Semilir angin pegunungan
nan sejuk menyambut kehadiran saya ketika tiba di stasiun mungil yang terletak
di Desa Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Untuk saya pribadi, itu adalah ketiga kalinya saya bertandang ke stasiun ini. Kali pertama ialah pada saat mengikuti kuliah
lapangan Arkeologi Kolonial tahun 2014 silam, pada saat saya masih menjadi
seorang mahasiswa. Sementara untuk yang kedua dan ketiga, saya datang ke
stasiun itu bersama rombongan Komunitas Kota Toea dalam rangka acara napak
tilas jalur kereta yang diadakan oleh komunitas tersebut.
Ruang tunggu dan tiket. |
Secara kasat mata,
bangunan stasiun itu amat sederhana. Ia hanya terdiri dari ruang tunggu
penumpang dan sebuah ruangan yang merangkap sebagai ruang kepala stasiun dan
ruang penjualan tiket. Bentuknya tidak kelewat besar untuk wilayah sekecil Bedono, namun tidak terlalu keciil juga. Rancangan stasiunnya benar-benar tampak selaras dengan lingkungan sekitar. Kendati mungil, atmosfir kekunoan stasiun itu masih kentara seakan ia melawan
arus waktu yang siap menghanyutkannya. Lantai ubin tegel kotak-kotak
khas stasiun tua masih dapat ditemukan di stasiun ini. Ubin tegel itu
didatangkan dari pabrik tegel terkenal di Belanda karena mutunya yang baik.
Berkat tegel itu, lantai stasiun tak akan basah apabila terkena air sehingga
orang tidak akan tergelincir saat berjalan di atasnya. Sebuah gagasan yang sedikit terpikirkan oleh orang-orang zaman sekarang. Di dalam salah satu ruang Stasiun Bedono, terdapat brangkas kecil yang melekat
pada tembok ruangan sehingga sulit baginya untuk dibawa. Brangkas itu
setidaknya menunjukan bahwa sekitar stasiun merupakan wilayah yang rawan dengan
aksi perampokan, apalagi letak stasiun agak terpencil yang membuatnya jauh dari
jangkauan petugas keamanan.
Jalur rel bergerigi yang masih utuh. |
Rel-rel baja yang dahulu
pernah dilintasi oleh lokomotif uap masih terbentang di emplasemen Stasiun. Lebar rel yang dipilih adalah 1067 mm, menyesuaikan dengan kondisi medan jalur kereta
Ambarawa-Secang berupa wilayah perbukitan sehingga jalur kereta harus dibuat
berkelak-kelok laksana ular yang sedang mendaki bukit. Supaya laju kereta mudah
mengikuti jalur yang berkelak-kelok, maka ukuran rel diperkecil. Secara geografis, Stasiun Bedono berada di titik tertinggi jalur Ambarawa-Secang, yakni di ketinggian 711 meter dpl. Jalur tersebut melalui punggungan bukit dan terdapat lereng yang kemiringannya lumayan curam di Pingit sehingga cukup berbahaya bagi kereta biasa melintasi jalur itu karena salah-salah kereta bisa tak terkendali dan terguling keluar jalur. Suatu teroboson akhirnya dibuat dengan melengkapi jalur gerigi pada jalur yang menuju ke arah Bedono. Jalur tersebut hanya dapat dilintasi oleh lokomotif khusus buatan pabrik Esselingen, Jerman yang memiliki roda gigi untuk mencengkeram gerigi yang ada di tengah rel. Jalur kereta Jambu-Bedono-Gemawang adalah jalur bergerigi pertama di Jawa seperti yang disebutkan dalam De Locomotief tanggal 27 September 1904.
