Rabu, 14 Desember 2016

PG Colomadu dan Tasikmadu, Warisan Industri Gula Mangkunegara IV yang Menolak Mati

Citarasa gula yang manis membuat barang satu ini hampir digemari oleh setiap orang sehingga keberadaanya hampir ditemukan di setiap dapur rumah. Di balik manisnya gula, terbentang sejarah panjang industri gula yang bertebaran di segala penjuru pulau Jawa pada masa kolonial. Dari sekian banyaknya pabrik gula yang dibangun, PG Colomadu adalah pabrik gula pertama yang dibangun oleh penguasa lokal Mangkunegara IV, yang kemudian diikuti dengan pendirian PG Tasikmadu. Inilah tulisan Jejak Kolonial tentang kedua pabrik gula itu.
PG Colomadu sebelum direnovasi pada tahun 1928 (sumber : media-kitv.nl).
Sebelum menilik sejarah PG Colomadu, ada baiknya kita kembali ke tahun 1830, masa ketika sistem tanam paksa mulai diterapkan. Terpisah dari penderitaan rakyat yang diperbuat oleh sistem itu, nyatanya sistem tersebut berhasil membumikan komoditas tanaman yang laku di pasaran dunia seperti tebu, kopi, dan teh. Di antara tanaman-tanaman tersebut, yang menjadi primadona ialah tebu. Didukung oleh ketersediaan tenaga lokal, tanah yang subur, air yang melimpah, dan iklim yang cocok, industri gula di Jawa berkembang pesat. Tercatat ada sekitar 185 pabrik gula yang pernah berdiri di Jawa, menjadikan Jawa sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia di belakang Kuba. Kemunculan pabrik gula di Jawa sesungguhnya hanyalah buah kecil dari gegap gempita Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-19. Sebelum Revolusi Industri, sumber daya alam masih diolah dengan bantuan tenaga manusia, hewan atau alam. Misalnya saja, sebelum teknologi mesin dikenal di Jawa, industri gula masih bergantung pada hewan seperti sapi atau air untuk menggiling tebu. Mengolahnya tentu lebih lama dan hasilnya tidak sepadan dengan modal yang dikeluarkan. Permasalahan tersebut akhirnya teratasi tatkala jauh di Inggris sana, Thomas Savery merancang mesin uap yang kemudian disempurnakan lagi oleh James Watt pada tahun 1769. Adalah James Hagraves, pencipta mesin pemintal benang bertenaga uap yang menerapkan teknologi tersebut untuk kepentingan industri. Dari Inggris, mekanisasi industri segera menyebar luas ke daratan Eropa hingga akhirnya tiba di tanah jajahan mereka seperti Jawa.
KGPAA Mangkunegara IV, pendiri PG Colomadu (sumber : troppenmusueum.nl).
KGPAA Mangkunegara IV, merupakan pemimpin dari Kadipaten Mangkunegara, sebuah kadipaten yang lahir dari perjanjian Salatiga tahun 1757 yang memisahkan Kasunanan Surakarta dengan Kadipaten Mangkunegaran. Ketika Mangkunegara IV naik tahta pada 1853, kondisi perekonomian Mangkunegaran terpuruk akibat warisan utang dari pendahulunya, Mangkunegara III sebesar 46.000 gulden kepada pemerintah kolonial Belanda. Secara keseluruhan, Kadipaten Mangkunegaran berutang kepada pemerintah kolonial Belanda sebesar 100.000 gulden (Sri Budiarti Sulastri, 2006; 37). Berbagai kebijakan-kebijakan agraria yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dipelajari oleh Mangkunegara IV untuk mengetahui bagaimana caranya mengentaskan Kadipaten Mangkunegaran dari jurang kebangkrutan. Pada masa itu, tanah-tanah milik bangsawan pribumi disewa oleh para pengusaha Eropa. Keuntungan yang diraih pengusaha Eropa itu cukup besar dan kadangkala melebihi pendapatan sewa yang diterima oleh bangsawan pribumi.

Tanah-tanah tersebut akan saya gunakan untuk industri agar hasilnya lebih banyak, sehingga lebih bermanfaat bagi seluruh rakyat Mangkunegaran, sebab pajak tanah tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan Mangkunegaran”.

