Senin, 14 Januari 2019

Menguliti Sejarah Pemberantasan Tuberculosis di Sanatorium Pakem

Dari luar, kompleks Panti Asih yang terletak di Jalan Kaliurang Km 21, Pakem, Yogyakarta itu tampak seperti sebuah rumah sakit kecil yang sudah lama terbengkalai. Sunyi, tak tampak tanda-tanda kehidupan. Satu-satunya sumber suara hanyalah gemerisik ranting pepohonan yang terguncang oleh semilir angin. Sedikit yang tahu bila kumpulan bangunan mangkrak ini dulunya adalah sanatorium, rumah sakit khusus tempat perawatan dan karantina pengidap tuberculosis yang menyimpan banyak cerita....

Ada beberapa jenis rumah sakit yang dibagikan berdasarkan jenis penyakit yang yang ditanganinya, mulai dari rumah sakit umum, rumah sakit gigi dan mulut, rumah sakit jiwa, dan yang mungkin sudah jarang dikenal oleh masyarakat kekinian, sanatorium. Sanatorium atau kadang dieja sanitarium merupakan rumah sakit yang diperuntukan bagi pengidap tuberculosis, penyakit mematikan yang telah banyak merenggut nyawa sepanjang peradaban manusia bahkan sampai hari ini (Bynum, 2012;5) Tuberculosis menjadi momok bagi masyarakat di massa lampau karena belum ada obat yang manjur untuk menyembuhkannya serta vaksin yang bisa menangkalnya. Maka dari itu, kecil peluang bagi seseorang untuk bisa sembuh darinya. Keadaan diperparah dengan kurangnya kesadaran kesehatan di tengah masyarakat seperti meludah sembarangan sehingga penyakit tuberculosis rentan menular. Kendati demikian, bukan berarti dunia kesehatan saat itu tidak berdaya sama sekali. George Bodington, dokter spesialis paru asal Inggris, mengusulkan supaya penderita tuberculosis perlu dipisahkan dari masyarakat ntuk mengurangi dampak penularan tuberculosis. Usulan tersebut dituangkan dalam esainya, On the Treatment and Cure of Pulmonary Consumption pada tahun 1840.
Kompleks Sanatorium Pakem. Keterangan : A.Bangunan administrasi ; B. Bangsal perawatan ; C. Rumah Dinas Dokter ; D. Gereja ; E. Dapur dan Binatu. 
Gagasan Bodington mengenai sanatorium tampaknya sukar diterima masyarakat saat itu karena sanatorium dipandang sebagai tempat pembuangan dan pengurungan ketimbang sebagai tempat perawatan. Sebab itulah sanatorium yang dibuka oleh Bodington di Suttin Coldfield pada 1836 akhirnya ditutup dan malah diubah menjadi rumah sakit jiwa. Kendati demikian, gagasan tentan sanatorium tidak sepenuhnya padam. Hermann Brehmer, seorang dokter asal Jerman yang juga pengidap tuberculosis menyadari bahwa dirinya sembuh setelah tinggal di kaki pegunungan Himalaya dalam waktu lama. Brehmer lalu menyimpulkan bahwa penderita tuberculosis perlu ditempatkan di dataran tinggi agar paru-paru mereka terpapar oleh udara bersih yang diyakini manjur menyembuhkan tuberculosis. Karena itulah ia membuka sanatorium dengan nama Heilanstalt di dataran tinggi Gorbersdorf, Silesia (kini Sokolowsko, Polandia) pada 1859. Di samping itu, Brehmer juga menganjurkan agar pasien tuberculosis perlu diberi asupan makan yang bagus, latihan fisik, serta waktu istirahat yang cukup. Sanatorium yang dibuka Brehmer tersebut menuai hasil. Banyak pasien yang dirawat di sanatoriumnya dinyatakan sembuh. Keberhasilan tersebut mengilhami pembukaan sanatorium lain di berbagai tempat dimulai dari akhir abad ke 19 dan seterusnya hingga tahun 1940an (Frith, 2014;37).
Sanatorium Pakem pada tahun 1936 (sumber : Soearabaiasch Handelsblad 23 Juni 1936).
Carpool, tempat pengunjung sanatorium naik dan turun dari kendaraan
(sumber : Het zendingziekenhuis Petronella).
Perkembangan dunia kesehatan di Barat rupanya juga turut mempengaruhi dunia kedokteran di Hindia-Belanda. