Sabtu, 12 Oktober 2019

Stasiun Jakarta-Kota yang Melampaui Masa

Ketika matahari mulai menyongsong dari ufuk timur, sebuah kereta listrik perlahan memasuki satu dari dua belas jalur yang  terentang di Stasiun Jakarta Kota. Kereta berhenti dan segera para penumpang menyeruak dari dalam kereta, berpencar ke berbagai penjuru. Sudah berdiri lebih sembilan puluh tahun lamanya stasiun ini menyaksikan lika - liku kehidupan manusia ibukota. Lengkung kanopi besinya seakan ingin menceritakan sejarah kehadiran si ular besi di Batavia sekaligus karya salah satu arsitek yang mahsyur di masanya, Frans Johan Lowrens Ghijsels.
Foto udara Stasiun Batavia Noord sekitar tahun 1910an.
(sumber : colonialarchitecture.eu) 
Stasiun Batavia Noord pada tahun 1880an
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Riwayat dari stasiun ini sendiri boleh dikatakan lebih tua dari bangunannya yang tampak sekarang ini. Membaca riwayat stasiun ini tentu tidak dapat dipisahkan dari sejarah upaya pembangunan jalur kereta di Batavia. Wacana pembuatan jalur kereta dari Batavia menuju Bogor sudah muncul sejak tahun 1851, tiga belas tahun sebelum jalur kereta api pertama dibuka di Semarang pada 1864. Kala itu, Letnan Maarschalk, seorang perwira zeni militer Belanda, mendapat tugas untuk menjajaki lokasi yang bakal dilintasi jalur kereta api Batavia- Buitenzorg; nama lama dari Bogor. Kendati rencana telah disusun matang, namun pemerintah kolonial tampaknya masih berpikir ulang karena jalur kereta tersebut jelas memakan biaya yang tinggi untuk membangunnya dan sementara itu belum ada kepastian apakah jalur kereta tersebut akan menghasilkan keuntungan atau tidak. Barulah setelah jalur kereta Semarang-Vorstenlanden menunjukan tanda-tanda keberhasilan, maka pemerintah kolonial memberi lampu hijau untuk membangun jalur kereta Batavia-Buitenzorg. Sebagai permulaan, diadakan upacara pencangkulan pertama yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Pieter Mijer di bakal lokasi stasiun Batavia pada 25 Oktober 1869 (Bataviaasch Nieuwsblad. 15 Agustus 1929). 2.500.000 gulden adalah perhitungan biaya yang dihabiskan untuk membangun jalur kereta tersebut. Pembangunannya dilakukan secara bertahap. Tahap pertama yakni pada ruas Batavia-Weltevreden yang dibuka 15 September 1871, kemudian disusul Weltevreden-Meester Cornelis yang dibuka pada 16 Juni 1872 dan diikuti dengan Mesteer Cornelis-Buitenzorg yang dibuka pada 31 Juni 1873. Begitulah cerita datangnya si ular baja di Batavia.
Peta tahun 1910an yang memperlihatkan letak Stasiun Batavia Selatan (dalam tanda St. Batavia Z.) (sumber : maps.library.leiden.edu).
Stasiun Batavia Zuid sebelum direnovasi pada tahun 1927
(sumber : colonialarchitecture.eu).
Jalur kereta jurusan Batavia-Buitenzorg dikelola oleh maskapai Nederlandsch Indische Spoorweg. Tempat pemberhentiannya sendiri berada di Stasiun Batavia Noord yang dahulu ada di timur balai kota. Selain melayani jalur Batavia-Buitenzorg, Stasiun Batavia Noord juga menjadi tempat pemberhentian kereta jurusan Batavia-Priok yang dibuka dan dikelola oleh Staaspoorwegen pada tahun 1887. Dari pelabuhan, penumpang akan berganti kereta di Stasiun Batavia Noord sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah pedalaman. Selain Stasiun Batavia Noord, terpaut 200 meter ke selatan terdapat stasiun Batavia Zuid milik maskapai lain, yakni "Bataviasche Oostpoorweg Maatschappij" atau sering disingkat menjadi BEOS. Sejarah berdirinya maskapai ini dimulai ketika H.J. Meertens mengajukan konsensi pembangunan kereta api dari Batavia sampai wilayah timurnya seperti Pasar Senen, Meester Kornelis, Tanjung Priok, dan Bekasi. Namun karena tidak memenuhi persyaratan hukum, maka konsensi tersebut ditolak. Tidak putus asa, Meertens beserta firma "Tiedeman en van Kerchem" mengajukan konsensi yang sama pada pada 1881 dan setahun berikutnya, pemerintah akhirnya menerima konsensi tersebut. Mereka diberi konsensi selama 90 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalur kereta dari Batavia hingga wilayah timur seperti Bekasi dan Meester-Cornelis. Lintas Batavia-Bekasi sendiri selesai dibuka pada tahun 1887 dan diikuti Bekasi-Cikarang pada 1890. Pemerintah kolonial rupanya juga meminta BEOS untuk meneruskan pembangunannya hingga lebih jauh ke timur sampai Cirebon. Namun BEOS menolak permintaan tersebut dengan pertimbangan bahwa biaya yang dibutuhkan sangat tinggi untuk membuat jalur di sana. Walaupun demikian, BEOS akhirnya membuka jalur kereta Kedunggede - Karawang pada 20 Maret 1898 yang melewati Sungai Citarum meski BEOS tidak jadi melanjutkan pembangunanya hingga ke Cirebon (Rietsma, 1916;6-8).

