Minggu, 04 Juni 2017

Secuil Eropa di Kota Lama Semarang

Di bantaran Sungai Semarang, bangunan-bangunan tua bekas kantor kongsi niaga Belanda itu masih tampak berdiri megah. Keruhnya air sedikit memantulkan aura kekunoan bangunan itu. Berjarak 200 meter ke timur, sebuah kubah gereja kuno berdiri menjulang lebih lama daripada bangunan tadi. Menyusuri jalanan sempitnya, akan terjumpa bangunan lintas zaman dengan beraneka bentuk yang khas. Itulah pemandangan yang diperoleh dari Kota Lama atau Oudestad Semarang, sepotong kawasan di kota Semarang yang sarat dengan bangunan kuno lintas masa, saksi bisu sejarah tumbuhnya Semarang menjadi kota besar seperti saat ini. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan menggali satu persatu cerita dari setiap bangunan lama yang tertinggal sana, cerita tentang perjalanan hidup sebuah kawasan dan pertumbuhan ekonomi kapitalis masa penjajahan.
Bangunan lama di Kota Lama yang akan dibahas tulisan ini. Keterangan : A. Nederlandsch Handel Maatschappij / B. Handelsvereeniging Semarang / C. Koloniale Bank / D. Cultuurmaatschappij der Vorstenlanden / E. Koniklijke Paketvaart Maatschappij / F. Stoomvaart Maatschappij Nederland / G. De Javasche Bank / H. Rumah Abad 18 / I. Nillmij / J. Borsumij / K. Gereja Blenduk / L. Toko Zikel / M. Toko Spiegel / N. Nederlandsch Indische Handelsbank / O. Oei Tiong Ham Concern / P. Escompto / Q. Spaarbank Semarang / R. Schouwburg Semarang.
Perkembangan kawasan kota lama Semarang dari tahun 1719, 1741, 1866, hingga 1917. Perhatikan pada peta tahun 19719 dan 1741, di dekat Kali Semarang terdapat benteng berbentuk segi lima bernama benteng Vijfhoek (sumber : maps.library.leiden.edu).
Sulit dibayangkan bahwa kota yang padat penduduk sekarang ini hanya berjarak lima abad ke belakang dulunya masih berupa dasar laut. Tahun 1476, ketika seorang penyebar agama Islam bernama Ki Ageng Pandanarang membuka perkampungan di Bergota, tempat itu masih berada di tepian pesisir. Memasuki abad ke-16, erosi dari Sungai Garang menghasilkan dataran alluvial yang membuat garis pesisir menjauh ke utara dan permukiman pun ikut bergeser (Brommer dkk, 1995;7). Pada masa kekuasaan kerajaan Demak, pengganti Ki Ageng Pandanarang, Ki Ageng Pandanarang II diangkat sebagai bupati Semarang. Saat itu, Semarang masih belum menjadi kota pelabuhan besar. Hatta, Kerajaan Demak kemudian runtuh dan kuasa kota Semarang berpindah ke tangan kerajaan Mataram Islam pada 1575. Semarang saat itu masih pelabuhan kecil dengan perkampungan yang dihuni oleh orang pribumi dan Tionghoa. Sebagai pelabuhan pamornya masih kalah dari Demak atau Jepara. Selanjutnya ketika VOC mulai bercokol di Jawa pada abad ke 17, Semarang masih belum dipandang sebagai tempat yang penting. Saat itu, VOC lebih memilih Jepara ketimbang Semarang sebagai markas utamanya di Jawa tengah. Pada tahun 1618, markas VOC di Jepara diserang dan sebagian pegawainya ditawan ke Semarang. Pegawai VOC yang tertawan itulah yang menjadi orang Belanda pertama yang tiba di kota Semarang seperti yang disebutkan oleh Ir. W.B. Peteri dalam “De Geschiedenis der Stad Semarang”. Meskipun belum memiliki pengaruh besar, namun geliat industri Semarang saat itu sudah cukup maju dengan adanya industri gula, garam, dan perikanan. Selain itu ada juga perkebunan kelapa, pohon jati, asam, nila, padi, kacang, dan bawang. Kendati belum menjadi pelabuhan besar, Semarang memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pelabuhan lain, yakni memiliki jalan darat yang terhubung ke ibukota kerajaan Mataram di pedalaman. Hal tersebut diakui oleh duta VOC untuk Maratam, Abraham Verspeet, yang mengunjungi Mataram tahun 1668. Pijakan awal VOC di Semarang dimulai ketika Amangkurat II menyerahkan Semarang kepada VOC pada 15 Januari 1678 karena VOC sudah membantu Amangkurat II menumpas perlawanan Trunojoyo di Jawa Timur. Untuk menegaskan kekuasaanya di Semarang, VOC selanjutnya mendirikan benteng namun pekerjaan berjalan pelan karena sedikitnya tenaga tukang kayu Eropa. Ketika VOC telah menjalin aliansi dengan Amangkurat II, barulah Semarang dianggap penting karena perannya sebagai pintu masuk ke kerajaan Mataram (Kuiper, 1935; 343).
Pemandangan kota Semarang pada tahun 1770 (sumber : commons.wikimedia.org).
Denah benteng Vijfhoek, benteng yang dibangun tahun 1697 dan dirobohkan tahun 1741 (sumber : atlasofmutualheritage.nl)
Situasi kota Semarang pada awal tahun 1700an.
Pada 9 Maret 1697, kedudukan kompeni di Jepara mulai diboyong ke Semarang meskipun Semarang belum menyandang status resmi sebagai pusat pemerintahan VOC. Sebagai persiapan, mulailah didirikan benteng di Semarang yang pembangunannya berjalan pelan karena kurangnya tukang kayu dari Eropa. Benteng pertama VOC di Semarang yang dibangun tahun 1697 itu dinamai Vijfhoek merujuk pada denah dasarnya berbentuh segi lima – vijf dalam bahasa Belanda – dan dilengkapi dengan bastion di kelima sudutnya yang masing-masing diberi nama Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan Bunschoten. Di tengah benteng, terdapat lapangan luas yang dikelilingi oleh lima bangunan barak dan penunjang. VOC lalu menempatkan seorang residen di Semarang yang berada di bawah pengawasan Letnan Gubenur VOC di Jepara pada 23 Juni 1702. Setelah melalui proses yang berlarut-larut, akhirnya Semarang resmi menjadi ibukota VOC untuk wilayah pantai timur Jawa pada 1708 (Peteri, 25 Juli 1925). Dari balik tembok benteng Vijfhoek, kompeni menjalankan roda kuasanya atas pesisir Jawa bagian tengah sekaligus mengawasi gerak-gerik penguasa pribumi yang tinggal di seberang benteng. Benteng itu sendiri kemudian dirobohkan pada pertengahan abad ke-18 untuk perluasan kota Semarang. Di tempat yang sama, dibangun beberapa bangunan seperti menara syahbandar yang berdiri tahun 1825. Menara tersebut masih berdiri menjulang meskipun kondisinya sudah merana. Selain menara syahbandar, di tempat tersebut juga pernah terdapat pabrik gas milik "Nederlandsch Indische Gas Maatschappij".
Alun-alun Semarang. Di kejauhan tampak masjid kauman dengan atap tumpangnya. Tampak sebuah trem yang melintas di tengah alun-alun Semarang (sumber : media-kitlv.nl).
Semenjak menjadi markas VOC, Semarang tumbuh menjadi kota bandar yang ramai. Hal tersebut tak lepas dari perannya sebagai gerbang Jawa bagian tengah. Berbagai pedagang dari negeri asing akhirnya berbondong-bondong datang ke sana, mulai dari Melayu, Tiongkok, Arab, hingga Eropa. Gudang-gudang penuh dengan tumpukan beras, kayu, dan kapuk yang dihimpun dari pedalaman untuk selanjutnya dijual keluar. Kota Semarang lambat laun menjadi kota bandar yang sentausa, mengungguli kota pelabuhan yang sudah lebih dahulu eksis seperti Demak dan Jepara. Kota yang dulunya hanya hamparan rawa itupun akhirnya menjelma menjadi “Batavia Kedua” (Poerwanto dan Soenarso, 2012; 47). Para pedagang Melayu, Tiongkok, Arab, dan Eropa tak sekedar berdagang saja. Karena pelayaran saat itu masih bergantung pada musim, maka pedagang itu tinggal beberapa lama di Semarang dan perlahan terbentuk permukiman yang digolongkan berdasarkan etnis. VOC menjalankan pemerintahan lokal dengan menunjuk seorang tokoh dari masing-masing golongan etnis sebagai perantara VOC dan pemimpin golongan mereka. Misalnya ada bupati untuk penduduk pribumi dan untuk penduduk Arab dan Tionghoa dari kalangan mereka ditunjuk seseorang yang digelari pangkat militer tituler. Di seberang selatan benteng Vijfhoek, terhampar alun-alun, pusat permukiman pribumi di Semarang yang kini tinggal namanya saja. Di sekelilingnya, berdiri beberapa bangunan penting, misalnya masjid agung di sebelah barat yang sudah berulang kali mengalami pembangunan. Menurut prasasti yang ada di gerbang masjid, bangunan tersebut dibangun 1756 untuk menggantikan masjid lama yang terbakar semasa pemberontakan Geger Pecinan tahun 1741 (Peteri, 31 Oktober 1925). Sementara di selatan alun-alun, terdapat kediaman bupati Semarang yang kini hilang semenjak pemerintahan kabupaten Semarang dipindahkan ke Ungaran pada tahun 1983. Tempat tersebut kini berganti menjadi Kampung Kanjengan. Di sekeliling alun-alun juga terdapat sejumlah bangunan penting lain seperti penjara yang kemudian menjadi Pasar Johar, kantor pos, kantor telepon, dan bank. Di sebelah timur alun-alun, pernah berdiri gedung besar yang menjadi kantor administrasi pemerintahan kolonial. Semenjak tahun 1970an, luas alun-alun mulai menyusut dengan dibangunnya hotel dan perguruan tinggi yang memakan sebagian lahan alun-alun. Terlebih setelah Pasar Yaik diperluas. Alhasil, bagian alun-alun yang tersisa kini tinggal sepenggal kecil lahan di timur Masjid Kauman.
Tembok keliling kota Semarang yang didirikan tahun 1741 dan dirobohkan tahun 1824. Orientasi peta ini terbalik dimana arah utara ada di bawah. (sumber : atlasofmutualheritage.nl).
Pada masa kedatangan awal, orang-orang Eropa yang sebagian besar adalah pegawai VOC masih tinggal di dalam benteng. Seiring waktu, dengan pertambahan jumlah dan peningkatan kekayaan - entah dari cara wajar atau tidak, orang-orang Eropa mulai membangun rumah di sebelah utara permukiman orang Tionghoa yang saat itu masih ada di seberang timur sungai. Orang-orang Tionghoa tinggal di tempat tersebut karena dekat dengan sungai yang dahulu dapat dilalui oleh perahu-perahu kecil yang mengangkut barang-barang dari gudang ke kapal besar yang bersauh di tengah laut. Bangunan-bangunan saat itu kebanyakan dibuat dari bahan non-permanen. Permukiman Eropa di Semarang mengalami perubahan bentuk mencolok setelah meletusnya pemberontakan Geger Pecinan tahun 1741. Pada pemberontakan tersebut, permukiman Tionghoa di selatan benteng Vijfhoek musnah terbakar. Orang-orang Tionghoa lalu disingkirkan dari sana dan tempat tersebut diambil alih oleh golongan Eropa untuk memberikan ruang pelebaran tempat tinggal mereka. Untuk keamanan, maka dibuatlah tembok dan parit baru yang mengelilingi kawasan permukiman Eropa. Benteng Vijfhoek lantas dirobohkan. Proses pembuatan tembok tersebut selesai pada tahun 1760 (Peteri, 17 Oktober 1925). Selama beberapa tahun, kawasan yang dikelilingi tembok tersebut menjadi pusat kehidupan orang Eropa di Semarang. Lambat laun, keberadaan tembok kota dirasa tidak berguna untuk sarana pertahanan sehingga tembok keliling tersebut disingkirkan pada tahun 1824 dan menyisakan sejumlah toponim jalan yang dipakai selama masa kolonial. Misalnya Westerwalstraat (Jalan Tembok Barat, kini Jalan Mpu Tantular-Sendowo), Oosterwalstraat (Jalan Tembok Timur, kini jalan Cendrwasih), Noorderwalstraat (Jalan Tembok Utara, kini Jalan Merak), Zuiderwalstraat (Jalan Tembok Selatan, kini Jalan Sendowo). 
