Sabtu, 20 Februari 2016

Telusur Sisa Pabrik Gula Sewugalur

Pada suatu masa, Yogyakarta pernah memiliki lebih dari selusin pabrik gula yang bertebaran di segala penjuru, salah satunya berdiri di Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, sebuah desa di belahan selatan Kabupaten Kulonprogo. Jejak Kolonial kali ini merupakan hasil penelusuran pada satu-satunya pabrik gula yang pernah berdiri di Kulonprogo itu.
Rumah Ibu Jamal.
Sekalipun terletak di tengah pedesaan, rumah itu tidak terlihat seperti rumah orang desa pada umumnya. Rumah itu malahan terlihat seperti bekas rumah seorang pembesar Belanda. Jendela krepyak yang tinggi meneguhkan tuanya usia bangunan tersebut. Saya mengetuk pintu depan rumah yang masih terlihat asli. Ketukan saya segera terjawab. Dari dalam, muncul sesosok perempuan tua yang tak lain ialah Ibu Jamal, tuan rumah ini. Sesudah membukakan pintu, Ibu Jamal mempersilahkan saya masuk ke ruang tamunya dengan dindingnya yang amat tinggi itu. 
Bagian ruang tamu.
Dengan perabotan tuanya, ruang tamu rumah Ibu Jamal membuat saya serasa terdampar ke masa lalu. Di ruang tamu itu, saya berbincang dengan Ibu Jamal sembari menikmati suasana ruang tamu yang sejuk. Kesejukan itu berkat adanya jendela besar di samping ruang tamu dan ditambah pua dengan tembok rumah yang tinggi, membuat hawa di dalam ruangan itu terasa sejuk meski tanpa AC, dimana kesejukan seperti ini jauh lebih baik karena sifatnya alami. Mendongak ke atas, saya meihat jalinan anyaman bambu yang masih menjadi plafon rumah tua ini. Anyaman bambu memang jamak dipakai untuk rumah-rumah kolonial di wilayah pinggiran. “Pada masa penjajahan Jepang, rumah ini terhindar dari penghancuran oleh Jepang “, tutur Ibu Jamal membuka cerita. Dari cerita Ibu Jamal, diketahui bahwa setelah Jepang menduduki PG Sewugalur, pabrik ini disita dan diratakan dengan tanah. Rumah-rumah pegawainya satu persatu dijual kepada orang Tionghoa atau orang pribumi. “ Dari orang Tionghoa, rumah ini dibeli oleh Pak Tjokrodirdjo, mertua saya “, tuturnya.
Ruang kamar depan yang tak dipakai lagi.
Sesudah berbincang-bincang, Ibu Jamal selanjutnya mengajak saya ke sebuah ruangan di sebelah ruang tamu. Pintu besar yang semula tertutup kemudian ia buka. Di balik pintu itu, saya hanya melihat sebuah ruangan gelap yang nyaris kosong. Tak banyak perabotan di ruang itu. Hanya ada dua buah almari, sebuah ranjang besi tua, dan sebuah cermin besar. Mungkin si noni penghuni rumah ini dulu bersolek di depan cermin itu. Kendati sedikit gelap, namun hawa di dalam ruang itu terasa sejuk, tidak pengap walau sedikit tercium bau jamur. Kesejukannya itu berkat adanya jendela berjalusi yang tinggi. Walaupun ditutup, namun udara tetap dapat masuk ke dalam ruangan lewat celah jalusinya. Ibu Jamal kemudian membukakan jendela, sinar matahari segera saja menyeruak masuk ke dalam dan ruangan itu menjadi terang benderang. Jendela yang tinggi selain memperbanyak udara yang masuk juga berguna untuk memperbanyak sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan sehingga ruangan mendapat pencahaayaan alami dan mengurangi penggunaan lampu. Ruangan ini barangkali dulunya menjadi ruang tidur anak si pegawai pabrik yang tinggal di rumah ini. Dari jendela ruangan itu, pandangan saya lempar ke arah keluar. Dulu bangunan utama pabrik dapat dilihat dari sini. Benak sayapun kemudian melayang ke masa lampau, masa ketika rumah itu masih bersua dengan bangunan pabrik…
Foto pabrik gula sewugalur pada tahun 1917 (sumber ; geheugenvannederland.nl).
Foto udara area PG Sewugalur. Foto ini menghadap ke arah timur.
Tahun 1867 menjadi tahun malapetaka untuk penduduk Jawa bagian selatan karena pada tahun itu terjadi gempa bumi besar yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda. Salah satu wilayah yang terdampak cukup parah adalah Kulonprogo yang saat itu di bawah administrasi Kadipaten Pakualaman. Ketika Pakualaman sedang berupaya membangun kembali wilayahnya yang hancur akibat gempa, pemerintah kolonial Belanda melancarkan ekspedisi Aceh Kedua pada tahun 1873. Korps militer Legiun Pakualman yang dimiliki oleh Pakualaman lalu dilibatkan Belanda untuk dikirim ke Aceh. Sialnya, Pakualaman ternyata harus menanggung sendiri biaya untuk korps militer sehingga masalah keuangan bagi Pakualaman (De Locomotief, 23 Desember 1931). Sehubungan dengan masalah tersebut, maka Pakualaman menyewakan tanah di daerah Galur kepada Rudolf Martinus Evertt Raaf, Otto Arends Oscar Van den Bergh, dan Egbert Johannes Hoen pada tahun 1878 dengan nilai sebesar 4.200 gulden perbulan untuk jangka waktu 20 tahun (De Locomotief, 10 September 1903). Tanah perkebunan yang selanjutnya dikenal dengan nama Sewoogaloer mulanya menanam jenis tanaman nila. Bisnis Pperkebunan nila tersebut rupanya tidak berjalan mulus karena manajemennya buruk dan beban hutangnya besar. Oleh karena itu, pada awal tahun 1880 perkebunan tersebut akhirnya beralih ke budidaya tanaman tebu dan sebuah pabrik gula didirikan di sana. Malangnya, perkebunan tebu tersebut didirikan di saat yang tidak tepat karena industri gula di Jawa sedang didera krisis gula karena anjloknya harga gula di pasaran yang disebabkan oleh membanjirnya jenis gula beet di Eropa (Soerbaiasch Handelsblad 12 November 1900). Untungnya perkebunan tebu tersebut berhasil terhindar dari kebangkrutan. Pabrik gula Sewugalur lalu dikelola oleh "Cultuur Maatschappij Sewoe Galoor" yang dibentuk pada tahun 1891 dan sebagian besar sahamnya dikuasai oleh N.V Cultuur Matschapij der Vorstenlanden (Nederlandsche Staatscourant, 29 Oktober 1891). Selain di Sewugalur, perusahaan yang berkantor di Semarang ini juga memiliki beberapa pabrik gula yang tersebar di seantero Yogyakarta seperi Padokan, Demakijo, Wonocatur, Beran, Kedaton Plered, Sedayu, Barongan dan Rewulu (Dingemas.L.F, 122 ; 1920). 
Lokasi pabrik gula Sewugalur pada peta tahun 1921. Hanya berjarak sekitar 20 kilometer dari pesisir selatan menjadikannya sebagai PG paling selatan di Jawa.
Ketersediaan lahan dan kondisi geografis di sekitar PG Sewugalur, sangat memungkinkan untuk dibuka sebuah perkebunan tebu beserta pabrik pembuat gula. Hal ini juga didukung dengan tersedianya tenaga kuli yang diambil dari lingkungan sekitar pabrik dan mayoritas bekerja di sektor agraris. Untuk mendukung distribusi gula PG Sewugalur dan pabrik gula lain di wilayah selatan Yogyakarta, maka tahun 1914, dibukalah jalur kereta oleh NIS dari Stasiun Tugu hingga Halte Sewugalur. Pembangunan jalur ini selain bertujuan untuk memperlancar arus distribusi gula PG Sewugalur, juga bertujuan untuk mendukung perekonomian di Sewugalur yang pada waktu itu lumayan jauh dari pusat kota. Inilah mengapa lokasi halte Sewugalur dibangun di dekat pasar Sewugalur (Rizal Dhani, 2010; 73-79).
Foto jajaran pegawai pabrik gula Sewugalur pada tahun 1912. Nampak administratur pabrik gula Sewugalur pada waktu itu,Cosmus van Bornemann yang kemudian dipindah ke pabrik gula Gelaren pada tahun 1930an. Pengganti Cosmus van Bornemann ialah Albert Kuipers (sumber ; geheugenvannederland.nl).
Dilansir dari  Het Nieuws van den Dag Nederlandsch Indie, 16 Mei 1922, sehari sebelum berita itu turun, telah terjadi perkelahian antar sesama kuli PG Sewugalur. Seorang mandor sudah melepaskan tembakan peringatan ke udara. Alih-alih mereda, perkelahian kian parah karena diduga ada provokator di dalamnya. Para kuli saling memukul dengan cangkul. Akibatnya banyak kuli yang terluka.
Rumah dinas pegawai  pabrik gula Sewugalur (sumber : geheugenvannederland.nl).

