Kamis, 26 Mei 2016

Bayangan Kejayaan Pabrik Gula Kalasan

Suasana jalan di sekitar SMP N 1 Berbah siang itu amat lengang. Kegiatan belajar mengejar pada hari itu telah usai. Hanya tampak satu dua siswa yang sedang bercengkrama di dekat pintu gerbang sekolah. Mungkin tak terlintas di benak mereka, bahwa di dekat tempat mereka menimba ilmu dulu pernah ada bangunan pabrik gula besar dengan asap yang membumbung tinggi ke cakrawala. Pabrik gula itu bernama PG Tanjungtirto atau sering disebut juga PG Kalasan karena lokasinya dekat dengan Candi Kalasan. Sudah sekian lama PG itu sirna, namun bayangan kejayaannya masih terjumpa pada rentetan sisa bangunan kuno. Ingatan saya lantas menyeruak ke masa lampau ketika mesin-mesin gilingnya masih senantisa berkumandang, menggiling berbatang-batang tebu yang dihimpun dari seantero ladang.

Lokasi PG Kalasan.
Peta topografi dari tahun 1925 yang menggambarkan begitu jelas kompleks Pabrik Gula Kalasan. Di utara pabrik gula,terdapat Stasiun Kalasan (tidak terlihat di sini karena gambar terpotong) dimana gula dari Pabrik Gula Kalasan transit di sana sebelum diangkut dengan kereta api (sumber : maps.library.leiden.edu).
Situasi PG Kalasan saat ini ditinjau dari citra satelit. Keterangan : A. SMP N 1 Berbah ; B. Kantor Polsek Berbah ; C. Kantor Koramil Berbah ; D. Sisa rumah dinas ; Kotak kuning bekas area pabrik.

Pada suatu masa, wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pernah memiliki lebih dari selusin perkebunan yang membudidayakan tanaman seperti tembakau, indigo dan tebu. Sebagai wilayah berstatus swapraja yang roda pemerintahannya tidak langsung berada di bawah kuasa Belanda, maka status tanah di Yogyakarta masih menjadi kepunyaan Sultan dan orang asing dilarang memiliki tanah. Sebagai gantinya, pengusaha-pengusaha Eropa yang hendak membuka perkebunan diberi hak izin sewa tanah dalam jangka waktu tertentu. Para landhuurder atau penyewa tanah tersebut berhak mendapat layanan dari orang pribumi yang bertempat tinggal di sekitarnya dan dari sana lahir istilah bekel putih, yakni sebutan untuk orang-orang Eropa peminjam tanah Sultan. Hampir seluruh bekel putih di Yogyakarta awalnya memiliki latar belakang sebagai pegawai Sultan. Salah satu contohnya adalah Pieter Wieseman. Catatan sejarah mengisahkan bahwa Pieter Wieseman lahir di Amsterdam pada tahun 1790. Orang tuanya bernama Frederik Wieseman dan Gesina Marie Coersen. Pieter kemudian mengundi nasibnya ke Hindia Belanda sebagai tentara. Karirnya begitu baik di sini sebagai pengawal Sultan Yogyakarta. Pieter Wieseman lalu menikah dengan salah satu dari putri keluarga Klaring, keluarga bekel putih lain. Keluarga Wieseman kemudian tinggal di rumah yang berdekatan dengan jalan yang menghubungkan Loji Kecil Lor dan Loji Kecil Kidul. Daerah tempat tinggalnya selanjutnya dikenal sebagai kampung Wiesemanan.

Frederik Willem Wieseman, perintis perkebunan di Tanjungtirto dan Beran.
(Sumber : media-kitlv.nl)
Pendiri PG Tanjungtirto, Wolter Broese van Groenau dan istrinya yang juga putri dari Willem Wieseman, Jeanete Emilia Wieseman. (Sumber : media-kitlv.nl).

Beberapa saat sebelum Pieter meninggal pada tahun 1832, Sultan memberi izin sewa sebagian tanahnya kepada Pieter. Sebelum Pieter meninggal di usianya yang ke-42, izin tersebut diwariskan kepada putra satu-satunya Pieter, Frederik Willem. Tanah tersebut diolah Frederik menjadi perkebunan tebu. Frederik selanjutnya menikah dengan Jeantje Dom yang juga merupakan anggota keluarga landhuurder bermarga Dom. Dari pernikahannya, Frederik Willem Wieseman memiliki dua putri dan seorang putra. Putri pertamanya menikah dengan seorang pejabat bernama Jacob Marinus Pijnacker Hordijk. Sementara putri lainnya, J. E. Wieseman menikah dengan Wolter Broese van Groenau. Frederik meninggalkan Jawa pada 1881 dan meninggal dunia di Belanda pada 24 Februari 1907. Aset Frederik kemudian dibagi menjadi dua untuk menantunya; Pijnacker mendapat jatah aset di Beran dan aset di Tanjungtirto menjadi jatah untuk Broese van Groenau (Het Nieuws van den dag voor N.I 29 November 1938). Pada 1874 Wolter mendirkan pabrik gula Kalasan dengan bantuan modal dari salah satu perusahaan keuangan terkemuka di Hindia-Belanda, Internationale Crediet  en Handelsvereeniging Rotterdam.

Potret tiga direktur NV Suikerfabriek Tandjong Tirto. Ketiganya masih memiliki hubungan keluaraga (sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

Tahun 1905 menjadi tahun terpenting bagi PG Kalasan karena pada tahun tersebut PG Kalasan melakukan IPO (Initial Public Offering) dan statusnya berubah dari yang semula adalah perusahaan keluarga menjadi perseroan terbatas "N.V. Suikerfabriek Tandjong Tirto". Statusnya sebagai perseoran terbatas memungkinkan PG Kalasan mendapat suntikan modal tambahan untuk pengembangan pabrik dengan menjual sahamnya kepada investor luar. Kursi direksinya diduduki oleh dua orang, Wolter dan iparnya, P. G. Wieseman. Sepeninggal P. G. Wieseman pada tahun 1909, jabatan direktur dipegang oleh Wolter sendiri. Selama masa kepemimpinannya, PG Tanjungtirto mengalami perkembangan pesat. Metode penanaman dan pemupukan terus ditingkatkan. Sebelum area perkebunan diperluas, PG Tanjungtirto melakukan transisi teknologi pada 1908 dengan menerapkan lokomotif sebagai kendaraan penarik lori tebu, menggantikan hewan sapi. Area perkebunan selanjutnya diperluas dengan mengakuisisi sejumlah perkebunan di sekitar Tanjungtirto. Wolter senior meninggal pada 27 Oktober 1924, dua bulan sebelum perayaan hari jadi pabrik gula Tanjugtirto ke-50. Setelah Wolter Broese van Groneau meninggal, garis dinasti gula Tanjungtirto diteruskan kepada putranya, Wolter Broese van Groneau Jr (De Jong, 1930 : 10).

Bagian masakan dengan mesin kondensor pusat
(Sumber : Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).,
Bagian mesin putaran.
(Sumber : Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).
Bagian karbonasi
(Sumber : Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto)

Sepanjang perjalanan PG Kalasan, keuntungan yang masuk tak hanya mengalir ke kas pihak Belanda saja. Sultan Yogyakarta, selaku pemilik tanah juga mendapat jatah keuntungan. Seiring dengan bergemanya politik etis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, industri gula di Hindia-Belanda tidak terkecuali PG Kalasan dituntut untuk memperhatikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar. Mereka selama ini telah mengeruk kekayaan alam di tanah jajahannya dan sudah sepantasnya jika mereka memberikannya kembali dalam bentuk layanan pendidikan dan kesehatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagian keuntungan yang diterima lantas disalurkan ke "Bevolkingfonds" atau "Dana Kemasyarakatan" yang akan dipakai untuk mendanai program sosial di sekitar pabrik seperti perbaikan jaringan irigasi, pemberantasan penyakit menular, dan pendirian sarana pendidikan yang dapat bermanfaat untuk penduduk sekitar pabrik (De Jong 1930: 64). Di sisi lain, tindakan corporate social responbilty ini sejatinya juga dapat diartikan sebagai upaya perusahaan untuk meredam gejolak yang berasal dari masyarakat sekitar atau karyawan pribumi. Kedua kelompok tersebut adalah kelompok yang rentan terdampak kebijakan yang dibuat pabrik. Aksi mogok karyawan atau pembakaran ladang tebu sering terjadi sebagai bentuk ungkapan kekecewaan terhadap keputusan pihak pabrik yang seringkali tidak bijaksana. 