Pemandangan udara kota Semarang pada tahun 1930. Kala itu Semarang sudah berkembang pesat menjadi kota niaga yang ramai. Menurut Baldinger, beberapa faktor yang menyebabkan majunya perniagaan di Semarang antara lain, upah buruh yang cukup rendah, bahan mentah yang mudah didapat, dan murahnya harga tanah. (sumber foto : commons.wikimedia.org).
Pemandangan udara Kali Semarang tahun 1930. Keterangan 1 : Gereja Blenduk. 2 : Kantor K.P.M (sekarang Pelni)  3 : Kantor Rotterdamsche Llyold. 4 : Uitkijk atau Menara Syahbandar. 5 : Kantor N.H.M (sekarang Bank Mandiri). 6 : Kantor Koloniaale Bank (sekarang Paphros). 7 :  Kantor Cultuurmaatschappij ter Vorstenlanden. 8 : Kantor Pos. 9 : Alun-alun Semarang (sumber : Semarang beeld van een stad).
Semenjak tembok kota dilenyapkan pada tahun 1824, perkembangan kawasan Eropa tampak terhenti meskipun sudah mulai banyak didirikan bangunan permanen. Hal tersebut dikarenakan adanya kebijakan tanam paksa yang perdagangan komoditasnya masih dalam kendali pemerintah kolonial sehingga jumlah pedagang swasta Eropa di Semarang belum begitu besar saat itu. Setelah sistem tanam paksa dirasa gagal, maka pemerintah kolonial secara bertahap membuka keran untuk perdagangan swasta. Perlahan kegiatan perdagangan dan pelayaran mulai berkembang, terlebih semenjak pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 yang memperpendek hubungan antara Belanda dan Hindia-Belanda. Sejumlah pembangunan dilakukan guna menyambut arus perdagangan yang diperkirakan akan lebih ramai dari sebelumnya. Pada tahun 1867, dimulai pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia-Belanda yang menyambungkan Semarang dengan Vorstenlanden. Kemudian disusul dengan pembuatan kanal baru pada tahun 1872 sebagai tempat bongkar muat barang. Sepanjang kanal yang dikenal dengan Kali Baru tersebut, berdiri gudang-gudang milik perusahaan swasta. Meskipun demikian, kehidupan ekonomi swasta di kawasan Eropa masih belum terlalu bergairah akibat meletusnya perang Perancis-Jerman pada tahun 1870 yang menyebabkan pergolakan ekonomi di Eropa dan berdampak sampai Hindia-Belanda. Memasuki abad ke-20, Semarang mulai menunjukan tanda-tanda pertumbuhan ekonomi. Fungsi kawasan Kota Lama akhirnya bergeser dari kawasan hunian menjadi distrik komersil atau dalam bahasa Belanda disebut zakencentrum. Kendati perniagaanya maju, namun bukan berarti tiada kendala dalam perkembangannya. Hal itu diakui oleh insinyur Baldinger dalam artikelnya di majalah Locale Techniek edisi Maret 1938. Menurutnya, perniagaan di Semarang masih terhambat dengan kurang terhubungnya sarana perhubungan seperti pelabuhan masih kurang teratur dan tidak tersambungnya jalur kereta milik N.I.S dan S.C.S. Derasnya arus investasi di Semarang seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan buruh yang akhirnya memicu munculnya gerakan Sosialis di Semarang, membuat Semarang berjuluk sebagai Kota Merah. Tidak terhitung berapa banyak gesekan antara kaum buruh dengan pengusaha yang berujung pada aksi pemogokan buruh.
Societeit Amicita yang kemudian menjadi kantor Nederlansche Handel Maatschappij. 
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Deretan bangunan kolonial yang berdiri amat megah di bantaran Kali Semarang itu menjadi saksi sejarah perjalanan kota bandar dengan geliat niaga yang ramai itu. Di jalan itu, akan terjumpa beberapa bangunan yang dulu menjadi kantor perusahan pelayaran, keuangan, dan perkebunan. Persis di mulut kawasan Kota Lama, terdapat bekas kantor Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM) yang kini menjadi kantor Bank Mandiri. Lama sebelum kantor NHM dibangun di tempat tersebut, pada tempat yang sama terdapat rumah sementara residen Semarang yang ditunjuk VOC pada tahun 1702 (Peteri, 25 Juli 1925). NHM sendiri dibentuk pada 1825 oleh Raja Willem I untuk menghimpun dan memperdagangkan semua hasil perkebunan sistem tanam paksa. Oleh karena perannya yang cenderung bersifat monopoli itu, NHM kadang disebut sebagai “VOC Kecil”. Perusahaan NHM membuka cabang di Semarang sejak tahun 1826. Lokasi kantor pertama NHM di Semarang menempati bekas kantor pemerintahan zaman VOC. Pada tahun 1854, bangunan tersebut habis terbakar sehingga NHM memindahkan kantornya ke tempat lain. Bekas lahannya kemudian dibangun Societeit Amicitia yang menjadi tempat utama orang-orang Belanda di Semarang berkumpul sebelum dibangun Societeit Harmonie di Bojong. Pada awal tahun 1907, NHM membeli lahan Societeit Amicitia dan bangunan tersebut dikosongkan. Sebelum pembongkaran, bangunan kosong tersebut sempat digunakan sebagai area permainan sepatu roda (De Locomotief, 2 Juli 1907) Bangunan Soceiteit Amicitia dirubuhkan untuk diganti bangunan kantor baru NHM rancangan Prof. Klinkhamer dan B.J. Ouendag, arsitek yang merancang bangunan kantor Nederlandsche Indische Spoorweg Mij. atau kini dikenal sebagai Lawangsewu (De Locomotief, 13 Januari 1908). Gedung baru NHM tersebut memiliki beranda keliling yang lebar dan tampak mencolok dengan sebuah menara di sudut bangunan yang menyambut setiap orang yang memasuki kawasan ke Kota Lama. Aslinya, menara tersebut akan ditambahkan dengan jam. NHM mulai menempati gedung tersebut pada Juni 1910. Selain NHM, gedung tersebut juga ditempati oleh perusahaan dagang Geo-Wehry & Co (Het Nieuws dan den dag voor N.I, 23 Juni 1910). Pada zaman pendudukan Jepang, kantor NHM digunakan sebagai kantor Bank of Taiwan Ltd. (Soerabiasch Handelsblad, 22 Mei 1942).
Pemandangan Kali Semarang pada tahun 1890an. Pada tahun 1900 hingga 1930an, banyak bangunan di kiri sungai dibongkar dan diganti bangunan baru. (Sumber : nationaalarchief.nl)
Bangunan kantor Handelsvereeniging dilihat dari dekat Jembatan Mberok (Sumber : media-kitlv.nl)
Bekas kantor Handelsvereeniging Semarang.
Selain gedung NHM, pengunjung Kota Lama juga disambut dengan bangunan kantor sekretariat Handelsvereeniging Semarang atau kamar dagang Semarang yang dibentuk pada April 1854 dan resmi berbadan hukum pada 16 Agustus 1857. Tujuan dibentuknya lembaga tersebut adalah sebagai wadah para swasta di Semarang sehingga mereka dapat menyuarakan aspirasi dan membujuk pemerintah kolonial untuk membuat aturan yang membantu kemajuan perdagangan swasta. Salah satunya adalah dengan "mengompori" pemerintah kolonial untuk membuatkan jalur kereta Semarang-VorstenlandenJumlah keanggotaan dalam Handelsvereeniging Semarang tidak menentu, kadang naik kadang turun tergantung dari situasi ekonomi dan politik. Jumlah keanggotaan Handelsvereeniging Semarang terbanyak mencapai 118 anggota (Algemeen Handelsblad, 4 April 1929). Handelsvereeniging Semarang mulanya memiliki sekretariat di belakang rumah G.C.T. van Dorp. Lalu sekretariatnya dipindahkan ke salah satu ruang kantor NHM pada 1 Mei 1910. Sejak 23 September 1922, Handelsvereeniging Semarang menempati bangunan baru yang berada di seberang kantor NHM. Bangunan itu sendiri merupakan karya dari biro arsitek "Karsten, Lutjens dan Toussaint" (De Sumatra Post, 27 September 1922).
Bekas kantor Koloniaale Bank.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Selain NHM, konglomerasi lain yang berkantor di dekat Jembatan Berok adalah "Koloniale Bank" yang menempati sebuah gedung dengan tampilan seperti gedung tua di bantaran kanal Amsterdam. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1908 sebagai pemberian dari Mayor Tionghoa Semarang saat itu, Oei Tiong Ham, kepada "Koloniale Bank". Koloniale Bank dibentuk di Amsterdam pada tahun 1881 untuk menyediakan pinjaman modal kepada pengusaha perkebunan di Hindia-Belanda. Koloniale Bank memulai kiprahnya di Jawa Tengah dengan pembukaan kantor cabang di Semarang pada bulan Juni 1883. Sebelum berkantor di lokasi yang sekarang menjadi kantor Phapros, "Koloniale Bank" menempati kantor di Hogendorpstraat. Kantor Koloniale Bank di Semarang menjadi tempat pelatihan untuk pegawai junior sebelum bekerja di kantor induk di Surabaya. Usia "Koloniale Bank" di Semarang hanya bertahan sampai 52 tahun saja karena Koloniale Bank menutup kantor tersebut pada Januari 1935, imbas dari krisis ekonomi yang mendera pada awal tahun 1930an. Seluruh operasional Koloniale Bank Semarang selanjutnya dipindahkan ke Surabaya (De Locomotief, 31 Desember 1935).
Gedung Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden dengan menara kembarnya.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Selanjutnya, menempel di selatan kantor Koloniale Bank, terdapat gedung kantor yang berdiri begitu anggun dengan dua menara kembarnya. Gedung itu dulu ditempati oleh perusahaan konglomerasi perkebunan bernama "Cultuurmaatschappij der Vorsteenlanden". Perusahaan tersebut sejatinya adalah kelanjutan dari perusahaan "Dorrepaal & Co" yang hampir mengalami kebangkrutan akibat krisis gula pada tahun 1884. Perusahaan "Dorrepaal & Co." kemudian berubah menjadi "Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden" pada 1 Maret 1888 di Amsterdam (Bree, 1918; 356). Upaya-upaya untuk membangkitkan kembali perusahaan yang terpuruk itu dilakukan dengan beralih jenis tanaman budidaya lain seperti kakao dan tembakau untuk mengurangi ketergantungan pada tanaman tebu, serta menghentikan produksi nila karena sudah adanya temuan pewarna sintetis. Perlahan "Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden" menguasai perkebunan-perkebunan yang ada di berbagai wilayah, terutama di Vorstenlanden (kini mencakup Yogyakarta-Surakarta). Semakin pesatnya pertumbuhan perusahaan akhirnya memunculkan kebutuhan gedung kantor yang lebih besar. Pada tahun 1913, perusahaan mulai membangun gedung kantor baru yang menghabiskan total biaya sebesar 194.312 gulden. Arsitek C. Lugten didapuk untuk merancang gedung tersebut (Provinsial Overijssel dan Zwolsche courant, 26 Januari 1914). Bangunan tersebut sempat menjadi kantor PTPN XV dan saat ini dalam keadaan tidak terurus. Pada tahun 2009, salah satu menara bangunan rubuh akibat hujan angin dan akhirnya dibangun kembali dalam bentuk yang sama.