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pembukaan sanatorium di berbagai tempat di Hindia-Belanda sesudah tahun 1900an yang kehadirannya mungkin sedikit terlambat dibanding dengan yang terjadi di Barat. Hal itu dikarenakan adanya pendapat bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis walau kenyataan justru menunjukan sebaliknya. Salah satu sanatorium yang cukup terkemuka adalah Sanatorium Pakem. Cerita berdirinya sanatorium Pakem diawali ketika zending (lembaga penyebar agama Kristen) mulai membuka banyak rumah sakit di Jawa tengah bagian selatan. Dari berbagai pasien yang datang, tuberculosis tampaknya adalah yang paling banyak. Itu terbukti dari melonjaknya jumlah penderita tuberculosis, sementara daya tampung rumah sakit terbatas. Setiap tahun, rumah sakit zending yang berada di Solo, Klaten, Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, Wonosobo, Purbalingga, dan Purwokerto selalu didatangi oleh penderita tuberculosis. Para pasien tuberculosis biasanya dirujuk ke rumah sakit di Wonosobo, dimana udara bersih di sana  dianggap mampu memulihkan pasien tuberculosis. Namun cuaca di sana kerap hujan sehingga pasien jarang mendapat matahari. Keluarga pasien juga keberatan bila pasien dibawa ke sana karena jaraknya yang jauh. Lagipula rumah sakit di Wonosobo dimaksudkan untuk melayani pasien umum, tidak hanya pasien tuberculosis saja.  Pasien tuberculosis di Jawa, terutama dari kalangan petani, tidak memiliki pengetahuan tentang penyakit yang mereka derita. Jika keadaan sedikit membaik, pasien memilih untuk lekas pulang ke rumahnya walau belum sepenuhnya sembuh. Sementara itu, pasien dari kalangan menengah ke atas lebih memilih untuk memulihkan diri di hotel-hotel daerah pegunungan seperti Kaliurang dan Tawangmangu. Hal ini tentu saja menimbulkan bahaya bagi diri mereka dan lingkungan sekitarnya karena mereka tidak memiliki disiplin gaya hidup, istirahat dan nutrisi yang efektif, dan penangan medis yang memadai. Hanya di sanatorium mereka dapat dirawat hingga sembuh sepenuhnya. Sayangnya sarana sanatorium di Jawa Tengah masih sedikit sementara sanatorium di Jawa Barat dan Jawa Timur sudah penuh.
Sanatorium Pakem pada saat peresmian
(sumber : Soerabaiasch Handelsblad 1 October 1938).
Penantian akan sanatorium yang didambakan akhirnya terbayar saat manajemen Petronella Hospitaal, rumah sakit zending di Yogyakarta, memutuskkan untuk membuka sanatorium di sini. Berlandaskan konsep sanatorium yang diperkenalkan oleh Bodington, Petronella Hospitaal memilih lokasi sanatorium di jalan antara Pakem dan Kaliurang. Lokasi tersebut dipilih karena tempatnya jauh dari pusat keramaian, tepatnya 19 kilometer ke utara kota Yogyakarta. Sebelum ditemukannya antibiotik, penderita tuberculosis perlu dikarantina karena bakteri penyebab tuberculosis, Mycobacetrium tuberculosis dapat menyeruak ke udara bila pengidap tuberculosis bersin. Kalau udara yang mengandung bakteri tersebut sampai terhirup oleh orang lain, maka yang menghirupnya bisa terjangkit TBC. Di samping sepi, udara di sini cukup segar karena letaknya di dataran berketinggian 620 meter. Udara segar ini diharapkan dapat membantu pemulihan pasien. Sesudah lokasi dipilih, Petronella Hospitaal  segera melakukan segala persiapan untuk pendirian sanatorium seperti pembebasan lahan, pengurusan administrasi, dan pembelian material. Persiapan dilakukan dengan cepat pada tahun 1935 supaya bagian pondasi dapat diselesaikan sebelum musim penghujan tahun berikutnya dan sanatorium siap dipakai antara bulan April atau Mei tahun 1936. Pembangunannya sendiri dipercayakan kepada kantor arsitek Sindoetomo dan anggaran pembangunan menelan biaya sebanyak 25.000 gulden (Soerabaiasch Handelsblad 18 October 1935). Proses pembangunannya sudah termasuk dengan pemasangan instalasi listrik dan air ledeng.
Pengguntingan pita oleh Sultan Hamengkubuwono VIII sebagai tanda dibukanya sanatorium Pakem. Di belakangnya adalah direktur rumah sakit Petronella, K.P. Groot (sumber : Het zendingziekenhuis Petronella).
Sultan Hamengkubuwono VIII ketika meninjau salah satu bangsal di sanatorium (sumber : Het zendingziekenhuis Petronella).
Upacara peresmian sanatorium dilangsungkan pada 23 Juni 1936, mengundang  Sultan Hamengkubuwono VIII, residen Yogyakarta, J. Bijleveld, dan direktur Petronella Hospitaal Dr. K.P Groot. Dalam sambutannya, Sultan menyampaikan kegembiraanya atas dibukanya sanatorium ini karena akan memberi manfaat besar bagi banyak orang. Sementara itu, Dr. K.P. Groot mengucapkan terima kasih kepada Sultan atas dukungan yang diberikan selama proses pembangunan. Pengguntingan pita oleh Sultan Hamengkubuwono VIII sebagai tanda dibukanya sanatorium Pakem untuk semua kalangan. Dalam kesempatan kali itu, para hadirin diajak untuk berkeliling melihat-lihat kompleks sanatorium. Untuk menghidupi sanatorium ini, S.C.V.T (Stichting Centrale Vereeniging tot bestrijding der Tuberculose/Asosiasi Pusat untuk Pemberantasan Tuberculosis) mengucurkan dana sebanyak 1.200 gulden per tahun. Sementara dari pihak Kesultanan Yogyakarta memberi bantuan sebanyak 1.500 gulden per tahun (Groot, 1936; 36). Krisis ekonomi global yang mendera pada tahun 1930an menyebabkan pembangunan keseluruhan sanatorium tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Pada 30 September 1938, sanatorium Pakem diresmikan sebagai Volkssanatorium.
