Pada suatu masa, Yogyakarta pernah memiliki lebih dari selusin pabrik gula yang bertebaran di segala penjuru, salah satunya berdiri di Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, sebuah desa di belahan selatan Kabupaten Kulonprogo. Jejak Kolonial kali ini merupakan hasil penelusuran
pada satu-satunya pabrik gula yang pernah berdiri di Kulonprogo itu.
Rumah Ibu Jamal.
|
Sekalipun terletak di tengah pedesaan, rumah itu tidak
terlihat seperti rumah orang desa pada umumnya. Rumah itu malahan terlihat seperti
bekas rumah seorang pembesar Belanda. Jendela krepyak yang tinggi meneguhkan
tuanya usia bangunan tersebut. Saya mengetuk pintu depan rumah yang masih terlihat asli. Ketukan saya segera terjawab. Dari dalam, muncul
sesosok perempuan tua yang tak lain ialah Ibu Jamal, tuan rumah ini. Sesudah
membukakan pintu, Ibu Jamal mempersilahkan saya masuk ke
ruang tamunya dengan dindingnya yang amat tinggi itu.
Bagian ruang tamu. |
Dengan perabotan tuanya, ruang tamu rumah Ibu Jamal membuat saya serasa terdampar ke masa lalu. Di ruang tamu itu, saya berbincang dengan Ibu Jamal sembari menikmati suasana ruang tamu yang sejuk. Kesejukan itu berkat adanya jendela besar di samping ruang tamu dan ditambah pua dengan tembok rumah yang tinggi, membuat hawa di dalam ruangan itu terasa sejuk meski tanpa AC, dimana kesejukan seperti ini jauh
lebih baik karena sifatnya alami. Mendongak ke atas, saya meihat jalinan anyaman
bambu yang masih menjadi plafon rumah tua ini. Anyaman bambu memang jamak
dipakai untuk rumah-rumah kolonial di wilayah pinggiran. “Pada masa penjajahan
Jepang, rumah ini terhindar dari penghancuran oleh Jepang “, tutur Ibu Jamal
membuka cerita. Dari cerita Ibu Jamal, diketahui bahwa setelah Jepang menduduki
PG Sewugalur, pabrik ini disita dan diratakan dengan tanah. Rumah-rumah
pegawainya satu persatu dijual kepada orang Tionghoa atau orang pribumi. “ Dari
orang Tionghoa, rumah ini dibeli oleh Pak Tjokrodirdjo, mertua saya “,
tuturnya.
Ruang kamar depan yang tak dipakai lagi. |
Sesudah berbincang-bincang, Ibu Jamal selanjutnya mengajak saya ke sebuah ruangan di sebelah ruang tamu. Pintu besar yang semula
tertutup kemudian ia buka. Di balik pintu itu, saya hanya melihat sebuah
ruangan gelap yang nyaris kosong. Tak banyak perabotan di ruang itu. Hanya ada dua buah almari, sebuah ranjang besi tua, dan sebuah cermin besar. Mungkin si noni penghuni rumah ini dulu bersolek di depan cermin itu. Kendati sedikit gelap, namun hawa di dalam ruang itu terasa sejuk, tidak pengap walau sedikit tercium bau jamur. Kesejukannya itu berkat adanya jendela berjalusi yang tinggi. Walaupun ditutup, namun udara tetap dapat masuk ke dalam ruangan lewat celah jalusinya. Ibu Jamal kemudian membukakan jendela, sinar matahari segera saja menyeruak masuk ke dalam dan ruangan itu menjadi terang benderang. Jendela yang tinggi selain memperbanyak udara
yang masuk juga berguna untuk memperbanyak sinar matahari yang masuk ke dalam
ruangan sehingga ruangan mendapat pencahaayaan alami dan mengurangi penggunaan
lampu. Ruangan ini barangkali dulunya menjadi ruang tidur anak si pegawai
pabrik yang tinggal di rumah ini. Dari jendela ruangan itu, pandangan saya
lempar ke arah keluar. Dulu bangunan utama pabrik dapat dilihat dari sini.
Benak sayapun kemudian melayang ke masa lampau, masa ketika rumah itu masih
bersua dengan bangunan pabrik…
Foto pabrik gula sewugalur pada tahun 1917 (sumber ; geheugenvannederland.nl).
|
Foto udara area PG Sewugalur. Foto ini menghadap ke arah timur. |
Tahun 1867 menjadi tahun malapetaka untuk penduduk Jawa
bagian selatan karena pada tahun itu terjadi gempa bumi besar yang memakan banyak
korban jiwa dan harta benda. Salah satu wilayah yang terdampak cukup parah
adalah Kulonprogo yang saat itu di bawah administrasi Kadipaten Pakualaman.