Begitulah tulis Mangkunegara IV dalam suratnya kepada residen Surakarta J, H. Tobias ketika ia hendak mengambil kembali tanah-tanahnya setelah sadar bahwa kalau tanah itu dikelola sendiri dengan baik akan memberi hasil keuntungan yang tinggi. Akhirnya Mangkunegara IV sejak tahun 1857 tidak memberi perpanjangan kontrak pengusaha Eropa yang menyewa tanahnya. Selanjutnya sebuah pabrik gula merah didirikan di Desa Krambilan pada tahun 1853. Namun Mangkunegara IV tampaknya tidak puas dengan hasil produksinya. Apalagi setelah ia melawat ke Demak dalam rangka bertemu dengan Arya Condronegoro IV, Bupati Demak sekaligus menantunya. Mangkunegara IV mendapati hasil pabrik gula merah di sana jauh lebih baik daripada di Malangjiwan. 
Karya fotografi studio Woodbury & Page yang memperlihatkan PG Colomadu pada tahun 1869 (Sumber : collectie.wereldculturen.nl).
Dari hasil kunjungannya ke Demak dan masukan dari pemilik perkebunan nila di Baron bernama Manuel, Mangkunegara IV akhirnya berencana untuk mendirikan pabrik gula pasir karena harga gula pasir lebih tinggi daripada gula merah. Sebagai persiapan, Mangkunegara IV menunjuk seorang ahli dari Jerman bernama Johann Robert Kampf untuk menyelidiki kondisi tanah di sekitar Malangjiwan. Setelah diketahui bahwa tanah di Malangjiwan memungkinkan untuk ditanami tebu, maka sebuah pabrik gula didirikan di sana. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada hari Minggu, tanggal 8 Desember 1861. Tanggal tersebut selanjutnya diperingati sebagai hari jadi PG Colomadu. Pembangunan pabrik itu sendiri sempat tersendat karena butuh biaya banyak untuk membangun pabrik dan disaat bersamaan keuangan Mangkunegaran masih terpuruk. Lantaran itulah Mangkunegara IV meminjam uang sebesar f 400.000 dari teman dekatnya yang juga seorang Mayor Tionghoa di Semarang, Be Biauw Tjoan (De Locomotief, 19 Apirl 1937).
Bangunan PG Colomadu.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, pabrik gula di Desa Malangjiwan itu akhirnya tuntas dibangun dan dapat menggiling untuk pertama kalinya pada 1862. Dalam upacara pembukaannya, pabrik gula itu dinamai “Colomadu” oleh Mangkunegara IV. Jika diartikan, Colomadu berarti "Gunung Gula". Penamaan tersebut sejatinya adalah sebuah doa supaya pabrik ini dilimpahkan keuntungan setinggi gunung. Doa itupun terkabulkan. Sejak pertama kali gilingnya pada tahun 1862, keuntungan dari PG Colomadu amatlah tinggi bagaikan gunung. Hal itu rupanya tak lepas dari pilihan sistem mesin yang digunakan PG Colomadu, yakni sistem pengolahan triple effect, sistem teknologi paling mutakhir dan terbaik di masanya (Knight, 2014; 178-179). Dari hal ini, terlihat bahwa Mangkunegara IV tidak main-main dalam membangun PG Colomadu. Selain didukung dengan kapasitas produksi yang baik, keberhasilan PG Colomadu di masa awal juga tidak lepas dari harga gula yang bagus. Untuk pemasarannya, PG Colomadu bekerja sama dengan perantara firma Cores de Fries yang menjualnya ke Singapura dan Bandaneira. Adapun keuntungan yang diperoleh dipakai untuk melunasi utang dan membiayai pembangunan di wilayah Kadipaten Mangkunegaran. 







Berkaca dari kesuksesan PG Colomadu, Mangkunegara IV kemudian terdorong untuk mendirikan pabrik gula lain yang kini dikenal sebagai PG Tasikmadu.




Sialnya, selepas Mangkunegara IV meninggal pada 1881, kejayaan PG Colomadu beberapa kali goyah. Pertama disebabkan oleh kemarau berkepanjangan. Kedua adanya penyakit sereh dan yang ketiga yang hampir membuat bangkrut adalah kejatuhan harga gula pada tahun 1885. Beberapa upaya dilakukan untuk menyelamatkan PG Colomadu dari kejatuhannya dan bahkan ada rencana untuk menjualnya kepada pihak lain. Baru pada tahun 1894 sejumlah langkah dilakukan untuk memperbaiki kinerja dan berkat pulihnya harga gula, PG Colomadu berhasil melalui masa sulitnya (De Locomotief, 19 Apirl 1937)..

PG Colomadu yang tergambar pada peta topografi tahun 1932 
(sumber : maps.library.leiden.edu).
Memasuki abad ke-20, ladang PG Colomadu terus diperluas. Perluasan ini akhirnya membuat pabrik gula yang selama ini ada mengalami kelebihan kapasitas. Oleh karena itu, pabrik gula yang lama diganti dengan bangunan baru yang lebih besar pada tahun 1928. Meskipun sempat terjadi krisis malaise pada tahun 1930an, PG Colomadu masih mampu bertahan meski banyak pabrik gula yang tumbang. Bekas ladang tebu milik PG Bangak dan PG Kartasura yang ditutup kemudian diakuisisi oleh PG Colomadu. Masa sulit PG Colomadu kembali menerpa ketika Jepang menduduki Hindia-Belanda pada tahun 1942. Demi kepentingan perang Jepang, berbagai perkebunan terabaikan karena Jepang memaksa rakyat untuk menanam padi, jarak, dan kapas. Sepeninggal Kadipaten Mangkunegaran yang dihapus pada 1946, kepemilikan PG Colomadu diambil oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia milik pemerintah RI (kini menjadi PTPN). 