Bekas bangunan administrasi santorium dan carpool yang sekarang ditutup dinding.
Batu prasasti yang menandakan peresmian sanatorium.
Rindangnya pepohonan di sepanjang kanan-kiri jalan masuk sanatorium menyambut setiap tamu yang datang. Dahulu, tamu sanatorium yang datang menaiki kendaraan turun di carpool beratap piramid yang sekarang sudah ditutup dinding. Di tengah sanatorium, terdapat bangunan berlantai dua yang digunakan sebagai kantor administrasi, ruang operasi, dan ruang pemeriksaan. Di sinilah pasien diperiksa secara berkala untuk mengetahui kesehatan terakhirnya. Guna menunjang proses diagnosis dan pemantauan paru-paru pasien secara berkala, sanatorium Pakem mendatangkan alat sinar x-ray. Dengan alat ini, dokter sanatorium tidak perlu menunggu gambar paru-paru dari Yogyakarta. Untuk mengurangi resiko penularan, maka dokter spesialis paru-paru dan perawat tinggal di rumah dinas yang sudah disediakan di dalam kompleks sanatorium. Bangunan administrasi dan rumah dinas dokter adalah bangunan yang dibangun pada tahap pertama pembangunan selain bangsal perawatan (Groot, 1936; 37).
Bekas rumah dinas dokter jaga sanatorium.
Doorlop yang menghubungkan setiap bagian sanatorium.
Kompleks sanatorium Pakem dirancang dalam sistem paviliun, dimana bangsal  perawatan dan bangunan pelayanan ditempatkan secara terpisah. Bangsal-bangsal tersebut dirancang senyaman mungkin supaya pasien yang dikarantina betah di dalam sanatorium dan membantu proses pemulihan. Sebagai contoh adalah jarak antar masing-masing bangsal sengaja dibuat terpisah dan diberi jarak yang cukup lebar dengan maksud untuk memperbanyak udara yang masuk ke dalam ruangan. Sementara itu, suasana sanatorium dibuat seteduh mungkin dengan pepohonan rindang di pekarangan sanatorium yang cukup luas. Mengingat kompleks sanatorium Pakem dibuat dalam sistem paviliun yang memisahkan setiap bangunan, maka masing-masing bangunan dihubungkan dengan sebuah doorlop, koridor beratap tanpa dinding. Keberadaan doorlop ini memudahkan pergerakan pasien, perawat, dokter, dan petugas sanatorium lain jika hendak berpindah dari suatu bangunan ke bangunan lain. Dengan demikian, layanan sanatorium dapat dilakukan secara berkelanjutan tanpa terganggu oleh panasnya sinar matahari dan terpaan air hujan. 
Bekas bangsal-bangsal perawatan yang dibangun tahun 1936.
Daftar biaya perawatan yang dipungut untuk setiap pasien (sumber : Het zendingziekenhuis Petronella).
Pada saat dibuka, sanatorium ini baru memiliki dua bangsal perawatan, yakni bangsal untuk perempuan dan laki-laki. Kedua bangsal tersebut mampu menampung pasien sebanyak 48 orang. Sebagaimana bangunan kolonial yang dibangun tahun 1930an, kenampakan bangsal-bangsal tersebut memang tidak terlalu megah, namun aspek kesehatan betul-betul diperhatikan seperti dinding bagian bawahnya yang dilapisi dengan plester batu kali. Tujuannya adalah untuk mencegah air hujan merembes ke dinding berpori sehingga bagian dalam bangunan tidak lembap. Kemudian bangunan dibuat membujur timur-barat supaya bagian dalam ruang lighal atau solarium, yakni ruang pemulihan pasien yang berada di sisi utara dapat terpapar cahaya matahari karena cahaya matahari dipercaya dapat membantu pemulihan pasien tuberculosis (Bynum, 2012;128). Bangunan bangsal juga mendapat pengaruh vernakular yang ditujukan pada bentuk atapnya yang menyamai bentuk atap rumah limasan Jawa. Setiap bangsal menampung pasien dari lima kelas berbeda, dimana pasien kelas pertama mendapat kamar perawatannya tersendiri dengan asupan dan fasilitas yang lebih baik daripada pasien kelas di bawahnya. Biaya yang dibayar akan berkurang setiap bulannya.
Bagian dalam salah satu bangsal.  