Proses pembangunan stasiun Batavia Kota pada tahun 1927 
(sumber : colonialarchitecture.eu).
Kuda-kuda atap yang sedang dalam proses pemasangan (sumber : colonialarchitecture.eu).
Pada 4 Agustus 1898, jalur kereta Batavia-Karawang dibeli oleh Staaspoorwegen dari BEOS. Hal tersebut sejalan dengan rencana pemerintah kolonial untuk pengembangan dan penyatuan jalur kereta di Jawa barat di bawah bendera maskapai kereta plat merah tersebut. Staaspoorwegen kemudian merambah jalur Batavia-Buitenzorg dengan pembelian konsesi jalur dari NISM pada 1 November 1913 (Reitsma, 1928: 116). Dengan demikian, baik Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid sudah dikuasai oleh Staaspoorwegen. Pada perkembangan selanjutnya, Staaspoorwegen juga mulai membenahi jalur kereta di Batavia dalam rangka persiapan elektrifikasi kereta di Batavia. Salah satu pembenahan yang dilakukan adalah dengan menyatukan operasional dua Stasiun Batavia. Sebagai persiapan, Stasiun Batavia Zuid ditutup pada tahun 1923 sehingga tinggal stasiun Batavia Noord saja yang masih beroperasi. Untuk ukuran stasiun yang berdiri di ibukota pemerintah dan menjadi pintu gerbang ke pedalaman Pulau Jawa, gedung stasiun Batavia Noord masih terlihat kurang pantas untuk menunjukkan citra kemegahan Hindia-Belanda. Maka dari itu, Staaspoorwegen menugaskan C.W. Koch, kepala insinyur di Staaspoorwegen untuk merancang sebuah stasiun dengan muka yang lebih megah. Rancangan Koch sedianya akan dilengkapi dengan menara jam di salah satu sudut stasiun namun rancangan tersebut urung dipakai karena alasan ekonomi dan ketidaksepakatan.
Foto udara Stasiun Batavia Kota. Tampak di seberangnya terdapat kantor Nederlandsch Handel Maatschappij dan di sebelahnya adalah kantor De Javaasche Bank. Gaya dan ukuran ketiga gedung tersebut tampak kontras dengan bangunan ruko bergaya Tionghoa di sekitarnya (sumber : colonialarchitecture.eu).
Stasiun Batavia Kota yang baru saja selesai dibangun (sumber : colonialarchitecture.eu).
Tugas perancangan bangunan stasiun yang memiliki 12 jalur tersebut akhirnya diserahkan kepada Frans Josef Lowrens Ghijsels, arsitek dari biro konsultan Algemeen Ingenieurs- en Architectenbureau (A.I.A). Dalam merancang stasiun baru tersebut, arsitek kelahiran Tulungagung tersebut mencoba beberapa variasi bentuk pintu masuk utama untuk bagian depan bangunan. Setelah bereksperimen dengan berbagai bentuk, Ghijsels akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah bangunan yang lebar, fasad rendah, dan di bagian tengahnya terdapat sebuah atap lengkung yang megah. Bentuk tersebut dinilainya cocok untuk sebuah stasiun terminus atau stasiun ujung (Akihary, 1996; 83). Selepas Ghijsels mematangkan desainnya pada Juni 1927, bangunan stasiun Batavia Zuid dirobohkan. Proyek pembangunan tersebut dikerjakan oleh kontraktor Hollandsch Beton Maatschappij.