Semenjak diambil oleh pemerintah RI, baik PG Colomadu maupun Tasikmadu gagal memulihkan kejayaannya kembali. Sebaliknya, PG Colomadu justru mulai berjalan ke arah liang lahat. Biangnya adalah semakin sedikitnya petani yang menanam tebu karena hasilnya kurang menguntungkan. Pasokan tebu pun berkurang. Hal itu kian diperparah dengan manajemen yang carut marut pada masa Orde Baru. Setelah melalui perjalanannya selama 137 tahun, takdir PG Colomadu berakhir pada tahun 1998 dan nasibnya terlunta dan terkatung dalam ketidakpastian. Selama beberapa tahun, rumput dan tanaman liar tumbuh lebat di sela-sela bangunan yang lama tak terurus menjadi pemandangan yang umum saat memandang PG Colomadu dari luar. Setelah lama terbaring bisu, PG Colomadu akhirnya dihidupkan kembali dari alam kematiannya pada tahun 2017 dan kini telah bersolek sebagai tempat wisata dengan nama "De Tjolomadoe". Sayangnya sejumlah bangunan lama lain dibongkar meliputi kantor administrasi, gudang, depo lokomotif, dan stasiun timbangan. Dibandingkan saudara tuanya, nasib PG Tasikmadu sedikit lebih mujur karena masih mampu beroperasi meski nafasnya terengah-engah.
Mesin-mesin yang terdapat di dalam pabrik.
Bagian stasiun gilingan.
Hari ini, cerobong asap PG Colomadu masih menjulang begitu tinggi di bawah bentangan langit biru meski sudah lama asap tak membumbung dari cerobong tua itu. Angka tahun 1861 yang terpampang di wajahnya seolah menjadi pengingat, bahwa PG itu didirikan pada masa industri gula mulai tumbuh subur di Jawa. Di dalam bangunan pabrik utama, terdapat bagian-bagian pabrik yang dibagi berdasarkan jenis kerjanya, seperti stasiun gilingan yang letaknya paling depan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan nira, stasiun masakan, stasiun putaran, dan stasiun penyelesaian. Lewat mesin-mesinnya yang masih tersisa, terbayang bagaimana mesin-mesin besar itu dulu bergerak kompak dengan irama mesin yang menggelora di setiap sudut pabrik. Saat PG Colomadu ditutup, beberapa mesin-mesin dijual sebagai rongsokan besi tua untuk membayar pesangon karyawan. Selama beberapa tahun, berbagai mesin yang tersisa menjadi artefak yang tergeletak tak berdaya bersama sunyi dan gelap di bawah atap sengnya yang lapuk. Tungku-tungkunya, pipa-pipanya, baut-bautnya, pernah menjadi bagian dari manisnya industri gula Mangkunegaran. Walau terlihat usang dan berkarat, namun mesin-mesin itu menghasilkan ilham bagi segelintir seniman yang kemudian menghelat pertunjukan seni bertajuk “Fabriek Fikr” di dalam pabrik ini beberapa waktu sebelum revitalisasi PG Colomadu dimulai pada tahun 2017.
Bekas generator listrik.
Cerobong PG Colomadu.
Berada di sebelah barat emplasemen pabrik, terdapat hamparan semak belukar luas tempat dimana dulu barisan lori-lori yang memuat berbatang-batang tebu menunggu gilirannya untuk ditimbang di depan pabrik. Sebelum digiling, batang-batang tebu yang sudah dihimpun dari berbagai penjuru ladang ditimbang terlebih dulu dengan cara menghitung selisih berat lori penuh dengan berat lori kosong. Pada masa dimana lori-lori kecil membawa berbatang-batang tebu dari berbagai penjuru ladang ke PG Colomadu, kadang ada satu atau dua batang tebu yang jatuh ke tanah dan segera saja menjadi rebutan anak-anak kecil. Industri gula tempo dulu amat berkaitan erat dengan kereta api, mulai dari proses pengumpulan tanaman bergenus Saccharum ini hingga pengiriman gula ke pasaran. Setiap ladang tebu dilengkapi dengan sarana berupa jaringan rel kereta lori atau decauville, sehingga batang-batang tebu yang telah dipanen dapat diangkut oleh kereta lori. Sebelum ada decauville, tebu-tebu itu diangkut dengan pedati. Kereta lori tersebut rutin dirawat di sebuah garasi atau depo lori yang kini sudah hilang. Ketika PG Colomadu tutup, kereta lori itu dibantai di tangan pedagang besi bekas menjadi rongsokan besi kiloan. Sementara kereta lori yang belum laku hanya teronggok begitu saja di dalam depo hingga akhirnya dibawa ke PG Tasikmadu. Dalam pengiriman gula ke pasaran, PG Colomadu memiliki sebuah jalur kereta besar yang tersambung dengan jalur kereta Boyolali-Surakarta milik N.I.S.
Rumah dinas administrateur PG Colomadu pada tahun 1890an. (sumber : media.kitlv.nl).
Rumah dinas administrateur PG Colomadu pada tahun 1930an. (sumber : media.kitlv.nl).
Rumah dinas administrateur PG Colomadu.
Gazebo di depan rumah dinas administrateur PG Colomadu.
