Sabtu, 19 November 2016

Harmoni Timur-Barat di Pasar Gede Surakarta

Di tengah keberadaan pasar modern yang semakin menjamur di kota Surakarta, Pasar Gede yang melegenda masih menunjukan keeksisannya. Bangunan pasar yang dirancang oleh arsitek Thomas Karsten itu seolah berusaha melawan modernisasi di sekitarnya; walau ia sendiri juga merupakan hasil modernisasi pada masanya. Inilah kisah tentang Pasar Gede
Suasana Pasar Gede sekitar tahun 1935 (sumber : Djocja Solo halaman 168).
Sebelum melangkahkan kaki ke dalam pasar, saya dibuat terkesan dengan pelayanan parkir pasar yang terdapat di jalan Jend. Urip Sumoharjo itu. Petugas parkir tak hanya menjaga kendaraan saja, namun juga mengantarkan kendaraan ke tempat parkir yang telah disediakan. Sistem parkir valet merupakan satu dari sekian gebrakan yang dibuat oleh pemerintah kota Surakarta agar masyarakat mau belanja di pasar tradisional. Di era sekarang, keberadaan pasar tradisional perlahan mulai tergusur oleh pasar-pasar modern. Lingkungan pasar tradisional yang kumuh dan semrawut menjadi alasan orang mulai enggan belanja di pasar tradisional. Oleh karena itulah segala daya dan upaya dikeluarkan oleh pemerintah Surakarta untuk menjaga agar pasar tradisional di Surakarta tetap sintas. Mulai dari penataan lingkungan pasar hingga penyediaan jasa layanan parkir valet. Hasilnya pun cukup memuaskan. Tak terlihat lagi pedagang yang tumpah ruah di tepi jalan dan kendaraan pun diparkir tertib di tempatnya. Kemacetan di sekitar Pasar Gede berkurang dan saya sendiri merasa nyaman berjalan menyusuri trotoar Pasar Gede. Upaya mengangkat harkat pasar tradisional sejatinya sudah dilakukan jauh di masa kolonial.
Bangunan Pasar Gede sebelum direnovasi (sumber ; collectie.wereldculturen.nl).
Peta kota Surakarta pada tahun 1821. Terlihat di tengah kawasan permukiman Tionghoa terdapat sebuah tanah lapang yang nantinya menjadi cikal dari Pasar Gede.
Pasar Gede (69) pada peta kota Solo tahun 1946 (sumber : maps.library.leiden.edu).
Menarik mundur ke belakang, Pasar Gede telah ada semenjak pemerintahan Pakubuwono VII. Sebelum menjadi pasar, tempat tersebut masih berupa tanah lapang yang dikelilingi oleh deretan rumah tinggal masyarakat golongan Tionghoa. Mereka tinggal di sana sehubungan adanya larangan bagi orang Tionghoa untuk tinggal di dalam tembok Keraton. Permukiman Tionghoa yang berada di seberang utara Kali Pepe tersebut lalu berkembang menjadi pusat perniagaan karena sebagian besar orang Tionghoa memiliki mata pencaharian sebagai pedagang dan mereka membuka usaha yang masih menyatu dengan rumah tinggal. Lantaran ramai, lahan kosong di tengah permukiman Tionghoa kemudian ditempati oleh pedagang lain dari berbagai penjuru. Lambat laun munculah pasar di sana Di kemudian hari pasar itu dikenal sebagai Pasar Gede (Leushuis. Emile,2014;220). Lahan Pasar Gede awalnya adalah kepunyaan seorang kapitan Tionghoa bernama Be Kwat Koen sebelum berpindah tangan ke pemerintah pada tahun 1924 (De Locomotief, 13 Januari 1930).
Bagian barat Pasar Gede sekitar tahun 1935. Tampak barisan ruko bergaya Tionghoa di sekitar Pasar Gede. Keberadaan pemukiman masayrakat Tionghoa sudah ada sejak Kota Surakarta berdiri (sumber : Djocja Solo halaman 168).
Pasar Gede dipisahkan oleh seruas jalan penghubung antara Surakarta dengan Madiun. Sebagai jalan utama, jalan tersebut begitu ramai dengan hilir mudik orang dan berbagai kendaraan. Jalan tersebut kian padat dan kacau lalu lintasnya karena banyak orang menyeberang jalan untuk menuju ke bagian pasar yang lain. Keruwetan jalan tersebut menjadi alasan pemerintah kolonial menggandeng arsitek Thomas Karsten untuk menata kawasan tersebut. Salah satu upayanya adalah dengan mengganti jembatan lama dengan jembatan baru yang lebih lebar, menambah rambu-rambu dan pos lalu lintas, dan memperlebar jalan yang sudah ada. Pelebaran jalan tersebut rupanya berimbas dengan terpotongnya sebagian pasar sehingga beberapa pedagang kehilangan tempat berjualannya. Oleh sebab itu, Karsten juga diminta untuk merancang bangunan baru Pasar Gede yang dapat menampung pedagang lebih banyak dalam keadaan ruang sekitarnya yang sudah berubah. Dalam belantika arsitektur, Karsten tergolong arsitek dan perencana kota terpandang di masanya. Sebelum Pasar Gede, Karsten telah berkecimpung dalam proyek pendirian bangunan pasar seperti Pasar Johar dan Pasar Pedamaran (Karsten, 1938; 63). Pada bula April 1928, desain Pasar Gede karya Karsten dinilai terlebih dahulu oleh direktur Rijkswerken, Ziilmans dan insinyur penasihat Van der Veen. Kemudian rencana pelaksanaan proyek tersebut sudah dikaji bersama Residen Surakarta Van der Jagt dan bendahara BJF. Steinmetz. Proposal pembangunan pasar akhirnya disetujui oleh pemerintah. Selain Karsten, tokoh lain yang berperan dalam pendirian Pasar Gede adalah raja Surakarta, Pakubuwono X, yang tergolong raja berkekayaan melimpah namun peduli dengan pembangunan kotanya. Salah satu bentuk kepeduliannya ialah dengan memberikan sumbangan uang berjumlah besar untuk pendirian pasar baru tersebut (Purwadi, 2009; 195).
Rombonngan Pakubuwono X dan Residen Surakarta sedang berjalan ke tempat peresmian bangunan baru Pasar Gede. Di belakang tampak bangunan pasar gede sisi barat yang belum selesai dibangun (sumber : media-kitlv.nl).
P. R.W van Geseller Verschuir ( tengah, memegang topi), dan Pakubuwono X (di bawah payung dengan selempang di depan dada) ketika hendak memotong pita tanda diresmikannya bangunan baru Pasar Gede (sumber : media-kitlv.nl).
Pengerjaan Pasar Gede dimulai sejak bulan Januari 1929. Beton sejumlah 500 m3 untuk pondasi pasar dipasok dan dibuat oleh Hollandsche Betonmaatschappij. Sementara rangka besi bangunan dengan total berat mencapai 305 ton dibuat oleh pabrik baja Braat dari Surabaya. Penyelesaian bangunan sempat tertunda 1 bulan dari rencana semula karena adanya kendala dalam pasokan beton. Sembari pasar sedang dibangun, pedagang Pasar Gede dipindahkan ke pasar penampungan sehingga mereka masih dapat berjualan. Tanggal peresmian dipilihkan pada 13 Januari 1930 yang dipercaya sebagai "hari baik" menurut perhitungan Jawa. Hari peresmian yang ditunggupun tiba. Dengan gempita upacara yang dihadiri oleh Pakubuwono X dan para pembesar di Surakarta, pasar itupun diresmikan meskipun bangunan pasar belum sepenuhnya tuntas. Nama lengkap pasar yang semula Pasar Gede Oprokan, diganti menjadi Pasar Gede Hardjonagoro. Seperti nama yang melekat padanya; “Pasar Gede“  yang berarti “Pasar Besar“ (De Locomotief, 13 Januari 1930)
Tampak depan Pasar Gede.
Siapapun yang akan masuk ke dalam pasar akan disambut dengan pintu masuk pasar yang megah dan tampak mencolok dengan atap berbentuk Joglo nya. Wajah bangunan tersebut tidak hanya membuat bangunan pasar tampak monumental namun juga menjadi penghias kota Surakarta. Bentuknya sendiri sejatinya adalah wujud pandangan seorang Karsten yang menaruh perhatian begitu besar pada budaya Jawa, khususnya arsitektur. Walau ia memiliki latar keilmuan arsitektur barat, namun ia begitu menghormati budaya Jawa. Karsten berpandangan bahwa sudah saatnya arsitektur kolonial di Hindia Belanda mengacu pada budaya yang telah lama hidup di masyarakat dan dilahirkan kembali dalam bentuk baru tanpa menghilangkan unsur lama. Pandangannya ia tuangkan dengan memadukan unsur tradisional dan modern pada beberapa rancangannya termasuk di antaranya Pasar Gede. Unsur tradisional terlihat pada penggunaan atap berbentuk Joglo dan ditutup dengan sirap. Sementara unsur modern dapat dilihat pada penggunaan material-material modern seperti besi dan beton serta jendela-jendela kaca pada ruang kantor pengelola pasar. Kedua unsur tadi menghasilkan sebuah harmoni antara arsitektur timur dengan barat yang serasi.