Ruang tidur pasien.

Lighal atau solarium, tempat pasien dipulihkan dengan dipaparkan sinar matahari.
Sepanjang dikarantina, pasien dibantu untuk membentuk gaya hidup bersih dan sehat  dengan istirahat yang cukup, asupan gizi yang baik, dan olahraga teratur. Supaya pasien tidak jenuh di dalam ruangan sepanjang hari, maka setiap ruangan dilengkapi dengan pengeras suara yang memutar siaran radio. Secara rutin, pasien diperiksa suhu tubuhnya, ditimbang, dan diperiksa paru-parunya melalui mesin X-ray.
Bangsal-bangsal yang ditambahkan pada tahun 1937.
Sewaktu sanatorium Pakem dibuka, hanya terdapat tiga sanatorium di Jawa Tengah, yakni sanatorium Pakem dan dua lainnya ada di Salatiga (Sanatorium Getasan dan Sanatorium Ngawen). Oleh karena itu banyak pasien tuberculosis di Jawa Tengah yang dirujuk ke sanatorium ini. Baru satu tahun dibuka, sembilan puluh persen bangsal perawatan laki-laki sudah terisi.  Oleh karena itu dilakukan pembangunan sanatorium tahap kedua dengan menambahkan dua bangsal baru dan sebuah bangunan pelayanan untuk memasak dan mencuci pakaian. Pada 1 Juli 1937, kedua bangsal tersebut resmi dibuka. Kapasitas sanatorium bertambah dari semula ada 48 ranjang, lalu bertambah menjadi 98 ranjang. Bentuk bangunan bangsal baru masih serupa dengan bangunan bangsal lama dan biro arsiteknya juga sama yakni dari biro Sindoetomo. Perbedaan dari bangsal baru ini adalah pada bagian selatannya, terdapat ruang untuk rekreasi (De Locomotief, 24 Februari 1937). Salah satu pasien yang pernah dirawat di bangsal tersebut ialah Cornel Simanjuntak, tokoh pencipta lagu-lagu perjuangan yang sudah familiar di telinga masyarakat Indonesia seperti Maju Tak Gentar dan Tanah Tumah Darah. Kendati telah mendapat perawatan di sanatorium, namun penyakit tuberculosis yang diidap Cornel Simanjuntak semakin parah hingga akhirnya beliau meninggal dunia di sanatorium ini pada 15 September 1946. Hal tersebut sekaligus menunjukan bahwa tidak ada jaminan pasien yang dibawa ke sanatorium bisa sembuh karena sanatorium sendiri sesungguhnya lebih berfungsi sebagai tempat penderita dipisahkan dengan orang sehat atau pasien lainnya, bukan sebagai tempat penyembuhan penderita tuberculosis.
Bekas bagian dapur dan binatu sanatorium.
Jemuran yang dilengkapi dengan rel.
Di dalam lingkungan sanatorium, terdapat bangunan gereja kecil, salah satu bangunan yang masih difungsikan hingga sekarang. Bila melihat latar belakang pendirian sanatorium yang dilakukan lembaga zending Kristen, maka cukup wajar bila ada gereja di sini. Pada dinding luar gereja, tertempel sebuah prasasati yang berbunyi “De eerste steen van dit gebouw is gelegd op 11 April 1940 door Maria Martha Groot, oud 5 jaar”. Prasasti tersebut memberitahukan bahwa gereja tersebut baru dibangun empat tahun sesudah sanatorium ini dibuka. Adanya gereja ini menunjukan adanya jaminan kebutuhan rohani bagi para pasien selama karantina, sehingga mereka dapat melaksanakan ibadah tanpa harus keluar dari lingkungan sanatorium. Di samping itu, gereja ini juga memberi fungsi baru sanatorium, yakni sebagai sarana penyebaran agama Kristen oleh zending. Di masa kolonial, pengadaan layanan kesehatan memang menjadi salah satu sarana penyebaran agama Kristen. Meskipun demikian, pasien yang dirawat tidak dipaksa untuk berpindah agama.
Bangunan gereja di dalam kompleks sanatorium  yang sekarang menjadi GKJ Pakem.
Bagian dalam gereja dengan plafon yang masih terbuat dari anyaman bambu.