Bekas kantor Koninklijke Paketvaart Maatschppij yang kini menjadi kantor PELNI.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Di sana berdiri pula kantor dari dua maskapai pelayaran di masanya Koninkljike Paketvaart Maatschappij (KPM) dan Stoomvaart Maatschappij Nedederland (SMN) yang gedungnya saling bertetangga. Kedua gedung ini seolah menguatkan kedudukan Semarang sebagai kota maritim yang penting di masa lalu. Semenjak dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, pemerintah kolonial sudah merencanakan jaringan pelayaran kapal uap antar pelabuhan di Hindia-Belanda dalam upaya untuk mengontrol seluruh wilayah Hindia-Belanda. Saat itu, urusan pelayaran kapal uap antar pulau di Hindia-Belanda dipegang oleh perusahaan swasta bernama Nederlandsch Indische Stoomvaart Maatschappij yang sejatinya dimiliki dan dikelola oleh orang Inggris. Armada kapalnya dibuat dan dirawat di galangan Inggris. Sementara awaknya sebagian besar merupakan orang Inggris kendati secara kontrak kaptennya harus orang Belanda. Lantaran hal inilah pemerintah akhirnya memberikan izin konsensi yang diajukan oleh dua pengusaha Belanda J. Boissevain dan Wm. Ruys pada 21 Juni 1887. Dari izin konsensi tersebut, terbentuklah KPM pada 10 Juli 1888 (De Boer, 1924: 4). Jaringan pelayaran antar pulau yang dilayani oleh KPM itu akhirnya kian memperkokoh integrasi wilayah kolonial untuk mencapai Pax Neerlandica. Pada tahun 1916, KPM Semarang membangun gedung baru hasil buah tangan arsitek A.I.A di bawah pimpinan F.J.L. Ghijsels (Algemeen Handelsblad, 5 Agustus 1916). Sesuai dengan prinsip Ghijsles, “Simplicity is the shortest path to beauty“, gedung ini dirancang dengan kesan rapi dan tidak berlebihan.
Kantor Stoomvaart Mij. Nederland sebelum dan sesudah diperbarui pada tahun 1930.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Bersebelahan dengan gedung kantor PT. Pelni, terdapat gedung PT. Djakarta Lloyd yang dulu ditempati oleh agen perusahaan pelayaran Stoomvaart Maatschappij Nederland. Jika KPM melayani hubungan antar pulau di Hindia-Belanda, maka Stoomvaart Maatschappij Nederland melayani hubungan pelayaran antara Belanda dengan Hindia-Belanda. Rupanya orang yang mencetuskan ide untuk membuka rute peyaran tersebut bukanlah orang Belanda melainkan pembuat kapal asal Skotlandia bernama John Elder. Sayangnya sebelum idenya terwujud, Elder meninggal dunia pada 1869. Gagasan tersebut kemudian diteruskan oleh G.J. Boelen, kepala galangan kapal De Vries & Co. Setelah mendapat dukungan dari keluarga kerajaan dan kontrak dari pemerintah, maka berdirilah Stoomvaart Maatschappij Nederland pada 13 Mei 1870 sebagai perusahaan yang mengoperasikan hubungan kapal uap antara Belanda dengan koloni Hindia-Belanda (De Boer, 1920: 12). Stoomvaart Maatschappij Nederland memiliki agensi di Semarang yang menempati lahan bekas kantor residen zaman VOC. Kantor tersebut juga menjadi tempat penjualan tiket-tiket kapal. Seiring dengan pesatnya kegiatan pelayaran, kegiatan kantor terus bertambah. Stoomvaart Maatschappij Nederland lantas menugaskan arsitek Karsten dan Schouten di Semarang untuk merancang kantor baru perusahaan tersebut pada tahun 1928 (De Locomotief, 28 Februari 1928). Sebagian persil gedung lama dipotong untuk menambah ruang pada jalan raya di depannya sehingga membentuk perempatan sejati yang selama ini terpotong oleh bangunan kantor lama. Bangunan kantor baru berlantai dua itu mulai dibangun pada tahun 1930, dimana Stoomvaart Maatschappij Nederland menempati lantai pertama sedangkan lantai kedua disewakan kepada pihak lain.
Suasana jalan Heerenstraat pada akhir abad ke-19. Bangunan bertingkat dua di sebelah kanan adalah kantor De Javasche Bank Semarang  (sumber : media-kitlv.nl)
Bekas kantor De Javaasche Bank yang kini menjadi sebuah galeri.
(sumber foto lama : colonialarchitecture.eu)
Sekalipun kegiatan perniagaan kian semarak di Kota Lama, namun sejumlah pelancong menilai bahwa arsitektur bangunan di Kota Lama terkesan monoton dan terbelakang, kalah indah bila diperbandingkan dengan bangunan-bangunan di wilayah jajahan Inggris (De Locomotief, 5 Juli 1907). Hal tersebut dapat dipahami karena sepanjang abad ke-19 belum tersedia tenaga arsitek yang mendapat pendidikan ilmu arsitektur di Hindia-Belanda. Barulah pada paruh pertama abad ke-20, Kota Lama mulai diisi dengan bangunan-bangunan karya arsitek terampil. Bangunan De Javasche Bank cabang Semarang yang saat ini menjadi Semarang Kreatif Galeri adalah contohnya. De Javasche Bank adalah bank sirkulasi yang dibentuk pada tahun 1828 di Batavia dengan tugas pokoknya adalah mencetak dan mengedarkan mata uang sah. Pada tahun yang sama, sudah ada pembahasan untuk membuka kantor cabang di tempat lain guna memperluas perederan uang kertas dimana Semarang dipilih sebagai kantor cabang pertamannya. Berikutnya, seorang pedagang bernama Hipp diangkat sebagai agen De Javasche Bank di Semarang pada 17 Januari 1829. Dari Batavia, uang sebesar 53.000 gulden yang akan digunakan untuk sirkulasi De Javasche Bank diangkut menggunakan kapal “Merkurius” pada 26 Februari 1829. De Javasche Bank Semarang saat itu belum memiliki kantor sendiri sehingga uang tersebut diamankan di brankas kantor dagang milik Hipp. Meskipun dianggap cukup aman dari bahaya pencurian, namun brankas tersebut dirasa belum tahan kebakaran sehingga dua brankas baru dikirimkan ke Semarang pada 6 Maret 1829. Hipp hanya menjalankan peran agen De Javasche Bank Semarang selama setahun saja karena alasan kesehatan mengharuskan ia kembali ke Belanda. Daendels dari Daendels & Co. kemudian menggantikan peran Hipp sebagai agen De Javasche Bank (Algemeen Handelsblad, 14 Desember 1935). Kantor De Javasche Bank Semarang lalu diboyong ke kantor Daendels & Co yang kemudian dibeli oleh De Javasche Bank. Bangunan kantor yang semula berlantai dua selanjutnya dirombak menjadi bangunan berlantai satu pada tahun 1910 seiring dengan gencarnya De Javasche Bank melakukan pembangunan kantor baru di setiap kota. Rancangan kantor tersebut adalah garapan dari Cuypers dan Hulswit, arsitek kepercayaan De Javasche Bank yang diandalkan dalam merancang kantor cabang De Javasche Bank di berbagai tempat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 11 Mei 1911). Setelah 106 tahun berkantor di Heerenstraat, De Javasche Bank Semarang memutuskan pindah ke kantor baru yang lebih modern di dekat alun-alun Semarang pada tahun 1935.
Restoran Ikan Bakar Cianjur, menempati gedung dari abad ke-18.
Foto dari abad ke-19 yang memperlihatkan rumah-rumah dari periode VOC di Blinde Speekstraat. (sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Rumah model abad ke-18 yang masih tersisa di kawasan Kota Lama.
Di salah satu sisi jalan Suprapto, terdapat bangunan yang memiliki atap pelana amat curam dengan cerobong semu di kedua ujung bubungan. Bagian depannya tak memiliki beranda sehingga pintu masuknya langsung bersentuhan dengan jalan. Apabila memasuki bagian dalam bangunan yang saat ini menjadi Restoran Ikan Bakar Cianjur itu, akan terjumpa ukiran bergaya barok di atas ambang pintu. Bangunan tersebut awalnya adalah rumah pendeta (Bosboom, 1913: 193). Kemudian pada pertengahan abad ke-19 menjadi kantor s' Landkas atau kantor pajak. Selanjutnya memasuki awal 20 digunakan sebagai Geweermaker Atelier atau bengkel pembuatan senjata (De Locomotief, 26 Oktober 1906). Bangunan tersebut adalah salah satu dari sekian sedikit model rumah tinggal perkotaan dari zaman VOC yang masih bertahan dari berbagai gempuran pembangunan lintas masa di Kota Lama. Menurut Peteri, terdapat 60 rumah besar dan 150 rumah kecil dalam jenis tersebut di kawasan Kota Lama pada tahun 1870an. Seiring dengan bangkitnya Semarang sebagai kota perdagangan, rumah-rumah model lawas tersebut akhirnya tergusur dan berganti menjadi kantor komersial. Sementara itu, para penghuninya sudah lama meninggalkan kawasan Kota Lama karena keadaan kawasan tersebut tidak mendukung untuk tempat tinggal. Dokter Bleeker yang mengunjungi Semarang sekitar tahun 1857 menerangkan bahwa kawasan itu dipenuhi oleh jalanan berlubang. Air selokan meluber dan mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Memasuki malam hari, suasananya begitu gelap karena minimnya penerangan jalan umum. Penghuni di sana akhirnya memilih untuk memindahkan huniannya ke kawasan yang lebih sehat seperti Bojong atau di perbukitan selatan Semarang. Pada akhir abad ke-19, karakter kota tua Belanda era VOC hampir menghilang sepenuhnya dari Kota Lama dan kawasan tersebut akhirnya beralih menjadi kawasan komersil. Untungnya masih tersisa beberapa bangunan rumah dari masa VOC seperti restoran Ikan Bakar Cianjur.
Kantor Perusahaan Asuransi Jiwasraya.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Persis di samping dan seberang bangunan Restoran Ikan Bakar Cianjur, terdapat dua bangunan yang usianya terpaut cukup jauh di bawahnya, yakni kantor perusahaan asuransi Jiwasraya dan kantor Indonesia Trading Center. Kantor asuransi Jiwasraya menempati bekas kantor perusahaan masa Hindia-Belanda yang bergerak di bidang sejenis, yakni Nederlandsch-Indisch Lijfrente Maatschappij (Nillmij). Gedung ini dibuka sebagai kantor "Nillmij" pada 11 April 1919. Rancangannya dibuat oleh biro arsitek “Karstens, Lutjens, en Toussaint”. Sebelum didirikan gedung “Nillmij”, tempat tersebut dulunya adalah toko untuk firma “Meyer-Hillestrow”. Proses pembangunan dimulai pada tahun 1916 dengan menggunakan jasa kontraktor “Hollandsche Beton Maatschappij”. Konstruksi bangunan disusun dengan teknologi beton bertulang yang saat itu baru dikenal di Hindia-Belanda. Bangunan diberikan sentuhan gaya arsitektur Art Deco yang sedang menjadi trend saat itu. Untuk menambah keindahan, bangunan berkubah ini dihiasi dengan kaca patri buatan pabrik Andriesse dan dekorasi logam buatan pengrajin lokal, Karsidin. Ubin yang digunakan berasal dari pabrik tegel di Gembong. Sebagai upaya adaptasi terhadap iklim lokal, maka bangunan ini diberi beranda keliling. Bangunan gedung "Nillmij" menempati lahan yang berhimpitan dengan pertigaan. Supaya pandangan pengendara tidak terhalang oleh bangunan, maka bangunan dirancang berbentuk seperti huruf “L” dan menyisakan ruang terbuka di sudut lahan. Bangunan berlantai tiga ini ditempati oleh dua kantor, yakni “Nillmij” di dua lantai pertama dan lantai ketiganya ditempati oleh “Jonkhoft Stork & Co.”, firma yang bergerak di bisnis penjualan mobil. Untuk perpindahan antar lantai, gedung ini dilengkapi dengan suatu perangkat yang masih belum lazim di Hindia-Belanda, yakni mesin elevator. Mesin tersebut buatan pabrik elevator terkenal dari Amerika Serikat, “Otis” (De Locomotief, 11 April 1919).
Kantor Indonesia Trading Cenre.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)