Ketika Pakualaman sedang berupaya membangun kembali wilayahnya yang hancur
akibat gempa, pemerintah kolonial Belanda melancarkan ekspedisi Aceh Kedua pada
tahun 1873. Korps militer Legiun Pakualman yang dimiliki oleh Pakualaman lalu
dilibatkan Belanda untuk dikirim ke Aceh. Sialnya, Pakualaman
ternyata harus menanggung sendiri biaya untuk korps militer sehingga masalah keuangan bagi Pakualaman (De Locomotief, 23 Desember 1931). Sehubungan dengan masalah tersebut, maka
Pakualaman menyewakan tanah di daerah Galur kepada Rudolf Martinus Evertt Raaf, Otto
Arends Oscar Van den Bergh, dan Egbert Johannes Hoen pada tahun 1878 dengan
nilai sebesar 4.200 gulden perbulan untuk jangka waktu 20 tahun (De Locomotief,
10 September 1903). Tanah perkebunan yang selanjutnya dikenal dengan nama
Sewoogaloer mulanya menanam jenis tanaman nila. Bisnis Pperkebunan nila
tersebut rupanya tidak berjalan mulus karena manajemennya buruk dan beban
hutangnya besar. Oleh karena itu, pada awal tahun 1880 perkebunan tersebut akhirnya beralih ke budidaya tanaman tebu dan sebuah pabrik gula didirikan di sana. Malangnya, perkebunan tebu tersebut didirikan di saat yang tidak tepat karena industri gula di Jawa sedang didera krisis gula karena anjloknya harga gula di pasaran yang disebabkan oleh membanjirnya jenis gula beet di Eropa (Soerbaiasch Handelsblad 12 November 1900). Untungnya perkebunan tebu tersebut berhasil terhindar dari kebangkrutan. Pabrik gula Sewugalur lalu dikelola oleh "Cultuur Maatschappij Sewoe Galoor" yang dibentuk pada tahun 1891 dan sebagian besar sahamnya dikuasai oleh N.V Cultuur Matschapij der Vorstenlanden (Nederlandsche Staatscourant, 29 Oktober 1891). Selain di Sewugalur, perusahaan yang berkantor di Semarang ini juga memiliki beberapa pabrik gula yang tersebar di seantero Yogyakarta seperi Padokan, Demakijo, Wonocatur, Beran, Kedaton Plered, Sedayu, Barongan dan Rewulu (Dingemas.L.F, 122 ; 1920).
Lokasi pabrik gula Sewugalur pada peta tahun 1921. Hanya berjarak sekitar 20 kilometer dari pesisir selatan menjadikannya sebagai PG paling selatan di Jawa.
|
Ketersediaan lahan dan
kondisi geografis di sekitar PG Sewugalur, sangat memungkinkan untuk dibuka sebuah
perkebunan tebu beserta pabrik pembuat gula. Hal ini juga didukung dengan
tersedianya tenaga kuli yang diambil dari lingkungan sekitar pabrik dan
mayoritas bekerja di sektor agraris. Untuk mendukung distribusi gula PG
Sewugalur dan pabrik gula lain di wilayah selatan Yogyakarta, maka tahun 1914, dibukalah
jalur kereta oleh NIS dari Stasiun Tugu hingga Halte Sewugalur. Pembangunan
jalur ini selain bertujuan untuk memperlancar arus distribusi gula PG Sewugalur,
juga bertujuan untuk mendukung perekonomian di Sewugalur yang pada waktu itu
lumayan jauh dari pusat kota. Inilah mengapa lokasi halte Sewugalur dibangun di
dekat pasar Sewugalur (Rizal Dhani, 2010; 73-79).