Walau kepemilikan PG Colomadu ada di tangan Mangkunegaran, tanggung jawab pengelolaannya diserahkan kepada seorang adiministratur berkebangsaan Eropa. Jabatan tersebut pertama kali dipegang oleh R. Kampf, sosok yang turut andil dalam pendirian PG Colomadu. Para administrateur menempati rumah tinggal yang dekat dengan pabrik gula. Rumah itu disebut sebagai rumah besaran. Selain karena ukurannya terbilang besar, rumah itu juga ditempati administrateur yang merupakan jabatan besar di lingkungan pabrik. Rumah sang administrateur itu terlihat pantas menghadap ke timur, ke arah Surakarta tempat dimana sang pemilik PG Colomadu tinggal. Barangkali rumah itu sengaja dibuat demikian sebagai bentuk penghormatan pada Mangkunegaran. Di depan rumah dinas administrateur, terdapat sebuah gazebo yang dulu menjadi tempat sang administrateur bersantai dan menjamu tamu. Selintas, bangunan itu lebih tampak seperti sebuah rumah seorang pembesar Jawa. Namun ketika melangkah ke beranda depannya, ada sedikit nuansa Eropa dengan keberadaan pilar-pilar klasik di sana. Wim F. Wirtenheim dalam tulisannya bertajuk “Conditions on Sugar Estates in Colonial Java: Comparisons with Deli” menyebutkan para adminsitrateur umumnya menjalani gaya hidup mestizo atau percampuran antara gaya hidup seorang Eropa dengan gaya hidup seorang aristokrat Jawa. Maka dapat dimaklumi jika tempat tinggalnya memiliki gaya campuran antara Eropa dengan Jawa (Wirthenheim, 1993; 273).
Monumen peringatan 75 tahun PG Colomadu.
Setelah mengalami perjalanan panjangnya selama 75 tahun, para pegawai PG Coomadu mencetuskan ide untuk mendirikan tugu peringatan pendirian PG Colomadu. Biaya pembangunan monumen tersebut bersumber dari sumbangan pegawai serta pemerintah desa setempat. Sedianya tugu tersebut akan diresmikan pada 8 Desember 1936 bertepatan dengan hari jadi pabrik gula ke 75. Namun karena Mangkunegara VII saat itu sedang dalam perjalanan di Eropa, maka peresmian tugu tersebut baru dapat dilakukan pada 18 April 1937 yang bertepatan dengan pembukaan musim giling tahun tersebut. Pada monumen tersebut, terdapat prasasti yang menggunakan bahasa Belanda dan Jawa. Sementara di atas pedestal terdapat figur patung setengah badan dari Mangkunegara IV, pendiri PG Colomadu. Desain patung tersebut dirancang oleh pematung Belanda, Van der Noorda dan pengerjaanya dibuat oleh pematung lokal bernama Raden Soemadi. Sementara batunya diambil dari Baturetno, Wonogiri (De Locomotief, 19 Apirl 1937).
Rumah dinas di sepanjang jalan Surakarta-Bandara.
Rumah-rumah dinas pegawai di utara pabrik gula Colomadu.
Di sebelah utara jalan Adi Sucipto yang ramai dengan hilir mudik kendaraa, bejejer rumah-rumah pegawai PG Colomadu dalam beraneka bentuk. Di rumah-rumah itulah tinggal para pegawai Eropa tingkat menengah yang memiliki keahlian tertentu. Mulai dari masinis yang mengurus mesin-mesin uap, zinder yang ahli tanaman tebu, chemicer yang mengatur kualitas gula, dan pegawai administrasi. Ukuran rumah-rumah itu memang lebih kecil ketimbang rumah besaran, tapi bentuknya tampak lebih modern. Rumah-rumah itu diperkirakan dibangun pada tahun 1920an, bersamaan dengan renovasi PG Colomadu pada 1928. Beberapa rumah masih dihuni oleh pemiliknya, namun ada pula yang ditinggal kosong.
Salah satu rumah kuli PG Colomadu dengan gaya atap kampung
Sedikit tersembunyi di sebelah selatan PG Colomadu, terdapat semacam perkampungan kecil yang dahulu dihuni oleh para pegawai pribumi yang kebanyakan bekerja sebagai buruh. Sebelum terjadi wabah pes tahun 1910an, para buruh tidak disediakan tempat tinggal dari pemilik pabrik. Atas himbauan Tillema, maka pemilik pabrik didorong untuk memperhatikan kesejahteraan buruh karena jika buruh mudah sakit, maka hal tersebut berdampak pada produktivitas pabrik. Oleh karena itu dibangunlah permukiman buruh yang lebih bersih. Tatanan jalanan perkampungan itu amat rapi. Setiap rumah di sini bentuknya diseragamkan dalam model rumah kampung. Untuk kebutuhan air bersih, perkampungan ini dilengkapi dengan sumur yang terdapat di pertigaan jalan. Perkampungan ini diletakan terpisah dari kompleks perumahan pegawai Eropa, sehingga boleh jadi ada semacam upaya segregasi atau pemisihan antara pegawai pribumi dengan pegawai Eropa.
Ambatschool Tjolomadoe ketika pertama kali dibuka (sumber : Djocja Solo halaman 33). 
Selain permukiman pegawai, PG Colomadu juga dilengkapi sarana lain seperti sekolah pertukangan, klinik, dan tempat hiburan yang disebut Panti Soeka. Lengkapnya sarana yang tersedia di PG Colomadu selintas mengingatkan saya pada konsep Industrial Village yang digagas oleh Robert Owen, begawan industri asal Skotlandia yang mendirikan pabrik kapas di New Lanark Skotlandia (Burchell, S.C 1984; 78). Robert Owen tak hanya mendirikan pabrik saja, namun juga menyediakan tempat tinggal yang layak dan fasilitas yang dapat menyejahterakan pekerjanya. Apa yang diperbuat oleh Robert Owen tampaknya juga ditiru oleh Mangkunegaran. Sekolah pertukangan atau ambatschool dibuka untuk mendidik anak-anak pribumi menjadi tenaga professional sehingga mereka dapat meningkatkan status sosialnya. Klinik pabrik atau Hospitaal voor Inlandsche Personel  tak hanya diperuntukan untuk tempat berobat pegawai saja, namun juga untuk penduduk sekitar. Karena disubsidi menggunakan keuntungan PG Colomadu, maka pasien tak dipungut biaya. Betapa mulianya !

