Gombong adalah sebuah kota kecamatan kecil yang terletak di wilayah Kabupaten Kebumen. Satu kilometer ke utara dari pusat keramaian, berdiri begitu kokoh sebuah benteng peninggalan Belanda yang namanya sudah cukup dikenal banyak orang, Benteng Van der Wijck. Inilah ulasan saya di Jejak Kolonial mengenai kisah benteng yang kini sintas sebagai taman wisata keluarga.
Pintu masuk Benteng Van der Wijck. |
Bekas barak militer yang saat ini digunakan sebagai penginapan.
|
Sesudah membayar karcis di gerbang masuk sebesar 25.000 rupiah,
saya menyusuri sebuah jalan yang menjurus ke Benteng Van der Wijck. Jalan itu
lumayan lebar dan teduh. Di samping kiri jalan, terdapat sebuah penginapan yang
memakai bekas barak tentara. Sementara itu, di samping kanan jalan, terdapat
sebuah kolam renang yang tampak ramai hari itu. Suasana itu mungkin terbilang
kontras ketika benteng itu lama terabaikan usai kemerdekaan, ketika wilayah
sekitar benteng masih menjadi wilayah yang terlarang untuk dikunjungi khalayak
umum. Pada tahun 2000, setelah sekian lama terlunta menjadi sarang walet, bangunan benteng dipugar oleh PT. Indo Power Gombong dan diresmikan pada 5 Oktober 2000 oleh kepala staf TNI AD saat itu, Jenderal Tyasno Sudarto. Area sekitar benteng
kemudian dikembangkan sebagai taman wisata keluarga yang dilengkapi dengan
aneka wahana permainan seperti kolam renang dan kereta keliling. Sementara itu,
di luar area wisata benteng, masih terdapat sarana-sarana milik militer seperti
Sekolah Calon Tamtama yang ada di utara Benteng Van der Wijck. Tidak heran jika
aura militer masih kentara di sekitar benteng.
Bekas rumah dinas perwira militer untuk berpangkat kapten dan letnan yang berada di sekitar benteng.
|
Keadaan lingkungan sekitar benteng. Keterangan : A. Benteng Van Der Wijck ; B. Rumah dinas serdadu ; C dan D. Rumah dinas perwira ; E. Rumah sakit tentara ; F. Kuburan Belanda. |
Dengan berbagai fasilitas militer yang ada seperti perumahan
perwira, rumah sakit dan sekolah tentara, Gombong layak disebut sebagai “Kota
Hijau”. Kehadiran militer di kota kecil itu sudah ada semenjak militer Belanda menjadikan Gombong sebagai pangkalan militer pada tahun 1830an. Penetapan Gombong sebagai pangkalan militer berlatar dari kegusaran pemerintah kolonial jika suatu saat nanti pulau Jawa akan jatuh ke tangan Inggris seperti yang pernah terjadi pada tahun 1811. Militer Belanda telah membuat strategi, dimana untuk mengantisipasi jika wilayah pesisir utara telah dikuasai musuh, maka mereka akan berusaha memberi perlawanan balik dari daerah pedalaman. Jika upaya tersebut gagal dan posisi mereka semakin terdesak, maka pemerintah kolonial Belanda akan diungsikan keluar lewat pelabuhan Cilacap. Untuk itu, diperlukan suatu sarana pertahanan yang setidaknya dapat menghambat pergerakan musuh di wilayah ini namun sarana militer di Jawa bagian selatan masih minim. Maka dari itu, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan pangkalan militer di Gombong yang saat masih berupa desa kecil yang berada di bawah Kabupaten Karanganyar. Selain dilindungi oleh Sungai Kemit, pangkalan tersebut juga akan dilindungi dengan sebuah benteng. Berdasarkan besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 10 Juni 1839, benteng di Gombong itu diberi nama Fort Cochius. Nama itu dipilih sebagai bentuk penghormatan militer Belanda kepada, Frans David Cochius, jenderal yang memainkan peran penting selama Perang Jawa sebagai penggagas strategi benteng stelsel (Jaavasche Courant ; 1839).