Karung-karung gula yang siap dijual ke pasaran. (sumber ; geheugenvannederland.nl)
Cerobong pabrik yang sedang dibangun (sumber ; geheugenvannederland.nl).
Rumah sakit pembantu di dekat PG Sewugalur. Dibangun tahun 1922 setelah merebak wabah malaria di sekitar pabrik.
Takdir pabrik gula ini mencapai titik nadirnya tatkala badai krisis ekonomi atau malaise memporak-porandakan perekonomian dunia pada tahun 1930an. Krisis ini mengakibatkan kandasnya harga gula di pasaran dan berimbas dengan ditutupnya banyak pabrik gula untuk mengembalikan harga gula. PG Sewugalur termasuk pabrik gula yang terdampak dari kebijakan tersebut. Sekitar tahun, PG Sewugalur mematikan mesin untuk selamanya. Mesin-mesin operasional pabrik gula yang malang itu dijual ke PG Sragi di Jawa Timur yang hingga sekarang masih beroperasi. Selain mesin, sebagian besar rumah dinas pegawai juga ikut dijual. Ditutupnya PG Sewugalur rupanya membuat keuangan Kadipaten Pakulaman cukup terpukul karena setengah pendapatannya bersumber dari pabrik gula tersebut (Algemeen Handelsblad 10 Mei 1938). Pada tahun 1942, setelah Jepang masuk ke Hindia-Belanda, bangunan pabrik gula Sewugalur diratakan oleh Jepang. Jalur-jalur kereta api dari Sewugalur ke Palbapang dicopot oleh Jepang dan diangkut ke Burma (Myanmar) dan Sumatera untuk material jalur yang sedang dibangun Jepang di sana. Dilansir dari laman www.indischekamparchieven.nl, bekas kompleks rumah dinas pegawai Sewugalur pada tahun 1946 dimanfaatkan oleh para tentara Republik Indonesia untuk menginternir sebagian ibu-ibu dan anak-anak Eropa dari Yogyakarta. Tiap harinya, mereka dijatah beras 200 gram perorangnya dan mereka diijinkan belanja di pasar untuk mencari bahan pangan lainnya. Walaupun kamp internir yang dipimpin oleh Nyonya Ch. E. Bos itu memiliki dapur umum, sebagian besar keluarga memilih memasak sendiri. Tikar digelar di lantai sebagai tempat tidur mereka. Kendati demikian, perlakukan yang mereka terima lebih manusiawi dibandingkan ketika mereka diinternir oleh Jepang.
Langit-langit rumah dari anyaman bambu.
Bagian ruang belakang rumah ibu Jamal.
Saya segera tersadar dari lamunan saya begitu Ibu Jamal mengajak saya melihat bagian belakang rumahnya. Di belakang ruang tamu, terdapat sebuah ruang keluarga, dimana saya masih bisa melihat sebuah lemari buffet tua dan sebuah cermin besar yang tergantung miring. Hiasan kaca patri berwarna hijau dan merah semakin menambah kesan antik ruangan itu. Saya membayangkan di ruang inilah dahulu keluarga pegawai pabrik yang tinggal di sini mengadakan makan malam bersama setelah seharian beraktivitas di pabrik. Sambil menyantap hidangan yang disiapkan oleh pembantu yang tinggal di kamar belakang, mereka membicarakan mengenai hal apa saja yang sudah dilakukan seharian. Di masa ketika hiburan masih jarang, kegiatan makan malam seperti ini benar-benar menjadi hiburan tersendiri bagi setiap anggota keluarga. Dari sinilah interaksi antar anggota keluarga terbangun.
Bangunan di belakang rumah yang dulu digunakan untuk kamar pembantu dan kamar mandi.
Paviliun samping.
Di belakang rumah, dapat dijumpai bangunan tambahan yang berisikan kamar pembantu, dapur, gudang, dan kamar mandi. Di situ juag terdapat sumur dan sebuah wastafel tempat cuci piring yang sudah ada semenjak rumah itu dibangun. Bagian-bagian ini dibuat mengelilingi sebuah halaman terbuka di bagian tengah rumah. Beberapa bagian ini sekarang menjadi ruang tinggal keluarga Ibu Jamal. Di samping rumah Ibu Jamal, terdapat sebuah bangunan kecil yang dahulu menjadi paviliun tamu yang juga dapat digunakan sebagai tempat tidur tamu jika tamu hendak bermalam.
Bangunan ujung utara.
Bangunan rumah dinas yang saat ini dalam kondisi rusak karena gempa yang mengguncang tahun 2006 silam.
Bangunan rumah dinas yang cukup terawat.
Bangunan bekas kamar bola atau sosieteit.
Berada di sebelah utara rumah Bapak Karwono, terdapat sebuah bangunan lama yang dahulu menurut warga sekitar merupakan kamar bola atau sosieteit. Di wilayah Sewugalur yang lumayan jauh dari pusat kota, keberadaan sosieteit menjadi oase kesenangan bagi para pegawai pabrik gula yang mayoritas adalah orang Belanda. Mereka tentu menganut kebiasaan barat yang berbeda dengan kebiasaan orang pribumi. Di sini, setelah seharian bekerja di pabrik, mereka menghibur diri dengan bermain bilyard, minum-minuman alkohol, atau berdansa. Dengan adanya sosieteit ini, mereka tidak perlu jauh-jauh pergi ke kota untuk mencari hiburan. Di depan sosieteit ini dahulu terdapat sebuah lapangan tenis, salah satu olah raga yang digemari oleh orang Barat. Kegiatan ini biasanya dilakukan di pagi atau sore hari. Sempat dipakai sebagai kantor bank BRI cabang Galur sebelum menjadi rumah tinggal.
Bekas rumah dinas pegawai pabrik gula Sewugalur dengan fasad depan yang berbentuk seperti gunungan.
Dari rumah Ibu Jamal, saya mencoba menelusuri berbagai jejak PG Sewugalur lain yang masih tertinggal. Kondisinya bermacam-macam. Ada yang masih utuh seperti rumah Ibu Jamal tadi dan rumah Bapak Karwono yang ada di sebelah utara rumah Ibu Jamal. Ada yang fasad depannya sudah dirombak. Ada pula yang tinggal reruntuh dindingnya saja. Banyak tinggalan rumah-rumah pegawai PG Sewugalur yang rusak setelah terjadi gempa yang mengguncang Yogyakarta tahun 2006 silam. Beberapa ada yang diperbaiki seperti rumah Ibu Jamal, namun lebih banyak yang kemudian ditinggalkan dan dibiarkan runtuh dengan sendirinya.
Gambaran kompleks pabrik gula Sewugalur pada peta tahun 1934 (sumber ; maps.library.leiden.edu).
Apabila melihat peta topografi lama, maka terlihat bangunan rumah tinggal para pegawai pabrik disusun mengelilingi pabrik. Konsep susunan tersebut dikenal sebagai konsep panopticon sebagai strategi pengawasan terhadap aktivitas pabrik gula. Dengan adanya konsep ini,buruh-buruh pribumi yang ada di pabrik akan selalu merasa diawasi tanpa kehadiran para staff pabrik yang mayoritas adalah orang Belanda (Hari Libra Inagurasi, 123;2010). Langgam arsitektur rumah ini dibangun dengan gaya arsitektur Indis sebagai penegasan bahwa kedudukan mereka sebagai pegawai pabrik berbeda dengan kedudukan buruh-buruh pribumi yang secara strata sosial pada waktu itu berada di kelas yang lebih rendah dari bangsa Eropa (Djoko Soekiman, 1997; 5).