PG Colomadu sungguhlah sebuah pabrik gula yang istimewa. Ia didirikan oleh raja Jawa yang sadar akan potensi bumi tempatnya berpijak. PG Colomadu bukan pula pabrik yang rakus mencari keuntungan semata, namun juga memperhatikan kesejahteraan pegawainya dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Keberadaan pabrik ini seolah menjadi tamparan bagi kita semua di masa sekarang  yang mensia-siakan potensi sumber daya alam yang kita miliki sehingga akhirnya lari begitu saja ke luar negeri. Begitulah, sayapun perlahan meninggalkan monumen kedigdayaan industri gula yang kini telah redup itu.

Referensi
Burchell, S.C. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta : Tira Pustaka.

Roger, Knight. G. 2014. Sugar, Steam & Steel ; The Industrial Project in Colonial Java 1830-1885. Adelaide : Adelaide University Press.

Sulastri, Sri Budi. 2006. "Pola Tata Ruang Kompleks PG Colomadu". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah. 1999. Pendokumentasian Pabrik Gula Colomadu Karanganyar. Klaten : Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah.

Wirthenheim, Wim F. 1993. "Conditions on Sugar Estates in Colonial Java ; Comparasion with Deli" dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol.24 no.2.

De Locomotief, 19 Apirl 1937

Sabtu, 19 November 2016

Harmoni Timur-Barat di Pasar Gede Surakarta

Di tengah keberadaan pasar modern yang semakin menjamur di kota Surakarta, Pasar Gede yang melegenda masih menunjukan keeksisannya. Bangunan pasar yang dirancang oleh arsitek Thomas Karsten itu seolah berusaha melawan modernisasi di sekitarnya; walau ia sendiri juga merupakan hasil modernisasi pada masanya. Inilah kisah tentang Pasar Gede
Suasana Pasar Gede sekitar tahun 1935 (sumber : Djocja Solo halaman 168).
Sebelum melangkahkan kaki ke dalam pasar, saya dibuat terkesan dengan pelayanan parkir pasar yang terdapat di jalan Jend. Urip Sumoharjo itu. Petugas parkir tak hanya menjaga kendaraan saja, namun juga mengantarkan kendaraan ke tempat parkir yang telah disediakan. Sistem parkir valet merupakan satu dari sekian gebrakan yang dibuat oleh pemerintah kota Surakarta agar masyarakat mau belanja di pasar tradisional. Di era sekarang, keberadaan pasar tradisional perlahan mulai tergusur oleh pasar-pasar modern. Lingkungan pasar tradisional yang kumuh dan semrawut menjadi alasan orang mulai enggan belanja di pasar tradisional. Oleh karena itulah segala daya dan upaya dikeluarkan oleh pemerintah Surakarta untuk menjaga agar pasar tradisional di Surakarta tetap sintas. Mulai dari penataan lingkungan pasar hingga penyediaan jasa layanan parkir valet. Hasilnya pun cukup memuaskan. Tak terlihat lagi pedagang yang tumpah ruah di tepi jalan dan kendaraan pun diparkir tertib di tempatnya. Kemacetan di sekitar Pasar Gede berkurang dan saya sendiri merasa nyaman berjalan menyusuri trotoar Pasar Gede. Upaya mengangkat harkat pasar tradisional sejatinya sudah dilakukan jauh di masa kolonial.
Bangunan Pasar Gede sebelum direnovasi (sumber ; collectie.wereldculturen.nl).
Peta kota Surakarta pada tahun 1821. Terlihat di tengah kawasan permukiman Tionghoa terdapat sebuah tanah lapang yang nantinya menjadi cikal dari Pasar Gede.
Pasar Gede (69) pada peta kota Solo tahun 1946 (sumber : maps.library.leiden.edu).
Menarik mundur ke belakang, Pasar Gede telah ada semenjak pemerintahan Pakubuwono VII. Sebelum menjadi pasar, tempat tersebut masih berupa tanah lapang yang dikelilingi oleh deretan rumah tinggal masyarakat golongan Tionghoa. Mereka tinggal di sana sehubungan adanya larangan bagi orang Tionghoa untuk tinggal di dalam tembok Keraton. Permukiman Tionghoa yang berada di seberang utara Kali Pepe tersebut lalu berkembang menjadi pusat perniagaan karena sebagian besar orang Tionghoa memiliki mata pencaharian sebagai pedagang dan mereka membuka usaha yang masih menyatu dengan rumah tinggal. Lantaran ramai, lahan kosong di tengah permukiman Tionghoa kemudian ditempati oleh pedagang lain dari berbagai penjuru. Lambat laun munculah pasar di sana Di kemudian hari pasar itu dikenal sebagai Pasar Gede (Leushuis. Emile,2014;220). Lahan Pasar Gede awalnya adalah kepunyaan seorang kapitan Tionghoa bernama Be Kwat Koen sebelum berpindah tangan ke pemerintah pada tahun 1924 (De Locomotief, 13 Januari 1930).