Frans David Cochius, perwira militer Belanda yang mengusulkan siasat benteng stelsel. Namanya diabadikan sebaga nama benteng meski tidak bertahan lama (sumber : Wapenfeiten van het Nederlandsch Indisch Leger). |
Peta Gombong tahun 1837. Terlihat Benteng Fort Cochius belum dibangun pada masa tersebut (sumber : nationaalarchief.nl) |
Peta Gombong tahun 1843 yang memperlihatkan rencana lokasi benteng di Semanding. (sumber : nationaalarchief.nl) |
Desain bangunan benteng dipersiapkan sejak tahun 1839 di bawah arahan Mayor Dibbetz. Dalam rancangan itu, benteng yang berdiri sekarang sedianya dilindungi dengan lapisan pertahanan berupa gundukan tanah. Gundukan tanah itu akan dibentuk membentuk segi empat dan pada bagian sudutnya terdapat kubu yang dipersenjatai dengan baterai meriam. Material tanah dipilih karena bahannya lebih murah dan sanggup menahan tembakan peluru meriam. Gundukan tanah itu memiliki ketinggian yang sejajar dengan benteng yang sekarang berdiri. Adapun bangunan benteng yang ada sekarang ini dahulunya akan diperuntukan sebagai tempat tinggal prajurit dan markas komando. Sementara itu di antara benteng dan gundukan tanah, akan ada gudang mesiu dan rumah sakit (Van Brakell,1863; 290-293).
Rancangan Benteng Van Der Wijck yang dibuat oleh Mayor Dibbetz dengan gundukan tanah. Dari rancangan tersebut, hanya bagian tengah benteng yang dapat diselesaikan (sumber : nationaalarchief.nl) |
Pembangunan fisik benteng kemudian dimulai pada tahun 1841. Gubernur Jenderal J.J. Rochussen sempat meninjau pembangunan benteng Fort Cochius pada 30 Juli 1847. Menurut kesaksian Dr. P. Bleeker yang mengunjungi Gombong pada tahun 1850, bagian gundukan tanah keliling tidak pernah dikerjakan seperti rancangan semula (Bleeker, 1850; 84-85). Alasan mengapa bagian tersebut tidak dikerjakan berkaitan dengan usulan dari seorang ahli strategi militer bernama Baron Friederich Balduin von Gagern yang diundang ke Hindia-Belanda pada tahun 1844 untuk memberi masukan tentang sarana pertahanan yang sedang dibuat. Dari hasil pengamatan Von Gagern, ia meragukan nilai strategis Gombong sehingga ia mengusulkan supaya bagian gundukan tanah tidak perlu dibuat untuk menghemat biaya. Maka dari itu, hanya bagian benteng segi delapan saja yang dibuat. Bagian itu tuntas dibangun pada tahun 1848. Benteng Cochius adalah satu-satunya benteng yang memiliki konstruksi berbentuk oktagonal atau segi delapan di Hindia-Belanda dan bahkan konstruksi sejenis tidak ditemukan di Belanda.
Tampak luar dan dalam benteng Van der Wijk pada tahun 1930an. Perhatikan pada bagian luar benteng, terdapat bangunan tambahan yang dahulu digunakan sebagai kamar mandi dan toilet (sumber : media-kitlv.nl). |
Pembangunan benteng Fort
Cochius mungkin boleh dikatakan berakhir sia-sia. Supaya bagian benteng dalam
yang terlanjur berdiri tersebut tidak mubazir, maka bagian benteng dalam
dimanfaatkan sebagai Pupillenschool, tempat para kadet menimba ilmu
kemiliteran, ketimbang sebagai sebuah benteng pertahanan. Menilik catatan
sejarah, Pupillenschool dibuka pada tahun 1848 berdasarkan usulan Mayor
Jenderal Baron van Gagern yang didukung oleh gubernur jenderal J.J. Rochussen.
Awalnya, Pupillencshool bertempat di tangsi Kedungkebo, Purworejo.