Keramaian pedagang dan pembeli di Pasar Gede. Dahulu, pasar di kota Surakarta yang setiap hari ramai hanyalah Pasar Gede saja. Sementara pasar-pasar lain hanya ramai pada hari pasaran tertentu saja.
Tanpa panjang lebar, sayapun beranjak masuk ke dalam pasar dan kehadiran saya langsung disambut oleh Hiruk pikuk keramaian pasar. Para pedagang tampak sibuk menjaga dan menawarkan daganganya. Pasar ini bukanlah sekedar bangunan kuno belaka, Ia menjadi tempat ratusan orang mengais rezeki untuk menyambung hidup. Pasar dalam kebudayaan Jawa tak hanya sebagai tempat mempertemukan pedagang dengan pembeli. Ia juga merupakan bagian dari kosmologi Jawa yang secara tata ruang memisahkan dunia profan dan suci. Itulah mengapa keraton sebagai lambang dunia suci diletakan terpisah dari pasar sebagai lambang dunia profan (Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, 2014;38). 
Gambar irisan konstruksi Pasar Gede oleh Thomas Karsten (sumber : Locale Techniek Maret 1938, halaman 65).
Los pedagang daging di tingkat atas pasar.
Bagian lantai dua pasar.
Saat dibangun, Pasar Gede sesuai namanya adalah pasar terbesar di Surakarta. Ia juga menjadi pasar bertingkat pertama di Indonesia. Bangunan dibuat bertingkat karena rancangan demikian dapat menampung pedagang lebih banyak dengan lahan yang terbatas. Akses menuju tingkat atas pasar dapat diakses melalui tangga yang ada di kanan kiri pintu masuk. Untuk menambah ruang, maka bagian atas pasar dibuat menjorok keluar di atas trotoar sehingga dari luar tampak seperti sebuah balkon. Konstruksi tersebut ditahan oleh balok beton yang mampu menahan beban berat. Bagian tingkat atas pasar ditempati oleh pedagang daging dan ikan. Para pedagang daging disediakan tempat menggantung daging yang menggunakan material anti karat. Sementara pedagang ikan disediakan bak untuk wadah ikan hidup. Lantainya dahulu terbuat dari beton yang sengaja dibuat kasar sehingga orang tidak tergelincir saat berjalan di atasnya namun saat ini sudah dikeramik. 
Panggung tempat para pedagang berjualan.
Beragam aroma tercium oleh indra penciuman saya, dari harumnya aneka bumbu dapur di lantai satu hingga bau amis daging yang menyeruak dari los daging di lantai dua. Aneka barang dijual di pasar ini, mulai dari buah-buahan, sayuran, alat rumah tangga, dan sandang. Pasar ini juga menyuguhkan ragam kuliner yang barangkali sudah sulit dicari di tempat lain semisal Es Dawet Selasih. Para pedagang dahulu berjualan di atas panggung-panggung beton yang sudah ada sedari pasar ini berdiri. Karsten, arsitek perancang pasar ini tampaknya menyadari kebiasaan para pedagang dan pembeli di pasar-pasar tradisional di Jawa. Para pedagang biasanya menunggu para pembeli secara lesehan dan kebiasaan tersebut kadang menyulitkan pembeli karena mereka harus membungkuk badan dahulu jika bertransaksi. Karsten lantas membuatkan panggung setinggi 75 cm, kira-kira setinggi pinggang orang dewasa untuk tempat pedagang berjual. Dengan hal ini, maka pedagang masih bisa melanjutkan kebiasaan berjualan secara lesehan, namun pembeli tidak perlu repot membungkuk lagi. Sebuah pemecahan yang cerdas dari Karsten.
Bukaan ventilasi pada bagian atap pasar.
Saya begitu larut dengan suasana pasar yang tak begitu pengap walau cukup banyak pedagang dan pembeli yang berjejal di dalamnya. Pencahayaan pasar inipun terasa cukup. Itu semua karena pasar ini memiliki sistem penghawaan dan pencahayaan yang dirancang secara cemerlang oleh Karsten. Atap yang dibuat terbuka tak hanya berfungsi untuk memperlancar udara, namun juga sebagai sumber cahaya alami. Dengan demikian, energi yang dibutuhkan pasar ini jauh lebih sedikit. Berbeda jauh dengan pasar modern zaman sekarang yang serba tertutup, mengandalkan AC sebagai sumber penghawaan yang tentunya menghabiskan banyak energi. Selain memiliki penghawaan dan pencahayaan yang bagus, Pasar Gede dahulu juga pernah dilengkapi dengan saluran air yang diperoleh dari sumur artesis di seberang pasar. Air dari sumur dipompa dengan mesin listrik dan disalurkan lewat keran. Air digunakan untuk menyiram jalanan sekitar pasar yang berdebu saat musim kemarau dan juga berfungsi sebagai hidran pemadam. Di kanan-kiri pintu masuk, pernah terdapat 4 keran air yang dirancang khusus untuk membilas kaki orang yang lewat mengingat saat itu masih sedikit orang yang memakai alas kaki.
Pasar Gede setelah dibumihanguskan oleh TNI pada akhir tahun 1948. Atap joglo di bagian pintu masuk pasar terlalap habis oleh si jago merah sementara  bagian lain tinggal menyisakan rangkanya saja (sumber : nationaalarchief.nl).
Sebagaimana pasar-pasar besar di Indonesia, pasar inipun tak luput dari bencana kebakaran. Sudah dua kali pasar itu tak berdaya ketika si jago merah melalap dirinya, menghilangkan sebagian besar konstruksi aslinya. Kali pertama pasar itu terbakar ialah saat kota Surakarta dibumihanguskan pada Agresi Militer. Kala itu, kota Surakarta diduduki oleh dua divisi TNI, yakni Divisi 2 di bawah komando Kolonel Gatot Subroto dan Divisi Siliwangi dibawah Letkol. Daan Yahya. Sebelum mereka pergi pada akhir tahun 1948, berbagai bangunan penting di Surakarta mereka bakar Antara lain kediaman Residen Surakarta, hotel, teater, Stasiun Balapan, Stasiun Jebres dan termasuk di sini adalah Pasar Gede (M.P. Bruggen, 1998; 83). Kemudian kali kedua Pasar Gede terbakar yakni pada tahun 2000. Untuk yang terakhir, sumber api yang menghanguskan pasar itu berasal dari arus pendek listrik, pemicu kebakaran yang acap terjadi pada pasar di Indonesia.
Kios-kios di luar Pasar Gede. Kios-kios di sini harga jual atau sewanya lebih mahal daripada yang ada di dalam pasar.
Dari dalam pasar, saya beranjak keluar pasar. Bagian luar pasar terdiri dari dereta kios-kios yang harga sewanya lebih tinggi dibanding los di dalam pasar. Masing-masing kios diberi partisi beton sehingga bila terjadi kebakaran pada salah satu kios maka api tidak merembet ke kios di sebelahnya. Di sekitaran pasar, saya menjumpai ruko-ruko berlanggam Tionghoa. Di antara ruko-ruko itu, terdapat sebuah kelenteng tua. Sedikit melangkah mundur ke tahun 1998, walaupun pasar itu terhindar kebakaran, namun Pasar Gede menjadi saksi bisu kerusuhan massa berbalut SARA yang pernah melanda Surakarta. Puing dan sampah sisa kerusuhan menumpuk selama beberapa hari di seputaran Pasar Gede.
Pasar Gede bagian barat (sumber ; media-kitlv.nl).
Pasar Gede bagian barat.
Profil di bagian pintu masuk.
Di seberang barat pasar, ada bangunan lain yang juga masih menjadi bagian dari Pasar Gede. Bentuknya hampir mirip, walau ukurannya lebih kecil. Bagian depan bangunan ini dulunya dimaksudkan untuk jaringan toko besar dari Surabaya bernama "De Louvre". Toko tersebut memiliki kontrak selama 5 tahun dengan harga sewa perbulannya sebesar 500 gulden. Sesudah kontrak habis, toko ditempati oleh toko perhiasan milik Be Thian Kiem. Melangkah ke dalam bangunan yang saat ini menjadi tempat penampungan pedagang buah itu, saya tak menjumpai banyak keramaian di sini. Beberapa kios tampak tutup, entah hari itu si pedagang tidak berjualan atau belum ada yang menempati. Sayapun naik ke bagian lantai dua pasar, yang mana terdapat sebuah ruang luas yang kadang digunakan untuk pentas seni.
Bagian beranda lantai dua.
Sebelum saya beranjak pulang, saya beringsut ke bagian balkon, memandang sekali lagi Pasar Gede yang masih terlihat ramai. Ya, Pasar Gede tak hanya sebuah bangunan kuno berupa pasar saja. Di bawah atapnya, ratusan orang dari pedagang, kuli, hingga juru parkir menggantungkan hidup di pasar ini sekaligus menghidup pasar ini. Dari nafasnya, saya dapat merasakan dinamika Kota Surakarta, mulai dari masa ia dilahirkan oleh Pakubuwono II, masa keemasan ketika dipimpin oleh Pakubuwono X, hingga gejolak sosial paska kemerdekaan. Bentuknya yang merupakan hasil perpaduan arsitektur Jawa dengan modern tampak harmonis dan sekaligus menyiratkan betapa luwesnya kebudayaan Jawa…

