Sabtu, 26 Maret 2016

Yang Tidak Baru di Kotabaru

Sekalipun namanya Kotabaru, namun kawasan itu sejatinya telah hadir semenjak zaman Belanda. Kawasan sarat nilai sejarah itu menyimpan segudang bangunan-bangunan lama yang terdiam bisu menyaksikan wajah kawasan yang terus berubah mengikuti geliat zaman. Inilah cerita saya mengenai jejak kota taman dambaan kaum borjuis di Yogyakarta tempo dulu….
Pemandangan udara kawasan Kotabaru di masa lalu (sumber : data.collectienederland.nl)
Jalan M.Faridan Noto yang melintang di Kotabaru siang itu ramai lancar sebagaimana hari biasanya. Panasnya matahari di atas kepala tak begitu terasa berkat rimbunnya daun-daun pohon peneduh yang tumbuh di tengah jalan. Siang itu saya sedang menjajal menelusuri berbagai jejak sejarah di kawasan yang secara administratif menjadi sebuah kelurahan tersendiri dibawah kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta. Kawasan Kotabaru di sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Terban, dengan jalan Jenderal Sudirman sebagai batasnya. Di sebelah timur, ia berbatasan dengan kelurahan Klitren yang dipisahkan oleh jalan Wahidin Sudirohusodo, kemudian Kali Code di sebelah barat menjadi perbatasan alami Kotabaru dengan Kelurahan Gowongan. Sementara itu, jalur kereta di sebelah selatan menjadi batas Kotabaru dengan Kelurahan Tegalpanggung yang sudah masuk kecamatan lain. Menjelajahi kawasan Kotabaru merupakan petualangan tersendiri bagi saya karena bukanlah perkara mudah menjelajahi sebuah kawasan urban yang ramai oleh lalu lalang kendaraan dengan fasilitas pedestrian yang sekenanya. 
Museum Sandi kini dan dahulu.
(Sumber foto lama : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Baru memulai perjalanan, saya segera bersua dengan sebuah rumah tua berlantai dua yang kini lestari menjadi Museum Sandi. Setelah puas melihat-lihat koleksi yang tersaji di dalam, saya berdiri sejenak di balkon Museum Sandi yang menghadap ke utara. Dari sini, tersuguh panorama Gunung Merapi yang terlihat begitu indah. Sayang, keindahan itu mulai tertutup oleh gedung-gedung baru yang kian menjulang di langit Yogyakarta. Lekukan Sungai Code yang membelah kota Yogyakarta juga terlihat dari sini. Sungguh betapa beruntungnya orang yang dulu bisa menempati rumah besar nan cantik dengan suguhan pemandangan indah ini. Ya, Kotabaru sejatinya ialah kawasan hunian elit untuk orang-orang Belanda yang beruntung saja dan akhirnya di balkon itu saya tercenung….
Peta kawasan Kotabaru. 
Keterangan. 27 : Militair Hospital (RS DKT).32 : Normaalschool voor Inlandsche onderwijzers (SMP N 5 Yogyakarta). 33 : A.M.S (SMAN 3 Yogakarta).34 : Europesche Lagere School (SD N Ungaran).35 : Kolese Santo Ignatius.36 : Gereformerdee Kerk (Gereja HKBP).
Mari kembali ke masa silam, ketika kawasan ini masih bernama Nieuwe Wijk yang dalam bahasa Belanda secara harfiah berarti “Kota Baru”; nama yang masih dipakai hingga sekarang. Mengapa ia dinamakan demikian ? Alkisah pada permulaan abad-20, industri gula di sekitar Yogyakarta mulai bermekaran bak cendawan di musim hujan sehingga semakin banyak orang Eropa yang datang menetap di Yogyakarta. Terlebih akses transportasi ke Yogyakarta cukup mudah karena tersambung dengan jaringan kereta di Jawa yang kemudian memicu pertumbuhan penduduk Eropa di kota tersebut. Sementara itu, pada saat yang sama permukiman lama orang Eropa di Loji Kecil dan Bintaran juga sudah dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Di sisi lain, sebagian besar tanah di Yogyakarta merupakan properti milik Kesultanan dan warga asing tidak dapat memiliki tanah yang berstatus sebagai hak milik pribadi. Alhasil tanah yang ada pada saat itu hanya berstatus sebagai hak sewa yang tidak dapat dijual sehingga tidak menguntungkan untuk aset investasi. Berkaca dengan keadaan tersebut, maka Cornelis Canne selaku residen Yogyakarta pada tahun 1916 menyusun rencana perluasan kota yang akan dijadikan sebagai permukiman baru dengan status tanah dan bangunan yang setidaknya dapat menjadi aset pribadi (Bataviascch Nieuwsblad, 10 April 1916).