Dengan kesan yang kokoh dan modern, orang akan menyangka jika kantor Indonesia Trading Centre itu baru dibangun hari kemarin, padahal usia bangunan tersebut sudah menginjak lebih dari lima puluh tahun. Bangunan karya arsitek Ir. J.F.L. Blankenberg itu dahulunya adalah kantor dari firma Borneo Sumatra Maatschappij. Firma tersebut aslinya didirikan di Banjarmasin pada tahun 1883 oleh seorang pedagang bernama Jacobus Wilhelm Schlimmer. Ketika itu, sedikit sekali pedagang swasta Eropa yang mau membuka usaha perdagangan di Pulau Kalimantan kendati pulau tersebut sudah berada dalam administrasi pemerintah Hindia-Belanda pada abad ke-19.  Awal berdiri, Borsumij masih memakai nama Schlimmer & Co. yang selanjutnya diubah namanya menjadi N.V. Borneo Sumatra Maatschappij atau Borsumij pada 31 Maret 1894. Pada awal abad 20, Borsumij sudah memiliki kantor cabang di Pontianak, Samarinda, Palembang, Pangkal Pinang, Tanjung Pandan, dan kota lainnya. Ihwal masuknya Borsumij ke Semarang bermula dari diakusisinya perusahaan Maatschappij voor Uitvoer- en Commissiehandel oleh Borsumij senilai 2.000.000 gulden (De Locomotief, 30 Januari 1920). Kantor Maatschappij voor Uitvoer- en Commissiehandel di Semarang lantas berpindah tangan ke Borsumij. Menyongsong peningkatan bisnis Borsumij, bangunan kantor lama dirasakan tidak memadai untuk kegiatan kantor, apalagi setelah jumlah arsip terus bertambah sementara hampir tidak ada lagi tempat untuk menampungnya. Hal tersebut akhirnya dirasakan sendiri J.G. Schimler, direktur Borsumij yang mengunjungi kantor Borsumij Semarang pada tahun 1937. Schimler memutuskan untuk merombak bangunan kantor tersebut secara menyeluruh dan menambahkan gudang baru di sebelahnya. Selanjutnya kantor kontruksi “Ooiman & Van Leeuwen” menerima kontrak dari Borsumij pada 20 Oktober 1938 setelah memenangkan tender yang dilelang sebulan sebelumnya. Sementara untuk arsiteknya, Borsumij menugaskan J.F.L. Blankenberg yang mengusung langgam Fungsionalisme untuk bangunan kantor itu. Bangunan kantor lama Borsumij dan kantor sebelahnya yang sudah dibeli Borsumij, Venduhuis Hillebrands kemudian dibongkar pada Oktober 1938. Hari Sabtu, 4 Februari 1939, diadakan upacara peletakan batu pertama untuk pembangunan kantor baru Borsumij. Prosesnya pembangunannya boleh dikatakan sangat cepat. Pada 29 Oktober 1939, hanya berselang 9 bulan dari upacara peletakan batu pertama, bangunan kantor baru Borsumij resmi dibuka (De Locomotief, 28 Oktober 1939).