Peron stasiun Batavia dengan bentang atap lengkungnya yang panjang(sumber : colonialarchitecture.eu).
Para penumpang kereta yang tiba di stasiun (sumber : Batavia Als Handels-, Industrie-,en Woonstad) .
Berkat bantuan kemajuan teknologi konstruksi saat itu, stasiun ini hanya perlu dibangun selama dua tahun. Kontras dengan bangunan stasiun yang bernuansa modern, upacara peresmian yang diadakan pada 8 Oktober 1929 menampilkan unsur tradisional yang sangat kental. Pada pagi hari, para pegawai baik yang berdarah Eropa dan pribumi menggelar upacara selamatan. Sementara itu, pada siang harinya, Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff melakukan upacara penanaman kepala kerbau yang ditanam di depan pintu masuk stasiun. Maksud dari upacara selamatan dan penanaman kepala kerbau itu ialah supaya bangunan stasiun selama beroperasi dapat terhindarkan dari marabahaya. Seminggu setelah upacara tersebut, koran Javabode menyebut stasiun Batavia “berdiri bak monumen yang bersaksi kepada penerus kita tentang apa yang harus dipahami seputar ekonomi. Bangunan itu akan menjadi stasiun yang memesona dan bergelar sebagai salah satu stasiun tercantik di timur”. Keamanan perjalanan telah dipikirkan begitu matang pada saat itu dengan digunakanya sistem keamanan Siemens & Halke, sistem paling mutakhir yang sudah dipakai pada stasiun-stasiun besar di Eropa dan Amerika (Anonim, 1937; 164-167).
Stasiun Jakarta Kota pada masa sekarang. Sebelum dilakukan penataan kawasan pada tahun 2022, bagian depan Stasiun adalah jalan raya yang ramai kendaraan.
Bagian muka stasiun yang kini sudah tidak dilalui untuk umum.
Pintu utara stasiun.

Vestibule stasiun.


Kesan lapang tercipta berkat atap lengkung desain karya arsitek F.J.L. Ghijsels.
Peron Stasiun Jakarta Kota.
Seakan menolak kemewahan langgam neo-klasik yang menjadi pakem bangunan stasiun dari periode sebelumnya, Ghijsels memilih langgam arsitektur art deco yang terkesan lugas dan rasional, namun bercita rasa tinggi. Langgam tersebut tentu sejalan dengan prinsip Ghijsles, “kesederhanaan adalah jalan tersingkat menuju keindahan”. Prinsip tersebut dituangkan dalam hiasan interior dan eksterior stasiun baru yang tampak sederhana, hanya menampilkan permainan garis tegak lurus namun meninggalkan kesan elegan. Bagian dalam stasiun ini sendiri berupa ruang tunggu di lantai satu dan kantor di lantai dua yang membentuk galeri. Sementara itu, di atasnya terbentang atap lengkung yang ditopang oleh kuda-kuda baja yang menangkup ruang di bawahnya. Perhatian besar juga ditujukan pada detil pintu dan jendela. Racikan Ghijsels tersebut menghasilkan sebuah bangunan stasiun yang melampaui masanya dan tidak lekang oleh zaman. Karenanya, orang yang pertama kali berjumpa dengan bangunan ini, tidak akan menyangka jika sebenarnya bangunan ini adalah bangunan lawas. Walau aura kekunoan masih membungkus di stasiun ini, namun bagaimanapun juga perkembangan zaman tak bisa dihindarkan. Pintu utama yang berada di tengah kini tidak bisa dilalui pengunjung lagi. Di samping itu, peron yang berada di sebelah utara ditambahkan ruang tunggu baru untuk penumpang kereta api jarak jauh dan menengah.
Jam antik di Stasiun Jakarta Kota.
Baut penyambung kuda-kuda baja.


Sebagai penghias, dinding stasiun dilapisi dengan lempengan batu alam yang digosok mengkilat.
Bila melihat keadaan sekitar, Stasiun Jakarta Kota yang memiliki jarak berdekatan tersebut menempati tempat yang cukup strategis. yakni di sebelah selatan balaikota yang menjadi jantung perekonomian. Ia diapit oleh pusat perdagangan Eropa di sebelah utaranya dan ruko-ruko orang Tionghoa di sebelah selatannya. Berhadapan dengan stasiun ini, berdiri dua gedung perusahaan terbesar di Hindia-Belanda, Nederlands Handel Maatschappij dan De Javaasche Bank. Selain lintas Batavia-Buitenzorg, stasiun Batavia juga juga tersambung dengan Tanjung Priok, Tanah Abang, dan Meester Cornelis (Jatinegara).  