Rumah sakit tentara Dr. Soetarto. Pada bagian fasad terdapat angka tahun 1913 yang ditulis dalam angka Romawi.
Sebidang lahan yang berada timur Sungai Code dipilih sebagai tempat yang diproyeksikan menjadi kawasan permukiman berstandar Eropa di Yogyakarta. Di sana sudah berdiri Petronella Hospital yang sudah ada di sana sejak tahun 1900 dan disusul pembangunan rumah sakit militer pada tahun 1913. Saat itu, tempat tersebut masih merupakan daerah pinggiran yang diharapkan dapat memberikan suasana tenang bagi penghuninya serta dapat diperluas jika diperlukan. Tempat tersebut juga berdekatan dengan akses transportasi seperti Jalan Raya Yogya-Solo dan Stasiun Lempuyangan. Lokasinya berada di pinggiran sehingga memungkinkan jika akan dilakukan perluasan. Selain tempat tinggal, di lahan itu pula juga hendak didirikan dengan aneka fasilitas untuk memanjakan penghuninya seperti sekolah, rumah sakit, gereja, dan rekreasi. Dengan demikian, Kotabaru atau Nieuwe Wijk tidaklah sekedar nama belaka karena ia dibangun di lahan yang baru dan dengan fasilitasnya yang lengkap menjadikan tempat itu menjelma layaknya sebuah kota yang baru (Dingemans, 1926 :110-111). 

Para warga Eropa sedang menikmati suasana lingkungan di Kotabaru. Taman Kotabaru dahulu berada di area yang sekarang menjadi lapangan Kridosono.
(Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Pembentukan Departement van Sultanaat Werken (dinas pekerjaan umum kesultanan) yang diketuai oleh Ir. L.V.R Beekveld pada 1916 menjadi awal untuk mewujudkan proyek ambisius tersebut. Sementara urusan tata guna lahan dan pemasarannya diserahkan kepada Comisie van Grounbedrijf  (Komisi Urusan Tanah). Nantinya kavling di Kotabaru akan dibagi tiga kelas berdasarkan harganya.  Untuk menghindari aksi spekulan, maka tanah yang sudah dibeli tidak boleh dibangun selain untuk rumah tinggal. Pembangunan kawasan Kotabaru dimatangkan rencananya melalui Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta 1917 No. 12. Kantor arsitektur Sistsen en Louzada kemudian digandeng untuk merancang rencana teknis Kotabaru (De Locomotief, 16 Oktober 1919). Pada bulan Februari tahun 1917, kompleks permukiman Kotabaru sudah mulai berjalan (Preanger Bode, 30 Januari 1917). Memasuki bulan Oktober 1917, fasilitas berupa jalan, taman umum, dan saluran air sudah tersedia di Kotabaru (De Locomotief, 10 Oktober 1917). Pengerjaan proyek dilakukan secara bertahap dan ditargetkan selesai dalam jangka waktu 5 tahun. Sayangnya, pembukaan kawasan Kotabaru sempat terkendala dengan status tanahnya yang sedang disewakan Kesultananan kepada perkebunan swasta Suikeronderneming Moedja-Moedjoe. Alhasil proyek tersebut harus menunggu perubahan status tanah oleh pemerintah Kesultanan. Uang sebanyak 175.000 gulden digelontorkan untuk membuka Kotabaru (De Locomotief, 11 Januari 1918).
Pemandangan Kotabaru tempo doeloe dilihat dari udara. Foto menghadap ke timur 
(sumber : Djocja Solo Beeld van Vorstenlanden halaman 146).
Rancangan tata ruang kawasan Kotabaru ditata dengan mengadopsi konsep kota kebun atau garden city yang dicetuskan oleh seorang stenographer (ahli tulisan tangan cepat) bernama Ebenezer Howard. Konsep garden city dikemukan pertama kalinya oleh Howard dalam suatu pertemuan publik di Farringdon Street, London pada 1893. Konsep garden city yang dicetuskan oleh Howard pada dasarnya menawarkan permukiman yang layak dan bermutu dalam bentuk perpaduan unsur kehidupan pedesaan yang masyarakatnya kolektif dengan karakter kota modern yang memiliki sarana kebutuhan lengkap dan terencana (Budder, 1990: 3). Howard kemudian menyebarluaskan gagasannya dalam bukunya berjudul “To-morrow” dan konsep tersebut disambut baik oleh banyak pihak. Gagasan tersebut mulai terwujud setelah lahan seluas 15 km2 di desa Lechtworth berhasil dibeli pada 1903. Mengingat Howard bukanlah arsitek atau ahli tata kota, maka sayembara diadakan untuk mendapatkan arsitek yang untuk pertama kalinya akan merancang konsep kota yang belum ada sama sekali di dunia saat itu. Dari sayembara tersebut akhirnya Howard mendapatkan dua nama arsitek yang sejalan dengan gagasanya. Mereka adalah Richard Berry Parker dan Raymond Unwin (Budder, 1990: 84). Konsep garden city yang diusung Howard menarik perhatian internasional. Di Hindia-Belanda, konsep tersebut diperkenalkan pertama kalinya diterapkan di Menteng, Jakarta. Setelah itu, berbagai kota di Hindia-Belanda juga mengembangkan permukiman baru dengan konsep garden city.