Struktur-struktur sisa dari PG Sewugalue.

Sisa cerobong PG Sewugalur.
Lapangan ini dulu merupakan emplasemen lori PG Sewugalur.
Bekas bangunan kantor PG Sewugalur.
Lalu bagaimana dengan nasib bangunan pabrik gula Sewugalur itu sendiri ? Satu-satunya yang tersisa dari bangunan PG Sewugalur hanyalah sebuah struktur pondasi bekas cerobong asap yang terletak di belakang salah satu rumah warga. Kondisi sekitar bekas cerobong yang terbuat dari beton itu cukup kotor, di sekelilingnya terlihat banyak tumpukan sampah seolah-olah cerobong ini bukanlah sebuah peninggalan sejarah yang berharga. Saya sendiri tidak berlama-lama untuk melihat cerobong. Selain tidak kuat dengan bau tumpukan sampah, juga karena tidak tega melihat kondisi cerobong yang dulu menjadi saksi dari kejayaan Pabrik Gula Sewugalur. Selain struktur cerobong, masih bisa ditemukan pula sisa saluran pembuangan limbah yang mengalirkan limbah pabrik ke Kali Progo. Sulit dibayangkan bahwa Pabrik Gula Sewugalur yang sedemikian besarnya dapat begitu saja lenyap dan hanya menyisakan beberapa puing yang nyaris tanpa arti...
Kerkhof Sewugalur.
Makam Maria Arabella Junman.
Tak jauh dari lokasi PG Sewugalur, saya menjumpai bekas area kerkhof atau pemakaman Belanda, tempat dimana raga keluarga pegawai pabrik yang telah tiada dimakamkan. Kerkhof ini dulunya dikelilingi oleh tembok pembatas yang kini tinggal sebagian saja yang masih berdiri. Di makam itu, hanya tinggal satu makam saja yang prasastinya masih tersisa, itupun sudah hilang separo sehingga isinya tidak dapat dibaca secara utuh. Dari tulisan yang masih bisa terbaca, diketahu bahwa makam itu merupakan makam dari Maria Arabella Junman. Sepertinya beliau adalah anak perempuan atau mungkin istri dari pegawai pabrik gula Sewugalur. Mengapa di dekat kompleks PG Sewugalur terdapat kompleks kerkhof ? Jawabannya mudah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, lokasi PG Sewugalur berada lumayan jauh dari perkotaan, sehingga ketika ada orang meninggal, tentu akan menghabiskan perjalanan cukup lama untuk membawa jenazah kerkhof di kota Yogyakarta. Sehingga untuk menghemat waktu perjalanan maka dibukalah area kerkhof di dekat lokasi pabrik. Selain itu, terkadang ada keluarga pegawai pabrik gula yang memiliki permintaan untuk dimakamkan di dekat pabrik. Hal ini menunjukan adanya ikatan emosional antara si keluarga pegawai pabrik gula dengan tempat mereka bekerja. 