Referensi
Karsten, Thomas. 1938. " Iets Over De Centralle Pasar " dalam Locale Techniek edisi 7 no 2 tahun 1938.

Leushuis, Emile. 2014. Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta : Ombak.

Purwadi, dkk, 2009. Sri Susuhunan Pakubuwono X ; Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya Untuk Nusa Bangsa. Jakarta : Bangun Bangsa.


Tim Penyusun. 2014. Yang Tersisa Dari Kolonial. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

van Bruggen, M.P dan Wassing, R.P. 1998. Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden. Asmterdam : Asia Maior.

De Locomotief, 6 Januari 1930.

De Locomotief, 13 Januari 1930.

Minggu, 13 November 2016

Pabrik Gula Kedungbanteng, Sejumput Jejak Sejarah di Tapal Batas Sragen

Sragen dalam catatan sejarah memiliki dua pabrik gula yang pernah didirikan oleh Belanda. Pertama adalah PG Mojo, pabrik gula di tengah kota Sragen yang kini langkahnya sedang tertatih-tatih dan kedua ialah PG Kedungbanteng yang berada di Desa Gondang, Kecamatan Gindang.Letaknya begitu dekat dengan tapal batas provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur sehingga melangkah dua setengah kilometer ke timur, sudah memasuki wilayah provinsi Jawa Timur. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan mengangkat Pabrik Gula Kedungbanteng yang barangkali sudah lekang dari ingatan orang-orang. Inilah kisah dari sejumput jejak sejarah di tapal batas Sragen….
Letak PG Kedungbanteng pada peta tahun 1925 ( sumber : maps.library.leiden.edu).