Hiasan interior stasiun baru yang terlihat sederhana, hanya menampilkan permainan garis tegak lurus.
Seperti itulah kisah Stasiun Jakarta Kota, salah satu stasiun teragung di Hindia-Belanda, penanda babak baru sejarah transportasi di ibukota. Dengan visinya yang spektakuler, arsitek Ghijsels berhasil menghadirkan sebuah bangunan stasiun dengan arsitektur yang melampaui masa sehingga bangunan ini terlihat sedap dipandang di masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

Referensi
Akihary,H. 1996. Ir. F.J.L Ghijsels ; architect in Indonesia (1910-1929). Utrecht L: Seram Press.
Anonim. 1937. Batavia Als Handels-, Industrie-,en Woonstad. Batavia : G.Kolff & Co.
Anonim. Nederlandsch Indische Staatspoor-en Tramwegen. Nedelands Welvaart.
Reitsma, S.A. 1916. Indische Spoorweg Politiek (Deel I). Batavia : Landsdrukkerij
Reitsma, S.A. 1928. Korte Geschiedenis der Nederlandsche Indische Spoor en Tramwegen. Batavia : Landsdrukkerij
Bataviaasch Nieuwsblad. 15 Agustus 1929.

Senin, 01 Juli 2019

OSVIA Madiun ; Menyingkap Sejarah Sekolah Calon Birokrat Masa Kolonial

Terjaminnya pendapatan tiap bulan dan jabatan yang disegani oleh banyak orang menjadikan PNS sebagai salah satu pekerjaan idaman di Indonesia. Sepanjang ketersediaan kas negara masih baik, sepanjang itu pula pendapatan terjamin. Tidak mengherankan bila tiap lowongan pegawai negeri dibuka, jutaan orang akan mendaftar dan bersaing demi meraih titel sebagai birokrat negara. Anggapan bahwa pegawai negeri adalah pekerjaan bergengsi sejatinya telah terpupuk sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Bagaimanakah hal tersebut bermula ? Jejak Kolonial edisi kali ini membahas sejarah gedung Bosbow Madiun atau dahulu adalah OSVIA Madiun, satu dari sekian banyak jejak pendidikan calon pegawai negeri dari masa kolonial.
Kompleks sekolah OSVIA Madiun sesaat setelah dibangun (Sumber : media-kitlv.nl).
Pada suatu hari Minggu yang cerah di bulan September, saya bertandang ke kota Madiun untuk melihat potensi-potensi bangunan bersejarah yang terdapat di sana. Selama di kota yang mahsyur akan pecelnya ini, saya didampingi oleh sejawat dari komunitas Historia van Madioen (HVM), Andrik. Tujuan pertama adalah kompeks Bosbow yang berada di jalan Diponegoro. “Masyarakat Madiun lebih mengenal kompleks ini sebagai Bosbow. Pasalnya kompleks ini sempat dipakai untuk sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen”, jelas Andrik setibanya di sana. “Pada faktanya, tujuan dibangun kompleks ini oleh pemerintah kolonial ialah untuk sekolah calon pamong praja di masa kolonial, OSVIA”, sambung Andri. OSVIA adalah kependekan dari Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren, kawah candradimukanya pegawai negeri Hindia-Belanda. Maka dari itu, menyingkap sejarah OSVIA Madiun itu artinya juga menyingkap perjalanan sejarah pendidikan calon pamong praja di era kolonial.