Rumah sakit pembantu yang dibangun oleh PG Tanjutirto pada 1922.
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).
Pembukaan hulpziekenhuis pada 30 November 1922.
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

Beberapa bentuk nyata kepedulian PG Kalasan antara lain pendirian hulpziekenhuizen atau rumah sakit pembantu di Desa Jagalan yang dibuka pada 30 November 1922. Rumah sakit pembantu tersebut kemudian dikelola oleh Rumah Sakit Zending Petronella dan setiap bulan mereka menerima hampir seribu pasien. Tingginya angka pasien yang datang tidak lepas dari kondisi pemahaman kesehatan masyarakat saat itu masih rendah jika dipandang dari sudut pandang ilmu kesehatan modern. Rendahnya pemahaman tersebut tidak lepas dari minimnya sarana kesehatan saat itu dan pemerintah kolonial masih memprioritaskan layanan kesehatan untuk orang Eropa. Hal ini mendorong kalangan swasta untuk turun tangan langsung menyediakan sarana kesehatan seperti rumah sakit pembantu yang didirikan oleh direksi PG Kalasan. Rumah sakit tersebut mendapat subsidi oleh pemerintah kolonial sehingga masyarakat mendapat pengobatan secara gratis. Selain mendirikan sarana kesehatan, PG Kalasan bekerja sama dengan Dienst Volkgezondheid (Dinas Kesehatan Masyarakat) juga mengadakan program-program pemberantasan penyakit patek, cacing tambang, dan malaria (De Jong, 1930 : 68-72).

Gedung sekolah Prambanansche Ardjoeno School
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

Semenjak dilaksanakannya Politik Etis pada awal abad ke-20 yang menekankan pada aspek pendidikan, semakin banyak sekolah yang dibuka baik oleh pemerintah atau swasta; tidak terkecuali PG Kalasan. Sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan, PG Kalasan memberi sumbangan berupa gedung sekolah baru kepada yayasan PAS atau Prambanansche Ardjoeno School yang diresmikan pada 1 Januari 1928. Prambanansche Ardjoeno School dibuka pada tahun 1924 atas prakarsa dari N.l.T.B.O.O (Nederl. Ind. Theosofischen Bond voor Onderwijs en opvoeding) dengan maksud menyediakan layanan pendidikan setingkat HIS atau Hollandsch Inlandsch School untuk anak-anak dari sekitar Kalasan dan Prambanan. Meskipun dimulai dengan skala kecil dan sumber daya yang terbatas, peminat sekolah tersebut sangat banyak karena PAS adalah satu-satunya sekolah di wilayah tersebut yang memiliki kurikulum seperti HIS. Pelajarannya meliputi bahasa Belanda, aritmatika, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, olahraga dan kerajinan tangan. Pada akhir tahun 1929, PAS memiliki 189 murid dan 63 di antaranya adalah perempuan. Empat murid lulusan PAS berhasil diterima di kelas MULO (De Jong, 1930 : 64-66).

Gedung sekolah Ambachtschool Tanjungtirto dan rumah dinas guru
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

Penanaman pohon beringin oleh Sultan Hamengubuwono VIII sebagai tanda dibukanya Ambachtschool (Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

Pada tahun yang sama dengan pembukaan gedung baru Prambanan Ardjoeno School, PG Kalasan juga membuka Ambachtschool atau sekolah pertukangan pada 14 Mei 1928. Sebuah upacara penanaman pohon beringin oleh Sultan Hamengkubuwono VIII dihelat untuk menandai pembukaan sekolah itu, disaksikan oleh Paku Alam VII dan Residen Yogyakarta, P. W. Jonquiere (De Locomotief, 15 Mei 1928). Berbeda dengan PAS yang dibangun untuk yayasan lain, Ambachtschool tersebut dibuka murni atas nama PG Kalasan. Kehadiran sekolah tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan belajar untuk anak-anak penduduk pribumi sekitar pabrik sehingga mereka tidak perlu bersekolah di tempat yang jauh. Syarat masuk ke Ambachtschool tersebut adalah sudah menyelesaikan pendidikan minimal kelas 5 pada HIS atau semua kelas pada Volkschool kelas 3. Sebagaimana Ambachtschool di tempat lain, sekolah tersebut lebih banyak mengajarkan praktek dengan keterampilan utama yang diajarkan adalah pekerjaan yang terkait dengan besi. Keberadaan Ambacthschool tersebut juga memiliki tujuan untuk mendapatkan tenaga kerja terampil yang suatu saat dapat direkrut oleh PG Kalasan (De Jong, 1930 : 72-76).

Petinggi PG Kalasan dan pegawai desa ketika peresmian gedung Balai Desa.
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).


Dam Tlogowono pada zaman dahulu yang masih memiliki jembatan lori
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

Dam Tlogowono pada masa sekarang.

Saat PG Kalasan merayakan hari jadinya yang ke-50 pada tahun 1924, pemilik pabrik memberi sumbangan berupa bangunan balai desa kepada 8 kalurahan (pemerintahan setingkat desa). Sumbangan tersebut tidak diambil dari Bevolkingfonds, melainkan dari tabungan personal pemilik pabrik. Pengelolaan bangunan balai desa tersebut kemudian diserahkan secara resmi kepada Binnenlandsch Bestuur (De Jong 1930: 76)PG Kalasan juga meninggalkan sejumlah bendung-bendung yang dahulu dibangun untuk kepentingan irigasi perkebunan tebu. Salah satu bendung milik PG Kalasan yang masih sintas adalah bendung Tlogowono yang ada di sebelah timur kompleks AAU. Bendung mulai dibangun pada tahun 1928 dan ditenderkan kepada biro bangunan "Sitsen en Louzada" dengan biaya sebesar 31.500 gulden. Bendung tersebut akan membendung air Kali Kuning dan airnya kemudian disebar ke ladang tebu yang ada di kedua sisi sungai (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië 8 Agustus 1928). Saat proses pembangunan bendung, kadang ditemukan tinggalan-tinggalan purbakala mengingat sekitar PG Kalasan terdapat beberapa situs dari masa Mataram Kuno (De Indische Courant 14 September 1933)

PG Tanjungtirto dilihat dari arah timur pada tahun 1920an (Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto)..

Ujian bertubi-tubi menimpa PG Kalasan. Kala kemelut malaise menerjang industri gula Hindia-Belanda, pengelolaan PG Kalasan ditutup dan dilebur dengan PG Bantul. Internatio yang menjadi pemilik saham terbesar PG Tanjungtirto kemudian memberhentikan Ir. O. Jansen van Raay sejak 1 November 1933 dan pengelolaanya dipegang oleh F. Moormaan yang waktu itu sedang menjabat sebagai administrateur PG Bantul. Berikutnya di masa pendudukan Jepang, PG Kalasan ditutup. Setelah kemerdekaan, pemilik pabrik berniat untuk membuka kembali pabrik yang telah lama terbengkalai namun mereka mendapati pabrik yang sudah binasa seluruhnya. Rupanya PG Kalasan menjadi korban prahara Agresi Militer Belanda Kedua, dimana para pejuang Repubilik membumihanguskan hampir seluruh bangunan pabrik di Yogakarta agar tidak jatuh ke tangan militer Belanda. Perlengkapan di dalam pabrik yang bernilai jutaan gulden dijarah oleh warga sekitar (Java-bode, 10 Febuari 1950). Begitulah ceritanya PG Kalasan menjemput ajalnya. Tidak ada yang berjejak dari PG Kalasan. Cerobong asap yang dulu menjulang tinggi begitu kokohnya kini sudah berkalang tanah. Begitu pula dengan nasib mesin-mesinnya yang tidak diketahui kemana rimbanya.

Rumah tinggal pemilik PG Kalasan yang saat ini sudah hilang.
(Sumber :data.collectienederland.nl).

Bekas rumah pegawai Pabrik Gula Kalasan yang sekarang menjadi SMP N 1 Berbah. Bangunan ini ditempati sebagai sekolah sejak tahun 1951.

Bangunan SMP N 1 Berbah tempo dulu
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

PG Kalasan memang telah lama sirna ditelan bumi, namun bayangan kejayaannya masih terjumpa di sekitar lokasi pabrik itu pernah berdiri. Di sepanjang jalan itu, masih terjumpa rumah-rumah kuno bekas rumah dinas karyawan PG Kalasan yang masih lestari. Ada yang masih tetap menjadi rumah tinggal. Ada pula yang dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti sekolah dan kantor polisi. Rumah dinas merupakan fasiltas yang jamak diterima untuk karyawan pada masa kolonial. Jenis, bentuk, ukuran, dan konstruksi rumah dinas dalam satu lingkungan pabrik akan terlihat berbeda satu sama lain tergantung dengan status karyawan dalam perusahaan. Fasilitas rumah dinas tersebut diperuntukan kepada karyawan bagian manajer, keuangan, pengawas kebun, teknisi mesin, dan kimiawan. Rumah-rumah dinas karyawan industri gula di Jawa biasanya dirancang oleh teknisi yang kerap merangkap tugas sebagai arsitek untuk pabrik gula (Passchier, 2016: 160). Lokasi rumah-rumah tersebut memiliki jarak yang dekat dengan pabrik dan bahkan seringkali hanya berada persis di seberang pabrik. Hal tersebut disengaja supaya waktu karyawan tidak menghabiskan waktunya untuk perjalanan dari rumah ke pabrik. Selain mempersingkat waktu, keberadaan rumah itu juga memangkas biaya yang dikeluarkan pabrik untuk perjalanan pulang-pergi pegawai. Rumah-rumah dinas tersebut dapat ditempatkan dalam konsep panopticon sebagaimana yang terjumpa pada PG Kalasan, yakni rumah dihadapkan ke arah pabrik agar lebih mudah mengawasi segala kegiatan yang sedang berlangsung di pabrik (Inagurasi, 2010; 123).




