Minggu, 27 September 2015

Dera Pusara Renta di Kerkhof Purworejo

Pusara-pursara renta di Kerkhof Purworejo itu berdiri membisu di bawah naungan pohon kamboja. Mereka seolah tak berdaya ketika aksi penjarahan menderanya puluhan tahun silam. Bagaimana nasib mereka sekarang ?
Suasana jalan masuk ke arah Kerkhof sekitar tahun 1910an. Pohon-pohon besar di sepanjang jalan masuk menjadikan suasana terasa rindang. Sayangnya pohon-pohon ini sudah tidak ada lagi. Di ujung jalan,terlihat gerbang masuk Kerkhof yang bentuknya tidak berubah sampai saat ini (Sumber : media-kitlv.nl).
Keberadaan kerkhof yang ada di Kelurahan Sindurjan, Kecamatan Purworejo itu sudah memantik perhatian saya semenjak kecil. Jujur saja, saya memang lahir dan tumbuh di Purworejo, tapi selama lebih dari 19 tahun, saya tak pernah sekalipun menginjakan kaki ke sana. Hingga akhirnya di suatu hari, tibalah saatnya bagi saya untuk menyambanginya. “Jalan Kerkhof“, itulah tulisan yang tertera pada papan nama jalan yang menjurus ke kerkhof. Nama itu rupanya bukanlah nama baru. Nama ini sudah dikenal semenjak tempat tersebut menjadi tempadi dikebumikannya orang-orang Belanda di Purworejo. Dahulu, di tepian jalan ini berdiri barisan pohon perindang yang siap memberi tempat teduh kepada siapapun yang ada di bawahnya. Namun ke manakah pohon-pohon ini sekarang ?

Lokasi Kerkhof Purworejo pada peta tahun 1879. Kerkhof biasanya ditandai dengan simbol salib pada peta. (Sumber : maps.library.leiden.edu).
Sayapun kini berdiri termangu di hadapan gerbang kerkhof. Lapisan cat yang masih terlihat cerah menandakan ia belum lama diperbaiki. Sayangnya, keindahan gerbang ini sedikit tercoreng dengan kesalahaan ejaan “Makam Kerkhope”. Ia sengaja dibangun sedemikian megah, sebagai simbol menyambut kematian. Bagi sebagian orang, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya kematian adalah permulaan atau pintu gerbang menuju kehidupan kekal. Kematian merupakan hal yang mutlak karena kematian pasti akan menimpa setiap manusia dan tidak ada satupun yang bisa menghindarinya. Kemajuan di bidang ilmu kedokteran hanya mampu memperpanjang umur manusia dan tidak mampu menghentikan kematian. Pada suatu hari nanti, setiap manusia tanpa memandang kekayaan atau status sosial pasti akan bergabung bersama para penghuni di balik gerbang "Makam Kekrhope" itu meski di tempat dan waktu yang berbeda. Begitu dekatnya kematian dengan kehidupan namun seringkali kita lalai dengannya. Oleh karena itulah diharapkan setiap insan selalu mengingat kematian seperti sepenggal petuah berbahasa Latin yang termaktub di atas gerbang, “MEMENTO MORI”, “Ingatlah Kematian“. Saya resapi petuah itu, sambil berjalan perlahan memasuki makam, memberi salam kepada jiwa-jiwa yang terbaring abadi di sini.
Gerbang ini baru saja dipugar. Bentuk lama masih terjaga sekalipun warnanya kini terlihat mencolok.
Keadaan makam-makam di kerkhof Purworejo saat ini yang sebagian besar dalam keadaan rusak.