Kemudian gedung sekolah di Kedungkebo tersebut runtuh akibat diterjang banjir
sehingga Pupillenschool dipindahkan ke Gombong pada tahun 1856 dan
menempati bekas benteng Cochius yang saat itu digunakan sebagai asrama kompi
infantri dan zeni (Rees, 1901; 42). Kadet Pupillenschool sebagian besar
adalah anak-anak hasil perkawinan campuran antara prajurit Eropa dengan
perempuan bumiputera yang sebenarnya dilarang dalam hukum kolonial. Setelah
ayah mereka kembali ke Belanda atau meninggal, mereka menjadi anak-anak
terlantar. Supaya tidak menimbulkan masalah sosial, anak-anak berusia rentang
7-14 tahun tersebut lalu ditampung di Pupillenschool. Diharapkan mereka
dapat menjadi orang yang beradab dan hidup berbaur dengan masyarakat. Selain
menerima pelajaran sekolah reguler, kadet Pupillenschool juga menerima
pelajaran gambar topografi, musik, tari, dan renang. Namanya juga sekolah
militer dengan disipilin yang ketat, tunjangan sebesar 25 gulden sebulan
tampaknya tidak membuat sebagian kadet kerasan bersekolah di Pupillenschool.
Dalam lima tahun sudah ada 85 kadet yang membolos selamanya alias kabur dari
sekolah ini. Bagi yang mampu bertahan pada usia 19 tahun, mereka dapat
dimasukan ke dinas militer KNIL (Rocher dan Santosa, 2016; 139). Perjalanan pupillenschool berakhir setelah pemerintah kolonial menghapuskan lembaga tersebut pada tahun 1912.
Para kadet sekolah militer Gombong yang sedang berlatih menembak. Dari warna kulit, mereka bisa jadi adalah orang pribumi atau dari keturunan campuran (sumber : media-kitlv.nl). |
Tulisan C. Van Der Wijck yang samar tertutup oleh cat hitam. |
Nama-nama jenderal Belanda yang terdapat pada empat sisi pintu masuk benteng. |
Peta situasi sekitar benteng Fort Cochius saat digunakan sebagai Pupillen School (Sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia). |
Denah benteng Fort Cochius (sumber : Arsip Nasional Republik Indonesia) |
Sedikit maju ke depan, tepatnya di masa penjajahan Jepang, benteng
ini digunakan sebagai tempat pelatihan prajurit PETA. Salah satu kadet PETA yang pernah menimba ilmu di sini di kemudian hari akan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Dia tidak lain adalah Suharto. Para kadet PETA tinggal
di barak yang ada di luar benteng dan benteng ini sendiri dipakai sebagai
akomodasi perwira Jepang dan penyimpanan ransum makanan. Selepas kemerdekaan,
barak di dekat benteng Van der Wijck dipakai oleh Badan Keamanan Rakyat untuk
akomodasi staff BKR, sedangkan benteng dibiarkan tak dihuni. Di masa Agresi
Militer Belanda I, ketika Belanda berusaha menguasai kembali jajahannya yang
baru saja merdeka, benteng Van der Wijck dimanfaatkan militer Belanda sebagai
pos pertahanan mereka, berhadapan dengan wilayah yang dikuasai oleh kamu
Republikan di seberang timur Kali Kemit.
|
Warna merah yang menyelimuti dinding benteng Van der Wijck. Aslinya, dinding benteng ini berwarna putih.
|
Warna merah darah menyelebungi dinding luar Benteng Van der
Wijck. Benteng berlantai dua itu sejatinya berwarna putih seperti yang terlihat
pada dokumentasi foto lama. Entah apa maksud dibalik perubahan warna itu. Namun
ada selentingan bahwa benteng itu sengaja diwarnai demikian untuk menyesuaikan
kondisi politik Kebumen yang selama ini didominasi oleh partai politik
tertentu. Benar atau tidak selentingan itu, namun yang jelas warna itu menjadikan
aura Benteng Van der Wijck terlihat antik. Setelah kemerdekaan, benteng ini digunakan sebagai asrama anggota Secata.