Penelusuran saya di Sewugalur berujung di Halte Sewugalur yang kini lokasinya menjadi halaman depan SMP N 1 Galur. Halte itu merupakan tempat dimana kereta berhenti untuk menaik-turunkan penumpang di Sewugalur. Namun bukan penumpang yang menjadi muatan utama kereta itu, melainkan karung-karung gula dari PG Sewugalur. Mata saya kemudian menangkap sebuah gundukan tanah memanjang yang ada tengah-tengah sawah. Setelah dicocokan dengan data peta lama dan citra satelit sekarang, tidak salah lagi kalau gundukan tanah itu merupakan bekas railbed atau gundukan jalur kereta Sewugalur-Yogyakarta.
Kondisi pabrik gula Sewugalur saat ini.Keterangan. Kotak kuning : bekas lokasi pabrik. Titik kuning : Lokasi struktur pondasi cerobong. Kotak merah : lokasi rumah dinas. Garis putus-putus : jalur kereta NIS. 1 : Rumah ibu Jamal. 2 : Rumah bapak Karwono. 3 : Kantor.
Dengan berbagai fasilitas seperti perumahan orang Eropa, pasar, halte, sosieteit dan lahan pemakaman Eropa, lama kelamaan kompleks Pabrik Gula Sewugalur berkembang hampir menyerupai sebuah kota koloni kecil di daerah pedalaman. Bahkan pada waktu itu berkembang wacana pembangunan pelabuhan di pantai selatan untuk mempersingkat jarak distribusi gula di wilayah Yogyakarta yang masih bergantung dengan pelabuhan di Semarang.


Begitulah hasil penelusuran saya pada sisa-sisa PG Sewugalur. Kednati PG Sewugalur kini tinggal nama saja, namun ia masih menyisakan sebagian kecil tinggalan bangunan rumah dinas yang terawat dengan baik hingga kerkhof dengan kondisinya menyedihkan. Semua peninggalan itu merupakan saksi bisu dari kejayaan PG Sewugalur, sebuah satu-satunya pabrik gula yang pernah berdiri di Kulonprogo yang hilang tergilas oleh zaman…

Referensi
Dhani, Rizal. 2010. "Situs Pabrik Gula Sewugalur (1889-1930) (Tinjauan terhadap Latar Belakang Pemilihan Lokasi dan Pengaruh Keberadaanya terhadap Pemukiman Kolonial di Sekitarnya)". Skripsi. Depok : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Dingemans, L.F. 1920. Gegevens Over Djokjakarta. 

Inagurasi, Hari Libra. 2o10. " Pabrik Gula Cepiring di Kendal 1835-1930,Sebuah Studi Arkeologi Industri ". Tesis. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Soekiman, Djoko. 1997. " Seni Bangun Gaya Indis, Penelitian, Pelestarian, dan Pemanfaatanya " dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi VIII, Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indis. Yogyakarta 9 Agustus 1997.

van Bruggen, M. P dan Wassing, R.P . 1998. Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden. Amsterdam : Asia Maior.