Sungguh nestapa hati ini melihat kondisi makam-makam belanda di kerkhof ini. Mereka seakan terbuang dari ingatan dan terpinggirkan di suatu sudut kota. Nasib malang yang mendera mereka bukannya tanpa alasan. Keluarga mereka telah lama kembali ke negeri Belanda, meninggalkan mereka sendirian di sini. Tiada waktu dan biaya dari pihak keluarga untuk sekedar menengok pusara sanak saudara mereka. Hal itu akhirnya memberi kesempatan bagi para penyamun makam untuk mengambil segala yang ditinggalkan dari makam-makam ini. Pernak-pernik berharga seperti patung-patung malaikat dari perunggu atau prasasti yang terbuat dari marmer Italia berkilau dijarah oleh para penyamun makam tak bertanggung jawab. Kejadian itu marak terjadi di tahun 1980-an hingga 2000-an, ketika sudah tiada lagi benda berharga yang dapat dijarah. Patut disayangkan karena prasasti di kerkhof merupakan salah satu data sejarah yang penting untuk menelusuri silsilah keluarga Eropa di Indonesia dan jika ditelaah lebih jauh dapat mengungkap sisik melik kehidupan masa kolonial. Setidaknya, inilah alasan prasasti kerkhof perlu untuk dilestarikan dan kehilangannya akan berakhir menjadi rasa penyesalan di masa depan. Untungnya jauh hari sebelum kerkhof Purworejo mengalami penjarahan, Bloys van Treslong Prins sudah mencatat 267 makam orang Eropa di kerkhof Purworejo ke dalam jurnalnya yang bertajuk Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europanen op Java meskipun tidak disertai kedudukan makam yang jelas.
Makam ini merupakan makam dari seorang Jerman bernama Wilhelm Graf von Taubenheim. Prasastinya masih utuh namun tampaknya prasasti ini nyaris terjarah. Ia terselamatkan oleh berat prasasti itu sendiri.
Makam Lena de Ruiter (nama lahir Klink), salah seorang keturunan orang Afrika.
Beruntunglah, tidak semua makam habis terjarah. Satu dari sekian sedikit makam yang selamat itu ialah makam milik Wilhelm Graf von Taubenheim. Dari namanya, ia jelas bukan orang Belanda. Ia adalah orang Jerman yang berasal dari kota Stutgabt, nama lama dari kota Stuttgart. Ayahnya merupakan seorang graf atau bangsawan yang mengabdi sebagai kepala istal atau kandang kuda istana kerajaan Wurttemberg. Beberapa puluh tahun sebelumnya, VOC sempat mengontrak sejumlah serdadu dari kerajaan Wurtemberg, Jerman dan kemudian disatukan dalam resimen yang dikenal sebagai Resimen Wurttemberg. Meskipun Resimen Wurttemberg sudah dibubarkan pada tahun 1808, namun dinas militer Belanda masih membuka pintu untuk orang-orang Wurttemberg yang ingin bergabung. Susunan militer Belanda pada masa kolonial memang tidak murni terdiri seratus persen orang Belanda. Untuk mengisi kekurangan jumlah serdadu, militer Belanda merekrut orang-orang dari negara lain atau suku-suku pribumi seperti Bugis dan Ambon. Militer Belanda bahkan pernah mendatangkan sejumlah orang kulit hitam dari Afrika untuk di Purworejo sebagai serdadu. Serdadu kulit hitam tersebut lalu menetap di Purworejo, melakukan perkawinan campur dengan perempuan lokal dan akhirnya beranak-pinak. Sejumlah serdadu Afrika dan keturunannya dimakamkan di Kerkhof Purworejo. Barangkali di kerkhof inilah jenasah orang kulit putih dan orang kulit hitam akhirnya berbaur dalam satu tempat pada masa pemisahan berdasarkan warna kulit masih menjadi hal yang lazim.
Makam ini dulunya adalah yang paling megah di kompleks Kerkhof Purworejo. Tapi kini ia menjadi sebuah monumen dengan kondisi menyedihkan.
Makam yang tampak seperti sebuah peluru.