Gedung OSVIA Madiun saat ini.
Bangkrutnya VOC akibat birokrasi berbelit yang dibuat oleh mereka sendiri tampaknya menyadarkan pemerintah kolonial untuk melakukan reformasi birokrasi. Dari era Gubernur Jenderal Daendels, birokrasi lama kompeni perlahan dikikis dan digantikan oleh birokrasi baru yang lebih tertata. Guna memudahkan komunikasi birokrasi kolonial dengan masyarakat bumiputera, maka pegawai Eropa yang berada di dalam pamong pemerintahan dituntut untuk bisa menguasai bahasa Melayu (Brugmans, 1938: 75-77). Kebutuhan pegawai Eropa yang mahir berbahasa Melayu ternyata sulit dipenuhi, terutama setelah perekonomian Hindia-Belanda mulai dibuka kepada perusahaan swasta pada tahun 1870 sehingga terjadi lonjakan kebutuhan tenaga profesional yang terlatih. Untuk menjawab permintaan tersebut, pemerintah kolonial akhirnya menyelenggarakan Hoofdenschoolen, yakni sekolah persiapan untuk orang-orang pribumi yang kelak ditempatkan pada jabatan-jabatan resmi (Meer, 2020: 44). Pemerintah kolonial membuka Hoofdenschoolen pertamanya di Bandung pada tahun 1879. Setahun berikutnya, sekolah sejenis dibuka di Magelang dan Probolinggo (Brugmans, 1938; 183). Dalam Staatsblad No.121 Tahun 1878, secara tegas disebutkan bahwa Hoofdenschoolen adalah sekolah “untuk putra-putra bupati dan orang pribumi terkemuka lainnya”. Dengan kata lain menjadi suatu hal mustahil untuk anak dari kaum jelata, golongan Tionghoa, atau anak perempuan dapat diterima bersekolah di Hoofdenschoolen
Direktur OSVIA Madiun, J.C. Hietnik bersama pengajar dan siswa-sisa OSVIA sedang berfoto bersama dengan latar gedung OSVIA. Foto diambil pada tahun 1916 (Sumber : media-kitlv.nl).a
Diterapkannya kebijakan politik etis pada awal abad 20 merubah arah tujuan pendidikan kolonial yang semula untuk mencetak tenaga terampil yang murah, menjadi bentuk “balas budi” kepada tanah jajahan. Menanggapi kebutuhan tersebut pemerintah kolonial akhirnya mengubah Hoofdenschool yang ada menjadi Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada 29 Agustus 1900. Karakter dan budaya penduduk Pulau Jawa yang berlainan satu sama lain dari ujung barat hingga timur menjadi pertimbangan pemerintah kolonial membuka OSVIA di tempat berbeda. Kondisi sosial dan budaya masyarakat menjadi pertimbangan mengingat selama menimba ilmu di OSVIA, para siswa selain belajar di kelas juga diharuskan untuk menjalin hubungan sosial dengan masyarakat sekitar sekolah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai sarana melatih kemampuan dalam mengenal karakter dan menyesuaikan diri dengan masyarakat di sekitarnya. Kemampuan tersebut adalah bekal penting bagi calon pegawai negeri itu yang kelak menjadi penghubung masyarakat pribumi dengan pemerintah kolonial (PPBB, 1937; 34-35).
Siswa-siswa OSVIA yang sedang mengikuti pelajaran olahraga. Foto tahun 1917 (Sumber : media-kitlv.nl).
Bekas gym.
OSVIA sebagaimana sekolah kedinasan pada zaman penjajahan memiliki syarat masuk yang ketat. Calon pelajar OSVIA disyaratkan harus menguasai bahasa Melayu dan bahasa Belanda dengan baik serta telah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School atau Hollandsch Inlandsch School (Brugmans, 1938; 293). Ini artinya, hanya anak-anak kalangan ningrat saja yang dapat bersekolah di OSVIA mengingat kebanyakan lulusan ELS dan HIS berasal dari kalangan ningrat yang cenderung lebih mudah diajak bekerja sama oleh pemerintah kolonial. Maka dari situ, OSVIA mendapat sebutan sekolah raja sebab hanya anak raja atau bangsawan yang diterima di sekolah tersebut. Sebelum bersekolah di OSVIA, calon siswa mengikuti pendidikan persiapan (Voorberediende Afdeeling) terlebih dahulu. Pendidikan tersebut meliputi bahasa (Belanda dan Melayu), geografi Hindia Belanda, prinsip-prinsip pengetahuan alam, aritmatika, morfologi dan geometri, menggambar tangan dan menulis halus. Hanya anak di bawah usia lima belas tahun dan sudah menyelesaikan pendidikan di HIS atau ELS yang berhak mengikuti pendidikan persiapan OSVIA. Anak yang tidak sempat mengikuti pendidikan persiapan juga diperbolehkan bersekolah di OSVIA asalkan berusia di bawah 17 tahun. Biaya sekolah dipungut menurut siapa yang lahir terlebih dahulu. Untuk anak pertama dipungut biaya 10 gulden per bulan, anak kedua 6 gulden, dan 4 gulden untuk setiap anak berikutnya dari keluarga yang sama. Beberapa siswa juga dapat mengikuti pendidikan di OSVIA secara gratis dengan pertimbangan tertentu (Kats, 1915; 72).
Para pengajar OSVIA Madiun (Sumber : media-kitlv.nl).
Lama waktu belajar di OSVIA adalah lima tahun. Tiga tahun pertama siswa OSVIA dikhususkan untuk mempelajari bahasa, aritmatika, geometri, prinsip aljabar, geografi, sejarah, pengetahuan alam dan menggambar tangan. Kemudian pada dua tahun menjelang kelulusan digunakan untuk mempelajari prinsip ilmu hukum, hukum tata negara, administrasi, ekonomi, politik, pemetaan dan pertanian. Semua pengajaran diberikan oleh guru Eropa dalam bahasa Belanda mengingat bagaimanapun juga bahasa Belanda tetaplah menjadi bahasa resmi dalam birokrasi kolonial. Sementara pada mata pelajaran bahasa Melayu  pengajarannya diberikan oleh pengajar pribumi (Colijn, 1913: 272). Pengajaran diberikan dari pagi hari dan berlangsung selama 5 jam sehari. Di sela-sela pergantian pelajara ada jeda istirahat selama 30 menit. Sekolah libur pada hari Minggu serta di hari-hari besar agama Islam, Kristen, dan sipil. Setiap tahun, ada musim liburan siswa OSVIA selama enam minggu yang dimulai dari awal bulan Ramadhan (Kats, 1915; 78).
Denah OSVIA pada peta Madiun tahun 1920an (sumber : maps.libary.leiden.edu).
Sejalan dengan diperkenalkannya kebijakan desentralisasi dan bertambah luasnya wilayah yang diatur pemerintah kolonial, maka lapangan pekerjaan birokrasi semakin mekar. Lantaran hal itulah pemerintah kolonial menambah jumlah murid OSVIA menjadi 140 murid per sekolah pada tahun 1910. Kebijakan tersebut selanjutnya disusul dengan pembukaan tiga sekolah OSVIA baru, yakni di Serang, Blitar, dan yang menjadi pokok bahasan tulisan ini Madiun. Ketiga gedung OSVIA tersebut dibangun oleh departemen Burgerlijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum yang bertanggung jawab dalam pembangunan gedung-gedung untuk instansi pemerintahan kolonial (BOW, 1912; 176). Oleh karena itu tidak mengherankan jika bentuk ketiga gedung tersebut tidak berbeda jauh. Angka tahun 1912 yang terlihat samar di wajah depan bangunan secara jujur mengungkapkan kapan bangunan itu OSVIA Madiun diselesaikan. Kompleks OSVIA Madiun sendiri meliputi kantor administrasi, dua ruang kelas yang masing-masing kelas dapat menampung 25 siswa serta sarana penunjang seperti dapur dan gymnasium. Kesemua bangunan tadi disambung dengan selasar terbuka. OSVIA Madiun juga dilengkapi asrama untuk 50 siswa. Pembangunan keseluruhan kompleks tersebut menelan biaya sebesar 416.232 gulden dimana biaya paling besar dikeluarkan untuk pembebasan lahan. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad 8 Agustus 1910, kemewahan dari gedung OSVIA Madiun dapat disejajarkan dengan hotel termewah di Madiun saat itu. Beberapa orang Belanda bahkan menganggap upaya pemerintah kolonial itu berlebihan mengingat masih banyak gedung sekolah untuk anak Eropa yang dalam keadaan tidak layak dan butuh perbaikan. Setelah dilakukan reogranisasi, OSVIA Madiun bersama dengan OSVIA di tempat lain berubah menjadi MOSVIA (Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische Ambtenaren) pada 1927. MOSVIA menerima lulusan bumiputera dari sekolah lanjutan khusus Bumiputera, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – setingkat sekolah menengah pertama – untuk menghimpun lebih banyak calon birokrat bumiputera.
Rumah dinas guru dan pegawai OSVIA Madiun (Sumber : media-kitlv.nl).
Bekas rumah dinas direktur OSVIA Madiun.