Algemeen Handelsblad, 10 Mei 1938

De Locomotief, 10 September 1903

De Locomotief, 23 Desember 1931

Senin, 15 Februari 2016

Senyap Pasar Srowolan, Pasar Perjuangan yang Terlupakan

Pasar, sebuah tempat dimana para pedagang dan pembeli bertemu, tempat dimana orang mengais nafkah dan juga mencari kebutuhan hidupnya. Karena pentingnya sebuah pasar, maka keberadaanya dapat ditemukan baik di perkotaan yang riuh hingga sebuah desa di kaki bukit. Jejak Kolonial pada kesempatan kali ini akan mengajak anda untuk beringsut menjauh dari perkotaan, menuju ke suatu desa di Sleman untuk menoleh jejak perniagaan masyarakat rural di masa kolonial.
Los-los Pasar Srowolan.
Desa Purwobinangun adalah sebuah desa yang berada di bawah Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Di sana terdapat sebuah pasar kuno yang masih sedikit dikenal orang. Pasar Srowolan namanya. Ketika saya sejenak mengunjungi pasar ini, tak terjumpai riuh ramai pedagang layaknya sebuah pasar. Di bawah atap-atapnya, hanya suasana senyap yang saya rasakan. Jauh dari kesan hingar bingar sebuah pasar pada umumnya. Pasar itu rupanya sudah lama mati seperti yang dituturkan salah satu penduduk sekitar. Pasar itu hanya buka dalam hari pasarannya yang jatuh setiap Wage, itupun tak lebih dari lima pedagang saja yang berjualan. Selebihnya di hari lain, pasar itu benar-benar mati.
Pasar Srowolan yang lengang.
Dalam budaya Jawa, sebuah pasar memang hanya dibuka sekali dalam sepekan yang biasanya ditentukan dalam hari pasaran. Hari pasaran Jawa meliputi Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Ada alasan mengapa setiap pasar memiliki hari pasaran yang berbeda dengan pasar lain. Alasannya adalah bahwa para pedagang pasar di desa-desa zaman dahulu bukalah pedagang murni. Sebagian besar di antara mereka adalah para petani yang menjual sisa panen mereka. Mereka juga tak terlalu banyak membeli barang kebutuhan mengingat kecilnya pendapatan mereka sehingga mereka hanya membeli kebutuhan yang bukan hasil panen mereka saja. Dengan daya beli pengunjung pasar yang kecil, manakala terlalu banyak barang yang dijual di pasar, maka akan timbul deflasi atau turunnya harga barang. Harga barang yang terlalu murah tentu saja tidak menguntungkan pedagang. Sebab itulah tidak setiap hari pasar buka. Guna meratakan perdagangan, maka dalam satu distrik atau kecamatan akan memiliki lima pasar dengan hari pasaran yang berbeda dan selalu bukanya selalu bergantian.
Tiang-tiang besi penopang atap.
Sejarah berdirinya Pasar Srowolan masih memiliki sangkut paut dengan pembentukan Kemantren Srowolan pada 1896. Adapun bangunan pasar yang terlihat sekarang merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 1921. Sebagai pasar Kasultanan, pasar ini merupakan satu dari 129 buah pasar yang dikelola oleh Kasultanan Yogyakarta (Dingemans, 16; 1925). Pemugaran pasar dikerjakan oleh N.V Construtie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta dan material bangunannya disediakan oleh N.V. Braat, perusahaan yang didirikan pada 1901 dan memiliki cabang di Surabaya, Yogyakarta, Sukabumi dan Tegal. Bentuk pasar ini sederhana saja, hanya berupa deretan los-los terbuka dengan atap pelana. Atap-atap pelana itu disokong oleh batang dan rangka besi yang masing-masing disambung dengan baut dan mur. Dari inskripsi yang tertera pada salah satu batang besi, besi-besi penyokong pasar ini dibuat di pabrik peleberuan besi Guttehofnungshotte yang ada di Jerman. Material besi dipilih untuk menggantikan kayu karena selain lebih awet dan tidak banyak biaya perawatan, material tersebut juga lebih mudah untuk diangkut ke pasar-pasar desa yang umumnya tersebar hingga pelosok dan tinggal dirakir saja (Dingemans, 1926; 104)
Pasar Saren, Wedomartani, Ngemplak.
Pasar Srowolan sebagaimana pasar tradisional tempo dulu tidak diberi sekat setiap kiosnya. Sejatinya, bangunan sejenis Pasar Srowolan bertebaran di pelosok desa di Yogyakarta. Pasar Kenteng misalnya. Tidak seperti Pasar Srowolan yang kini menjadi pasar mati, pasar yang terletak di gerbang Menoreh itu masih semarak dengan kegiatan niaga walau hanya pada hari pasarannya saja. Contoh pasar lain yang masih bergeliat adalah Pasar Saren di Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Walau demikian, setidaknya nasib Pasar Srowolan sedikit lebih mujur dibanding Pasar Turi yang kini sudah terbongkar.
Pasar Kenteng, Nanggulan, Kulonprogo.
Bagaimana kehidupan pasar Srowolan ketika masih berjaya ? Dalam tulisan bertajuk Pasar Srowolan di Sleman pada Masa Agresi Militer Belanda Kedua, pasar yang hari pasarannya jatuh pada hari Wage ini cukup ramai dengan kegiatan jual beli. Di bawah atap pasar, para pedagang pribumi menggelar segala dagangan yang akan dijual, dari beras, buah-buahan, makaman tradisional, tanaman palawija, sandang, tembakau, daging sapi, alat dapur, bumbu masakan, alat pertanian dan lainnya. Sebelum masa Agresi Militer Belanda Kedua, terdapat pedagang Tionghoa yang membuka kios-kios di sebelah barat pasar Srowolan. Barang yang ditawarkan mereka antara lain barang kelontong, obat tradisional, kebutuhan pokok, dan daging babi. Di samping itu, mereka juga menjadi rentenir yang memberi pinjaman kepada para pedagang. Para pedagang Tionghoa mulai tak kelihatan batang hidungnya pada masa Agresi Militer Belanda Kedua karena mereka dianggap mata-mata Belanda dan oleh pemerintah RI mereka harus meninggalkan Pasar Srowolan. Selain sebagai pusat kegitan jual beli, pasar ini juga menjadi tempat diberlangsungkannya upacara tradisional yang disebut midhang. Upacara yang dilaksanakan hanya pada hari Jum'at Wage merupakan bentuk ucapan rasa syukur atas terkabulnya permohonan. Midhang dilakukan dengan membawa sapi ke pasar. Leher sapi dikalungi dengan ketupat dan kemudian dibawa ke Pasar Srowolan. Di sana sapi diarak keliling pasar. Pemilik sapi memberi uang dan sesaji kepada mereka yang membutuhkan. Di samping itu, kadangkala kelompok hiburan tradisional seperti jathilan, slawatan, dan rodat diundang oleh mereka yang punya hajat midhang untuk pentas di Pasar Srowolan. Ketika pentas tersebut digelar, kehidupan Pasar Srowolan kian semarak dengan orang-orang yang ingin menonton hiburan gratis itu.
Plakat pabrik Braat.
Dibalik kesederhanaan bangunannya, Pasar Srowolan selain menjadi tempat jual beli juga pernah merangkap sebagai tempat pertukaran informasi antar gerilyawan di masa kemerdekaan. Dikisahkan, pada saat masa Agresi Militer Belanda Kedua, wilayah Sleman dikuasai oleh militer Belanda dan akibatnya banyak pasar yang sepi. Sebaliknya, entah apa sebabnya Pasar Srowolan justru masih ramai. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para pejuang untuk mengumpulkan logistik. Selain sebagai tempat mencari persediaan, mereka juga menjadikan pasar ini sebagai tempat pertukaran informasi.

Pasar Srowoloan hanyalah salah satu jejak kolonial yang memberikan gambaran pada generasi kekinian mengenai kegiatan perniagaan masyarakat rural di masa kolonial. Walau Pasar Srowolan raganya masih awet, namun jiwanya kini telah pupus. Kegiatan perniagaan sudah tidak sesemarak dulu lagi. Di bawah atap-atap itu, hanya suasana senyap yang terasa sebelum saya meninggalkan pasar ini.