Sekilas, makam ini tampak seperti bangunan rumah-rumahan atau kapel. Dahulu pernah ada sebuah patung di ceruk itu, tapi tak diketahui rimbanya patung itu sekarang.

Makam yang tampak menyerupai sebuah jam. Lingkaran di tengah itu merupakan tempat untuk meletakan karangan bunga . Sementara itu, persegi kecil di bawah merupakan tempat prasasti.
Pilar patah merupakan lambang dari kehidupan yang tidak tuntas. Biasanya makam model seperti ini merupakan makam dari seorang anak-anak atau bayi.
Dari penelitan yang dilakukan oleh Muhammad Chawari (2003), ada dua jenis bentuk makam di kerkhof ini, yakni bentuk rebah sejumlah 142 buah, bentuk tugu ada 79 buah, dan mausoleum berjumlah 4 buah. "Ukuran dan bentuk yang bervariasi dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki oleh si meninggal. Semakin mampu dia, semakin besar pula makamnya", jelasnya. Satu bentuk yang mencuri perhatian adalah dua makam yang teronggok di sudut utara pemakaman. Menurut keterangan Prins, dua makam tersebut adalah makam dari keluarga Janssen. Bentuknya menyerupai sebuah kuil dari peradaban Yunani Kuno. Pada masa makam itu dibuat, orang-orang sedang menaruh minat dan kekaguman yang tinggi terhadap segala hal yang berbau peradaban Yunani Kuno. Bentuk-bentuk makam yang bernuasa Eropa tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menghadirkan suasana tanah air mereka di Eropa kepada mereka yang beristirahat di tanah seberang lautan itu. 
Salah satu makam keluarga Janssen yang bergaya Neo-klasik.
Di kerkhof Purworejo, banyak saya jumpai makam-makam yang bentuknya seperti peti mati, menjadikan kerkhof itu seperti etalase toko peti mati. Di atas “peti mati” tadi, lazimnya terdapat prasasti. Karena ia menghadap ke atas, maka prasasti ini rentan aus akibat tergerus cuaca. Oleh sebab itulah para pembuat makam mendirikan semacam cungkup di atas pusara untuk melindungi makam dari terpaan cuaca. Apakah ide mereka ini berasal dari cara orang Jawa memperlakukan makam, yakni dengan mendirikan cungkup di atas makam ? Entahlah, biar peneliti saja yang menjawabnya. Sayangnya, saya lihat banyak cungkup-cungkup ini yang ternyata tidak bisa melindungi dirinya sendiri.
Makam-makam bercungkup yang mulai lapuk.
Makam seorang bayi bernama Anna Duren. Saat itu angka kematian anak di Hindia-Belanda relatif tinggi karena anak-anak orang Belanda tidak memiliki daya tahan terhadap penyakit tropis.
Dengan berlatar kota militer, tidak heran di kerkhof Purworejo menjadi tempat dikebumikannya para perwira militer Belanda seperti Kapten Infanteri Tellings.
Menurut Guillot yang pernah mengunjungi kerkhof Purworejo pada tahun 1980an, dimana saat itu keadannya lebih lumayan utuh dibanding sekarang, mengamati kerkhof ini akan memperoleh sekilas gambaran kehidupan masyarakat Eropa di Purworejo pada masa kolonial. Setidaknya ada dua golongan masyarakat Eropa di Purworejo, yakni golongan pegawai pemerintah yang lebih berkuasa dan pengusaha swasta yang lebih banyak uangnya. Bila mereka memiliki kedudukan baik, mereka memiliki hak dan uang untuk membawa keluarga mereka dari Eropa tinggal di sini. Sementara pegawai yang golongan jabatannya masih rendah, mereka umumnya berstatus sebagai bujang sehingga mereka menjadikan perempuan lokal sebagai gundik dan anaknya akan ditinggal pergi sang bapak yang kembali ke negeri asalnya. Sebagian orang Eropa yang datang ke sini memang ada yang sifatnya sebagai perantau sementara. Artinya jika pekerjaan sudah selesai mereka akan kembali ke Eropa. Namun ada juga yang memilih untuk menghabiskan hari tuanya hingga akhir hayatnya di Purworejo.
Makam dari lempengan batu andesit milik Maria Petronella Wilhelmina Hendricks.
 
Ada dua jenis bahan yang digunakan untuk prasasti pada makam-makam di kerkhof Purworejo, yakni batu andesit (atas) dan batu marmer (bawah).
Dari catatan Bloys van Treslong Prins, makam tertua yang ada di Kerkhof Purworejo adalah makam dari Johan David Claasz yang meninggal pada 24 Mei 1839 (Prins, 1939; 330). Dari sini dapat diasumsikan bahwa Kerkhof Purworejo telah ada sembilan tahun sesudah Belanda menjadikan Purworejo sebagai ibukota Karesidenan Bagelen. Sebagai pusat pemerintahan daerah dan garnisun, sejumlah orang Belanda menetap di Purworejo, entah sebagai pegawai negeri, tentara, pedagang, atau pemuka agama. Sebagian ada yang tinggal sementara waktu dan ada juga yang menetap di sini hingga akhir hayat. Jenasah orang Eropa yang meninggal di Purworejo kemudian dimakamkan di permakaman yang sudah disediakan oleh pemerintah kolonial yang ada di Sindurjan. Pemilihan Sindurjan sebagai tempat permakaman orang Eropa tentu sudah direncanakan dengan baik. Orang-orang tidak begitu senang ada pemakaman yang berdekatan dengan tempat mereka bermukim sehingga lokasi permakaman dipilih di Sindurjan yang saat itu jauh dari permukiman orang Eropa. Selain itu, kondisi tanah di tempat tersebut juga dianggap ideal untuk permakaman karena berada di tempat yang datar, resapan airnya baik, dan mudah digali.
Sebuah makam yang baru saja diziarahi oleh keluarganya.
Seperti itulah kisah dari kerhof Purworejo dengan makam-makamnya yang dahulu berdiri begitu megahnya, kini mulai termakan waktu. Setidaknya, sepenggal jejak sejarah ini belum dihilangkan oleh kotanya sendiri sehingga patut sedikit disyukuri karena jejak-jejak sejarah serupa sudah sulit dijumpai di kota-kota lain. 
Referensi
Chawari, Muhammad. 2003. "Bentuk Makam-Makam Belanda di Cilacap dan Purworejo" dalam Berkala Arkeologi Th.XXIII (1).
Poldervaart, A. 1933. " De Nieuwe Europeesche Begrafplaats te Bandoeng " dalam Locale Techniek no.4 bulan Oktober 1933.
Prins, P.C Bloys van Treslong. 1939. Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigen ; Betreffende Europanen op Java Deel IV. Batavia : Koninklijke Drukkerij de Unie.
Tantomi, Ade Faizel. 2013. "Bentuk-Bentuk Nisan Belanda di Kerkhof Purworejo". Skripsi . Yogyakarta : Fakultaas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.