Rumah-rumah dinas karyawan PG Kalasan pada zaman dahulu.
(Sumber :Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto).

Pada awalnya, rumah-rumah karyawan PG Kalasan memiliki bentuk sederhana dan beranda terbuka yang mengelilingi rumah. Beranda tersebut rupanya menyebabkan cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam dan bagian dalam ruangan menjadi gelap. Sejak tahun 1905, seluruh rumah dinas Karyawan PG Kalasan diperbaiki agar menjadi lebih nyaman untuk ditempati. Perbaikan tersebut dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda dan kadang disertai pendirian rumah baru untuk menyesuaikan struktur organisasi pabrik yang kadang berubah sewaktu-waktu. Rumah tersebut dilengkapi dengan fasilitas dasar seperti listrik, bak air, kamar mandi, dan kamar pembantu rumah tangga. Beberapa di antaranya sudah dilengkapi dengan garasi kendaraan (De Jong, 1930 : 58-60).

Selain SMP N 1 Kalasan, bangunan Kantor Polsek Berbah juga memakai rumah dinas PG Kalasan sejak tahun 1957.
Tipikal rumah dinas di kompleks PG Kalasan.

Bekas rumah dinas berwarna oranye ini berada di sebelah SMP N 1 Berbah. Rumah ini kerap digunakan untuk tempat syuting film.

Dari sudut pandang arsitektur, rumah-rumah dinas PG Kalasan menggunakan gaya arsitektur yang sedang marak di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, yakni gaya arsitektur Chalet yang tercermin dari penggunaan lisplang kayu berukir yang menjuntai di depan beranda. Beranda ini selain dipakai untuk tempat menerima tamu dan bercengkerama, juga menjadi tempat para meneer pegawai PG Kalasan mengawasi pabrik. 

Di lapangan inilah dahulu PG Kalasan berdiri.
Gudang Tembakau yang menempati bekas PG Kalasan.

Berdiri di seberang selatan rumah-rumah kuno tadi, terdapat sebuah gudang tembakau besar yang aroma khas tembakaunya tercium sampai luar. Saya sempat menduga jika bangunan itu merupakan bagian dari PG Kalasan. Dugaan saya segera disanggah oleh seorang warga yang telah lama tinggal di situ. Warga itu menyebutkan bahwa gudang itu baru ada sekitar tahun 1960an. Setelah merambah area sekitar, saya tak menjumpai apapun, selain hamparan tanah lapang di belakang gudang tembakau tadi. Dengan demikian, lenyap sudah gedung PG Kalasan yang dulu cerobong asapnya menjulang tinggi membelah cakrawala, memuntahkan asap putih tebal setiap musim giling tiba. Walau demikian akhirnya, bayangan kejayaanya masih terpantulkan lewat deretan rumah-rumah kuno itu.

Referensi

De Jong, W.M. 1930. Gedenkboek Ter Herinnering Aan Het 25 Jarig Bestaan Der N.V. Suikerfabriek N.V. Tandjong Tirto. Den Haag : Drukkerij Belinfante.

Inagurasi, Hari Libra. 2010. "Pabrik Gula Cepiring di Kendal 1835-1930, Sebuah Studi Arkeologi Industri". Tesis. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Passchier, Cor. 2016. Building in Indonesia 1600-1960. Volendam: LM Publisher

Het Nieuws van den dag voor N.I 29 November 1938

De Locomotief, 15 Mei 1928

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 8 Agustus 1928

Java-bode, 10 Febuari 1950

Sabtu, 14 Mei 2016

Menyelami Purworejo, Kota Kecil Calon Ibukota Darurat Hindia-Belanda yang Terlupakan