Foto jajaran pegawai pabrik gula Sewugalur pada tahun 1912. Nampak administratur pabrik gula Sewugalur pada waktu itu,Cosmus van Bornemann yang kemudian dipindah ke pabrik gula Gelaren pada tahun 1930an. Pengganti Cosmus van Bornemann ialah Albert Kuipers (sumber ; geheugenvannederland.nl).
|
Rumah dinas pegawai pabrik gula Sewugalur (sumber : geheugenvannederland.nl). |
Karung-karung gula yang siap dijual ke pasaran. (sumber ; geheugenvannederland.nl) |
Cerobong pabrik yang sedang dibangun (sumber ; geheugenvannederland.nl). |
Rumah sakit pembantu di dekat PG Sewugalur. Dibangun tahun 1922 setelah merebak wabah malaria di sekitar pabrik. |
Takdir pabrik gula ini mencapai titik nadirnya tatkala badai
krisis ekonomi atau malaise memporak-porandakan perekonomian dunia pada
tahun 1930an. Krisis ini mengakibatkan kandasnya harga gula di pasaran dan
berimbas dengan ditutupnya banyak pabrik gula untuk mengembalikan harga gula.
PG Sewugalur termasuk pabrik gula yang terdampak dari kebijakan tersebut.
Sekitar tahun, PG Sewugalur mematikan mesin untuk selamanya. Mesin-mesin
operasional pabrik gula yang malang itu dijual ke PG Sragi di Jawa Timur yang
hingga sekarang masih beroperasi. Selain mesin, sebagian besar rumah
dinas pegawai juga ikut dijual. Ditutupnya PG Sewugalur rupanya membuat keuangan
Kadipaten Pakulaman cukup terpukul karena setengah pendapatannya bersumber dari
pabrik gula tersebut (Algemeen Handelsblad 10
Mei 1938). Pada tahun 1942, setelah Jepang masuk ke
Hindia-Belanda, bangunan pabrik gula Sewugalur diratakan oleh Jepang.
Jalur-jalur kereta api dari Sewugalur ke Palbapang dicopot oleh Jepang dan
diangkut ke Burma (Myanmar) dan Sumatera untuk material jalur yang sedang dibangun Jepang di
sana. Dilansir dari laman www.indischekamparchieven.nl, bekas kompleks rumah dinas pegawai Sewugalur pada tahun 1946 dimanfaatkan oleh
para tentara Republik Indonesia untuk menginternir sebagian ibu-ibu dan
anak-anak Eropa dari Yogyakarta. Tiap harinya, mereka dijatah beras 200 gram perorangnya dan mereka diijinkan belanja di pasar untuk mencari bahan pangan lainnya. Walaupun kamp internir yang dipimpin oleh Nyonya Ch. E. Bos itu memiliki dapur umum, sebagian besar keluarga memilih memasak sendiri. Tikar digelar di lantai sebagai tempat tidur mereka. Kendati demikian, perlakukan yang mereka terima lebih manusiawi dibandingkan ketika mereka diinternir oleh Jepang.
Bagian ruang belakang rumah ibu Jamal. |
Saya segera tersadar
dari lamunan saya begitu Ibu Jamal mengajak saya melihat bagian belakang
rumahnya. Di belakang ruang tamu, terdapat sebuah ruang keluarga, dimana saya masih
bisa melihat sebuah lemari buffet tua dan sebuah cermin besar yang tergantung
miring. Hiasan kaca patri berwarna hijau dan merah semakin menambah kesan antik
ruangan itu. Saya membayangkan di ruang inilah dahulu keluarga pegawai
pabrik yang tinggal di sini mengadakan makan malam bersama setelah
seharian beraktivitas di pabrik. Sambil menyantap hidangan yang disiapkan oleh
pembantu yang tinggal di kamar belakang, mereka membicarakan mengenai hal apa
saja yang sudah dilakukan seharian. Di masa ketika hiburan masih jarang,
kegiatan makan malam seperti ini benar-benar menjadi hiburan tersendiri bagi
setiap anggota keluarga. Dari sinilah interaksi antar anggota keluarga
terbangun.
Bangunan di belakang rumah yang dulu digunakan untuk kamar pembantu dan kamar mandi. |
Paviliun samping. |
Bangunan rumah dinas yang saat ini dalam kondisi rusak karena gempa yang mengguncang tahun 2006 silam. |
Bangunan rumah dinas yang cukup terawat. |
Bangunan bekas kamar bola atau sosieteit.
|
Dari rumah Ibu Jamal,
saya mencoba menelusuri berbagai jejak PG Sewugalur lain yang masih tertinggal.