Gereja Blenduk.
Paradeplein, jantung kota lama Semarang. Di sini kerap diadakan pentas drum band militer. (sumber : colonialarchitecture.eu).
Berdiri dengan elegan di jantung Kota Lama, Gereja Blenduk adalah tengara utama Kota Lama Semarang dengan atap kubah yang begitu anggun membelah langit dan sepasang menara lonceng yang mendamipinginya. Di tengah kepungan bangunan – bangunan kuno lain, ia menjadi satu-satunya bangunan suci di kawasan yang sarat urusan duniawi itu dan seakan sebagai pengingat bahwa sesibuk-sibuknya manusia dengan urusan dunia, mereka masih harus tetap ingat dengan urusan akhirat. Gereja Blenduk atau GPIB Imannuel dibangun ketika VOC sudah cukup mapan di Semarang. Bentuk asli bangunan gereja belum diketahui karena bentuk gereja sudah mengalami beberapa kali perubahan. Menurut Peteri, bangunan gereja awal dibongkar dan digantikan bangunan gereja baru pada tahun 1794. Bangunan gereja kemudian disempurnakan seperti yang terlihat saat ini oleh H.P.A. de Wilde dan W. Weestmas pada tahun 1894-1895 dengan mengimbuhkan dua menara bergaya barok, portico klasik pada bagian depan gereja itu, dan mengubah bentuk kubah (Westbroek, 1939 : 164). Di samping timur Gereja Blenduk, terdapat taman kecil bernama taman Srigunting yang di masa silam merupakan bagian dari sebuah lapangan parade atau paradeplein. Di lapangan itulah para serdadu Belanda berparade dengan iringan musik militer. Kini lapangan itu telah lenyap, separo menjadi sebuah gedung kosong dan separonya lagi menjadi taman Srigunting.