Foto udara PG Kedungbanteng.
Suasana Desa Gondang pada 25 April 1924 begitu meriah. Hari itu, desa yang ada di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur itu kedatangan rombongan tamu penting seperti Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta dan Pangeran Adipati Aria Prang Wedana dari Pura Mangkunegaran. Selain itu ada pula Residen Surakarta, Asisten Residen Sragen, Bupati Sragen, para pembesar Pabrik Gula Mojo, serta sejumlah wartawan. Maksud kedatangan mereka tak lain adalah untuk meresmikan pabrik gula Kedungbanteng, pabrik gula termuda di Karesidenan Surakarta. Rombongan itu disambut oleh insinyur De Haan, perwakilan dari N.V. Cultuur Maatschappij Vereenigde Lawoe, perusahaan yang memiliki dan mengelola PG Kedungbanteng. Mereka selanjutnya diantar ke laboratorium pabrik, tempat dilangsungkannya seremoni peresmian PG Kedungbanteng. Dalam sambutannya, insinyur De Haan selanjutnya mengisahkan ihwal pendirian PG Kedungbanteng. Sejarah pendirian PG Kedungbanteng rupanya masih berhubungan dengan keberadaan PG Mojo yang ada di Sragen. Pendirian PG Mojo dipelopori oleh "Van der Wijk Concern" (kemudian menjadi Klattensche Cultuurmaatschappij) pada tahun 1894. Jadi saat PG Kedungbanteng diresmikan, PG Mojo baru menginjak usia 30 tahun, usia yang terhitung muda untuk pabrik gula di wilayah Surakarta. Secara bertahap, PG Mojo mulai memperluas area perkebunannya sehingga lebih banyak tebu yang dapat dipanen. Luasnya area perkebunan ternyata tidak diimbangi dengan kapasitas giling pabrik sehingga mulai terpikirkan untuk membangun pabrik baru pada tahun 1919. Rencana untuk membangun pabrik baru semakin menguat sesudah pembelian perkebunan karet Kedungbanteng dari Java Hevea Maatschappij. Setelah dipertimbangkan antara memperbesar pabrik gula Mojo atau mendirikan pabrik baru, maka akhirnya diputuskan untuk mendirikan pabrik gula baru. Keputusan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa mereka akan menerima limpahan mesin bekas dari PG Comal di Pemalang yang kebetulan saat itu akan berpindah ke tempat baru (De Nieuwe Vorstenlanden, 26 April 1924).
Peta PG Kedungbanteng tahun 1930 (sumber : maps.libary.leiden.edu).
Letak pabrik sengaja dipilih dekat pusat pemerintahan distrik Gondang yang ramai penduduk. Tujuannya untuk memudahkan pencarian tenaga kerja berupah murah yang dapat diambil dari penduduk sekitar. Dengan lokasi di pinggir jalur kereta Surakarta-Surabaya milik Staatspoorwegen, boleh jadi pabrik itu dibangun di sana guna mempermudah proses pembangunan pabrik yang material dan mesin pengolahnya didatangkan dari Surabaya serta untuk membantu distribusi hasil olahan. Selain itu, di dekat pabrik terdapat Sungai Sawur yang dapat dipakai sebagai sarana pembuangan limbah. Mulanya pabrik akan dibangun di sebelah selatan jalur kereta, namun rencana itu urung diwujudkan. Proses pembangunan PG Kedungbanteng dimulai pada bulan Juni 1921 dan diawasi oleh kepala insinyur Van den Ben yang pernah menangani pembangunan PG Jatiroto di Lumajang. Sementara rancangan bangunan pabrik dibuat oleh insiyur Koetse dari "Stork & Co." Akibat keterlambatan beroperasinya PG Comal Baru, maka target penyelesaian PG Kedungbanteng meleset setahun dari rencana. Hibah mesin bekas yang dijanjikan dari PG Comal Lama baru tiba pada tahun 1923. Bersamaan dengan pembangunan pabrik, dipersiapkan pula sejumlah sarana irigasi seperti waduk, stasiun pompa, dan saluran air yang akan mengairi ladang tebu (De Nieuwe Vorstenlanden 28 April 1924). PG Kedungbanteng akhirnya diresmikan pada 25 April 1924 dengan kapasitas giling pada musim perdananya mencapai 15.000 batang per hari. PG Kedungbanteng dikelola lewat anak perusahaan Van der Wijk Concern bernama N.V. Cultuurmaatschappij Lawoe. Status ladangnya adalah tanah sewa karena perusahaan swasta dilarang memiliki tanah di wilayah Kasunanan. Tanah ladang tersebut disewa dalam jangka waktu 139 tahun (Ockers, 1934; 242). Keberadaan PG Kedungbanteng diharapkan dapat menularkan kemakmuran untuk desa Gondang yang ada di dekatnya sehingga keuntungan PG Kedungbanteng tidak hanya dinikmati oleh pengusaha Eropa dan pemerintah lewat tarikan pajak. Semenjak pembukaan PG Kedungbanteng, arus penumpang dan barang di stasiun kereta Kedungbanteng semakin meningkat. Tanah di sekitar stasiun menjadi incaran. Pemerintah juga berencana untuk membangun rumah untuk wedana dan pendirian bangunan pasar permanen (De Nieuwe Vorstenlanden 29 April 1924). Meskipun demikian, kehadiran pabrik gula Kedungbanteng masih belum mampu mengangkat taraf kesejahteraan para petani kecil karena mereka tak dapat mengolah lahannya sendiri.
Lapangan Gondang.