Prasasti yang menandai upacara peletakan batu pertama bangunan gereja.
Tuberculosis tidak lagi menjadi ancaman kesehatan yang serius ketika Albert Schatz menemukan antibiotik streptomycin yang mampu menyembuhkan tuberculosis pada tahun 1944. Penyakit tuberculosis kian berkurang keganasannya dengan dikembangkannya vaksin BCG sejak tahun 1921 yang kemudian diikuti dengan digalakannya vaksinasi BCG di masyarakat sesudah Perang Dunia Kedua berakhir (Frith, 2014;39). Penemuan antibiotik dan vaksin ini menjadi babak baru pemberantasan tuberculosis dan sekaligus menjadi babak akhir dari perjalanan sanatorium. Banyak sanatorium yang akhirnya ditutup atau diubah menjadi rumah sakit umum sejak dasawarsa 1950an karena keberadaanya sudah tidak diperlukan lagi, termasuk di antaranya adalah sanatorium Pakem. Kendati sesudah kemerdekaan sempat menjadi rumah sakit paru-paru, namun sanatorium tersebut akhirnya ditutup juga pada tahun 1967. Pada masa sekarang, keseluruhan bangunan sanatorium masih dalam keadaan utuh meskipun sebagian besar sudah tidak terpakai lagi. Bagian yang terpakai adalah bagian paling utara kini menjadi asrama Panti Asih dan bagian paling selatan digunakan untuk SLB. Sanatorium yang terlantar tersebut kini menjadi bukti sejarah pemberantasan tuberculosis di masa lampau, yakni masa ketika orang-orang berjuang melawan penyakit tuberculosis dengan bekal pengetahuan kesehatan yang masih terbatas…