Bagian barat Pasar Gede sekitar tahun 1935. Tampak barisan ruko bergaya Tionghoa di sekitar Pasar Gede. Keberadaan pemukiman masayrakat Tionghoa sudah ada sejak Kota Surakarta berdiri (sumber : Djocja Solo halaman 168).
Pasar Gede dipisahkan oleh seruas jalan penghubung antara Surakarta dengan Madiun. Sebagai jalan utama, jalan tersebut begitu ramai dengan hilir mudik orang dan berbagai kendaraan. Jalan tersebut kian padat dan kacau lalu lintasnya karena banyak orang menyeberang jalan untuk menuju ke bagian pasar yang lain. Keruwetan jalan tersebut menjadi alasan pemerintah kolonial menggandeng arsitek Thomas Karsten untuk menata kawasan tersebut. Salah satu upayanya adalah dengan mengganti jembatan lama dengan jembatan baru yang lebih lebar, menambah rambu-rambu dan pos lalu lintas, dan memperlebar jalan yang sudah ada. Pelebaran jalan tersebut rupanya berimbas dengan terpotongnya sebagian pasar sehingga beberapa pedagang kehilangan tempat berjualannya. Oleh sebab itu, Karsten juga diminta untuk merancang bangunan baru Pasar Gede yang dapat menampung pedagang lebih banyak dalam keadaan ruang sekitarnya yang sudah berubah. Dalam belantika arsitektur, Karsten tergolong arsitek dan perencana kota terpandang di masanya. Sebelum Pasar Gede, Karsten telah berkecimpung dalam proyek pendirian bangunan pasar seperti Pasar Johar dan Pasar Pedamaran (Karsten, 1938; 63). Pada bula April 1928, desain Pasar Gede karya Karsten dinilai terlebih dahulu oleh direktur Rijkswerken, Ziilmans dan insinyur penasihat Van der Veen. Kemudian rencana pelaksanaan proyek tersebut sudah dikaji bersama Residen Surakarta Van der Jagt dan bendahara BJF. Steinmetz. Proposal pembangunan pasar akhirnya disetujui oleh pemerintah. Selain Karsten, tokoh lain yang berperan dalam pendirian Pasar Gede adalah raja Surakarta, Pakubuwono X, yang tergolong raja berkekayaan melimpah namun peduli dengan pembangunan kotanya. Salah satu bentuk kepeduliannya ialah dengan memberikan sumbangan uang berjumlah besar untuk pendirian pasar baru tersebut (Purwadi, 2009; 195).
Rombonngan Pakubuwono X dan Residen Surakarta sedang berjalan ke tempat peresmian bangunan baru Pasar Gede. Di belakang tampak bangunan pasar gede sisi barat yang belum selesai dibangun (sumber : media-kitlv.nl).
P. R.W van Geseller Verschuir ( tengah, memegang topi), dan Pakubuwono X (di bawah payung dengan selempang di depan dada) ketika hendak memotong pita tanda diresmikannya bangunan baru Pasar Gede (sumber : media-kitlv.nl).
Pengerjaan Pasar Gede dimulai sejak bulan Januari 1929. Beton sejumlah 500 m3 untuk pondasi pasar dipasok dan dibuat oleh Hollandsche Betonmaatschappij. Sementara rangka besi bangunan dengan total berat mencapai 305 ton dibuat oleh pabrik baja Braat dari Surabaya. Penyelesaian bangunan sempat tertunda 1 bulan dari rencana semula karena adanya kendala dalam pasokan beton. Sembari pasar sedang dibangun, pedagang Pasar Gede dipindahkan ke pasar penampungan sehingga mereka masih dapat berjualan. Tanggal peresmian dipilihkan pada 13 Januari 1930 yang dipercaya sebagai "hari baik" menurut perhitungan Jawa. Hari peresmian yang ditunggupun tiba. Dengan gempita upacara yang dihadiri oleh Pakubuwono X dan para pembesar di Surakarta, pasar itupun diresmikan meskipun bangunan pasar belum sepenuhnya tuntas. Nama lengkap pasar yang semula Pasar Gede Oprokan, diganti menjadi Pasar Gede Hardjonagoro. Seperti nama yang melekat padanya; “Pasar Gede“  yang berarti “Pasar Besar“ (De Locomotief, 13 Januari 1930)
Tampak depan Pasar Gede.
Siapapun yang akan masuk ke dalam pasar akan disambut dengan pintu masuk pasar yang megah dan tampak mencolok dengan atap berbentuk Joglo nya. Wajah bangunan tersebut tidak hanya membuat bangunan pasar tampak monumental namun juga menjadi penghias kota Surakarta. Bentuknya sendiri sejatinya adalah wujud pandangan seorang Karsten yang menaruh perhatian begitu besar pada budaya Jawa, khususnya arsitektur. Walau ia memiliki latar keilmuan arsitektur barat, namun ia begitu menghormati budaya Jawa. Karsten berpandangan bahwa sudah saatnya arsitektur kolonial di Hindia Belanda mengacu pada budaya yang telah lama hidup di masyarakat dan dilahirkan kembali dalam bentuk baru tanpa menghilangkan unsur lama. Pandangannya ia tuangkan dengan memadukan unsur tradisional dan modern pada beberapa rancangannya termasuk di antaranya Pasar Gede. Unsur tradisional terlihat pada penggunaan atap berbentuk Joglo dan ditutup dengan sirap. Sementara unsur modern dapat dilihat pada penggunaan material-material modern seperti besi dan beton serta jendela-jendela kaca pada ruang kantor pengelola pasar. Kedua unsur tadi menghasilkan sebuah harmoni antara arsitektur timur dengan barat yang serasi.