Kondisinya bermacam-macam. Ada yang masih utuh seperti rumah Ibu Jamal tadi dan
rumah Bapak Karwono yang ada di sebelah utara rumah Ibu Jamal. Ada yang fasad
depannya sudah dirombak. Ada pula yang tinggal reruntuh dindingnya saja. Banyak
tinggalan rumah-rumah pegawai PG Sewugalur yang rusak setelah terjadi gempa
yang mengguncang Yogyakarta tahun 2006 silam. Beberapa ada yang diperbaiki
seperti rumah Ibu Jamal, namun lebih banyak yang kemudian ditinggalkan dan
dibiarkan runtuh dengan sendirinya.
Gambaran kompleks pabrik gula Sewugalur pada peta tahun 1934 (sumber ; maps.library.leiden.edu).
|
Apabila melihat peta topografi
lama, maka terlihat bangunan rumah tinggal para pegawai pabrik disusun
mengelilingi pabrik. Konsep susunan tersebut dikenal sebagai konsep panopticon sebagai strategi pengawasan
terhadap aktivitas pabrik gula. Dengan adanya konsep ini,buruh-buruh pribumi
yang ada di pabrik akan selalu merasa diawasi tanpa kehadiran para staff pabrik
yang mayoritas adalah orang Belanda (Hari Libra Inagurasi,
123;2010). Langgam arsitektur rumah ini dibangun dengan gaya arsitektur Indis sebagai
penegasan bahwa kedudukan mereka sebagai pegawai pabrik berbeda dengan
kedudukan buruh-buruh pribumi yang secara strata sosial pada waktu itu berada
di kelas yang lebih rendah dari bangsa Eropa (Djoko Soekiman, 1997; 5).
Struktur-struktur sisa dari PG Sewugalue. |
Sisa cerobong PG Sewugalur. |
Lapangan ini dulu merupakan emplasemen lori PG Sewugalur. |
Bekas bangunan kantor PG Sewugalur. |
Lalu bagaimana dengan
nasib bangunan pabrik gula Sewugalur itu sendiri ? Satu-satunya yang tersisa
dari bangunan PG Sewugalur hanyalah sebuah struktur pondasi bekas cerobong asap
yang terletak di belakang salah satu rumah warga. Kondisi sekitar bekas
cerobong yang terbuat dari beton itu cukup kotor, di sekelilingnya terlihat
banyak tumpukan sampah seolah-olah cerobong ini bukanlah sebuah peninggalan
sejarah yang berharga. Saya sendiri tidak berlama-lama untuk melihat cerobong.
Selain tidak kuat dengan bau tumpukan sampah, juga karena tidak tega melihat
kondisi cerobong yang dulu menjadi saksi dari kejayaan Pabrik Gula Sewugalur.
Selain struktur cerobong, masih bisa ditemukan pula sisa saluran pembuangan
limbah yang mengalirkan limbah pabrik ke Kali Progo. Sulit dibayangkan bahwa Pabrik Gula Sewugalur yang sedemikian besarnya dapat begitu saja lenyap dan hanya menyisakan beberapa puing yang nyaris tanpa arti...
Kerkhof Sewugalur. |
Makam Maria Arabella Junman. |
Tak jauh dari lokasi PG
Sewugalur, saya menjumpai bekas area kerkhof atau pemakaman Belanda, tempat
dimana raga keluarga pegawai pabrik yang telah tiada dimakamkan. Kerkhof ini
dulunya dikelilingi oleh tembok pembatas yang kini tinggal sebagian saja yang
masih berdiri. Di makam itu, hanya tinggal satu makam saja yang prasastinya
masih tersisa, itupun sudah hilang separo sehingga isinya tidak dapat dibaca secara
utuh. Dari tulisan yang masih bisa terbaca, diketahu bahwa makam itu merupakan
makam dari Maria Arabella Junman. Sepertinya beliau adalah anak perempuan atau
mungkin istri dari pegawai pabrik gula Sewugalur. Mengapa di dekat kompleks PG
Sewugalur terdapat kompleks kerkhof ? Jawabannya mudah. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, lokasi PG Sewugalur berada lumayan jauh dari perkotaan,
sehingga ketika ada orang meninggal, tentu akan menghabiskan perjalanan cukup
lama untuk membawa jenazah kerkhof di kota Yogyakarta. Sehingga untuk menghemat
waktu perjalanan maka dibukalah area kerkhof di dekat lokasi pabrik. Selain
itu, terkadang ada keluarga pegawai pabrik gula yang memiliki permintaan untuk
dimakamkan di dekat pabrik. Hal ini menunjukan adanya ikatan emosional antara
si keluarga pegawai pabrik gula dengan tempat mereka bekerja.