Apa yang menjadikan kota Purworejo dijuluki sebagai kota pensiun ? Entahlah. Saya yang lahir dan tumbuh di kota itu sampai sekarang tidak tahu asal muasal julukan tadi. Namun ketika berjalan mengelilingi kota kecil ini, julukan kota pensiun ada benarnya juga. Jalanan yang lengang dengan pohon-pohon asam besar di kanan-kirinya dan segudang bangunan tua peninggalan masa Belanda yang masih utuh tampaknya menjadi sebuah perpaduan yang bagus untuk para pensiunan yang ingin menghabiskan masa tuanya. Pada tulisan Jejak Kolonial kali ini, saya akan memandu berkeliling kota Purworejo, menggali sekilas kejayaan masa lampau Purworejo lewat peninggalan-peninggalan yang bertaburan di berbagai penjuru kota kecil ini. Tulisan saya kali ini akan saya dedikasikan untuk kota Purworejo tercinta……
Persebaran bangunan kolonial yang ada di Purworejo. Keterangan ; A : Alun-alun Purworejo, B : Masjid Agung Purworejo, C : Pendapa Kabupaten Purworejo, D : GPIB Purworejo, E : Eks rumah Residen Bagelen, F : Kompleks militer, G : Eks kompleks HKS Purworejo, H : Kerkhof Purworejo, I : Gereja Santa Perawan Maria, J : Stasiun Purworejo, K : Pecinan Purworejo, L : Kampung Afrikan
Saya kini berdiri di tengah alun-alun Purworejo, sebuah ruang terbuka yang terletak di tengah kota Purworejo. Alun-alun itu dikepung dengan bangunan-bangunan penting seperti kediaman bupati dan residen, masjid, gereja, kantor pos, kantor pengadilan, dan penjara. Dengan ukuran sebesar 250 m x 250 m, ia menjadi alun-alun kota tradisional terluas di Jawa yang pernah dibangun. Dalam konsep tatanan kota tradisional Jawa, alun-alun menjadi komponen utama sebuah kota. Di sinilah berbagai upacara penting dihelat, rakyat berkumpul dalam sukacita perayaan dan juga sebagai tempat beranjangsana. Sepasang pohon beringin ditanam di tengah alun-alun sebagai bentuk legitimasi bahwa seorang bupati tak hanya sebagai seorang penguasa wilayah saja, namun juga merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Dalam sejarahnya, alun-alun tersebut menjadi tempat rapat umum yang dihadiri oleh Bung Tomo pada 24 Mei 1948. Di sisi utara alun-alun, dapat dijumpai dua buah paseban, tempat para tamu bupati dulu singgah sebelum diperkenankan menghadap ke bupati. Di kejauhan, saya dapat melihat sedikit puncak perbukitan Menoreh, dimana lembah-lembahnya dulu menjadi palagan utama Perang Jawa yang dahsyat. Kota Purworejo modern yang dikenal saat ini, sesungguhnya bercikal di atas abu perang itu.
Suasana alun-alun Purworejo tempo dulu. Di kejauhan tampak rumah Residen yang kini menjadi kantor bupati Purworejo.
Waktu sejenak mundur kembali ke belakang, yakni saat Perang Jawa yang berkecamuk dari tahun 1825 hingga 1830. Perang yang banyak menelan biaya itu merupakan titik puncak kekecewaan Pangeran Diponegoro terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang kian hari semakin mencampuri urusan dalam Kraton Yogyakarta. Perang sengit yang mempertemukan Pangeran Diponegoro dan pemerintah kolonial Belanda itu berlarut cukup lama karena Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjalankan perang gerilya yang berhasil membuat militer Belanda kelimpungan. Menghadapi gaya perlawanan seperti itu, Jenderal Frans David Cochius menerapkan siasat benteng stelseldimana militer Belanda mendirikan beberapa benteng dan markas semi permanen pada lokasi yang dianggap dapat mempersempit ruang gerak pengikut Pangeran Diponegoro. Benteng tersebut tak hanya berfungsi sebagai tempat perlindungan belaka, namun juga sebagai pangkalan militer, tempat serangan disusun. Salah satu lokasi yang dipilih adalah Kedungkebo yang berada di pinggiran sisi barat Sungai Bogowonto. Lokasi tersebut dipilih karena berhadapan dengan palagan pertempuran Pangeran Diponegoro dengan Belanda yang terbentang dari Sungai Progo di timur hingga Sungai Bogowonto di barat. Pada tahun 1828, militer Belanda menempatkan kolonel Jan Baptiste Cleerens di Kedungkebo sebagai komandan area Bagelen timur.
Peta kota Purworejo pada tahun 1875 (sumber : media-kitlv.nl)
Peta kota Purworejo pada tahun 1905 (sumber : maps.library.leiden.edu).
Tertangkapnya Pangeran Diponegoro di Magelang pada tahun 1830 menjadi tanda berakhirnya Perang Jawa. Sesudah perang, Kasunanan Surakarta menyerahkan wilayah Madiun, Kediri, Banyumas, dan Bagelen kepada Belanda sebagai pampasan perang. Gubernur Jenderal Van den Bosch, melalui besluit tanggal 18 Desember 1830 mengumumkan Bagelen dijadikan sebagai karesidenan yang mencakup wilayah seperti Tanggung (Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Remo Jatinegara (Karanganyar), Kutowinangun (Kebumen), Ledok (Wonosobo), dan Ambal dengan. Setelah Karesidenan Bagelen diresmikan, pemerintah kolonial mengutus Pieter Herbert Baron van Lawick van Pabst ke Brengkelan untuk membentuk pemerintahan kolonial di sana. Nama Brengkelan yang dirasa kurang patut untuk sebuah hoofdplaats atau pusat pemerintahan akhirnya diganti dengan nama Purworejo yang berarti “Awal dari Kemakmuran” (Carey, 2017; 199-200).
Alun-alun Purworejo.
Paseban tempat para tamu bupati menunggu sebelum diizinkan untuk bertemu.
Bangkitnya Purworejo paska Perang Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa bupati perdana Purworejo, Cokrojoyo atau Cokronegoro I, mantan abdi dalem Kasunanan Surakarta yang di masa muda pernah satu seperguruan dengan Pangeran Diponegoro. Karena dia merupakan abdi Kasunanan Surakarta yang dimana pada waktu itu terikat perjanjian dengan Belanda, maka dengan berat hati dia bergabung dengan pihak kolonial melawan Diponegoro sebagai bentuk baktinya kepada Kasunanan Surakarta. Meskipun dia berada di pihak kolonial, beliau tidak pernah berhadapan secara langsung dengan Pangeran Diponegoro dan lebih memilih untuk menghindar karena dia merasa masih satu saudara seperguruan dengan Pangeran Diponegoro. Setelah perang usai, pemerintah kolonial mengangkat Cokronegoro I yang saat itu menjabat Bupati Brengkelan, sebagai bupati pertama Purworejo pada tanggal 9 Juni 1830 dengan diberi gelar Cokronegoro I. Menariknya, berbeda dari kebanyakan bupati saat itu yang memiliki darah biru, Cokronegoro berasal dari keluarga priyayi desa. Karena latar belakangnya itulah kecakapan ia dalam memimpin sempat diragukan Gubernur Jenderal. Namun akhirnya Cokronegoro I berhasil membuktikan bahwa ia adalah administrator yang cakap. Jauh lebih cakap dari pejabat kolonial sendiri lantaran ia sendiri pernah memiliki pengalaman sebagai abdi dalem di Kasunanan. Dalam mengatur pemerintahan ia tak sendiri karena ia dibantu pula oleh administrator Jawa kawakan dari Blora, Tumenggung Ario Suronegoro (Carey. 2017; 204-206).
Masjid Agung Purworejo sekarang dan dulu.
Berbagai bangunan peninggalan Bupati Cokronegoro I dapat ditemukan di sekitar alun-alun. Berada di sebelah barat alun-alun ialah Masjid Agung Purworejo. Berdasarkan prasasti yang terpampang di atas pintu masuk ruang shalat utama, masjid ini didirikan tahun 1834. Layaknya masjid-masjid tua di Jawa, masjid itu memilliki atap tajug tumpang tiga dengan hiasan mustaka yang bertengger di puncak. Konstruksi masjid ditopang oleh empat tiang sokoguru atau tiang utama dengan umpak yang diambil dari bekas Yoni peninggalan masa klasik. 12 tiang soko rowo membantu konstruksi di dalamnya. Arsitektur masjid tradisional seperti masjid ini sudah semakin jarang ditemukan pada alun-alun di Jawa. Rata-rata bangunan masjid lain sudah dirombak menjadi modern dengan atap berbentuk kubah ala Timur Tengah. Sementara itu, di bagian serambi depan terdapat sebuah bedhug berukuran raksaksa yang dikenal sebagai Bedug Agung Pendhowo. Pembuatan bedhug ini bersamaan dengan pembangunan masjid ini. Menariknya, bedhug ini dibuat dengan kayu jati utuh tanpa sambungan.
Saluran air Kedung Putri.
Pintu air saluran Kedungputri di Trirejo.
Di belakang masjid itu, mengalir sebuah saluran air Kedung Putri yang membelah kota Purworejo. Kehebatan Cokronegoro dan trahnya tak hanya di bidang administrasi saja. Namun juga di bidang infrastruktur. Infrasturktur saat itu menjadi bidang yang sangat diutamakan oleh Cokronegoro karena saat itu wilayah Purworejo adalah wilayah terpencil yang saking terpencilnya oleh Kolonel Cleerens disebut ‘buiten het wereld’, di luar dunia. Ditambah pertanian di Bagelen saat itu sempat terpuruk akibat perang. Maka pada 1832, Cokronegoro menggagas pembangunan saluran air yang airnya diambil dari sungai Penungkulan. Proyek raksaksa itu dikerjakan selama satu setengah tahun  dengan tenaga sebanyak 5.000 orang. Pembangunan saluran air itu kemudian dilanjutkan oleh para penerus Cokronegoro I. Mereka sadar jika kekuatan ekonomi utama Purworejo adalah pertanian. Dampak pembangunan saluran air itu sangat dirasakan oleh para petani Purworejo sampai hari ini. Sejarawan Robert van Niel menyebut jumlah lahan yang dibuka di Karesidenan Bagelen meningkat 220 persen, jauh lebih unggul dibandingkan Karesidenan Cirebon, Surabaya, atau Tegal (Carey, 2017; 209-214). Pada tahun 1871, debit air saluran air Kedungputri ditingkatkan dengan menambahkan pintu air baru rancangan Insinyur Pet yang airnya disadap dari sungai Bogowonto. Pada saat yang bersamaan, saluran air Kedungputri diperlebar dan ditambahkan bendung pelimpah. Kemudian jembatan yang ada di kota  juga ikut diperbesar. Pada tahun 1896, jaringan irigasi Kedungputri diperluas dengan biaya 39.309 gulden. Selama perluasan, pekerja sering menemukan batu-batu cadas besar yang hanya bisa disingkirkan dengan alat peledak sehingga pengeluaran proyek bertambah sebesar 16.664 gulden. Seluruh proses perluasan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1904 (Verslag B.O.W 1907).
Pendopo Kabupaten Purworejo dulu (1930an) dan kini (2016). Tidak ada yang berubah selain bendera yang berkibar di depan pendhopo. Jika dulu bendera triwarna Belanda, kini bendera Merah Putih yang berkibar di depan pendhopo.
Bagian dalam pendopo.
Di sebelah utara alun-alun, berdiri kediaman resmi dari bupati Purworejo. Setelah diangkat menjadi bupati, tindakan pertama yang Cokronegoro lakukan adalah menggabungkan dua kota kuno, yakni Brengkelan dan Kedungkebo (Oteng Suherman, 2013; 38-39). Kediamannya yang semula berada di Brengkelan (kini jadi Hotel Suronegaran), dipindah ke utara alun-alun. Gedung kediamannya purna dibangun tahun 1833 dan seterusnya dihuni oleh para bupati Purworejo. Gedung sengaja dibangun menghadap ke arah selatan karena dalam konsep kosmologi Jawa, di selatan terdapat samudera Hindia yang dipercaya menjadi kediaman Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk tidak membelakangi Keraton Surakarta yang dihormati oleh Cokronegoro. Bangunan pendapa merupakan bentuk arsitektur khas Jawa yang dasarnya berupa konstruksi atap yang ditopang oleh kolom-kolom dengan tata letak berbentuk persegi atau persegi panjang. Keempat sisi pendapa terbuka, tidak memiliki dinding. Sebagai simbol aristokrat Jawa, langit-langit dan kolom pendapa diberi hiasan. Dalam arsitektur tradisional Jawa, pendopo adalah bagian rumah yang bersifat publik untuk menerima tamu, penyelenggaraan upacara penting, dan pagelaran pertunjukan seni. Menurut buku harian Cokronegoro I yang dihibahkan pada Bernhard von Sachsen Weimar, bupati sering mengadakan perjamuan dengan hidangan daging banteng, rusa, babi hutan, ayam hutan, dan merak yang diburu penduduk sekitar untuk santapan tamu bupati (Carey, 2017;158). Sementara kediaman bupati yang bersifat privat berada di belakang pendopo dan dirancang dalam arsitektur Indis. Bangunan rumah bupati Purworejo sempat mengalami kerusakan pada tahun 1878 dan baru dipugar pada 1892 dengan bantuan dari Burgerlijke Openbare Werken. Pemugaran tersebut menghabiskan biaya sebanyak 80.740 gulden.
Kediaman Residen yang kini beralih menjadi kantor bupati. Masih tetap menjadi pusat kuasa pemerintahan Purworejo.
Sebagai upaya pemerintah kolonial untuk menundukkan kuasa pemerintah pribumi, di sekitar alun-alun terdapat bangunan-bangunan penting milik pemerintah kolonial. Yang terpenting tentu saja kediaman sang residen Bagelen, pusat kuasa pemerintah kolonial di Bagelen. Bangunan berlanggam Indisch Empire Style ini memiliki kolom-kolom besar di beranda depannya yang dimaksudkan sebagai bentuk kekuasaan mereka dihadapan orang-orang pribumi. Bangunan yang didirikan sekitar pertengahan abad ke 19 ini dibuat menghadap ke arah utara, tempat tinggal bupati, sebagai perlambang adanya pengawasan dari pemerintah kolonial terhadap segala aktivitas di kediaman bupati, sehingga dapat dikatakan ada nuansa politis pada pemilihan lokasi kediaman residen. Dengan sedikit perubahan pada bagian wajah, bangunan itu masih menjadi pusat kekuasaan di Purworejo, kali ini sebagai kantor bupati Purworejo. Entah bagaimana perasaan residen seandainya ia hidup kembali dan melihat bendera Merah Putih berkibar di depan kediamannya. Pada tahun 1901, setelah kota Purworejo kehilangan statusnya sebagai ibukota akibat Karesidenan Bagelen dilebur dengan Karesidenan Kedu, maka bangunan tadi turun statusnya menjadi kediaman asisten residen. Walaupun Purworejo tak lagi menjadi kota penting namun pembangunan berbagai fasilitas masih terus dilanjutkan oleh pemerintah kolonial…
GPIB Purworejo.
Bagian dalam GPIB Purworejo.
Terletak di sebelah timur alun-alun, GPIB Purworejo adalah gereja yang masih mempertahankan bentuk lamanya. Sentuhan langgam neo-gotik begitu kentara dengan jendela-jendela kaca berbentuk jarum. Itulah Indische Kerk, tempat ibadah yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Ambon penganut Kristen Protestan. Gereja yang diresmikan pada pertengahan abad ke-19 itu aslinya memiliki menara lonceng beratap tajug, lalu atap menara itu diubah menjadi kubah. Gereja tersebut merupakan bagian dari Indische Kerk, gereja yang berada di bawah kendali pemerintah kolonial. Saat itu, gereja tersebut adalah satu-satunya gereja di Karesidenan Bagelen. Tugas utama pendeta Indische Kerk adalah pemberian layanan rohani untuk sejumlah kecil penduduk Eropa atau orang Ambon di Purworejo yang didatangkan sebagai pasukan KNIL. Ini menjadi penjelasan mengapa ukuran bangunan gereja relatif kecil. Saat jumlah orang Jawa yang masuk agama Kristen semakin banyak berkat peran Kyai Sadrach, maka timbulah ketegangan karena daya tampung gereja yang kecil tidak bisa menerima jemaat dan di saat yang sama orang-orang Belanda kurang senang dengan membanjirnya kaum pribumi di gereja mereka (Guilot, 2020: 159).
Foto udara garnisun Kedungkebo pada tahun 1920an (sumber ; media-kitlv.nl)
Pintu masuk garnisun Kedungkebo.
Dari alun-alun, saya kemudian berjalan menyusuri jalan Urip Sumoharjo. Nama jalan itu diambil dari nama jenderal pendiri BKR, organisasi cikal bakal TNI, yang lahir di kota ini. Kota ini memang banyak melahirkan para petinggi di jajaran militer, mulai dari Jend. Urip Sumoharjo, Ahmad Yani, hingga Sarwo Eddhie Wibowo. Banyaknya orang Purworejo yang terjun ke kancah militer barangkali dilatari oleh peran kota ini sebagai kota garnisun di masa lampau. Sesudah Perang Jawa berakhir, markas militer Belanda di Kedungkebo tetap dipertahankan sebagai upaya pasifikasi wilayah Bagelen mengingat masih ada sisa-sisa pengikut Pangeran Diponegoro yang dapat mengganggu kedudukan Belanda sewaktu-waktu. Garnisun atau tangsi Kedungkebo kemudian menjadi markas 3 kompi dari Batalyon ke-8 KNIL. Semasa pendudukan Jepang, Jepang memakai tangsi-tangsi itu untuk menampung tawanan Eropa. Sejak tahun 1949, tangsi-tangsi tinggalan Belanda diserahkan kepada TNI dan kini ditempati oleh Batalyon Kostrad 412. Kehidupan militer cukup merasuk ke dalam sendi kebudayaan Purworejo. Misalnya adalah kesenian tari Dolalak yang busananya ada kemiripan dengan seragam tentara Belanda pada abad ke-19.