Referensi
Dingemans, L. F. 1925. Gegevens over Djokjakarta. Magelang: Firma Maresch.
Dingemans, L. F. 1925. Gegevens over Djokjakarta A. Magelang: Firma Maresch.
Yustina Hastrini Nurwanti. 2000. "Pasar Srowolan di Sleman Pada Masa Agresi Militer II : Suatu Kajian Sejarah Sosial" dalam Patr-Widya. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Kamis, 11 Februari 2016

Membongkar Ingatan di Stasiun Purworejo

Gedung stasiun tua itu berdiri di suatu tepi jalan di Purworejo yang ramai hilir mudik kendaraan. Kusen kayu jati, dinding tebal nan tinggi, dan atap baja makin menegaskan kekunoan bangunan stasiun itu. Ya, itulah Stasiun Purworejo, sebuah stasiun sarat kenangan yang menghantarkan saya pada sebuah ingatan belasan tahun silam, ketika saya bersua dengan kereta api untuk pertama kalinya. Deru suara mesin lokomotif diesel yang menggema di peron stasiun masih sedikit terngiang di telinga saya. Kini, saya mencoba untuk membongkar kembali ingatan saya di stasiun ini, seraya menerawang lebih jauh sejarah dari stasiun Purworejo.

Tampak depan stasiun.
Overkapping yang menaungi peron Stasiun Purworejo.
Dari luar, bangunan Stasiun Purworejo tak begitu istimewa dibandingkan dengan stasiun kuno yang pernah saya sambangi seperti Stasiun Ambarawa, Stasiun Tawang, atau Stasiun Jebres. Bagian depannya memiliki tiang bendera dan kanopi yang lumayan lebar sehingga orang tidak basah kehujanan saat turun dari delman atau mobil. Meskipun parasnya biasa-biasa saja, namun kenangan yang membungkusnya yang membuat saya tertarik untuk melangkah masuk kembali ke stasiun itu. Di lobi tempat dulu penumpang membeli tiket, saya masih menjumpai loket yang kini tertutup rapat. Entah kapan loket itu akan kembali buka melayani penumpang. Saya seketika kembali teringat, persis di samping kanan ruang lobi ini, pernah ada sebuah warung soto legendaris di kota ini. Soto Stasiun Pak Rus namanya. Benak saya seketika teringat dengan aroma soto yang dahulu menyeruak seisi ruangan lobi, menggoda perut setiap orang yang menciumnya. Dulu, alih-alih datang untuk naik kereta atau membeli tiket, orang-orang justru datang ke sini sekedar untuk menyantap semangkok soto yang lezat itu. Stasiun Purworejo dulu tersohor dengan sotonya yang lezat. stasiun tua. Ibarat mata uang, keberadaan Stasiun Purworejo dan Warung Soto itu tak dapat dipisahkan. Sayangnya, mereka akhirnya harus berpisah setelah stasiun ini tak lagi dipakai dan warung soto itu pindah ke timur stasiun. 
Loket stasiun Purworejo.
Bovenlicht yang terlihat di atas pintu masuk stasiun.
Kondisi peron itu masih terlihat mirip ketika saya mengenal dengannya untuk pertama kali belasan tahun silam. Rangka kanopi peron yang melengkung masih utuh di tempatnya beserta atap bajanya. Lantai keramik ; yang menggantikan ubin tegel lawas, juga masih terhampar di lantai peron. Walau demikian, suasana peron itu telah berubah drastis. Ya, peron itu kini sudah lengang. Tiada lagi terlihat penumpang kereta yang sedang menunggu kereta, pedagang asongan yang menjajakan dagangannya, para petugas stasiun yang sedang sibuk bekerja, ataupun orang-orang yang datang ke stasiun sekedar penasaran dengan rupa kereta. Beragam rasa terekam dengan baiknya di setiap dinding stasiun ini. Ada rasa sedih dari orang hendak ditinggal pergi oleh orang yang dikasihinya. Ada pula perasaan bahagia yang muncul dari mereka yang sedang menyambut sanak keluarga yang mereka rindukan. Ya, stasiun pada dasarnya adalah sebuah tempat yang unik karena disinilah perjumpaan dan perpisahan berkelindan dalam satu ruang, menjadikan tempat ini kental dengan segala ingatan....
Peron Stasiun Purworejo yang kini lengang.
Alat pengatur sinyal Alkmaar.
Tulusan "+63" menunjukan ketinggian stasiun Purworejo dari permukaan air laut.
Betapa lengangnya suasana peron siang itu. Kontras sekali dengan suasana peron itu  ketika untuk pertama kalinya saya mendengarkan gemuruh bunyi mesin lokomotif feeder bermesin diesel hidrolik yang baru saja tiba. Sayapun bersama keluarga bergegas menaiki salah satu gerbong. Sungguh tak disangka, pengalaman saya pertama kali naik kereta api kala itu akan menjadi pengalaman terakhir saya begitu mengetahui jalur Purworejo-Kutoarjo dinonaktifkan pada tahun 2010. Namun sesungguhnya, bukan kali itu saja stasiun ini dinonaktifkan. Di bawah bayang-bayang kanopi berangka baja melengkung itu, saya mencoba untuk mengingat awal mula kehadiran kereta api di kota pensiun ini. Riwayat berdirinya stasiun Purworejo tentu tidak terlepas dari pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Yogyakarta-Cilacap. Ide pembangunan jalur Yogyakarta-Cilacap sudah terlintas sejak tahun 1869, enam tahun semenjak jalur kereta pertama kali dirintis perusahaan swasta Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij yang menghubungkan Semarang dengan Yogyakarta (Rietsma, 1925; 2). Sedianya, konsensi jalur kereta tersebut sudah ditawarkan pemerintah kepada swasta dan sudah ada yang tertarik untuk menggarapnya. Pada 29 September 1883, perusahaan dagang terbesar di Hindia-Belanda saat itu, Nederlandsche Handelmaatschappij telah mengajukan permohonan konsensi jalur kereta Yogyakarta-Cilacap. Namun permohonan tersebut ditolak setelah pemerintah memutuskan akan menggarap sendiri jalur tersebut melalui jawatan kereta negara Staatspoorwegen (SS) (Rietsma, 1925; 8). Tampaknya alasan pemerintah kolonial akan menggarap sendiri jalur tersebut adalah karena di sepanjang jalur tersebut terdapat garnisun militer penting seperti Gombong, Purworejo, dan Cilacap yang menjadi satu-satunya pelabuhan besar di pesisir selatan Jawa. 
Suasana sekitar stasiun Purworejo tahun 1903. (sumber : datacollectienederland.nl)
Dalam proses perencanaanya, ada dua rute yang hendak dipilih. Rute pertama yakni jalur dari Kutoarjo akan menuju Purworejo, kemudian mengarah ke Magelang, dan berujung di Yogyakarta. Sementara pada rute kedua, dari Kutoarjo jalur akan berbelok ke selatan melewati bagian selatan perbukitan Menoreh dan langsung ke arah Yogyakarta. Mengingat pertimbangan biaya, maka rute kedua yang akhirnya dipilih. Namun atas desakan dari pihak militer, maka dibuatlah percabangan jalur dari Kutoarjo mengarah ke Purworejo sepanjang 12 km (Rietsman, 1925; 4). Menurut pandangan militer, Purworejo perlu disambungkan dengan jalur kereta supaya kebutuhan militer yang didatangkan dari luar dapat diangkut ke Purworejo dan memudahkan mobilitas pasukan. Di samping itu itu, diharapkan di masa depan nanti pembangunan jalur kereta dapat diteruskan ke Magelang.
Station Purworejo sekitar tahun 1910. Jalan di depan stasiun ini dahulu bernama Stationlaan (sumber ; media-kitlv.nl).