Bangunan Toko Zikel pertama.
Gedung Marba, bekas toko "Zikel".
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Kawasan kota lama Semarang dibelah oleh Jalan Letjend Suprapto. Jalan yang nyaris tak pernah sepi lalu lintas kendaraan itu dulu bernama Heerenstraat. Pada masa Daendels, jalan itu dijadikan sebagai bagian dari Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (Pratiwo, 2010; 33) Sebagai jalan utama, maka tak heran jika di sepanjang jalan itu pernah berdiri kantor perusahaan ternama, hotel mewah sekelas Hotel Janssens yang kini tinggal nama saja dan toko kelontong yang menjual pernak-pernik untuk golongan elit seperti toko kelontong “Zikel” yang saat ini dikenal sebagai gedung Marba. Toko "Zikel" pertama kali dibuka di sudut pertemuan jalan Heerenstraat dengan Oosterwalstraat pada tahun 1902. Sebelum menjadi Toko Zikel, tempat tersebut dulunya adalah bengkel zeni militer (De Locomotief, 4 Maret 1902). Berselang dua tahun kemudian, “Zikel” membeli bangunan toko kelontong milik Jolink Barend dengan harga 30.000 gulden. Seluruh bangunan lama toko Jolink Barend itu kemudian dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru bertingkat dua yang lebih besar pada tahun 1904 (De Locomotief, 17 Maret 1904). Bangunan baru itulah yang sekarang dikenal sebagai gedung Marba. Sayangya karena deraan krisis ekonomi pada tahun 1930an, toko “Zikel” gulung tikar dan bangunannya dijual pada tahun 1932. Meskipun bangkrut, toko “Zikel” tetap dibuka guna menghabiskan stok barang (Bataviasch Nieuwsblad, 16 maret 1932). 
Bekas Toko Spiegel.