Rumah-rumah tua di sepanjang jalan Urip Sumoharjo, Purworejo (depan gedung DPRD) yang dahulunya ditempati oleh para opsir militer berpangkat kapten.
Salah satu rumah tua di jalan Sapta Marga yang dahulu digunakan untuk bintara.
Foto rumah perwira militer di Purworejo pada tahun 1923. Sumber : Indie
Kesejahteraan perwira di negeri jajahan diperhatikan begitu baik oleh pemerintah. Salah satu upayanya adalah dengan menyediakan hunian untuk para perwira militer beserta keluarganya sehingga mereka tidak perlu kesulitan saat mencari tempat tinggal yang layak. Pada tahun 1914, militer Belanda menambahkan beberapa sarana militer baru di Purworejo seperti barak baru untuk 3 kompi tambahan, rumah dinas perwira dan bintara, serta rumah sakit militer. Rangkaian pembangunan tersebut selesai pada tahun 1917 (Bataviasch Nieuwsblad, 8 April 1916). Rumah-rumah perwira tersebut dibangun mengikuti ukuran dan tata letak yang sudah ditetapkan persyaratannya. Maka dari itu seringkali akan dijumpai bentuk rumah-rumah perwira yang serupa di tempat yang berbeda. Rumah-rumah perwira terbagi dalam beberapa tingkatan sesuai kepangkatan militer. Penataan rumahnya mengikuti dengan rumah di Hindia Belanda yang umum saat itu, yakni membagi rumah menjadi dua bangunan, yakni bangunan induk dan bangunan penyerta. Bangunan induk berisi kamar untuk tempat tinggal dan ruang keluarga. Sementara bangunan penyerta dibangun terpisah dari bangunan induk dan terdiri dari gudang, ruang cuci, dapur, kamar mandi, kamar privat (toilet), kamar pembantu, kandang kuda, dan garasi kereta kuda. Terkadang untuk yang tingkatnya lebih tinggi disertai dengan paviliun tamu di bagian depan. Guna penghematan, rumah tinggal letnan dan kapten kadang dibuat dalam bentuk kopel, yakni satu bangunan terdiri dari dua rumah (Roijen, 1903: 129-130). 
Rumah sakit DKT Purworejo.
Saya berbelok ke Jalan Panca Marga. Di seberang deretan bangunan kopel tua, terdapat sebuah rumah sakit militer yang kini menjadi RS DKT. Sebagaimana kota garnisun, di kota Purworejo dapat ditemukan rumah sakit yang sejatinya dikhususkan untuk kepentingan militer. Kendati ia diperuntukan untuk kalangan militer, namun di masa kolonial, rumah sakit menjadi jujugan orang Eropa dan pribumi papan atas karena pelayanannya dianggap memuaskan. Oleh karena itulah rumah sakit ini pada tahun 1919 tidak diperkenankan menerima pasien dari luar kalangan militer kecuali rumah sakit zending sudah penuh. Beberapa saat sesudah kemerdekaan, rumah sakit ini sempat menjadi kamp internir untuk orang-orang Eropa.
Gedung blockhuis pada tahun 1870an (sumber ; media-kitlv.nl)
Sisa blokchuis.
Di belakang rumah sakit tersebut, terdapat bekas sarana pertahanan yang dikenal sebagai blockhuis atau rumah kubu yang sekarang ditempati oleh Detasemen Perbekalan. Pada bagian atas pintu masuk, tertera angka tahun 1833 yang merujuk pada tahun selesainya bangunan itu dibuat. Keberadaan blockhuis tersebut berkaitan dengan strategi pertahanan pulau Jawa yang dibuat oleh Komisaris Jenderal J. van den Bosch dan kepala divisi zeni militer, Kolonel C. van Der Wicjk, untuk melindungi pulau Jawa dari serangan luar. Strategi tersebut dibuat karena situasi dalam negeri Belanda sedang kacau akibat Revolusi Belgia tahun 1830. Belanda khawatir bila kekacauan tersebut dimanfaatkan oleh bangsa Eropa lain untuk mencaplok tanah jajahannya. Belajar dari kegagalan Belanda dalam membendung serangan Inggris di Jawa pada 1811, selain mendirikan pertahanan di pesisir utara, mereka juga mendirikan pertahanan di pedalaman. Dengan jaringan sarana pertahanan tersebut, maka pasukan dapat ditarik ke benteng yang ada pedalaman seandainya wilayah pesisir utara jatuh ke tangan musuh dan dari benteng tersebut Belanda dapat melancarkan serangan balik terhadap musuh (Van Brakell, 1863; 294)Pada tahun 1844, militer Belanda secara rahasia mengutus Mayor Jenderal Friedrich Balduin Von Gagern untuk meninjau pertahanan yang dibuat oleh Van den Bosch dan C. Van der Wijck. Dari hasil peninjauannya, Von Gagern memberi usulan bahwa seandainya musuh mengancam Batavia, maka pemerintah kolonial hendaknya memindahkan pemerintahannya di Purworejo untuk sementara waktu (Kielstra, 1879; 32). Usulan Von Gagern ini didasarkan dengan berbagai pertimbangan, antara lain iklimnya yang cukup sehat, terdapat blockhuis dan garnisun militer yang dapat dikembangkan sebagai sarana pertahanan, lokasinya yang strategis serta posisinya yang berada jauh di pesisir selatan sehingga kecil kemungkinan musuh menjangkau sampai sini. Purworejo juga lumayan dekat dengan Cilacap  yang rencananya akan digunakan sebagai titik evakuasi jika Purworejo sudah terancam (Gill. R. Ronald, 1990; 151). Dengan demikian, maka Purworejo akan menjadi national redoubt atau ibukota darurat pemerintah Hindia-Belanda. Jika kedudukan pemerintah kolonial sudah terdesak, maka Purworejo akan menjadi titik pertahanan terakhir di Jawa. Dari kota kecil inilah roda pemerintahan kolonial Hindia-Belanda akan dijalankan sampai keadaan mereda. Sebagai persiapan, maka dibangun sebuah gedung yang nantinya dipakai sebagai kantor pemerintahan jika seandainya pemerintahan Hindia-Belanda betul-betul jadi dievakuasi ke Kedung Kebo. Selama masa damai, gedung tersebut dijadikan sebagai pupillenschool, yakni sekolah untuk anak-anak serdadu Belanda. Sepanjang abad ke-19, wilayah Pulau Jawa ternyata relatif damai, tidak ada pemberontakan besar dari dalam pulau maupun serangan bangsa asing lain dari luar. Maka dari itu, untuk menghemat biaya pemeliharaan yang besar, maka beberapa sarana benteng diratakan atau dialihfungsikan untuk keperluan lain seperti blockhuis Kedungkebo yang dialihfungsikan sebagai rumah sakit militer. Sementara itu, rencana Purworejo untuk menjadi ibukota darurat akhirnya dibatalkan dengan keputusan pemerintah tahun 1873.
Bekas kantin militer yang kondisinya rusak parah.
Dari Jalan Panca Marga, saya menyeberang ke Jalan Ksatrian. Jalan ini merupakan akses utama ke kompleks Yonif 412, sebuah kompleks militer yang menempati bekas tangsi militer Belanda. Di depan kompleks itu, terdapat sebuah gerbang besar dengan sengkalan 1918 yang terpampang di atas pintu masuk. Tentara dengan seragam hijau loreng berjaga di depan pintu masuk, tanda bahwa kompleks itu tidak dapat sembarangan dimasuki orang. Di ujung Jalan Ksatrian, terdapat sebuah bangunan tua dengan kondisi yang memprihatinkan. Itulah bekas kantin militer. Di tengah kehidupan tangsi yang monoton dan suntuk, kantin militer serasa menjadi surga tersendiri. Di tempat itulah, para serdadu Belanda mencari kesenangan sesudah latihan atau bertugas. Di sana, mereka dapat menonton pertunjukan sandiwara, film, atau memesan minuman keras yang telah diatur porsinya. Di sini masih bisa ditemukan bekas sebuah ruang proyektor, lalu ruang penonton dengan lantai berundak agar penonton di belakang tidak terhalang oleh penonton di depannya, dan panggung untuk memutar film atau untuk menampilkan pertunjukan sandiwara. Sebelum rusak, bangunan ini digunakan sebagai Balai Prajurit dan warga sekitar sering menggunakan bangunan ini untuk kegiatan masyarakat.
SMA N 7 Purworejo,dulu Hoogere Kweekschool Poerworedjo.
Berikutnya, saya kembali ke Jalan Urip Sumoharjo. Persis di seberang barat kompleks militer, terdapat sebuah kompleks sekolah peninggalan Belanda yang kini ditempati SMA N 7 Purworejo. Sekolah yang dulu bernama Hoogere Kweekschool Poerworedjo itu hanya satu dari sekian sekolah yang dibuka oleh Belanda di beberapa sudut kota Purworejo ( ulasan lebih lengkap tentang HKS Purworejo dapat dibaca di " HKS Purworejo, Tetenger Pendidikan Guru di Indonesia " ). Hoogere Kweekschool Purworejo adalah sekolah yang sangat kondang di masanya. Ia bisa disejajarkan dengan Tehnicshe Hoogeschool (kini ITB) di Bandung. Bedanya Hoogere Kweekschool Purworejo melahirkan para guru-guru yang berjasa di dunia pendidikan. Tak mengherankan jika Purworejo disebut sebagai kota pusat pendidikan. Keberadaan institusi pendidikan di Purworejo sejatinya sudah hadir bahkan sejak kota itu dibangun. Kala itu, sebuah sekolah dibuka di kompleks tangsi Kedungkebo untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dari keluarga serdadu Belanda yang masih aktif atau yang sudah pensiun. Perkembangan pendidikan di Purworejo kian pesat setelah politik etis diterapkan di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, ditandai dengan semakin banyak sekolah yang dibuka di Purworejo, baik yang dibuka oleh pemerintah maupun dari lembaga zending Kristen dan misi Katolik. Sekolah-sekolah itu antara lain Inlandsche School (SD N 1 Purworejo), Chr. Hollandsch. Javaansche School (SMP N 4 Purworejo), Hollandsch Inlandsche School (SMP N 1 Purworejo), Hollandsch Chineese School (SMP Widhodo), dan Lageree Europesche School (SMP N 2 Purworejo). Di sekolah-sekolah itulah orang Belanda atau pribumi yang mampu menyekolahkan putra-putri mereka.
SMP N 2 Purworejo, dulu Lageree Europesche School.
SMP N 1 Purworejo, dulu Hollandsch Inlandschool.
SMP N 4 Purworejo, dulu Chr. Hollandsch Javaansche School.
SD N 1 Purworejo, dulu Inlandsche School. Di dalam SD ini terdapat sebuah ruang kelas yang bangku-bangkunya masih asli dari zaman dahulu.
Dari kompleks SMA N 7 Purworejo, saya menyusuri Jalan Mayjend. Sutoyo yang dinaungi oleh rindangnya pohon-pohon asam tua yang sudah menjulang sedari zaman Belanda, menjadikan jalanan kota Purworejo terasa sejuk dan teduh di mata orang Eropa. Seorang pengelana Eropa bernama Becking dalam tulisan berjudul Eene Beschrijving van Poerworedjo en Omstreken yang diterbitkan dalam majalah Indie menyebutkan bahwa Purworejo "memiliki jalan jalan yang lebar, dipayungi oleh pohon asam dan kenari yang tua". Tidak heran jika mereka menyanjung Purworejo sebagai tempat terbersih dan terindah di selatan pulau Jawa. Salah satu dari mereka, Van Gelder, yang pernah mengunjungi Purworejo di tahun 1893, menulis :

