Soldiers in The Dutch Indies ; From Donkos to Black Dutchmen" dalam Jurnal Transactions in Historical Society of Ghana, No. 9 tahun 2005.

idem. 2011. Serdadu Afrika di Hindia-Belanda 1831-1945. Depok : Komunitas Bambu.

Kusruri, Endri. 2001. Dinamika Masyarakat Pendatang dari Afrika di Purworejo ; Suatu Kajian Historis Sosiologis. Salatiga : Widya Sari Press.