Lokasi situs PG Kedungbanteng dilihat dari citra satelit dari Google Map.
Keterangan : A : Kantor Kecamatan Gondang / B : Puskesmas Gondang / C : Bekas rumah dinas PG Kedungbanteng / Kotak merah : Eks lokasi pabrik.
Pabrik Gula Kedungbanteng mempekerjakan sejumlah pegawai yang masing-masing memiliki keahlian tertentu. Pucuk tertinggi dalam organisasi pabrik gula ditempati oleh administrateur atau kepala pabrik. Seorang administateur memikul tanggung jawab sebagai wakil perusahaan yang menangani langsung keseluruhan urusan pabrik, mulai dari proses penanaman, penggilingan, hingga pengangkutan ke pasar. Mengingat kerumitan industri gula dari proses penanaman hingga pengolahan menjadi gula, maka administrateur dibantu oleh jajaran karyawan dengan keahlian tertentu seperti zinder¸ chemicer, dan masinis. Posisi tersebut ditempati oleh orang Eropa yang telah mendapatkan pendidikan di bidangnya. Seorang zinder bertugas untuk mengawasi jalannya penanaman tebu di ladang hingga pengangkutannya menuju pbarik. Sementara tuga seorang chemicer adalah memastikan jika proses pengolahan menghasilkan gula yang berkualitas. Setelah gula diproses melalui serangkaian proses yang panjang, chemicer akan membawa sampel gula ke laboratorium untuk menentukan kualitas gula. Oleh karena itu, selain bekerja di pabrik, chemicer juga bekerja di laboratorium sehingga chemicer harus dapat membagi waktunya antara berada di pabrik dengan di laboratorium. Kemudian masinis bertanggung jawab pada pemeliharaan mesin, baik mesin pengolahan ataupun lokomotif yang dipakai untuk membawa tebu ke pabrik.Tugas masinis selama musim giling adalah yang paling vital karena kerusakan mesin berdampak pada proses produksi secara keseluruhan. Karena itulah masinis harus siaga selama 24 jam mengingat proses penggilingan berlangsung sepanjang hari secara terus menerus. Golongan paling bawah adalah pegawai pribumi. Ada dua macam pekerjaan, yakni di lapangan dan di pabrik. Selama bekerja, mereka berada di bawah pengawasan orang Eropa (Wiseman, 2001; 398-401). Sebagaimana pabrik gula lain di Jawa, PG Kedungbanteng selama musim giling terus melakukan penggilingan sepanjang hari. Dalam sehari pekerjaan di pabrik dibagi menjadi dua shift, yakni shift malam dan siang yang setiap shift mencapai 12 jam (Wertheim, 1993 ; 280). Tuntutan pekerjaan ini akhirnya mengharuskan para pegawai untuk sentiasa berada di dekat pabrik. Oleh karena itu, pabrik gula di Jawa pasti akan menyediakan sarana perumahan pegawai di dekat pabrik. Singkatnya jarak antara rumah pegawai dengan lokasi kerja selain memudahkan pergerakan dan komunikasi antara karyawan juga membantu pemilik pabrik untuk menghemat ongkos transportasi pegawai (van Moll dan Lugten, 1916; 9).
Bangunan rumah dinas PG Kedungbanteng di sebelah timur Koramil Gondang.
Puskesmas Gondang.
Bangunan rumah dinas PG Kedungbanteng di sebelah utara rel.
Van Moll dan Lugten melalui buku "Projecten van Woningen voor Suikerondernemingen" (1916) menerangkan seperti apa idealnya bentuk sebuah perumahan karyawan pabrik gula. Menurutnya, perumahan pabrik gula yang baik adalah yang dapat menyediakan segala sarana untuk para pegawainya, baik untuk pegawai Eropa atau pegawai pribumi. Sarana itu meliputi air bersih, saluran pembuangan, jaringan listrik, lampu jalan, sosieteit, dan klinik kesehatan. Perumahan PG Kedungbanteng dibangun di atas lahan yang belum ada permukimannya. Oleh sebab itu dibuatlah pola jalan yang benar-benar baru. Kompleks perumahan PG Kedungbanteng tertata begitu indahnya dengan mengelilingi sepetak tanah lapang nan luas. Penataan ruang kompleks perumahan PG Kedungbanteng merupakan karya dari arsitek dan ahli tata kota Thomas Karsten yang namanya sudah cukup bergema dalam belantika arsitekur kolonial (De Nieuwe Vorstenlanden, 28 April 1924). Pola tradisional perumahan pabrik gula dimana rumah–rumah dibikin menghadap ke arah pabrik ditinggalkan oleh Karsten. Sebagai gantinya, rumah tersebut dihadapkan ke arah selatan dan dari sini semburat Gunung Lawu yang elok akan terlihat jelas jika cuaca sedang cerah. Karsten tampaknya mencoba untuk mengikuti anjuran Van Moll untuk memperhatikan pemandangan alam sekitarnya sebagai salah satu faktor penting dalam menentukan orientasi tempat tinggal. Mengingat lokasi PG Kedungbanteng sangat jauh dari perkotaan, maka diciptakanlah sebuah lingkungan hunian yang nyaman untuk para pegawainya seolah mereka tinggal di tengah kota. Di sekeliling lapangan yang saat ini dikenal sebagai Lapangan Gondang, rumah-rumah tua eks kediaman pegawai PG Kedungbanteng itu yang masih utuh dan dapat disaksikan sampai sekarang. Beberapa di antaranya kondisinya relatif baik seperti rumah yang sekarang ditempati Puskesmas Gondang dan  Balai Rehabalitasi Disabilitas Grahita dan Ganda “Rahardjo”. Namun ada pula yang tidak terawat seperti bangunan di seberang Koramil Gondang. 
Bekas rumah administrateur yang saat ini menjadi kantor kecamatan Gondang.
Beranda keliling.

Bagian dalam.

Bekas dapur.

Tampak utara.
Berdiri di sisi timur lapangan, akan terjumpai bangunan lama yang kini menjadi kantor Kecamatan Gondang. Halamannya begitu luas. Atap limas dengan teritisannya yang lebar menjulang tinggi. Ukuran rumahnya lebih besar daripada rumah-rumah lama di sekitarnya, menandadakan jika bangunan ini dahulu ditempati oleh administrateur atau kepala PG Kedungbanteng. Selain menata kawasan tempat tinggal, Karsten juga merancang bangunan rumah tinggal pegawai PG Kedungbanteng. Rumah-rumah tersebut dibuat dalam bentuk yang lugas namun elegan. Rumah adalah identitas sosial penghuninya. Untuk mendapat pengakuan dari pegawainya sebagai seorang pemimpin, maka administrateur memiliki bangunan rumah yang paling megah dan kokoh di lingkungan sosial pabrik gula. Rumah administrateur pun menjelma laksana istana kecil dalam kerajaan pabrik gula. 
Lapangan tenis.
Persis di belakang kantor kecamatan, terhampar lapangan tenis dengan jalinan kawat yang memagarinya. Lapangan tenis ini mungkin telah ada sejak masa para meneer pegawai PG Kedungbanteng berdiam di rumah-rumah tua itu. Pembangunan perumahan pabrik gula, menurut van Moll dan Lugten (1916) juga harus diikuti dengan penyediaan sarana hiburan seperti lapangan permainan tenis. Hal tersebut merupakan upaya pemilik pabrik dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani pegawainya, sehingga diharapkan produktivitas pabrik bisa berkembang karena para pegawai bekerja dengan semangat dan dedikasi tinggi. Kehadiran lapangan tenis di lingkungan pabrik gula Belanda merupakan hal yang biasa karena olahraga tenis kala itu sednag digandrungi orang-orang kulit putih. Di zaman ketika hiburan tidak sebanyak sekarang, tenis menjadi sarana untuk memecah kejemuan rutinitas kerja pabrik yang monoton, apalagi untuk pegawai pabrik gula yang tinggal jauh dari pusat keramaian. Mungkin dapat dibayangkan pada zaman dahulu pada suatu sore yang cerah, sang tuan adminsitrateur bermain tenis dengan para pegawai lainnya. Orang-orang kulit putih berpandangan bahwa tenis adalah olah raga eksklusif untuk orang barat. Sebab itulah, orang-orang pribumi itu hanya dapat melihat para meneer menganyunkan raketnya dari luar pagar. Orang pribumi paling banter menjadi pesuruh yang bertugas mengambil bola tenis dan membersihkan lapangan. 
Bangunan rumah dinas PG Kedungbanteng yang ada di sebelah utara kantor kecamatan Gondang.
Ruangan di bagian belakang.
Tampak belakang.
Garasi.
Bekas dapur.
Beringsut ke utara kantor kecamatan Gondang, dapat disaksikan empat buah rumah tua berhalaman luas dan berdiri saling berdekatan. Keempat rumah tersebut memiliki bentuk serupa dengan sebelahnya. Hanya satu rumah saja yang masih bisa dikatakan terawat, sementara sisanya tampak tercampakan begitu saja oleh pemiliknya.  Biarpun terlihat renta dan terlantar, namun keindahan rumah itu masih belum pudar. Secara arsitektur, langgam rumah itu mencerminkan langgam arsitektur transisi, sebuah langgam yang melambangkan kemajuan jagad arsitektur di Hindia-Belanda yang sebelumnya begitu tergantung dengan arsitektur klasik yang menekankan pada penggunaan pilar. Lihatlah, rumah- rumah itu sudah tak dijumpai lagi pilar-pilar di beranda depannya. Langgam arsitektur transisi muncul di Hindia-Belanda sejak di penghujung abad ke-19 hingga tahun 1920an. Jika melangkah ke belakang, dapat dijumpai bijgebouwen, yakni bangunan tambahan di belakang atau samping rumah yang terhubung dengan rumah utama melalui sebuah selasarBijgebouwen pada dasarnya terdiri atas kamar pembantu, dapur, gudang, kamar mandi, dan garasi. Bagian tersebut sengaja diletakan terpisah dari rumah utama karena orang Belanda beranggapan kegiatan seperti mencuci dan memasak membuat kebersihan rumah utama berkurang  (Handinoto, 2010 ;145).
Di perkampungan inilah dahulu PG Kedungbanteng berdiri.
Di sebelah timur dari rumah-rumah tua itu, terdapat sebuah perkampungan yang bernama Mbabrik. Nama kampung itu sekarang menjadi satu-satunya jejak yang tersisa dari PG Kedungbanteng, selain rumah-rumah tua tadi. Mengapa PG yang besar itu bisa lenyap seketika ? Dalam perjalanannya, nasib PG Kedungbanteng mengalami pasang surut. Dari keterangan warga sekitar, pabrik gula itu sehabis musim giling perdana ditutup untuk sementara waktu. Pasalnya ada konflik di dalam tubuh kepengurusan pabrik. Masa istirahat tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja pabrik dengan memperbarui instalasi mesin-mesinnya. Langkah lainnya mencakup pembelian lokomotif uap baru sebagai pengganti hewan ternak yang selama ini tenaganya masih digunakan untuk menarik gerobak tebu. Seusai masalah internal dibereskan, PG Kedungbanteng kembali bergiling pada 19 Juni 1929 (Bataviasch Nieuwsblad 20 Juni 1929). Kala PG Kedungbanteng beroperasi, perkebunan tebu sedang menjadi primadona para pengusaha Belanda karena keuntungan yang ditawarkan amat tinggi. Berbagai tempat di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bermunculan pabrik-pabrik gula yang asap hitamnya membumbung tinggi ke langit. membuat pekat langit Jawa di kala musim giling. Sebelum 1930an, tercatat ada 179 pabrik gula yang dulu pernah beroperasi. Namun belum lama PG itu mencapai masa puncaknya, datang sebuah petaka besar. Permulaan tahun 1930an ,ketika pasokan gula melimpah di pasaran, jagad industri gula di Jawa diguncang dengan Great Depression atau krisis malaise. Harga gula akhirnya terjun bebas. Maka dibuatlah kesepakatan Charbourne dagar harga gula membaik dengan cara mengurangi produksi gula atau dengan kata lain, menutup pabrik gula. Imbasnya, banyak pabrik gula di Jawa yang menjadi korban kesepakatan Charbourne. Salah satu yang menjadi korban adalah PG Kedungbanteng. Van der Wijk Concern selaku pemilik PG Kedungbanteng, telah memutuskan untuk menutup kembali PG Kedungbanteng pada tahun 1932. Namun kali ini untuk selamanya (De Indische Courant 25 Februari 1932). 