Referensi
Bynum, Helen. 2012. Spitting Blood, The History of Tuberculosis. Oxford ; Oxford University Press.

Frith, John. 2014. “History of Tuberculosis. part 2 – the Sanatoria and the Discoveries of the Tubercle Bacillus” dalam Journal of Military and Veterans Health. hlm 36-41.

Groot, K.P. 1936. Het zendingziekenhuis Petronella. Yogyakarta : N.V. Drukerrij Kolff Buning.

Soerabaiasch Handelsblad, 18 October 1935


De Locomotief, 24 Februari 1937

22 komentar:

  1. Wah baru paham kalau Sanatorium itu untuk penderita tuberkolosis dan baru tau juga kalo di Pakem ada bangunan kolonial bekas Sanatorium Pakem. Terimakasih informasinya mas aku ijin share

    BalasHapus
  2. Saya mendapatkan cerita bahwasannya nenek buyut saya pernah menjadi pasien sanatorium kaliurang... beliau meninggal pada tanggal 11.09.1942. Terima kasih sekali atas pencerahan sanatorium pakem

    BalasHapus
  3. Saya mengetahui sanatorium Pakem ini setelah menonton channel Youtube Joe Kal yang sering mengunjungi/eksplor tempat" peninggalan zaman kolonial. Saya tertarik akan sisi sejarahnya, dan dengan adanya artikel ini menambah wawasan saya mengenai perkembangan sanatorium di Indonesia. Terimakasih sekali, sangat bermanfaat, mudah"an suatu waktu nanti saya diberi kesempatan untuk berkunjung ke tempat ini.

    BalasHapus
  4. Terimakasih,dengan membaca artikel ini bisa menambah wawasan tentang bangunan di era kolonial..

    BalasHapus
  5. Wah informatif nih,kupikir sanatorium itu rumah sakit jiwa. Sekarang jadi paham aku.

    BalasHapus
  6. Butuh banget blog bagus kaya begini.. mantap!

    BalasHapus
  7. Aku liat sanatoriumnya skrg dan aku prnasaran sm sejarahnya. Thankyou yang udh share bermanfaat bgt

    BalasHapus
  8. mendapatkan tulisan/info yg bagus dan mencerahkan. Terimakasih.

    BalasHapus
  9. wah ternyata ini sejarah tempat jurit malam ku waktu itu, makasihh infonyaa

    BalasHapus
  10. Pwrnah lewat dan keliatan serem

    BalasHapus
  11. Di awal th 1957 ibuku pernah menjadi penghuni sanatorium Pakem. Berkat pengobatan disanatorium tsb ibuku bisa sembuh.

    BalasHapus
  12. Baru tau fungsi sanatorium sejak nonton drakor,trus browsing baru tau juga di pakem ada sanatorium

    BalasHapus
  13. Sekarang sdg proses pembenahan utk fasilitas pelayanan Lansia baik yang mandiri maupun yang memerlukan bantuan orang lain.
    Sdh diawali dg pelayanan Klinik Mandiri Bethesda Yakkum yang dibuka sejak Juni 2022

    BalasHapus
  14. Area ini sedang dalam proses pembenahan menjadi Taman Lansia Ceria Bethesda YAKKUM, sebuah area sejuk yang dipenuhi hamparan rumput hijau yang memanjakan mata dan jiwa. Jika dahulu menjadi tempat menyembuhkan pasien paru2, kini menjadi area yang mampu menginspirasi siapapun termasuk para Lansia menjadi semakin produktif, mandiri dan merasa berharga.

    BalasHapus