Bekas rumah dinas pengajar OSVIA.
Setiap sekolah OSVIA memiliki oleh lima atau enam tenaga pengajar, termasuk kepala sekolah. Kepala sekolah OSVIA harus seorang doktor di bidang hukum. Gajinya perbulan sebesar 550 gulden dan mendapat kenaikan gaji sebanyak tiga kali dalam jangka waktu tiga tahun. Kemudian ada guru pertama yang digaji 350 gulden perbulan. Sementara untuk tenaga pengajar lainnya menerima gaji sebesar 225 gulden dengan kenaikan gaji sebanyak empat kali dalam jangka waktu tiga tahun. OSVIA juga mempekerjakan pengajar dari kalangan pribumi dan menerima gaji yang kurang lebih setara dengan pengajar Eropa. Kesemua pengajar OSVIA tadi menerima fasilitas berupa rumah dinas yang saat ini masih berdiri di sekitar gedung OSVIA Madiun (Kats, 1915; 74).
Bagian ruang kelas yang kini digunakan sebagai masjid.
Tampak luar bekas ruang kelas.
Tampilan gedung OSVIA Madiun terhitung mentereng untuk sebuah gedung sekolah pada masa kolonial. Perpaduan atap limasan dan menara kayu di bagian tengah membuat rupa gedung ini hampir mirip dengan gedung Stadhuis Batavia atau kini menjadi Museum Fatahillah. Sementara itu, bagian atap pelana diberi aksen kayu. Pada bagian ini dahulunya ada tulisan “Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren”. Sayangnya tulisan tersebut sudah tidak terlihat lagi. Bagian ini dahulu digunakan untuk menyambut tamu, salah satunya adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Andries Cornelis Dirk de Graeff yang mengunjungi OSVIA Madiun pada tahun 1929. Ketika tiba di OSVIA Madiun, ia disambut dengan iringan musik gamelan. Dari situ ia melanjutkan tur keliling kompleks sekolah. Perhatian yang begitu besar terhadap penyediaan prasarana pendidikan untuk orang pribumi sejatinya adalah bentuk investasi yang sedang ditanam pemerintah karena setelah siswa-siswa OSVIA lulus, pemerintah kolonial dapat memanen pegawai pemerintahan yang dapat dibayar dengan upah murah, lebih murah dibanding mendatangkan dan menggaji pegawai dari Eropa. Namun siapa sangka upaya tersebut menjadi senjata makan tuan.
Tampak luar bekas dapur.
Bagian dalam gedung OSVIA.
Tampak belakang gedung utama.