Tempat yang memiliki jumlah penduduk sekitar 12.000 jiwa ini merupakan salah satu tempat terbersih di Jawa. Sisi kanan dan kiri jalan ditanam dengan pohon asam. Rumah bupati dan residen merupakan sebuah bangunan yang indah ” (Gill. G. Ronald, 1990; 216).
Pohon asam tua yang masih berdiri tegak di tengah kota Purworejo. Pohon-pohon inilah yang membuat para pengelana Eropa terpikat dan memuji Purworejo sebagai tempat terbersih di Jawa.
Di sepanjang jalan itu, berdiri beberapa bangunan bergaya kolonial yang dahulu digunakan sebagai kantor-kantor ambtenar atau pamong pemerintah kolonial seperti Waterstaat Kantoor (Kantor BKSDA), Irrigatie Kantor (Dinas Pengairan), Landraadgebouw (Museum Tosan Aji) dan Djaksaakantoor (Satlantas Purworejo,eks Polres Purworejo). Beruntung, beberapa bangunan ini wujud aslinya masih terlihat sampai sekarang. Apabila berbelok ke Jalan Makam Kerkhof, di ujung jalan itu terdapat permakaman yang menjadi tempat peristirahatan terakhir orang-orang Belanda. Di permakaman itu masih dapat dilihat makam-makam Belanda yang sayangnya banyak yang kondisinya rusak ( ulasan lebih lengkap tentang kerkhof Purworejo dapat dibaca di " Pusara Tua nan Renta di Kerkhof Purworejo " ).
Kantor Pos Purworejo.
Kantor BKSDA, dahulu adalah kantor Waterstaat.
Rumah dinas controleur Purworejo.
Rumah yang cukup besar di jalan Mayjen. Sutoyo yang kini menjadi kantor Badan Kepegawaian Daerah. Rumah ini dahulu dihuni oleh insinyur pengairan Belanda.
Kantor Inspektorat, dulunya adalah kantor Irragatie-Dienst.