Setelah melalui berbagai perencanaan dan masukan, maka Staatspoorwegen memulai pembangunan jalur kereta yang terbentang dari Cilacap hingga Yogyakarta pada tahun 1884. Pembangunan tersebut memakan anggaran sebesar 14.430.000 gulden dan memakan waktu 2 tahun 11 bulan untuk menyelesaikannya. Akhirnya kereta melintas untuk pertama kalinya di lintasan Yogyakarta-Kutoarjo pada tanggal 16 Juli 1887. Kereta tersebut berangka pukul 7.30 pagi dari Yogyakarta dengan tujuan Kutoarjo. Di dalam kereta tersebut, terdapat gubernur jenderal Otto van Rees beserta rombongannya. Kereta sampai di Kutoarjo pada 9.40 pagi dan dilanjutkan dengan perjalanan menuju Purworejo yang tiba di stasiun Purworejo pada pukul 10.15 pagi (Algemeen Handelsblad 24 Agustus 1887).

Berita peresmian jalur kereta Purworejo-Cilacap oleh Gubernur Jenderal Otto van Rees (sumber : Algemeen Handelsblaad 24 Agustus 1887).
Tari penumpang dan jadwal perjalanan kereta Purworejo-Kutoarjo pada tahun 1903-1904 (Sumber : Album Excelsior).
Musadad (2001) dalam laporan penelitiannya menyebutkan bahwa perekonomian Purworejo yang semula kurang berkembang karena bergantung pada transportasi tradisional seperti kuda dan gerobak, akhirnya menjadi lebih maju berkat kehadiran kereta api yang lebih efektif dan efisien. Ditinjau dari segi militer, kehadiran stasiun ini juga meningkatkan mobilitas militer dan menjadikan Purworejo terhubung dengan garnisun militer di tempat lain seperti Gombong (Musadad, 2001;38). Meskipun keberadaan stasiun kereta api di Purworejo tampak bermanfaat untuk kegiatan perdagangan dan mempersingkat waktu perjalanan, namun beberapa orang Belanda di Purworejo zaman dahulu menilai bahwa sambungan jalur kereta api adalah biang dari kemerosotan Purworejo yang terjadi pada akhir abad ke-19. Pasalnya kota-kota lain yang semula laju perkembanganya biasa saja, kini berkat adanya sambungan kereta dapat berkembang lebih pesat daripada Purworejo. Sementara Purworejo sendiri memang tersambung dengan jalur kereta api namun jalur tersebut adalah jalur buntu sehingga arus penumpang dan barang yang melewati Purworejo menjadi sedikit sehingga pertumbuhan yang dialami tidak sebesar dengan tempat-tempat lain yang dilintasi jalur kereta (De Locomotief, 8 Oktober 1896).
Keadaan lingkungan stasiun Purworejo. Keterangan : A. Stasiun Purworejo; B. Rumah Dinas Stasiun Purworejo.
Bentuk bangunan Stasiun Purworejo terlihat beda-beda tipis dengan bangunan stasiun milik Staatspoorwegen yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Timur, seakan sang arsitek hanya bisa menjiplak model yang sudah ada. Bersama dengan Stasiun Jebres di Solo, barangkali Stasiun Purworejo merupakan bangunan stasiun peninggalan Staatspoorwegen di Jawa Tengah yang masih tampak asli. Stasiun adalah gedung yang memiliki peran istimewa dalam suatu kota sehingga penempatan lokasinya harus dipertimbangkan secara masak agar mudah dijangkau dari berbagai penjuru kota. Selain itu, penempatan stasiun sebisa mungkin tidak membuat banyak potongan perlintasan jalan utama dan jalur kereta di tengah kota yang dapat menghambat lalu lintas (Handinoto, 199; 55-56). Stasiun Purworejo ditempatkan di jalan arteri yang menghubungkan Purworejo dengan Magelang. Supaya memenuhi kedua tujuan tersebut, maka Stasiun Purworejo ditempatkan di bagian pinggiran utara kota Purworejo dan berada di pinggir jalan raya Purworejo-Magelang.
Bekas rumah kepala balai yasa stasiun Purworejo.
Untuk sarana penunjang, di sekitar stasiun juga dibangun rumah tinggal untuk pegawai stasiun dan sebuah balai yasa lokomotif, tempat dimana lokomotif diperbaiki dan dirawat. Namun pada 31 Desember 1930, Staatspoorwegen menutup balai yasa Stasiun Purworejo dalam rangka penghematan. Kegiatan perawatan kereta dan gerbong dialihkan ke Stasiun Kutoarjo. Sementara pegawai balai yasa stasiun Purworejo dipindahkan ke Lahat (De Locomotief, 20 Oktober 1930). Balai yasa itu kini menjadi perumahan tentara dan tinggal menyisakan rumah kepala balai yasa.
Rumah dinas pegawai stasiun.
Rumah dinas untuk pegawai stasiun tingkat bawah.
Masa-masa selanjutnya merupakan masa dimana Stasiun Purworejo nasibnya terombang-ambing. Ia sempat ditutup pada masa kependudukan tentara Jepang. Awal kemerdekaan ia dibuka kembali, lalu ditutu kembali sekitar tahun 1952-1955. Lalu saat peralihan menjadi Djawatan Kereta Api (DKA) petak jalur tersebut kembali dibuka. Kemudian tahun 1977, ia kembali ditutup hingga dekade 1990-an. Setelah tak dipakai sekian lama, sekitar tahun 1990an, ia diaktifkan kembali pada masa kepemimpinan Goernito, Bupati Purworejo dan Haryanto Dhanutirto, Menteri Perhubungan kala itu. Tahun 2010stasiun ini akhirnya kembali diistirahatkan karena rel yang terbentang di sepanjang jalur kereta Purworejo-Kutoarjo rupanya belum layak untuk dilintasi kereta api standar (Agung Pranoto;2012). Karena stasiun ini merupakan Cagar Budaya, maka ia sempat dikonservasi oleh Unit Pelestarian Benda dan Bangunan PT. KAI (Persero) di tahun 2012. Sampai tulisan ini dibuat (2017), tak ada tanda-tanda stasiun ini akan hidup kembali. Rel-rel di emplasemen sudah lama menganggur. Ruang kantor stasiun masih kosong melompong. Loket juga belum kunjung dibuka. Stasiun itu masih beristirahat dengan kesunyiannya yang panjang…