Selasar yang menghubungkan antar gedung.
Selepas menempuh masa pendidikan, lulusan MOSVIA diangkat sebagai birokrat pemerintah dan ditempatkan ke berbagai posisi kedinasan. Di samping mendapat penghasilan tetap, menyandang status sebagai birokrat yang masuk dalam lingkaran birokrasi kolonial membuat derajat sosial mereka terangkat dan disegani oleh banyak orang. Mereka inilah yang dikenal sebagai golongan priyai baru. Hal yang membedakan antara priyayi lama dengan priyai baru adalah priyayi lama dihormati karena garis silsilahnya, sementara priyayi baru mendapat penghormatan setelah berhasil menempuh jalur pendidikan. Kehadiran MOSVIA akhirnya mengundang minat orang-orang tua dari kalangan priyayi rendahan untuk menyekolahkan putra mereka di sana. Bagi priyayi tersebut, pendidikan adalah jalan keluar mereka lepas dari penghambaan kepada priyayi yang lebih tinggi. Akhirnya banyak orang bumiputra yang berlomba untuk membina karir sebagai birkorat kolonial. Kendati banyak yang berharap kedudukan sosialnya dapat sejajar dengan orang Eropa setelah menjadi pegawai negeri, namun kenyataanya tidak jaminan mereka dapat menerobos sekat rasial yang sudah berlaku sejak lama. Beberapa pegawai bumiputra tersebut masih menerima sejumlah perlakuan kurang menyenangkan dari atasan kulit putih mereka. Bagi sebagian kalangan kulit putih konservatif dan tidak ingin kehilangan kekuatannya, mereka yang terjajah selamanya tidak akan pernah mencapai kedudukan yang sejajar sekalipun sudah menerima pendidikan model barat (Meer, 2020: 10).
Berita insiden "Wilhelmus" pada koran De Soematra Post tanggal 17 Maret 1930. Insiden tersebut menjadi pertimbangan pemerintah kolonial untuk menutup OSVIA Madiun.
Tidak semua lulusan OSVIA betul-betul setia mengabdi kepada pemerintah kolonial. Beberapa di antaranya ada yang dalam sudut pandang pemerintah kolonial adalah pembangkang karena mereka adalah yang paling lantang menentang sistem pemerintah kolonial. Bibit-bibit pembangkangan tersebut bahkan sudah muncul sedari proses pendidikan. Dalam surat kabar Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 3 Juli 1930 diberitkan pernah terjadi suatu insiden ketika siswa-siswa MOSVIA Madiun menolak untuk memainkan lagu “Wilhelmus”, lagu kebangsaan Belanda yang biasanya dimainkan pada upacara resmi. Kejadian bermula ketika serikat siswa MOSVIA Madiun, “Mardi Oetomo”, hendak menggelar perayaan ulang tahun pada pertengahan bulan Maret. Perayaan tersebut sedianya akan dihadiri oleh pejabat-pejabat penting di Madiun seperti residen dan karenanya lagu “Wilhelmus” wajib untuk dikumandangkan. Jiwa-jiwa nasionalis tampaknya sudah merasuki pada setiap insan siswa MOSVIA Madiun sehingga mereka menolak untuk memainkan lagu kebangsaan bangsa yang menjajah mereka. Mendengar kabar tersebut, para pejabat kolonial mengancam untuk tidak hadir di perayaan ulang tahun “Mardi Oetomo”. Walau sudah diberi pemahaman dari pihak kepala asrama bahwa memainkan lagu tersebut hanyalah bentuk penghormatan kepada otoritas, namun siswa-siswa MOSVIA Madiun bersikeras untuk tidak membawakan lagu “Wilhelmus”. Perayaan pada akhirnya tetap berlangsung meriah seperti biasa meski lagu “Wilhelmus” tidak berkumandang pada saat penyambutan residen. Residen Madiun yang tetap berkenan untuk menghadiri perayaan mendapat permintaan maaf dari direktur MOSVIA. Kabar kegaduhan tersebut rupanya tersiar sampai di telinga petinggi di Batavia dan membuat mereka gusar. Dari pandangan mereka, menolak memainkan lagu “Wilhelmus” sama saja dengan melawan otoritas kolonial, apalagi itu terjadi di sekolah untuk calon abdi otoritas kolonial (Soerabaiasch Handelsblad 11 Desember 1930).
Berita peleburan OSVIA Madiun dengan OSVIA Magelang pada koran Soerabaiasch Handelsblad 11 Desember 1930.
Berita pembukaan Boschbouwschool pada koran De Indische Courant 30 Mei 1939.
Gegara perkara lagu kebangsaan, pemerintah kolonial mulai menyadari jika sekolah bentukan mereka yang sedianya menjadi tempat memperoleh pegawai negeri ternyata sudah mulai menjadi tempat bersamainya bibit-bibit kaum pergerakan nasional. Baru tiga tahun dibentuk, perjalanan sekolah bergengsi di Madiun itu akhirnya harus berakhir pada tahun 1930. Di samping unsur politik, penghapusan tersebut juga dipicu oleh krisis keuangan global atau Great Depression yang merundung keuangan pemerintah kolonial. Sesudah MOSVIA Madiun dihapuskan, kegiatan belajar mengajar MOSVIA Madiun dipindahkan dan digabungkan ke MOSVIA Magelang, satu-satunya MOSVIA yang masih dibiarkan beroperasi. Bekas gedung sekolahnya lalu ditempati oleh sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen (MBS), yang dibuka oleh J.H. Becking pada 26 Agustus 1939. Sebagaimana MOSVIA, Boschbouwschool juga sekolah kedinasan, bedanya Boschbouwschool merupakan sekolah yang dikhususkan untuk ilmu kehutanan dan pengelolaan kayu. Madiun adalah pilihan yang tepat untuk lokasi sekolah kehutanan ini mengingat wilayah Madiun dikelilingi oleh hutan dan merupakan pusat pengolahan kayu. Siswa-siswa Boschbouwschool tidak hanya berasal dari Madiun saja, melainkan juga ada yang dari Bogor, Malang, dan Sukabumi. Mereka akan belajar dan tinggal di asrama selama 3 tahun (De Indische Courant, 29 Agustus 1939).
Halaman tengah OSVIA. Halaman ini dahulu digunakan untuk lapangan olahraga dan latihan tari.