Lapangan di tengah benteng. Lapangan ini acap menjadi latar film layar lebar karena kesannya seperti sebuah penjara kuno. Paling terakhir adalah film " The Raid 2 : Berandal ". |
Koridor benteng yang dibangun dengan sistem rib-vault.
|
Pintu-pintu melengkung yang menghubungkan setiap ruangan. |
Berikutnya, saya melangkah masuk ke dalam benteng melalui salah
satu dari empat pintu masuk benteng. Pada lorong temaramnya, saya mendapati
para pengunjung yang berlalu lalang di bawah langit-langit berbentuk rib vault. Masih tampak jelas di situ,
susunan batu-bata yang dulu dibuat di dekat benteng. Untuk menghemat biaya, berbagai bahan bangunan
benteng diperoleh dari wilayah sekitar seperti kayu dan batu diambil di
seputaran Karesidenan Bagelen. Pembuatan batu-batanya dilakukan di dekat benteng. Berdasarkan gambar "Reduit Generaal Cochius te Gombong", bagian lantai pertama benteng terdiri dari tiga ruang tamu, satu ruang dansa, ruang perpustakaan, tiga ruang gudang persediaan dan seragam, empat ruang makan, gudang senjata, kamar bintara ajudan, bengkel pekerjaan kayu, ruang instrumen, gudang kompi, ruang sumur untuk air minum, lima bangsal asrama, ruang jaga perwira, dua ruang kantor, dan penjara. Kemudian bagian lantai dua terdiri dari 16 bangsal asrama untuk siswa pupillenschool, 12 bangsal asrama kader, kantor, gudang mesiu, dan dua ruang buang air kecil.
Salah satu ruangan yang terdapat pada lantai satu. Perhatikan bentuk langit-langitnya yang melengkung dengan gancu yang masih tertancap di tempat. Gancu tersebut digunakan sebagai tempat menggantungkan lampu minyak.
|
Salah satu ruangan di lantai dua benteng. |
Lantai ruangan yang dilapisi dengan ubin/tegel hias. |
Ragam hias tegel yang dapat ditemukan di benteng Van der Wijck. |
Tangga naik menuju atap benteng. |
Satu per satu ruang saya amati, dari ruangan pada lantai satu
hingga yang terdapat di lantai dua. Salah satu ruang yang cukup menarik
perhatian saya adalah ruangan komandan benteng yang berada di lantai dua.
Berbeda dengan ruangan lain yang permukaan lantainya polos, ruangan ini
terlihat menarik berkat lantai tegel bercorak tetumbuhan. Melalui jendela
ruangan itu, saya dapat mengintip sepetak tanah lapang yang terkurung di tengah
benteng. Dari lantai dua, saya beranjak naik ke bagian atap yang mana terdapat
wahana kereta mini yang mengelilingi atap benteng itu. Dari atap benteng berbentuk
seperti gundukan bukit-bukit kecil dengan cerobong semu yang menyembul di
atasnya, saya dapat menikmati keindahan perbukitan Gombong yang terhampar di
sebelah utara.
Pungkaslah anjangssana saya di Benteng Van der Wijck Gombong, sebuah benteng yang ternyata tidak pernah dirampungkan sesuai rencana semula. Sulit dibayangkan pula di saat keuangan pemerintah kolonial terkuras habis akibat Perang Jawa sampai mereka menerapkan kebijakan Tanam Pakssa, di saat yang sama mereka justru mengadakan proyek pembangunan benteng-benteng berbiaya tinggi untuk menghadapi ancaman invasi yang ternyata tidak pernah terjadi. Namun demikian, keberadaan Benteng Van der Wijck ini telah membuat nama Gombong lebih dikenal dan mengubah Gombong yang semula hanyalah desa kecil menjadi pusat kegiatan yang ramai di Kebumen bagian barat.
Referensi
Bleeker, P. 1850. "Fragementen eener Reis over Java. Hoofdstuk VIII ; Van Poerworedjo naar Banjoemas" dalam Tijschrift voor Nederlandsch Indie. Groningen : C. M. Van Bolhuis Hoitsema.
Tim Penyusun. 2012.
Forts in Indonesia. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia
Rees, D.F.W Van. 1901. Het Pauperisme Onder Europeanen in Ned. Indie. Batavia : Landsdrukkerij.
Rees, D.F.W Van. 1901. Het Pauperisme Onder Europeanen in Ned. Indie. Batavia : Landsdrukkerij.
Van
Brakell, R.G.B de Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Amsterdam : P.N. Van Kampen.
Kompas, 12 Juni 2010.
De Locomotief, 24 Desember 1880
Mantap sayang gombong tidak masuk dalam wilayah banjoemas ... salam lestari
BalasHapusterimakasih kak untuk infonya kak
BalasHapusmarketing agency