Paska ditutupnya PG Kedungbanteng, bangunan pabrik diratakan oleh pemiliknya. Sementara rumah-rumah pegawainya barangkali oleh empunya pabrik dijual ke orang lain sehingga rumah itu masih utuh sampai sekarang. Tiada yang tahu bagaimana nasib rumah-rumah tua itu kelak di kemudian hari. Apakah akan ada seorang baik yang membelinya kemudian diperbaiki, dibiarkan merana begitu saja seperti sekarang, atau justru ia akhirnya disingkirkan dengan serta merta sehingga generasi berikut tak dapat menjumpainya lagi ?

Referensi
De Nieuwe Vorstenlanden, 26 April 1924

De Nieuwe Vorstenlanden, 28 April 1924

Bataviasch Nieuwsblad, 20 Juni 1929.

De Indische Courant, 25 Februari 1932.

Dr. B. Ocker. 1934. Grondrecht en Grondhuur in Het Gewest Soerakarta. Yogyakarta : Druk van Kolf en Bunning.


Van Moll dan Lugten, C.H. 1916. Projecten van Wooningen voor Suikerondernemingen. Amsterdam : De Bussy.

Minggu, 06 November 2016

Mengintip Keperkasaan Benteng Van den Bosch Ngawi

Aliran Sungai Bengawan Solo yang kecokelatan mengalir liuk laksana ular naga dari hulunya di lereng Lawu sebelum akhirnya bemuara di Laut Jawa. Di salah satu tepiannya, sebuah benteng tua masih berdiri menunjukan keperkasaanya sekalipun usianya lebih dari seabad lamanya. Itulah Benteng Van den Bosch Ngawi. Seperti apakah cerita dibalik benteng yang namanya diambil dari nama seorang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ini ?