Bagian OSVIA yang dulu digunakan sebagai asrama.
Setelah lama tidak diperhatikan, gedung OSVIA MAdiun akhirnya dipugar dan dimanfaatkan sebagai galeri dan restoran pada tahun 2019. Hari ini gedung OSVIA Madiun masih berdiri kokoh sebagai bukti kepada generasi mendatang tentang bagaimana perjuangan anak negeri untuk meraih cita-citanya sebagai pegawai negeri. Entah apakah mereka nantinya akan menunjukan kesetianya kepada pemerintah kolonial atau justru malah sebaliknya, turut ambil bagian dalam pergerakan nasional melawan kolonialisme. Namun yang jelas, cita-cita mereka ketika masuk OSVIA adalah satu, yakni menjadi pegawai negeri yang terpandang di mata masyarakat. Belanda boleh saja hengkang, namun anggapan bahwa pegawai negeri adalah pekerjaan bergengsi tampaknya sulit untuk lekang bila melihat kenyataan saat ini.

Referensi

Brugmans, I.J. 1938. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia : J.B. Wolter Uitgeving Maatschappij.

Burgerlijke Openbare Werken. 1915. Verslag Over de Burgerlijke Openbare Werken 1912. Batavia : Landsdrukkerij.

Colijn, H. 1913. Neerlands Indie Land en Volk Geschiedenis en Bestuur Bedrijf en Samenleving. Amsterdam : Elsevier.

Perhimpunan Pegawai Bestuur Boemipoetra. 1937. De Bezuiniginen op Het Indonesischbestuur. Batavia : Drukkerij Lux.

Kats,J. 1915. Overzicht van Het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia : Landsdrukkerij.

Bataviaasch Nieuwsblad 8 Agustus 1910

De Indische Courant, 30  Mei 1938.

Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie, 3 Juli 1930.

Soerabaijasch handelsblad, 11 Desember 1930.