Salah satu ruas jalan di Kotabaru yang kini menjadi Jalan Suroto. Jalan ini dulunya bernama Mataram Boulevard. Bangunan besar di kanan foto adalah kantor dari "Technisch Bureau E. Rombout" (sumber :https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/).
Jln.Suroto saat ini.
Dr. Yap Boulevard yang saat ini menjadi Jln. Cik Di Tiro. Jalan ini adalah hasil perluasan Kotabaru ke arah utara
(sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/).
Raungan kendaraan yang melintas segera menyadarkan saya dari lamunan tadi. Dari Museum Sandi, saya berjalan mengikuti jalan Prau. Dari jalan Prau, perjalanan saya teruskan ke Jalan I Dewa Nyoman Oka yang tampak sedikit berbelok. Bukannya kenapa-kenapa. Jalanan yang membelah kawasan Kotabaru sengaja dibuat tidak dalam pola tegak lurus atau rectangular, namun dibuat sedikit menyerupai kurva yang melengkung, menghasilkan pola radial yang melingkari sebuah taman yang menjadi titik pusat kawasan (taman ini sekarang menjadi stadion Kridosono). Dengan pola jalanan semacam ini, sembari berjalan orang dapat menikmati indahnya rumah tanpa perlu berhenti. Berdasarkan jenisnya, jalan di Kotabaru dibagi menjadi dua jenis, yakni laan dan boulevardLaan adalah jalan yang pinggirannya ditanami dengan barisan pohon peneduh. Sementara boulevard adalah jalan yang ditengahnya memiliki taman yang memanjang. Kotabaru sendiri memiliki tiga buah Boulevard, yakni Sultan Boulevard, Mataram Bouelvard dan Boulevard Jonquiere atau kadang disebut Kerkweg. Selain itu masih ada satu lagi jenis jalan, yaitu weg atau jalan biasa. Untuk menambah kesan romantis, maka nama jalan di Kotabaru dulunya diambil dari nama gunung-gunung yang terdapat di pulau Jawa seperti Soembing-laan, Merapi-laan, Wilis-laan, Oengaran-laan, Merbaboe-laan, Lawoe-laan,Praoe-laan, dan Telomojolaan. Setelah kemerdekaan, banyak nama-nama jalan itu yang digantikan dengan nama para pemuda yang gugur pada peristiwa penyerbuan Kotabaru yang terjadi pada tanggal 6-7 Oktober 1945. Tragedi itu bermula ketika para pemuda berusaha menyerbu markas tentara Jepang di Kotabaru yang belum kembali ke tanah airnya. Tatkala mereka hendak menyerbu salah satu markas untuk melucuti senjata, tiba-tiba saja senapan mesin memberondongkan pelurunya secara membabi buta ke gerombolan pemuda tadi sehingga banyak pemuda yang gugur pada peristiwa serbuan itu. Selain diabadikan dengan menjadikan nama-nama jalan yang ada di Kotabaru, peristiwa itu dikenang pula dengan pendirian Masjid Syuhada yang dibangun sekitar tahun 1950an.
Bangunan Gereformeerde Kerk yang saat ini menjadi Gereja HKBP Kotabaru
(sumber : colonialarchitecture.eu)
Gereja HKBP Kotabaru.