Alat pengatur sinyal. |
Bak penampungan air. |
Corong air. |
Berbagai artefak yang
berkaitan dengan perkeretapian masih dapat dijumpai di emplasemen stasiun itu. Misalnya adalah corong air yang dahulu menjadi elemen penting di setiap stasiun karena lokomotif saat itu masih bertenaga uap. Corong air digunakan untuk menuangkan air dalam jumlah besar ke dalam ketel lokomotif. Letaknya ada di
ujung peron sehingga air dapat diisi ulang saat kereta berhenti. Bentuknya
seperti pipa tegak yang di ujungnya terdapat lengan yang dapat diputar sejajar
dengan sumbu rel saat tidak digunakan sehingga lengan corong tidak merintang
kereta yang akan melintas (Berckel, 1906: 104). Airnya dipasok dari sebuah sumber air alami yang ditampung pada
tandon di tebing seberang stasiun. Dengan bantuan gaya tarik bumi, air akan
mengalir ke corong itu dan selanjutnya akan mengisi ketel lokomotif yang
tersisa sedikit setelah melalui perjalanan menanjak yang berat.
Stasiun Bedono dilengkapi rel putar, turntable, atau draaischijven. Pemutar rel berbentuk seperti balok besi panjang yang bagian tengahnya terdapat poros sehinga dapat diputar (Berckel, 1906: 55). Supaya tidak oleng saat lokomotif berada di atasnya, maka kedua ujungnya ditambahkan roda berjalan yang bertumpu di atas rel melingkar. Pemutar rel di Bedono digerakan secara manual dengan tenaga manusia. Fungsi awal dari rel putar adalah mengganti jalur kereta tanpa harus mengangkatnya. Namun di Stasiun Bedono, fungsi dari rel putar adalah untuk membalikan arah hadap kabin lokomotif. Terdapat perbedaan kekuatan lokomotif yang berjalan maju ataupun mundur. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan dalam proses perjalanannya. Saat kereta bergerak mengarah ke Stasiun Bedono yang menanjak, maka rangkain gerbong didorong oleh lokomotif yang diletakan di ujung belakang rangkaian gerbong. Manakala kereta akan meninggalkan stasiun, maka lokomotif yang berjalan menuruni lereng curam harus dapat menahan kecepatan supaya tidak tergelincir. Maka dari itu lokomotif diposisikan di depan rangkaian gerbong dalam posisi berjalan mundur. Dengan demikian ketika ketika sampai Bedono, arah lokomotif yang mendorong kereta baik dari arah Jambu maupun dari Gemawang harus diubah arah
hadapnya menyesuaiakan arah perjalanannya. Sejatinya, hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan rel langsir. Sayangnya lahan emplasemen stasiun Bedono kurang panjang untuk dibuatkan halaman langsiran sehingga dibuatlah rel putar di stasiun tersebut.
Bangunan toilet. |
Menelisik sejarahnya, asal
muasal stasiun itu masih bersangkut paut dengan kopi, tanaman yang bijinya kita
seduh menjadi segelas minuman penuh kenikmatan. Ya, era stasiun itu dibangun
beriringan dengan era bergairahnya bisnis perkebunan. Berbagai tanaman
komoditas ekspor yang diperkenalkan oleh Belanda pada masa tanam paksa mulai
ditanam secara meluas setelah diberlakukannya UU Liberal pada tahun 1870an yang membuka keran investasi swasta dengan tujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Hindia-Belanda. Perkebunan partikelir akhirnya muncul dimana-mana, salah satunya ialah
Cultuur Maatschappij Banaran yang didirikan 17 April 1877 dan membuka
perkebunan kopi di dekat Stasiun Bedono. Di sisi yang lain, perdagangan antara Eropa dan Hindia-Belanda yang melesat maju dengan dibukanya terusan Suez pada tahun 1869. Sayangnya, kemajuan tersebut tadi belum didukung dengan sarana angkut yang layak. Sebelum kehadiran
kereta, berbagai hasil perkebunan masih diangkut dengan alat pengangkutan
primitif seperti pedati atau hanya dipikul orang saja. Padahal jarak perkebunan