Keramaian pedagang dan pembeli di Pasar Gede. Dahulu, pasar di kota Surakarta yang setiap hari ramai hanyalah Pasar Gede saja. Sementara pasar-pasar lain hanya ramai pada hari pasaran tertentu saja.
Tanpa panjang lebar, sayapun beranjak masuk ke dalam pasar dan kehadiran saya langsung disambut oleh Hiruk pikuk keramaian pasar. Para pedagang tampak sibuk menjaga dan menawarkan daganganya. Pasar ini bukanlah sekedar bangunan kuno belaka, Ia menjadi tempat ratusan orang mengais rezeki untuk menyambung hidup. Pasar dalam kebudayaan Jawa tak hanya sebagai tempat mempertemukan pedagang dengan pembeli. Ia juga merupakan bagian dari kosmologi Jawa yang secara tata ruang memisahkan dunia profan dan suci. Itulah mengapa keraton sebagai lambang dunia suci diletakan terpisah dari pasar sebagai lambang dunia profan (Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, 2014;38). 
Gambar irisan konstruksi Pasar Gede oleh Thomas Karsten (sumber : Locale Techniek Maret 1938, halaman 65).
Los pedagang daging di tingkat atas pasar.
Bagian lantai dua pasar.
Saat dibangun, Pasar Gede sesuai namanya adalah pasar terbesar di Surakarta. Ia juga menjadi pasar bertingkat pertama di Indonesia. Bangunan dibuat bertingkat karena rancangan demikian dapat menampung pedagang lebih banyak dengan lahan yang terbatas. Akses menuju tingkat atas pasar dapat diakses melalui tangga yang ada di kanan kiri pintu masuk. Untuk menambah ruang, maka bagian atas pasar dibuat menjorok keluar di atas trotoar sehingga dari luar tampak seperti sebuah balkon. Konstruksi tersebut ditahan oleh balok beton yang mampu menahan beban berat. Bagian tingkat atas pasar ditempati oleh pedagang daging dan ikan. Para pedagang daging disediakan tempat menggantung daging yang menggunakan material anti karat. Sementara pedagang ikan disediakan bak untuk wadah ikan hidup. Lantainya dahulu terbuat dari beton yang sengaja dibuat kasar sehingga orang tidak tergelincir saat berjalan di atasnya namun saat ini sudah dikeramik. 
Panggung tempat para pedagang berjualan.
Beragam aroma tercium oleh indra penciuman saya, dari harumnya aneka bumbu dapur di lantai satu hingga bau amis daging yang menyeruak dari los daging di lantai dua. Aneka barang dijual di pasar ini, mulai dari buah-buahan, sayuran, alat rumah tangga, dan sandang. Pasar ini juga menyuguhkan ragam kuliner yang barangkali sudah sulit dicari di tempat lain semisal Es Dawet Selasih. Para pedagang dahulu berjualan di atas panggung-panggung beton yang sudah ada sedari pasar ini berdiri. Karsten, arsitek perancang pasar ini tampaknya menyadari kebiasaan para pedagang dan pembeli di pasar-pasar tradisional di Jawa. Para pedagang biasanya menunggu para pembeli secara lesehan dan kebiasaan tersebut kadang menyulitkan pembeli karena mereka harus membungkuk badan dahulu jika bertransaksi. Karsten lantas membuatkan panggung setinggi 75 cm, kira-kira setinggi pinggang orang dewasa untuk tempat pedagang berjual. Dengan hal ini, maka pedagang masih bisa melanjutkan kebiasaan berjualan secara lesehan, namun pembeli tidak perlu repot membungkuk lagi. Sebuah pemecahan yang cerdas dari Karsten.
Bukaan ventilasi pada bagian atap pasar.
Saya begitu larut dengan suasana pasar yang tak begitu pengap walau cukup banyak pedagang dan pembeli yang berjejal di dalamnya. Pencahayaan pasar inipun terasa cukup. Itu semua karena pasar ini memiliki sistem penghawaan dan pencahayaan yang dirancang secara cemerlang oleh Karsten. Atap yang dibuat terbuka tak hanya berfungsi untuk memperlancar udara, namun juga sebagai sumber cahaya alami. Dengan demikian, energi yang dibutuhkan pasar ini jauh lebih sedikit. Berbeda jauh dengan pasar modern zaman sekarang yang serba tertutup, mengandalkan AC sebagai sumber penghawaan yang tentunya menghabiskan banyak energi. Selain memiliki penghawaan dan pencahayaan yang bagus, Pasar Gede dahulu juga pernah dilengkapi dengan saluran air yang diperoleh dari sumur artesis di seberang pasar. Air dari sumur dipompa dengan mesin listrik dan disalurkan lewat keran. Air digunakan untuk menyiram jalanan sekitar pasar yang berdebu saat musim kemarau dan juga berfungsi sebagai hidran pemadam. Di kanan-kiri pintu masuk, pernah terdapat 4 keran air yang dirancang khusus untuk membilas kaki orang yang lewat mengingat saat itu masih sedikit orang yang memakai alas kaki.