Di jalan itu, tampak sebuah bangunan Gereja HKBP Kotabaru yang menempati bekas gereja Gereeformerde Kerk. Para penghuni Kotabaru merupakan masyarakat Eropa yang mayoritas beragama Kristen sehingga kawasan Kotabaru dilengkapi dengan fasilitas gereja untuk memenuhi kebutuhan rohani seperti Gereeformerde Kerk yang diperuntukan bagi umat Kristen dari denominasi Gereja Reformasi. Sebelum didirikan, umat Gereja Reformasi beribadah di salah satu ruang Rumah Sakit Petronella. Pada tahun 1922, pertemuan dewan gereja memutuskan untuk membangun gereja baru di tengah kawasan Kotabaru bermodalkan dari pinjaman sebesar 25.000 gulden. Guru arsitektur dari Techinsche School Juliana Jetis, Mr. Vliegenthart, ditunjuk sebagai arsitek yang merancang gereja baru tersebut. Gereja tersebut dirancang dalam bentuk salib untuk menciptakan efek akustik sebaik mungkin. Di kedua sisi pintu masuk, terdapat menara yang selain untuk dekorasi juga untuk mendukung konstruksi dinding samping. Di tengah atap utama, terdapat menara kecil yang berisi lonceng perunggu seberat 125 kg. Gereja ini dahulu mampu menampung 200 jemaat. Gereja ini diresmikan pada 21 Mei 1923, diawali dengan pembunyian lonceng untuk pertama kalinya pada jam 10 pagi. Peresmian gereja mengundang pendeta terkemuka saat itu, Pdt. Baker dari Opleidingschool voor Inlandsche Helpers. Semua kursi hampir terisi penuh oleh undangan yang tak hanya datang dari Yogyakarta saja, namun juga dari Purworejo, Kebumen, Gombong, hingga Purwokerto. Pendeta Baker memilih ayat Alkitab dari Ibrani 8;5 sebagai pokok bahasan yang disampaikan untuk khotbah pertama di gereja itu (De Indische Courant, 24 Mei 1923). 
Gereja Santo Antonius Kotabaru yang terlihat tinggi berkat menara lonceng di bagian depan.
Desain awal Gereja Santo Antonius Kotabaru oleh biro arsitek Hukswit, Fermont, en Cuypers (sumber :  Het Nederlandsche en Nederlandsch-Indische huis, oud en nieuw tahun 1928, volume 017, halaman 70 )
Kolese Santo Ignatius.
Sumber : Sint Clavebond 1924.
Selain Gereformeerde Kerk, sarana ibadah umat Nasrani lain di Kotabaru adalah Gereja Katolik Santo Antonius. Sebelum Gereja Santo Antonius Kotabaru dibangun, umat Katolik di Yogyakarta hanya mengandalkan Gereja Kidul Loji sebagai tempat ibadah mereka. Dengan pertambahan jumlah umat Katolik, maka bangunan Gereja Kidul Loji tidak mampu menampung jemaat. Selagi gereja yang baru belum dibangun, maka rumah milik tuan Perquin di Kotabaru dijadikan sebagai gereja darurat. Pada tahun 1926, didirikan sebuah gereja baru yang terletak di sebelah timur Seminari Kanisius yang sudah dirintis oleh Pater F. Strater sejak tahun 1924. Sedianya gereja yang dirancang oleh biro arsitek "Hulswit Fermont en Cuypers" ini akan dilengkapi dengan menara jam. Namun karena keterbatasan keuangan gereja, maka menara jam tersebut dihilangkan, diganti dengan menara lonceng. Bangunan gereja diberkati oleh Mgr. Van Velsen, SJ pada 26 September 1926. Sebelum kemerdekaan, bangku gereja hanya disediakan untuk orang Eropa, sementara orang Jawa duduk bersila di alas tikar (Vrins SJ, G. 1926; 290-294). Pada masa pendudukan Jepang, kolese yang lokasinya di belakang gereja dijadikan interniran wanita dan suster-suster Belanda, sementara gedung gereja dialihkan sebagai gudang. Pada masa itu juga, patung-patung orang suci dan perabotan lainnya yang dahulu menghiasi bagian dalam gereja raib. Sesudah kemerdekaan, gereja ini sekali lagi dipergunakan sebagai tempat ibadah (DR. Jan Weitjens SJ.dkk, 1995;37-38). Langgam Art Deco cukup kentara pada gereja itu dengan lubang angin berbentuk garis vertikal. Sementara itu, menara lonceng gereja itu dipermanis dengan hiasan windwijzers (penunjuk arah angin) berbentuk ayam jago yang bertengger di kemucaknya.
Salah satu rumah di Kotabaru pada tahun 1920an. Bangunan ini sekarang masih ada dan digunakan sebagai Balai Bahasa. (sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Ragam rumah kuno di Kotabaru.
Iklan koran De Locomotief 27 Oktober 1934 yang menawarkan dua rumah untuk disewakan di Kotabaru.