Penelusuran saya di Sewugalur berujung di Halte Sewugalur yang
kini lokasinya menjadi halaman depan SMP N 1 Galur. Halte itu merupakan tempat dimana
kereta berhenti untuk menaik-turunkan penumpang di Sewugalur. Namun bukan penumpang
yang menjadi muatan utama kereta itu, melainkan karung-karung gula dari PG
Sewugalur. Mata saya kemudian menangkap sebuah gundukan tanah memanjang yang
ada tengah-tengah sawah. Setelah dicocokan dengan data peta lama dan citra
satelit sekarang, tidak salah lagi kalau gundukan tanah itu merupakan
bekas railbed atau gundukan jalur kereta Sewugalur-Yogyakarta.
Kondisi pabrik gula Sewugalur saat ini.Keterangan. Kotak kuning : bekas lokasi pabrik. Titik kuning : Lokasi struktur pondasi cerobong. Kotak merah : lokasi rumah dinas. Garis putus-putus : jalur kereta NIS. 1 : Rumah ibu Jamal. 2 : Rumah bapak Karwono. 3 : Kantor.
|
Dengan berbagai
fasilitas seperti perumahan orang Eropa, pasar, halte, sosieteit dan lahan pemakaman Eropa, lama kelamaan kompleks Pabrik
Gula Sewugalur berkembang hampir menyerupai sebuah kota koloni kecil di daerah
pedalaman. Bahkan pada waktu itu berkembang wacana pembangunan pelabuhan di pantai
selatan untuk mempersingkat jarak distribusi gula di wilayah Yogyakarta yang
masih bergantung dengan pelabuhan di Semarang.
Begitulah hasil penelusuran
saya pada sisa-sisa PG Sewugalur. Kednati PG Sewugalur kini tinggal nama saja,
namun ia masih menyisakan sebagian kecil tinggalan bangunan rumah dinas yang
terawat dengan baik hingga kerkhof dengan kondisinya menyedihkan. Semua
peninggalan itu merupakan saksi bisu dari kejayaan PG Sewugalur, sebuah
satu-satunya pabrik gula yang pernah berdiri di Kulonprogo yang hilang tergilas
oleh zaman…
Referensi
Dhani, Rizal. 2010. "Situs Pabrik Gula Sewugalur (1889-1930) (Tinjauan terhadap Latar Belakang Pemilihan Lokasi dan Pengaruh Keberadaanya terhadap Pemukiman Kolonial di Sekitarnya)". Skripsi. Depok : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Dingemans, L.F. 1920. Gegevens Over Djokjakarta.
Inagurasi, Hari
Libra. 2o10. " Pabrik Gula Cepiring di Kendal 1835-1930,Sebuah Studi Arkeologi
Industri ". Tesis. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Soekiman, Djoko. 1997. " Seni Bangun Gaya Indis, Penelitian, Pelestarian, dan Pemanfaatanya " dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi VIII, Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indis. Yogyakarta 9 Agustus 1997.
van Bruggen, M. P dan Wassing, R.P . 1998. Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden. Amsterdam : Asia Maior.
Algemeen Handelsblad, 10 Mei 1938
De Locomotief, 10 September 1903
De Locomotief, 23 Desember 1931
Sip JOs Pold mas,
BalasHapusrequest sejarah pabrik gula madukismo, coba mas. pabrik gula yg sama-sama dibangun saat masa pendudukan belanda, seperti sewoegalur
BalasHapusPG Madukismo tiddak dibangun di masa pendudukan Belanda. Ia didirkan sekitar tahun 1950an oleh Sultan HB IX di atas lahan PG Padokan yang hancur sewaktu agresi militer Belanda.
Hapuskalo PG madukismo dibangun diatas lahan PG padokan. trus PG padokan dibangun tahun berapa bang ?
HapusWah, kurang tahu saya mas. Saya ndak ada datanya.
HapusCoba cari beberapa artikel nemunya masih soal info yg sama. Yaitu dibangun di atas bekas PG padokan. Tapi g ada info soal PG padokan. Jadi penasaran. Hehehe ..
HapusBoleh minta soft filenya
BalasHapusNenek saya tinggal Di rumah dinas. .sampai sekarang masih terjaga 🙂
BalasHapussuka banget baca blog ini
BalasHapusapa itu seo