Bekas showroom "N.V. Semarangsche Automobiel Mij."
(sumber foto lama : colonialarchitecture.eu)
Selain toko "Zikel", ada juga toko “Spiegel” yang menurut harian Algemeen Handeslblad 29 Januari 1934, “Spiegel” dibuka oleh seorang warga negara Jerman bernama H. Spiegel pada tahun 1885. Toko tersebut adalah gerai ritel pertama di Semarang. Sekitar tahun 1907, bangunan toko Spiegel diperbesar menjadi bentuknya yang sekarang ini (De Locomotief, 21 Oktober 1907). Pada tahun 1926, Spiegel memindahkan gerainya ke Bojong dan bangunan lama yang ada di dekat Paradeplein digunakan oleh Vendutie Kantoor atau kantor lelang (De Locomotief, 5 Juni 1926). Kemudian di seberang toko "Spiegel", terdapat bangunan bekas showroom dari "N.V. Semarangsche Automobiel Maatschappij". Perusahaan yang bergerak di bidang rental dan penjualan mobil tersebut didirikan oleh H.W. Jonkhoff dan K. Ferdinandus pada tahun 1909 (De Locomotief, 15 Oktober 1909). Saat itu baru ada tiga pemilik kendaraan mobil pribadi yang mulai diperkenalkan di Semarang pada tahun 1899. Guna menyambut gelaran Koloniale Tentootstelling di Semarang, maka "N.V. Semarangsche Automobiel Maatschappij" merintis layanan taksi di Semarang pada tahun 1913. Dengan menggunakan enam mobil jenis Detroiter, layanan tersebut mematok tarif 50 sen untuk 800 meter pertama dan 10 sen untuk setiap 400 meter berikutnya. Itu adalah layanan taksi berargometer pertama di Semarang (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indische, 28 Oktober 1913). Keberadaan layanan taksi dari "N.V. Semarangsche Automobiel Maatschappij" sempat ditentang beberapa pihak karena perusahaan tersebut hendak mengajukan monopoli layanan taksi di Semarang kepada pemerintah kota (De Expres, 10 Desember 1913). Nama "N.V. Semarangsche Automobiel Maatschappij" menghilang dari buku daftar telepon pada tahun 1925. Kemungkinan pada tahun sebelumnya, perusahaan tersebut bangkrut akibat ketatnya persaingan penjualan mobil saat memasuki tahun 1920an (De Locomotief, 8 November 1938).
Suasana Jalan Hoogendorpstraat tahun 1930an. (sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Jalan Kepodang adalah salah satu jalan di Kota Lama Semarang yang juga banyak menyimpan bangunan lama. Di masa kolonial, jalan ini bernama Hoogendorpstraat. Sejumlah perusahaan membuka kantornya di sepanjang jalan ini seperti Nederlandsch Indische-Handelsbank, Oei Tiong Ham Concern, Spaarbank Semarang dan Escompto Maatschappij. Di jalan ini pula dahulu pernah ada kantor surat kabar yang menjadi corong orang-orang Belanda yang memperjuangkan politik etis, De Locomotief. Sayangnya bangunan yang seharusnya menjadi monument pers Indonesia ini kini sudah runtuh akibat ditelantarkan dalam waktu lama.
Gedung Bank Mandiri yang berada di Jalan Kepodang ini dahulunya adalah kantor dari Nederlandsch Indische Handelsbank. (sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Di sudut jalan Kepodang, terdapat kantor Bank Mandiri yang menempati bekas kantor Nederlansch Indische Handelsbank (N.I.H). Perusahaan tersebut dibentuk pada tahun 1863 dan merupakan salah satu anak perusahaan dari Algemeene Maatschappij. Kehadiran kantor cabang N.I.H di Semarang dimulai sejak bulan Maret tahun 1865 dan saat itu sifatnya baru uji coba. Setelah kinerjanya tidak menujukan hasil memuaskan, maka N.I.H. menutup kantor cabang Semarang itu setahun setelahnya. N.I.H baru membuka kembali kantor cabang di Semarang pada 1 April 1876 dan kali ini berjalan cukup bagus (Bree, 1918 : 211). Pada zaman pendudukan Jepang, gedung bank tersebut ditempati oleh Yokohama Specie Bank dan selepas kemerdekaan kantor tersebut kembali ke pangkuan N.I.H. Bank tersebut kemudian berganti nama menjadi Nationale Handelsbank pada 1 Juli 1950 (Algemeen Indisch Dagblad, 15 Juli 1950). Empat tahun kemudian, Nationale Handelsbank cabang Semarang merombak tampilan kantor lama menjadi lebih modern dan rancangannya dibuat oleh arsitek Ir. E. Kuhr. Sementara pelaksanaan pembangunannya dilimpahkan kepada biro konstruksi “Ooiman & van Leeuwen” (De Locomotief, 25 Oktober 1954). Nationale Handelsbank dan beberapa asetnya di Semarang kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Bank Umum Negara.
Bekas kantor Oei Tiong Ham Concern.
Selain kantor firma-firma terkenal milik orang Eropa, di Van Hoogendorpstraat berkantor pula firma yang dimiliki oleh orang Tionghoa, Oei Tiong Ham Concern. Nama firma Oei Tiong Ham Concern tidaklah lepas dari sosok Oei Tiong Ham, hartawan Tionghoa yang sudah sangat dikenal dalam sejarah Semarang. Oei Tiong Ham Concern merupakan kelanjutan dari usaha perdagangan gula eceran bernama Kian Gwan yang dirintis oleh Oei Tjie Sin, ayah Oei Tiong Ham. Usaha tersebut awalnya dijalankan di Gang Besen yang ada di kawasan Pecinan dan kemudian pindah ke Van Hoogendorpstraat pada tahun 1865. Bisnis itu selanjutnya merambah ke sektor ekspor gula ke Singapura, industri gula, dan sektor usaha lainnya. Oei Tiong Ham Concern tumbuh menjadi perusahaan konglomerat yang dikelola dengan praktik bisnis modern. Sepeninggal Oei Tiong Ham pada tahun 1924, usaha tersebut terus tumbuh sehingga jumlah pegawai terus bertambah. Kantor lama dirasa kian sempit sehingga Oei Tjong Houw, penerus usaha Oei Tiong Ham Concern mulai berencana untuk merenovasi gedung lama pada tahun 1928. Sebagai bentuk dukungan terhadap sesama Tionghoa, Oei Tiong Ham Concern memilih Liem Bwan Tjie, satu-satunya arsitek Tionghoa terpelajar saat itu, untuk merancang bangunannya. Liem Bwan Tjie merancang bangunan dengan bentuk yang begitu modern pada masanya sehingga bangunan tidak tampak seperti bangunan jadul walau usianya sudah lumayan tua. Sebelum bangunan lama dibongkar pada 1931, kegiatan Oei Tiong Ham Concern untuk sementara dipindahkan ke Chineesche Lloyd di Kerkstraat. Tahapan pembangunan gedung dikerjakan oleh Sitsen en Louzada dengan kontrak senilai 249.000 gulden. Sekitar Agustus 1933, proses renovasi bangunan sudah mencapai tahap akhir. Bangunan tersebut diresmikan pada 6 Desember 1933, saat gairah industri gula di Hindia-Belanda tengah mengalami kelesuan akibat krisis ekonomi yang membuat banyak perusahaan gula lain gulung tikar. (De Locomotief, 6 Desember 1933).
Bekas kantor firma Escompto yang dibangun tahun 1912.
Bangunan bekas gedung Escompto Maatschappij juga tidak kalah megahnya. Escompto didirikan di Batavia pada 22 Agustus 1857 oleh Paulus Tiedeman Jr. dan Carl Frederik Wilhelm Wigger van Kerchem. Escompto berkantor pusat di Batavia dan memiliki sejumlah kantor cabang di sejumlah tempat termasuk di Semarang. Usaha Escompto di Semarang awalnya dijalankan oleh agen perseorangan sebagaimana di tempat lainnya. Baru pada tahun 1892, bisnis Escompto di Semarang mulai dijalankan sebagai badan usaha meskipun kantornya masih menyewa (Bree, 1918 ; 131). Pada tahun 1911, Escompto akhirnya dapat membeli sepetak lahan yang akan dipakai untuk tempat gedung kantor baru miliki Escompto. Karyawan Escompto akhirnya dapat menempati gedung kantor baru tersebut pada 27 Desember 1912 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indische, 27 Desember 1912). Angka tahun selesainya pembuatan gedung tersebut tertera di muka gedung, berdampingan dengan lambang kota Surabaya dan Semarang. Pada masa Jepang, kantor Escompto digunakan oleh China Southern Bank. 
Gedung Spaarbank Semarang.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Selanjutnya bersanding dengan bekas kantor Escompto, terdapat kantor Spaarbank yang dibentuk pada tahun 1853 oleh anggota Maatschappij tot Nut van 't algemeen. Berbeda dari bank-bank besar lain saat itu yang kepentingan utamanya adalah menyediakan pinjaman untuk konglomerat, tujuan utama bank tabungan ini ialah sebagai tempat tabungan untuk penabung kecil dari semua golongan dan memperkenalkan kebiasaan menabung untuk masyarakat umum (Java Bode, 1 Agustus 1857). Spaarbank kemudian membangun kantornya pada tahun 1887. Mengingat di Semarang saat itu belum ada jasa arsitek, maka seorang insinyur dan guru matematika di Semarang bernama Verver ditugaskan untuk merancang gedung kantor itu. Proses pembangunan gedung dikerjakan oleh Mahlerwein dengan biaya sebesar 10.440 gulden (De Locomotief, 24 Desember 1887). Gedung kantor tersebut menjadi gedung kantor terindah di Semarang sebelum gedung Lawangsewu dibangun.