Jalur ujung stasiun Purworejo. Sedianya, Belanda akan membangun jalur kereta yang menghubungkan Purworejo dengan Magelang dengan menembus perbukitan Menoreh.
Saya kini berdiri bersandar pada salah satu tiang baja atap kanopi. Tatapan mata saya mengarah ke ujung emplasemen stasiun di sebelah timur. Di kejauhan, tampak hijaunya perbukitan Menoreh yang dulu hendak ditembus oleh jalur kereta. Ditinjau dari segi arsitektur bangunannya, stasiun Purworejo adalah stasiun persinggahan atau doorgangstation di mana jalur utama terus berlanjut dan bangunan stasiun sejajar dengan satu sisi jalur utama. Namun jika melihat peta jaringan kereta di Jawa, Stasiun Purworejo justru ada di ujung jalur Kutoarjo-Purworejo. Pembangunan jalur kereta di Purworejo rupanya tak berhenti sampai di Stasiun Purworejo saja. Sedari awal pemerintah kolonial memang sudah berancang-ancang untuk menjalin jalur kereta Purworejo–Magelang sebagai bagian dari jalur kereta Cilacap-Semarang. Rencananya, dari Purworejo jalur kereta akan melewati Loano, Bener, Salaman, Borobudur, dan kemudian menyambung dengan jalur kereta Yogyakarta-Magelang di Blondo. Namun pembangunan sambungan kereta antara Magelang-Purworejo akan menjadi salah satu pembangunan jalur kereta yang terberat dan termahal dalam sejarah perkeretapian di Indonesia. Sulit dibayangkan akan ada berapa banyak bukit yang akan digali dan jembatan yang harus dibangun di atas jurang sungai yang dalam. Selain itu sebuah terowongan sepanjang 850 meter akan digali menembus perut perbukitan Menoreh. Biaya pembangunannya diperkirakan sekitar NLG 4.576.000. Mengingat pembangunannya dinilai sulit dan cukup mahal biayanya, maka pembangunan jalur kereta Purworejo-Magelang belum bisa menjadi prioritas dan terhenti di Purworejo (Rietsma, 1925; 5). Namun semua kesulitan tadi akan terbayar dengan faedah luar biasa yang dihasilkan dari jalur tersebut. Dua kota pelabuhan penting, yakni Semarang di utara dan Cilacap di selatan akan tersambung. Perkebunan yang ada di wilayah selatan Karesidenan Kedu juga dapat memanfaatkan jalur tersebut untuk mengangkut hasil perkebunannya ke pelabuhan Semarang yang sarananya lebih lengkap dibanding Cilacap. Selain itu, jalur tersebut juga bakal mempersatukan Purworejo dengan serangkaian garnisun militer yang ada di Jawa Tengah seperti Gombong, Magelang, dan Ambarawa. Tak hanya untuk kepentingan ekonomi dan militer, jalur itu kelak juga dipakai untuk kepentingan wisata karena jalur akan melintas di dekat Candi Borobudur. Begitu manisnya harapan pemerintah kolonial itu namun harapan mereka pupus, sirna ditelan kenyataan bahwa keadaan Hindia-Belanda yang terancam perang saat itu sedang tidak memungkinkan untuk membangun jalur kereta baru. Hingga pergantian pemerintahan dari kolonial ke Republik Indonesia, jalur tersebut juga tak kunjung diwujudkan. Alhasil, gagasan tadi pada akhirnya hanya tersimpan di rak arsip....
Stasiun Purworejo ketika masih aktif. Terlihat sebuah kereta yang hendak berangkat ke Kutoarjo. Kapankah pemandangan ini akan terlihat kembali ?  (Sumber : https://c2.staticflickr.com/6/5083/5221964663_5b0087e39e_b.jpg ).
Hari ini, stasiun penuh kenangan itu masih tertidur lelap. Ia sedang menunggu deru suara mesin kereta yang akan membangunkannya suatu hari nanti. Saya yakin, betapa rindunya warga Purworejo mendengar bunyi kereta yang melaju di tengah kotanya. Sayapun juga membayangkan seandainya saja stasiun ini tak pernah ada, barangkali kota Purworejo tak akan semaju sekarang. Maka, sudah sepantasnya warga Purworejo berterima kasih kepadanya dengan cara melestarikanya untuk kebaikan anak cucu kita..

Referensi
Agung Pranoto dalam budayapurworejo.blogspot.com/2012/02/stasiun-purworejo.html
heritage.kereta-api.co.id.
Anonim. Nederlansch Indische Staatspoor en Tramwegen. Nederlands Welvaart.
Handinoto. 1999. "Perletakan Stasiun Kereta Api dalam Tata Ruang Kota di Jawa (Khususnya Jawa Timur) pada Masa Kolonial" dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Universitas Kristen Petra, Surabaya halaman 44-56.
Musadad. 2002. "Arsitektur dan Fungsi Stasiun Kereta Api bagi Perkembangan Kota Purworejo Tahun 1901-1930", Laporan Penelitian, Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Rietsma, S.A. 1925. Indische Spoorweg Politiek Deel VIII. Weltevreden : Landsdrukkerij.