Petugas karcis itu tampak tidak seperti petugas karcis pada umumnya. Duduk di semacam pos jaga militer, berambut cepak, postur tubuhnya tegap, dan raut wajah terlihat sedikit garang ketika ia menyerahkan karcis kepada saya. Sosok petugas karcis itu lebih menyerupai seorang tentara. Di dalam benak, saya bertanaya, benteng ini sebenarnya obyek wisata atau kompleks militer ? Sekalipun benteng Van den Bosch merupakan obyek wisata unggulan Ngawi, tapi area pintu masuk benteng ini masih masih dikuasai oleh instansi militer setempat. Maka jangan heran jika beberapa tempat di sekitar benteng tak bisa sembarang dimasuki.
Bekas raveline.
Bekas parit pertahanan.
Jalan yang ditempuh dari pintu masuk ke area utama benteng lumayan jauh. Tatkala saya sedang melangkah ke arah benteng, saya menjumpai sebuah struktur bangunan yang berdiri sendiri di ujung sebuah lapangan. Itulah raveline benteng Van den Bosch Ngawi. Kegunaan struktur ini ialah untuk memberi perlindungan ekstra pada area di luar benteng. Pada abad ke-18, bentuk raveline apabila dilihat dari atas berbentuk segitiga. Namun memasuki abad ke-19, bentuk raveline berubah menjadi trapesium.
Pintu gerbang benteng sisi barat dan sisi selatan.
Katrol yang dipakai untuk menarik jembatan angkat.
Semakin mendekati benteng, jalan tiba-tiba sedikit menurun, namun jalan menanjak kembali. Apa yang baru saja lewati dulunya merupakan parit benteng. Parit ini dulunya berair, namun kini ia sudah tertimbun tanah. Lalu untuk menyeberangi parit, ada sebuah jembatan angkat di atasnya, namun jembatan itu sudah tiada. Agar pekerjaan lebih cepat, galian parit tersebut lalu digunakan sebagai gundukan tanah pelindung benteng (Killy.Fontana. Quick, 2007; 58). Setelah “menyeberangi” parit, kini saya sudah berada di depan bangunan yang merupakan gerbang masuk pertama benteng. Di sini, saya menjumpai roda katrol yang dulu digunakan untuk mengangkat jembatan yang dulu melintang di atas parit. Di samping kanan dan kiri bangunan gerbang, terdapat gundukan tanah yang mengelilingi benteng dan tingginya nyaris sepadan dengan tinggi bangunan benteng. Gundukan tanah inilah yang menjadi perisai utama benteng ini dari terjangan musuh. Kenapa ia tidak menggunakan dinding batu saja yang mungkin lebih kuat ? Dinding bata rupanya tidak menjamin daya tahan sebuah benteng dari hantaman peluru meriam. Perkembangan teknologi artileri semakin membaik. Tembakan lebih tepat mengenai sasaran dan daya hantamnya kian kuat. Dinding-dinding batu itu pun langsung hancur menjadi debu. Akhirnya diketahui bahwa ternyata gundukan tanah yang tebal jauh lebih efektif daripada tembok bata karena sifat tanah yang lembut dapat menyerap pukulan peluru. Selain sebagai sarana pertahanan, ia juga berguna untuk melindungi benteng dari luapan air Sungai Bengawan Solo. Karena dari luar benteng ini seolah tertutup oleh gundukan tanah, maka benteng ini kadang disebut dengan Benteng Pendem Ngawi.
Bangunan utama benteng.
Sudah sekian lama saya mengimpikan untuk bisa berkunjung ke benteng ini. Sekarang, di depan saya sudah berdiri bangunan utama benteng Van den Bosch Ngawi yang tampak perkasa walau sudah dimakan usia. Di atas lengkung pintu masuknya, tertera sengkalan yang menunjukan rentang tahun benteng ini dibangun, “1839-1845”. Keperkasaan benteng ini adalah seakan menjadi simbol betapa perkasanya kekuatan pemerintah kolonial di masa itu setelah perlawanan Pangeran Diponegoro berhasil dipatahkan. Namun di balik keperkasaanya, tersimpan rasa kekhawatiran jika suatu hari nanti kekuasaan pemerintah kolonial di sini justru ditumbangkan oleh kekuatan dari luar. Angan saya sejenak melangkah ke belakang, ke masa ketika para insinyur zeni sedang merancang benteng ini…
Johannes Van Den Bosch (2 February 1780 – 28 January 1844), Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang memprakarsai sistem cultuurstelsel atau tanam paksa. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah benteng di Ngawi (sumber : commons.wikimedia.com).
Sembilan tahun sudah Perang Jawa berlalu. Perjuangan Pangeran Diponegoro dipatahkan dan sang pangeran diasingkan. Perhatian pemerintah kolonial kini dialihkan kepada bagaimana cara agar mereka bisa memulihkan kas yang sudah terkuras habis oleh perang tadi. Lalu, tersebutlah seorang jenderal veteran Perang Jawa mengajukan sebuah gagasan yang di kemudian hari dikenal sebagai tanam paksa, cultuurstelsel. Jenderal yang selanjutnya menjadi pucuk penguasa Hindia-Belanda itu bernama Johannes van den Bosch. Setelah masalah keuangan diatasi, muncul kembali sebuah masalah baru. Bagaimanakah mempertahankan kuasa mereka di Jawa dari serbuan bangsa asing ? Pada saat pemerintah kolonial menggalakan tanam paksa, keadaan dalam negeri kerajaan Belanda sedang kacau akibat revolusi Belgia. Mereka gusar jika negara Eropa lain berusaha mengintervensi wilayah daratan Belanda dan gejolak meluas hingga ke tanah jajahannya. Pemerintah kolonial ternyata belajar dari pengalaman pahit ketika pertahanan Jawa dijebol begitu mudahnya oleh Inggris pada tahun 1811.  Dulunya, VOC sudah mendirikan benteng-benteng kuat di sepanjang kota-kota pesisir. Namun Gubernur Herman Wilhelm Daendels memerintahkan agar benteng-benteng tadi dibongkar untuk diganti dengan sistem pertahanan yang lebih mobile. Hal tersebut rupanya melemahkan pertahanan daerah pesisir, sementara sarana pertahanan di pedalaman masih sedikit. Hal itu diperparah dengan jumlah dan mutu angkatan bersenjata mereka yang payah sehingga mudahlah bagi Inggris untuk merebut Jawa dari tangan Belanda.
Peta kota Ngawi. Terlihat benteng van den Bosch terletak di ujung dari inti kota Ngawi. Letaknya berada di pertemuan dua sungai, memberikan keuntungan perlindungan. ( sumber : maps.library.leiden.edu ).
Berangkat dari pengalaman pahit itu, Van den Bosch menginisiasi sebuah sistem pertahanan skala besar yang mencakup teritori pesisir dan pedalaman. Insinyur zeni Colonel Van der Wijk diberi amanat oleh Van den Bosch untuk mendirikan benteng-benteng baru di pesisir seperti di Surabaya, Batavia, dan Semarang. Van den Bosch nyatanya tak hanya mendirikan benteng di pesisir saja, namun juga di pedalaman. Setidaknya ada tiga benteng baru yang dibangun, yakni Benteng Cocchius di Gombong, Benteng Willem I di Ambarawa, dan  Benteng Van den Bosch di Ngawi. Benteng-benteng di pedalaman ini memainkan peranan sebagai garis pertahanan cadangan andaikata wilayah pesisir sudah dikuasai musuh.
Benteng Van Den Bosch pada tahun 1940. Ketika foto ini dibuat, benteng ini diubah sebagai penjara militer (sumber : media-kitlv.nl).
Satuan pasukan yang menempati benteng ini adalah satuan kompi 2 Batalyon Infanteri KNIL ke-8 (De Locomotief, 5 Desember 1930). Memasuki abad 20, benteng bikinan Van der Wijk di Jawa ini  dianggap sudah primitif dan tak layak lagi sebagai garnisun tentara. Pada tahun 1905, benteng-benteng ini dibebastugaskan sebagai sarana pertahanan termasuk Benteng Van den Bosch Ngawi yang akhirnya dialihfungsikan menjadi penjara hingga tahun 1962. Di masa penjajahan Jepang, Benteng Van den Bosch Ngawi sempat dijadikan kamp tawanan dengan daya tampung 1.580 orang. Mereka yang ditawan Jepang terdiri dari pria dewasa, perempuan, dan anak-anak, termasuk di antaranya adalah pejabat tinggi kolonial. Pada tahun 1944, para tawanan dipindah ke Cimahi. Sesudah kemerdekaan, benteng ini menjadi markas dan gudang amunisi Batalyon Armed 12. Lingkungan sekitar benteng kadang digunakan sebagai area latihan tentara. Selanjutnya di tahun 1970-1980, benteng ini ditinggal dalam kondisi kosong. Selama rentang waktu itulah banyak bagian benteng yang mulai hilang seperti lantai kayu dan jendela. Setelah terbengkali dalam waktu lama dan aksesnya tertutup untuk umum, kini ia bisa dikunjungi sebagai obyek wisata. Tahun 2012, pemerintah Kabupaten Ngawi berupaya menata kawasan benteng Van den Bosch untuk dijadikan sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi di Kabupaten Ngawi ( Kurniawan, Hari. 2013;5 ).
Citra satelit benteng Van den Bosch. Garis merah merupakan bekas ravelin. Sementara garis kuning merupakan tanggul tanah.