dengan pelabuhan terbilang jauh apalagi medannya masih berupa jalan tanah yang seringkali
tidak dapat dilalui ketika musim hujan. Karena membawanya memakan banyak waktu,
hasil bumi itupun akhirnya membusuk setibanya di pelabuhan (Iskandar, 2011;
102). Bukan untung yang diraih, para pengusaha perkebunan itu kadang malah tertimpa
rugi akibat perkara tadi. Dari permasalahan tersebut kemudian muncul kebutuhan terhadap sarana yang layak untuk mengangkut orang dan barang dengan cepat dan murah. Alhasil, setelah Nederlandsch
Indisch Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M) sukses membuka jalur kereta
Semarang-Vorstenlanden, pemerintah kolonial mendorong N.I.S.M untuk membuka
jalur kereta baru yang menjurus ke arah dataran tinggi Kedu. Serangkaian pembangun jalur kemudian dilaksanakan secara bertahap. Salah satu ruas terpenting perannya sekaligus terberat pembangunannya adalah jalur Ambarawa-Secang yang menyambungkan jalur kereta Yogyakarta-Magelang (dibuka 1 Juli 1898) dengan jalur kereta api Ambarawa-Kedungjati (dibuka 21 Mei 1873). Kehadiran jalur tersebut dimaksudkan untuk menghubungkan wilayah dataran Kedu dengan kota pelabuhan Semarang. Desain konstruksi jalur dibuat oleh kepala bagian konstruksi Rosskopf. Sementara kontrak pengerjaannya diborong oleh seorang aanemer Tionghoa asal Parakan bernama Ho Tjong An. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan jalur kereta di medan perbukitan itu jelas lebih besar dibandingkan di medan yang datar. Sekitar 3000 kuli yang hanya berbekal peralatan seadanya harus bergulat melawan lembah, perbukitan, dan jurang yang dalam. Dengan dana sebesar f 390.000, biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalur itu terbilang cukup besar untuk ukuran pembangunan jalur kereta (Maulana, 2012; 79).
Suasana pembukaan jalur kereta Ambarawa-Secang pada 29 Januari 1905. (sumber : collectie.wereldculturen.nl) |
Pada 29 Januari 1905, Stasiun
Bedono menjadi saksi kemeriahan perayaan yang menandai pembukaan jalur kereta baru yang menghubungkan Secang dengan Ambarawa. Hampir semua tamu undangan tidak
melewatkan kesempatan bersejarah itu. Rangkaian kereta berhias yang mengangkut
pemangku kepentingan dari Magelang dan Semarang dipertemukan di Stasiun Bedono
sesuai dengan jadwal yang ditentukan, yakni pada pukul 9.30 pagi. Perjalanan
mereka ke tempat perayaan dilalui begitu mengasyikan dengan melintasi jalur
berbukit yang menyuguhkan hamparan pemandangan mengagumkan. Mengiringi
perjalanan, alunan merdu musik orkes dari salah satu gerbong berpadu harmonis
dengan mulusnya suara kereta. Setibanya di Stasiun Bedono, mereka disuguhkan
dengan hidangan lezat yang dibuatkan oleh restoran terkenal dari Semarang,
“Maison Smeabers”. Sambutan-sambutan diberikan mulai dari Stenimetz (presiden
dewan direksi N.I.S), Ter Meulen (Residen Kedu), Pieter Sijthoff (Residen
Semarang), Van Huizen (perwakilan perusahaan Semarang-Joana Stoomtram) dan
Kolonel Otken (perwakilan militer). Momen-momen bersejarah tersebut diabadikan
oleh studio fotografi “O. Hisgaen & Co.” (De Locomotief, 30 Januari 1905). Sementara
itu sehari sebelumnya, nuansa kearifan lokal tampak ketika penduduk pribumi
mengadakan upacara selamatan yang diyakini dapat mendamaikan makhluk tak
kasat mata yang wilayahnya sudah terganggu akibat pembangunan (De Locomotief, 21 Januari 1905). Teknologi kereta
api sebagai salah satu puncak penemuan Revolusi Industri nyatanya masih belum
mampu mencabut tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat yang sudah lama
tertancap. Hal tersebut seakan menunjukan bahwa di Jawa, hasil kemajuan ilmu
pengetahuan dari Barat masih berkelindan dengan tradisi dan kepercayaan lama
masyarakat setempat.