Satlantas Purworejo, dulu Djaksakantoor atau kantor jaksa.
EKs Museum Tosan Aji, dulu Landraadgebouw atau pengadilan. Di sinilah dahulu pelaku kejahatan disidang dan dijatuhi hukuman untuk selanjutnya dimasukan ke penjara yang berada di depan gedung ini.
Gapura Kerkhof Purworejo.
Di tengah kota Purworejo, tengara bangunan kolonial lain berupa stasiun masih ada meski sekarang tidak dipakai lagi. (ulasan lebih lengkap mengenai stasiun ini dapat dibaca pada Membongkar Ingatan di Stasiun Purworejo )
Stasiun Purworejo.
Selain rumah sakit milik militer, di Purworejo masih ada satu rumah sakit lagi yang dirintis oleh seorang zending bernama Dr. J. C. Flach. Tanggal 15 Februari 1918, rumah sakit zending resmi dibuka untuk pasien dari masyarakat umum. Untuk menunjang pelayanannya, rumah sakit zending dilengkapi mobil ambulan yang membantu sekali saat Purworejo dilanda epidemi kolera pada bulan Juni 1918 (Pol, 1992;264) Rumah sakit ini memiliki beberapa poliklinik pembantu di Bener, Loano, Kaliboto, Cangkrep, Krendetan, dan Kemanukan. Pendanaan rumah sakit zending selain disokong oleh lembaga zending juga dibantu oleh PG Jenar. Hari ini, rumah sakit zending itu dikelola oleh pemerintah daerah dan berubah nama menjadi RSU Dr. Tjitrowardojo. Bagian depan rumah sakit ini memang sudah banyak yang berubah, namun beberapa bangsal masih menggunakan bangunan lama. Di samping rumah sakit ini juga terdapat sebuah rumah tua yang dahulu menjadi rumah dinas untuk dokter.
Pasar Baledono tempo doeloe.
Jantung perekenomian Purworejo di masa lalu hingga sekarang terletak di pasar Baledono. Di pasar itulah, masyarakat Purworejo dari berbagai penjuru berkumpul untuk mengais rezeki agar dapur di rumah bisa mengepul. Beraneka barang didagangkan di pasar itu. Di pertengahan tahun 2013, si jago merah melalap habis pasar itu. Tahun ini (2017) bangunan pasar akan dibangun kembali dengan ukuran yang lebih besar dari sebelumnya. Di sekitar pasar, dapat dijumpai deretan bangunan ruko bergaya Tionghoa (ulasan lebih lengkap mengenai Pecinan Purworejo dapat dibaca di sini " Menyusuri Warisan Budaya Tionghoa di Purworejo" 

Pejagalan hewan yang terletak di ujung jalan Jagalan, Baledono, Purworejo. Sampai sekarang masih difungsikan sebagai rumah potong hewan.
Pabrik Es Purworejo yang sudah berdiri sejak tahun 1886.
Guna memenuhi permintaan daging masyarakat Purworejo di zaman dahulu, sebuah abbatoir atau pejagalan hewan resmi milik pemerintah kolonial dibangun di daerah Jagalan, Baledono. Lokasi pejagalan dibangun di dekat kali Kedungputri untuk memudahkan pembuangan bagian hewan yang tidak dikonsumsi seperti darah.