Pola tata ruang benteng utama Van Den Bosch (sumber : Berita Penelitian Arkeologi No.14 Tahun 2001).
Kembali lagi ke masa sekarang, langkah kaki saya mulai bergerak masuk ke dalam benteng, melewati portrait besar Gubernur Jenderal van den Bosch yang tertempel di lorong masuk. Di dalam benteng ini, ada dua buah lapangan yang dikelilingi oleh reruntuhan bangunan yang masih terlihat kokoh. Salah satu reruntuh itu adalah sebuah bangunan Indis Neo-Klassik dengan pilar-pilar bundarnya yang besar. Tampaknya reruntuh ini dulunya merupakan tempat tinggal dari komandan benteng. Memasuki reruntuh itu, saya menjumpai lantai tegel lawas yang berpola seperti papan catur. Di belakang reruntuhan ini, masih ada sebuah reruntuhan yang dulunya dipakai sebagai dapur umum. Dapur umum ini memasak makanan yang disediakan untuk para penghuni benteng beserta keluarganya. Entah berapa kayu bakar yang dihabiskan untuk kegiatan masak besar yang berlangsung setiap harinya itu.
Bangunan neoklassik di dalam benteng.
Reruntuhan dapur umum.
 Sinar matahari yang terik mulai terasa membakar tatkala saya berdiri di lapangan tengah benteng. Tepat di seberang selatan bangunan tadi, terdapat sebuah reruntuh bangunan berlantai dua yang saya asumsikan sebagai kantor, kantin militer dan mungkin juga rumah sakit. Dari lapangan ini, bekas tempat jam terlihat bertengger di atas pintu masuk. Dulu, dentang lonceng jam itu dapat terdengar hingga luar benteng. Sayapun membayangkan kembali ke masa lampau, di lapangan yang sama, saya berdiri bersama barisan serdadu yang terdiri dari orang Eropa, Ambon, Manado, Madura dan Jawa. Di masa itu, kesatuan militer dari berbagai suku bangsa adalah hal yang jamak ( Novida Abbas, 2007; 49).
Reruntuh bangunan di selatan lapangan.
Bekas tempat jam di atas pintu masuk.
Benteng ini pada dasarnya terdiri dari empat buah bangunan barak terpisah yang disusun mengelilingi sebuah lapangan dan dua bangunan besar di tengahnya. Barak-barak ini dipisahkan berdasarkan kompinya “ untuk mencegah prasangka, ketidakpuasan, dan segala pikiran buruk prajurit Bumiputera” jelas Dabry de Thiersant, seorang orientalis yang banyak menulis soal militer Hindia-Belanda abad 19. “Sehingga perbuatan yang menyimpang atau perlawanan dapat segera ditumpas orang Eropa yang memahami dan keributan tidak menyebar”, sambungnya ( Santosa, 2016 ; 142 ). Setiap barak disambungkan oleh sebuah jembatan yang ada di lantai dua. Sebagai penyesuaian dengan iklim tropis, maka barak-barak itu dilengkapi dengan beranda luar. Sementara itu, bagian atap bangunan ini dibuat datar atau papak, sehingga dari tempat ini, prajurit dapat berjalan mondar-mandir memantau keadaan sekitar benteng.
Ditutup dinding baru untuk sarang walet.
Bangunan barak yang sudah hancur.
Sebuah sudut benteng.
Meskipun sebagian besar benteng tinggal reruntuhan, namun setidaknya, ia bisa mengungkap bagaimana teknologi susun bangun yang digunakannya. Secara keseluruhan, benteng ini terbuat dari bata merah. Karena teknologi tulang besi belum ditemukan pada waktu itu, maka beban susunnya hanya bergantung pada dinding bata yang tebal saja. Untuk mengurangi beban tersebut, maka dibuatlah susunan melengkung. Reruntuh susunan lengkung ini seolah mengingatkan saya pada reruntuh saluran akuaduk kuno bangsa Romawi, bangsa yang menemukan teknologi susun lengkung yang masih dipakai berabad-abad kemudian dan kini ia dipakai di benteng yang saya kunjungi ini.
Beranda lantai dua yang masih tersisa.
Kakus komunal.
Bagian-bagian benteng yang tinggal reruntuhan. Memberikan keeksotisan tersendiri.
Susunan lengkung yang banyak dijumpai pada benteng ini.
Sayapun mencoba untuk menaiki beranda lantai dua pada salah satu bangunan barak lewat sebuah tangga. Di bawah tangga itu ada sebuah ceruk kecil yang dulu digunakan sebagai penjara. Bau kotoran kelelawar segera menyeruak dari dalam ruang-ruang yang dulu menjadi tempat tinggal prajurit beserta keluarganya.  “Para pria, perempuan, dan anak yang tinggal satu barak, makan bersama, menyiapkan makanan dan membersihkan barak dilakukan bergiliran oleh perempuan, dan mereka tunduk pada hukum militer“, jelas Dabri de Thiersant yang membeberkan kehidupan keluarga serdadu dalam tembok barak. Sayang, ia tak memberi catatan apapun tentang perselingkuhan atau penelantaran anak yang sering dilakukan oleh para serdadu ( Santosa, 2016 ; 142 ).
Tangga menuju lantai dua benteng.
Tampak luar bekas gudang mesiu.
Setelah bagian dalam kelar saya jelajahi, saya beranjak ke arah timur benteng, area yang jarang dikunjungi oleh banyak orang. Dari area inilah saya dapat melihat bagian luar benteng secara keseluruhan dan mungkin bagian yang tak jelas terlihat dari dalam benteng seperti bekas gudang mesiu yang terletak di setiap pojok benteng. Gudang-gudang itu sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mesiu yang disimpan tidak mejan akibat lembab. Oleh sebba itulah, hingga tahun 70an, ia masih digunakan oleh TNI untuk media penyimpanan mesiu.

Kini, saya berjalan perlahan meninggalkan benteng, kembali bersua dengan petugas karcis bertampang sangar tadi. Sekalipun benteng ini sudah kehilangan masa lalunya, namun saya percaya ia akan tetap berdiri perkasa hingga beberapa generasi ke depan, dengan sungai Bengawan Solo yang mengalir tenang di bawahnya….

Referensi
Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta ; Graha Ilmu.

Hari Kurniawan. 2013. Laporan Observasi Benteng Pendem Van Den Bosch, Ngawi. Komunitas Roemah Toea. Yogyakarta.

Abbas, Novida. 2007. “ Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam dan Kolonial di Jawa dalam Berkala Arkeologi Tahun XXVII No.2 / Tahun 2007.


Killy, Lawrence H.  Fontana, Marissa. Quick, Russel. 2007. Baffles and Bastions : The Universal Feature of Fortications dalam Journal of Archaeilogical Research vol. 15, no.1 Maret 2007 (halaman 55-95).

https://www.indischekamparchieven.nl/en/search?mivast=963&mizig=276&miadt=968&miaet=14&micode=kampen&minr=1395940&milang=en&misort=unittitle%7Cdesc&mizk_alle=ngawi&mif1=East%20Java&miview=ika2