Lokasi stasiun Bedono pada petaa lama tahun 1915 (sumber : Ambarawa en Salatiga en Omstreken). Nampak lokasi stasiun Bedono tidak begitu jauh dari perkebunan kopi Banaran.
|
Sebagaimana Stasiun Bedono yang
berada di puncak bukit, jalur kereta Ambarawa-Magelang yang melintasi Bedono
adalah puncak pembangunan jalur kereta yang dilakukan oleh N.I.S Di sinilah
mereka berhasil menaklukan medan pegunungan yang sebelumnya sulit dijangkau. Kedudukan
jalur tersebut amatlah penting ditinjau dari segi ekonomi, militer, dan
pariwisata. Dari segi ekonomi, pertukaran barang antar wilayah pesisir dan
pedalaman akan berajalan lebih lancar. Selain itu, jalur tersebut juga mempermudah
perkebunan untuk mengirim hasil panen ke pelabuhan dalam
jumlah besar dengan waktu yang lebih ringkas. Selanjutnya dari segi militer,
moda transportasi kereta api sangat membantu untuk mengangkut pasukan militer
dari garnisun Magelang dan Willem I ke pelabuhan Semarang. Sebelumnya, butuh
dua hari perjalanan untuk menuju pelabuhan. Dengan kereta, maka perjalanan dapat ditempuh
hanya dalam sehari saja. Sementara dari segi parwisata, jalur itu menjadi
atraksi wisata tersendiri karena selama perjalanan para
penumpang kereta akan disuguhkan dengan keindahan hamparan persawahan yang
menenteramkan jiwa, damainya perkampungan dengan pohon nyiur yang melambai
tertiup angin, dan barisan perbukitan yang menawan. Sebagai daya pikat wisata, tak mengherankan jika buku panduan
wisata terbitan Koninklijke Paketvaart Mij. menganjurkan agar para penumpang
kereta dari Semarang ke Yogyakarta untuk mengambil jalur ini. Begitu bernilainya
jalur tersebut bagi banyak pihak sehingga jalur rel tersebut tidak hanya
sekedar dianggap jalan baja namun juga jalan emas.
Sejalan dengan
pertumbuhan kendaraan roda empat seperti truk dan mobil yang tumbuh pesat di
tahun 1970an, Stasiun Bedono secara berangsur mulai ditinggalkan oleh penumpang
yang beralih moda transportasi lain. Tahun 1978, Stasiun Bedono dinonaktifkan
sebagai stasiun penumpang reguler dan pupus sudah kejayaan jalur kereta
Ambarawa-Secang yang sarat kenangan. Untunglah bangunan stasiun itu masih
dilestarikan dengan baik. Jalur kereta Ambarawa-Bedono yang sempat tertidur
akhirnya dibangkitkan kembali sebagai jalur kereta wisata.
Referensi
Berckell. H. Van. 1906. Spoorwegbouw en -onderhoud. Zwolle : W.E.J. Tjeenk Willink.
Iskandar, Sri Chirullia. 2011. "Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa" dalam Jurnal Papua TH.III No.1/Juni 2011.
Koninklijke Paketvaart Mij. 1911. Guide Through Netherlands India. Amsterdam : J. H. de-Bussy.
Maulana, Caesar Bayu. 2012. "Latar Belakang pembangunan dan Perkembangan Jalur Kereta api NISM Yogyakarta-Ambarawa 1898-1942 (Kajian Ekonomi,Sosial dan Politik)". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Koninklijke Paketvaart Mij. 1911. Guide Through Netherlands India. Amsterdam : J. H. de-Bussy.
Maulana, Caesar Bayu. 2012. "Latar Belakang pembangunan dan Perkembangan Jalur Kereta api NISM Yogyakarta-Ambarawa 1898-1942 (Kajian Ekonomi,Sosial dan Politik)". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
De Locomotief, 27 September 1904.
De Locomotief, 21 Januari 1905.
De Locomotief, 30 Januari 1905.
ajak ajak dong mas lengkong :)
BalasHapus@ Jati Pikukuh : Yo ayo nek arep melu.Haha
BalasHapusTerimakasih..tulisannya bagus dan sangat bermanfaat. Jadi ingin jalan -jalan sendiri kesana. Kebetulan sedang kuliah di semarang
BalasHapusMenjaga dan merawat peninggalan sejarah ,smoga menjadi ladang ibadah.mantap betul, generasi sekarang masih bisa tau
BalasHapusStasiun iku Ning desoku
BalasHapusSebelum Theresiana dibangun dulu, terdapat bangunan apa ya?
BalasHapusterimakasih informasinya.. tulisan yang bagus
BalasHapus