Gedung bioskop pada tahun 1930an. Bioskop ini sekarang menjadi Gedung Kesenian Sarwo Edhie Wibowo, di perempatan jalan Pemuda dan Jalan Urip Sumaharjo. Meski bioskop ini sudah beralih rupa, namun pohon di depan bioskop masih ada hingga sekarang.
Sarana hiburan di Puworejo pada masa kolonial terbilang cukup untuk sebuah kota yang lewat jam 6 malam sudah sepi. Becking menyebutkan ada sebuah soceiteit, tempat orang-orang Eropa menghabiskan waktu senggangnya dengan bermain bilyar, kartu, minum-minum, berdansa, berkumpul dengan orang Eropa lain atau mendengarkan musik tonil. Soceitet tersebut mulai berdiri sejak tahun 1878. Societeit yang kini sudah hilang dan menjadi gedung DPRD Purworejo itu juga mengelola gelanggang permainan bowling dan lapangan tenis. Tenis merupakan jenis olahraga yang digemari oleh kalangan elit Belanda. Selain tenis, para ambtenaar atau pegawai kolonial dapat mengikuti klub sepakbola, klub membaca, klub renan, dan klub berburu. Di Purworejo dulu juga pernah ada tiga buah bioskop yang dahulu oleh seorang Tionghoa. Salah satu bioskop di kemudian hari bioskop itu menjadi bioskop Bagelen sebelum akhirnya dibongkar menjadi Gedung Kesenian Sarwo Edhi Wibowo. Selain bioskop tadi, masih ada bioskop lain di kota ini, yakni bioskop Pusaka yang kini menjadi pasar swalayan Jodo dan bioskop di Jalan Buntu.
Berbagai gardu listrik yang tersebar di beberapa penjuruGardu listrik ini berfungsi sebagai transformator penurun tegangan listrik dari tingkat tinggi ke tingkat yang aman bagi keperluan rumah tangga.
Bekas pembangkit listrik di daerah Baledono Selis.
Masuknya jaringan listrik di Purworejo pada awal tahun 1926 menjadi penanda kota Purworejo memasuki peradaban dunia modern. Sebelum adanya jaringan listrik, para pengusaha atau tamu di Purworejo mengeluhkan betapa gelapnya kota itu, dimana satu-satunya penerangan umum berasal dari lampu gas yang ada di persimpangan jalan, kelip lampu minyak atau bahkan dari cahaya rembulan. Listrik sejatinya sudah masuk pada tahun 1916 namun saat itu hanya diperuntukan bagi kompleks HKS Purworejo. Pemasangan jaringan listrik untuk umum di Purworejo dimulai dengan pembangunan PLTA di Baledono oleh perusahaan swasta N.V. Poerworedjo Electreitbedrijf. Namun perusahaan tersebut dinilai tidak memenuhi kelayakan teknis sehingga pembangunan PLTA dilalihkan kepada Algemeene Netherlandsch Indische Electreit Mij. (ANIEM). Akhirnya pada 9 Januari 1926, pembangkit listrik di Purworejo yang ditunggu oleh banyak resmi beroperasi. Pejabat sipil dan militer di Purworejo hadir di stasiun pembangkit listrik yang ada di Baledono Selis seperti Residen Kedu Van der Jagt, asisten residen Purworejo Putman Cramer, dan kepala ANIEM Yogyakarta Keuzekamp. Setelah sambutan, dilakuan pemutaran engkol mesin turbin oleh istri bupati Kutoarjo. Untuk pertama kalinya, Purworejo diterangi dengan nyala lampu listrik. Bangunan pembangkit dirancang oleh biro bangunan Sitsen en LouzadaAir untuk PLTA disadap dari saluran Kedungputri yang berikutnya dialirkan melalui pipa-pipa besi besar buatan pabrik kosntruksi Bakker dari Surabaya. Aliran air akan menggerakan mesin turbin bikinan pabrik Escher Wyss dari Swiss. Sementara dinamo serta perangkat lainnya dibuat oleh Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft dari Berlin. Saat debit air menyusut selama musim kemarau, listrik dihasilkan dari mesin diesel. Listrik dari pembangkit lalu dialirkan ke rumah-rumah orang Belanda setelah dikurangi tegangannya oleh gardu-gardu yang tersebar di dekat kantong permukiman orang Belanda. Selain untuk keperluan rumah tangga, listrik tersebut juga menyalakan lampu-lampu di sepanjang jalan Purworejo-Kutoarjo. Dengan jaringan listrik itu, maka orang-orang Belanda di Purworejo dapat menikmati terangnya cahaya lampu listrik di malam hari. Sangat disayangkan bahwa pencahayaan lampu hanya dapat menerangi sepanjang jalan raya utama, dengan kata lain beberapa ruas jalan masih gelap gulita dan orang pribumi yang tinggal di kampung harus berpuas dengan kelap temaram lampu minyak (De Locomotief, 11 Januari 1926). PLTA di Baledono tersebut akhirnya dihancurkan pada zaman Jepang dan hanya tinggal pondasi saja.
Sumber mata air Kalinongko.
Kamar mesin pompa air di Mranti. Di bagian atas pintu masuk terdapat inskripsi "1925" yang menunjukan tahun pembangunan bangunan tersebut.
Untuk mencukupi kebutuhan air bersih sehari-hari, jaringan air keran diperkenalkan  di Purworejo pada tahun 1920an. Air memang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia, namun tidak semua air layak untuk diminum. Sebelum jaringan air keran masuk, masyarakat pada zaman dahulu masih mengandalkan sumur terbuka sebagai sumber air. Seringkali air dari sumber-sumber tersebut didapati dalam keadaan keruh dan bau. Belum lagi dengan kandungan zat kimia dan bakteri berbahaya yang mencemari air. Pada zaman dahulu, penyakit-penyakit yang berakhir menjadi wabah seringkali ditimbulkan dari konsumsi air tercemar mulai dari disentri, tifus, hingga kolera. Oleh karena itu, pemerintah kolonial menugaskan pengawas Westhoeve, insinyur Adriaanse, dan juru gambar Raden Seboel untuk merancang jaringan air keran yang diharapkan mampu menyediakan kebutuhan air bersih di Purworejo. Proyek tersebut menelan biaya sebesar 390.000 gulden dan sebagian biayanya diperoleh melalui pinjaman dari "Het Pensionfonds" dan "Netherlandsch Indische Lijfrente Maatschappij". Proses pembangunan dimulai sejak bulan September 1925, namun perencanaanya sudah dilakukan jauh hari sebelumnya, yakni sejak awal tahun 1920. Sumber air baku untuk jaringan air keran tersebut disadap dari mata air di desa Kalinongko. Proses pembangunan dimulai dari pembangunan pipa saluran induk, stasiun mesin pompa, dan reservoir. Sekitar bulan Februari 1926, sudah ada 400 rumah tangga di Purworejo yang telah berlangganan air keran. Setelah semua pembangunan diselesaikan, maka diadakan upacara peresmian di halaman depan stasiun mesin pompa di Mranti pada 3 Juli 1926. Dalam kesempatan tersebut, pejabat-pejabat kolonial dari berbagai tingkat diundang seperti residen Kedu, Mr. Van der Jagt, kontrolir Purworejo Mr. Bitter yang mewakili asisten residen, kepala PG Jenar, Mr. Bosch, dan komandan militer Purworejo, Mayor Lucardie. Tidak ketinggalan pula Mr. Westhoeve, Ir, Adriaanse, dan Raden Seboel yang menjadi tokoh penting dalam pembuatan jaringan air keran di Purworejo. Pembukaan keran pancuran air di halaman depan stasiun mesin pompa oleh Mr. Van der Jagt menjadi tanda dibukanya jaringan air keran di Purworejo. Para tamu undangan lalu diajak untuk menengok ke dalam stasiun mesin pompa. Di dalam stasiun mesin pompa tersebut, terdapat dua mesin pompa yang dipasok oleh Lindeteves-Stokvis. Satu mesin sebagai mesin pompa utama dan satu mesin pompa lainnya sebagai mesin cadangan bila mesin utama mengalami gangguan. Mesin tersebut digerakan oleh mesin listrik bertenaga 45 tenaga kuda. Upacara tersebut dilanjutkan dengan slametan yang diikuti oleh masyarakat Jawa dan Tionghoa. Sementara orang-orang Eropa menggelar pesta kecil di Sosieteit (De Locomotief, 5 Juli 1926). Sayangnya penyediaan sarana air minum di masa itu belum merata karena baru memenuhi kebutuhan lapisan masyarakat yang mampu membayar biaya langganan. Sementara masyarakat lainnya masih menggunakan air sumur dangkal, air sungai dan sejenisnya yang tentu saja tidak terjamin kebersihannya.
Sebuah rumah lama di jalan Jenderal Sudriman, dekat perempatan Koplak. Rumah bergaya Indis ini dahulu dihuni oleh Van Frassen, seorang direktur perkebunan. Tidak ada perubahan sama sekali pada bangunan ini selain teras depan yang ditutup untuk menambah ruangan. Bangunan ini sekarang menjadi kantor GKJ klasis Purworejo. Sebelumnya rumah in menjadi SMK Widhodo.
Rumah-rumah kuno di Purworejo.
Tersebar di setiap sudut kota, dapat ditemukan berbagai rumah-rumah tua dengan bentuk yang beragam. Nasibnya juga beragam. Ada yang masih terawat baik dan ada juga yang nyaris rubuh ditelan usia.

Dari begitu banyaknya peninggalan masa kolonial di kota Purworejo, dapat disimpulkan bahwa ternyata kota Purworejo di masa lalu termasuk sebuah kota yang luar biasa penting, yakni sebagai pusat pemerintahan, pusat penyebaran agama, dan pusat pendidikan. Maka wajarlah jika pemerintah kolonial nyaris menjadikan Purworejo sebagai ibukota darurat Hindia-Belanda. Daya tarik kota ini juga mendapat pujian oleh para pengelana Eropa yang pernah singgah di sini. Sayang kegemilangan Purworejo sebagai salah satu kota terbersih dan teratur di Jawa harus pensiun ketika memasuki masa modern, saat dimana secara licik pemerintah kolonial menggulingkan bupati Cokronegoro IV yang berjasa bagi rakyat Purworejo karena ia terlalu dekat dengan pergerakan nasional. Kebesaran kota Purworejo di masa lampau akhirnya telah selesai, maka wajarlah jika kota ini menyandang sebagai kota pensiun. Selama bertahun-tahun, Purworejo hanyalah terpinggirkan dalam sejarah nasional dan semakin menyedihkan jika mengetahui kalau kota ini adalah salah satu kota paling miskin di Jawa. Namun apakah pensiun berarti harus berhenti berkarya ? Epilog Profesor Peter Carey dalam bukunya Sisi Lain Diponegoro, Historiografi Perang Jawa sekiranya bisa menjadi renungan. Menurutnya, dengan keistimewaan Purworejo di masa lampau, akankah keistimewaan itu akan dibiarkan saja sehingga Purworejo menjadi kota yang datar-datar saja atau dikembangkan sebagai sebuah destinasi sejarah yang luar biasa ? Semua tergantung dari kebijakan pemerintah dan dukungan masyarkat…


Referensi
Carey, Peter. 2017. Sisi Lain Diponegoro ; Babad Kedungkebo da Historiografi Perang Jawa. Jakarta; Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Gill, Ronal. G. 1990. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft : TU Delft.

Guilot, C. 2020. Kiai Sadrach : Riwayat Kristenisasi di Jawa. Mata Bangsa.

Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Kielstra, E.B. 1879. "De Grondslagen der Verediging van Java".

Musadad. 2001. "Dari Pemukiman Benteng Ke Kota Administrasi ( Tataruang Kota Purworejo Tahun 1831-1930 ) ". Tesis. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

---------, 2002, " Arsitektur dan Fungsi Stasiun Kereta Api bagi Perkembangan Kota Purworejo Tahun 1901-1930 ". Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. 

Radix Penadi. 2000. Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad ke XIX. Lembaga Study dan Pegembangan Sosial Budaya.

Roijen. 1903. Handleiding bij het onderwijs in de Indische militaire bouwkunde. Breda : De Koninklijke Militairer Academie.

Pol.D. 1922. Onze Zendingvelden, Midden Java ten Zuiden, Utrecht ; Zendingstudie-Raad.


R. G. B. de Vaynes van Brakell, 1863, De Verediging van Nederlandsch Indie; Gevolgd door eene Proeve van een Stelsel van Verdediging voor Onze Bezittingen in den Indischen Archipel, Amsterdam : P.N. Van Kampen.

Suherman, Oteng dan Supriyo. 2013. Kiprah RAA Cokronegoro I Membangun Kabupaten Purworejo. Purworejo : Pustara Srirono.


Bataviaasch Nieuwsblad, 8 April 1916

De Locomotief, 11 Januari 1926.


De Locomotief, 5 Juli 1926.


Verslag Burgerljike Openbare Werken 1907.