Pasar Gede setelah dibumihanguskan oleh TNI pada akhir tahun 1948. Atap joglo di bagian pintu masuk pasar terlalap habis oleh si jago merah sementara  bagian lain tinggal menyisakan rangkanya saja (sumber : nationaalarchief.nl).
Sebagaimana pasar-pasar besar di Indonesia, pasar inipun tak luput dari bencana kebakaran. Sudah dua kali pasar itu tak berdaya ketika si jago merah melalap dirinya, menghilangkan sebagian besar konstruksi aslinya. Kali pertama pasar itu terbakar ialah saat kota Surakarta dibumihanguskan pada Agresi Militer. Kala itu, kota Surakarta diduduki oleh dua divisi TNI, yakni Divisi 2 di bawah komando Kolonel Gatot Subroto dan Divisi Siliwangi dibawah Letkol. Daan Yahya. Sebelum mereka pergi pada akhir tahun 1948, berbagai bangunan penting di Surakarta mereka bakar Antara lain kediaman Residen Surakarta, hotel, teater, Stasiun Balapan, Stasiun Jebres dan termasuk di sini adalah Pasar Gede (M.P. Bruggen, 1998; 83). Kemudian kali kedua Pasar Gede terbakar yakni pada tahun 2000. Untuk yang terakhir, sumber api yang menghanguskan pasar itu berasal dari arus pendek listrik, pemicu kebakaran yang acap terjadi pada pasar di Indonesia.
Kios-kios di luar Pasar Gede. Kios-kios di sini harga jual atau sewanya lebih mahal daripada yang ada di dalam pasar.
Dari dalam pasar, saya beranjak keluar pasar. Bagian luar pasar terdiri dari dereta kios-kios yang harga sewanya lebih tinggi dibanding los di dalam pasar. Masing-masing kios diberi partisi beton sehingga bila terjadi kebakaran pada salah satu kios maka api tidak merembet ke kios di sebelahnya. Di sekitaran pasar, saya menjumpai ruko-ruko berlanggam Tionghoa. Di antara ruko-ruko itu, terdapat sebuah kelenteng tua. Sedikit melangkah mundur ke tahun 1998, walaupun pasar itu terhindar kebakaran, namun Pasar Gede menjadi saksi bisu kerusuhan massa berbalut SARA yang pernah melanda Surakarta. Puing dan sampah sisa kerusuhan menumpuk selama beberapa hari di seputaran Pasar Gede.
Pasar Gede bagian barat (sumber ; media-kitlv.nl).
Pasar Gede bagian barat.
Profil di bagian pintu masuk.
Di seberang barat pasar, ada bangunan lain yang juga masih menjadi bagian dari Pasar Gede. Bentuknya hampir mirip, walau ukurannya lebih kecil. Bagian depan bangunan ini dulunya dimaksudkan untuk jaringan toko besar dari Surabaya bernama "De Louvre". Toko tersebut memiliki kontrak selama 5 tahun dengan harga sewa perbulannya sebesar 500 gulden. Sesudah kontrak habis, toko ditempati oleh toko perhiasan milik Be Thian Kiem. Melangkah ke dalam bangunan yang saat ini menjadi tempat penampungan pedagang buah itu, saya tak menjumpai banyak keramaian di sini. Beberapa kios tampak tutup, entah hari itu si pedagang tidak berjualan atau belum ada yang menempati. Sayapun naik ke bagian lantai dua pasar, yang mana terdapat sebuah ruang luas yang kadang digunakan untuk pentas seni.
Bagian beranda lantai dua.
Sebelum saya beranjak pulang, saya beringsut ke bagian balkon, memandang sekali lagi Pasar Gede yang masih terlihat ramai. Ya, Pasar Gede tak hanya sebuah bangunan kuno berupa pasar saja. Di bawah atapnya, ratusan orang dari pedagang, kuli, hingga juru parkir menggantungkan hidup di pasar ini sekaligus menghidup pasar ini. Dari nafasnya, saya dapat merasakan dinamika Kota Surakarta, mulai dari masa ia dilahirkan oleh Pakubuwono II, masa keemasan ketika dipimpin oleh Pakubuwono X, hingga gejolak sosial paska kemerdekaan. Bentuknya yang merupakan hasil perpaduan arsitektur Jawa dengan modern tampak harmonis dan sekaligus menyiratkan betapa luwesnya kebudayaan Jawa…

Referensi
Karsten, Thomas. 1938. " Iets Over De Centralle Pasar " dalam Locale Techniek edisi 7 no 2 tahun 1938.

Leushuis, Emile. 2014. Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta : Ombak.

Purwadi, dkk, 2009. Sri Susuhunan Pakubuwono X ; Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya Untuk Nusa Bangsa. Jakarta : Bangun Bangsa.


Tim Penyusun. 2014. Yang Tersisa Dari Kolonial. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

van Bruggen, M.P dan Wassing, R.P. 1998. Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden. Asmterdam : Asia Maior.

De Locomotief, 6 Januari 1930.

De Locomotief, 13 Januari 1930.