Bekas gedung Schouwburg.
(sumber foto lama : media-kitlv.nl)
Selain gedung-gedung komersil, di kawasan Kota Lama juga terdapat gedung pertunjukan yang dikenal sebagai Schouwburg. Kehadiran Schouwburg ini menawarkan hiburan bagi penduduk Eropa yang sudah seharian berkutat dalam urusan pekerjaan. Pengagas Schouwburg Semarang adalah mantan residen Semarang, Lameers van Torrenburg, yang merasa prihatin dengan minimnya sarana pentas seni pertunjukan di Semarang. Oleh karena itu, hadiah untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke-25 dialihkannya untuk mendirikan gedung seni pertunjukan seperti teater, musik orkes, resital, dan lain-lain (Algemeen handelsblad, 16 April 1925). Pada tahun 1874, dibentuk sebuah komite kecil untuk menyiapkan pembangunan gedung baru. Biaya pembangunannya ternyata lebih tinggi dari perkiraan semula sementara modal awal yang tekumpul jauh dari yang diharapkan sehingga Schouwburg Semarang menempati bekas gedung komedie lama di Komediestraat. Pembukaan gedung Schouwburg Semarang berlangsung pada malam tanggal 29 November 1877. Sejumlah wartawan yang menghadiri pembukaan mengkritik mutu bangunan Schouwburg yang sangat rendah untuk sebuah gedung pertunjukan. Akibatnya, jumlah pentas pertunjukan di gedung tersebut dapat dihitung dengan jari setiap tahunnya. Jumlah penontonnya juga tidak banyak dan lebih banyak pentas di Societeit Amicita ketimbang di Schouwburg (De Locomotief 22 Maret 1895). Sekalipun sudah dilakukan sejumlah perbaikan pada 1906 dan 1929, nyatanya langkah tersebut masih gagal mengundang penonton. Pemasukan yang diperoleh jauh dari kata menguntungkan sehingga pemeliharaan gedung dilakukan ala kadarnya. Bangunan schouwburg lama kelamaan menjadi bobrok dan terancam untuk ditutup (De Locomotief 5 Juli 1935). Situasi semakin runyam setelah pendudukan Jepang dan kemerdekaan. Schouwburg Semarang tidak pernah bangkit. Gedungnya menjadi gudang sebelum mengalami kerusakan dan penghancuran bertubi-tubi. Pada tahun 1994, interior plafon dan tiangnya yang terbuat dari kayu diboyong ke Gedung Marabunta di sebelahnya. Banyak kabar beredar yang menyebutkan bahwa seorang intel terkenal bernama Mata Hari pernah tampil di Schouwburg meskipun kabar tersebut diragukan keabsahannya. Sementara itu, Schouwburg Semarang pada Maret 192 pernah menampilkan pertunjukan musik biola yang dibawakan oleh Walter Spies, sosok yang berjasa dalam modernisasi seni Jawa dan Bali (De Locomotief 26 Februari 1927). Kisah ini sendiri justru masih belum diketahui banyak orang meskipun ada catatan sejarahnya. Selain untuk gedung pertunjukan, gedung tersebut juga digunakan sebagai tempat pertemuan organisasi politik. Misalnya pertemuan “Indische Partij” cabang Semarang pada 19 Oktober 1912 yang dihadiri oleh salah satu tokoh tiga serangkai, Ernest Douwes Dekker atau Dr. Danudirja Setiabudi (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie 21 Oktober 1912). Organisasi Sarekat Islam (SI) juga pernah menggelar rapat besar di tempat itu pada bulan April 1918, dimana diputuskan bahwa Abdul Moeis dipecat sebagai wakil presiden SI dan digantikan oleh Mas Marco Kartodikromo (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi22 April 1918).
Cafe Teko Deko, contoh lain cafe yang memanfaatkan bangunan lama.
Bangunan lama yang kini dialihfungsikan sebagai restoran.
Salah satu bangunan lama yang belum mendapat sentuhan pemugaran.
Bertaburkan berbagai gedung kolonial di setiap sudutnya, Kota Lama Semarang menjelma laksana galeri pamer terbuka dimana para arsitek Belanda berlomba membuat gedung-gedung niaga yang paling megah dan berseni. Wajah gedung yang dibangun modern yang diadaptasikan dengan iklim tropis itu menunjukan suburnya praktik niaga di Semarang pada zaman kolonial, terutama semenjak terbukanya keran investasi di Hindia Belanda pada tahun 1870. Bagai cendawan di musim hujan, banyak perusahaan mendirikan kantornya di Kota Lama. Liem dalam buku Riwajat Semarang menulis "begitu kita sampai di kota di mana kantor dan gudang berdiri, terdapat gedung dari bank, kongsi pelayaran, firma eksportir dan importir, kantor pengacara, dan asuransi bergandengan satu sama lain, di antaranya terdapat toko-toko". Sayangnya, kawasan Kota Lama Semarang selepas kemerdekaan perlahan mulai memperlihatkan gejala kemunduran. Kondisi lingkungan yang kerap terkena rob menjadi salah satu sebab mengapa kawasan Kota Lama begitu sengkarut. Banyak gedung kuno yang masih kosong melompong lantaran perusahaan-perusahaan enggan untuk berkantor di Kota Lama. Kawasan bersejarah yang dahulu ramai dengan aneka kegiatannya itupun akhirnya meredup dan menjadi kawasan mati di malam hari dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Untungnya pemerintah tidak berdiam diri melihat kawasan bersejarah itu terlantar. Sejak tahun 1992, kawasan kota lama ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dan mulai dibenahi. Meskipun ada hambatan dalam pembiayaannya, Kota Lama berusaha bersolek kembali dengan usaha yang dijalankan baik oleh pemerintah maupun swasta. Sejumlah gedung yang sempat terlantar selama bertahun-tahun dan kini terlihat elok sebagai cafe dan galeri setidaknya menumbuhkan asa akan masa depan Kota Lama Semarang. Dengan aura kekunoan bangunan lamanya yang masih kentara, kawasan Kota Lama akhirnya menjadi bagian dari jatidiri kota Semarang sebagaimana ungkapan “Kota tanpa bangunan berserajah adalah kota yang kehilangan jatidirinya “..

Referensi
Bosboom, H.D.H. 1913. "Oude Woningen in en Nabij de Stad Batavia" dalam Nederlandsch Indie Oude en Nieuw. Hlm. 127-193

Bree, L. De. 1918. Het Bankwezen. Batavia :Ruygrok & Co.

De Boer, M.G. 1920. Gedenkboek der Stoomvaart Maatschappij Nederland 1870-1920. Amsterdam : L. Van leer & Co.

De Boer, M.G. 1924. De Koninklijke Paketvaart Maatschappij. Amsterdam : Bureau Industria.

ir. H. Th. Baldinger. 1938. "Semarang als industrie-stad" dalam Locale Techniek bulan Maret-April 1938.

Brommer dkk. 1995. Semarang, Beeld van een stad. Purmerend : Asia Maior.

Kuiper, K.G. 1935. "Oud en Nieuw Semarang" dalam Tropische Nederland No. 22 18 Februari 1935.

Liem Thian Joe. 1933. Riwajat Semarang. Batavia : Drukkerij Boekhandel.

Peteri, W.B. "De Geschiedenis der Stad Semarang" dalam Algemeen Handelsblad voor Ned.Indie 25 Juli 1925, 17 Oktober 1925, dan 31 Oktober 1925

Poerwanto, L.M.F dan Soenarso, R. 2012. Menapak Jejak-Jejak Sejarah Kota Lama Semarang. Bandung; Bina Manggala Widya.

Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Westbroek, H. 1939.  "De Protestantsche Koepelkerk te Semarang" dalam Locale Techniek bulan November 1939.

Algemeen Handelsblad, 5 Agustus 1916
Algemeen Handelsblad, 16 April 1925
Algemeen Handelsblad, 4 April 1929
Algemeen Indisch Dagblad, 15 Juli 1950
Bataviasch Nieuwsblad, 16 maret 1932
De Expres, 10 Desember 1913
De Locomotief 24 Desember 1887
De Locomotief 22 Maret 1895
De Locomotief, 4 Maret 1902
De Locomotief, 17 Maret 1904
De Locomotief, 2 Juli 1907
De Locomotief, 5 Juli 1907
De Locomotief, 21 Oktober 1907
De Locomotief, 13 Januari 1908
De Locomotief, 15 Oktober 1909
De Locomotief, 11 April 1919
De Locomotief, 30 Januari 1920
De Locomotief, 5 Juni 1926
De Locomotief, 28 Februari 1928
De Locomotief, 6 Desember 1933
De Locomotief, 5 Juli 1935
De Locomotief, 31 Desember 1935
De Locomotief, 8 November 1938
De Locomotief, 28 Oktober 1939
De Locomotief, 25 Oktober 1954
De Sumatra Post, 27 September 1922
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23 Juni 1910
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 11 Mei 1911
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21 Oktober 1912
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27 Desember 1912
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie28 Oktober 1913
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 22 April 1918
Java Bode, 1 Agustus 1857
Provinsial Overijssel dan Zwolsche courant, 26 Januari 1914
Soerabiasch Handelsblad, 22 Mei 1942