Di sepanjang Jalan Ungaran, masih terdapat beberapa rumah-rumah tua dari era ketika Kotabaru masih bernama Nieuwe Wijk. Rumah-rumah itu berdiri di lahan-lahan yang telah disediakan oleh pengembang. Luas lahan rumah-rumah di Kotabaru lebih kecil dibanding luas lahan rumah di era sebelumnya. Sebabnya adalah kian mahalnya harga material dan tanah. Pergeseran selera juga menjadi salah satu faktor, dimana orang yang semula menyukai hal-hal berbau megah dan besar, kini lebih menggemari hal-hal yang praktis dan sesuai kebutuhan. Setelah kawasan Kotabaru selesai ditata, kapling-kapling tanah yang tidak terlalu luas itu dijual kepada perseorangan untuk dibangun rumah atau kepada pengusaha properti untuk disewakan ke orang lain. Djoko Soekiman dalam bukunya berjudul “Kebudayaan Indis” menceritakan bahwa mulanya pengusaha properti tidak yakin jika tanah yang disewakan sebesar 125 gulden perbulan itu akan laku. Namun khalayak menanggapinya dengan baik dan rumah-rumah itu akhirnya laris di pasaran (Soekiman, 2014; 179 ). Rumah yang dibangun harus mengikuti peraturan misalnya luas bangunan pada kavling kelas 1, 2, dan 3 tidak boleh melebihi 33%, 40%, dan 50% dari luas tanah. Jarak antar bangunan juga harus berjarak paling sedikit 2 m dari batas persil setiap lahan. Aturan tersebut dimaksudkan supaya penampilan Kotabaru tidak rusak  (Dingemans, 1926 :110-111).
Salah satu rumah di Kotabaru yang diberi nama Huize Djogokerten. Pemberian nama rumah merupakan salah satu kebiasaan penghuni di Kotabaru. (Sumber : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)




Ragam rumah kuno di Kotabaru.
Secara kasat mata, hunian-hunian di Kotabaru terlihat lebih lugas dan ukurannya lebih menciut dibandingkan dengan rumah-rumah Belanda dari era sebelumnya yang biasanya terlihat megah dengan pilar-pilar besar di beranda depannya. Perubahan bentuk ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya adalah mulai berdatangnya perempuan-perempuan dari Eropa yang lebih suka tinggal di rumah bergaya barat modern. Kedatangan perempuan kulit putih di Hindia-Belanda secara perlahan merombak susunan keluarga Eropa. Jika dulu seorang pria Eropa dapat mengawini lebih dari dua istri orang pribumi sehingga kamar yang disediakan harus banyak, kini dengan adanya perempuan Eropa mereka lebih memilih untuk memiliki satu istri sehingga kebutuhan kamar tak perlu banyak-banyak (Soekiman, 2014;179). Kehadiran tenaga arsitek yang mendapat pendidikan arsitektur dari Eropa juga turut mempengaruhi bentuk rumah di Kotabaru. Mereka, para arsitek terdidik itu, memperkenalkan gaya arsitektur modern dengan penyesuaian iklim tropis, sehingga ruang di dalam rumah bisa dibagi dengan praktis. Luas lahan yang dipakai dapat dikurangi sehingga dapat menghemat pengeluaran untuk membeli lahan karena harga lahan pada waktu itu semakin mahal. Selanjutnya adalah konsep Kotabaru sendiri yang sudah ditata sebagai sebagai sebuah kawasan garden city, sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika bangunan-bangunan di dalamnya juga harus mencitrakan modernitas.
Foto lama sebuah rumah bertingkat dua yang sekarang menjadi Bank BTN  Rumah ini sebelum dipakai bank dikenal sebagai rumah kentang karena di puncak atap ada hiasan yang berbentuk seperti kentang (sumber : colonialarchitecture.eu).
Sebuah rumah tua dengan fasad bertuliskan "Huize Beran". Tidak diketahui apakah rumah ini memiliki kaitannya dengan Pabrik Gula Beran. Namun pada masa lampau, keluarga-keluarga pejabat pabrik gula di Yogyakarta lebih memilih tinggal di Kotabaru daripada di dekat pabrik gula.
Selama puluhan tahun lamanya, Kotabaru menjadi hunian warga kelas atas di Yogyakarta. Mereka dimanjakan dengan segala sarana dan prasarana yang tersedia serta akses jalan yang mudah. Namun mereka tak lama tinggal di situ karena Hindia-Belanda ditundukan oleh Jepang pada 1942. Pada masa penjajahan Jepang, beberapa bangunan di Kotabaru dijadikan gudang senjata, kamp internir, dan markas petinggi militer Jepang. Ketika Jepang hengkang, beberapa bangunan berpindah tangan ke orang Indonesia, terutama mereka yang dari kalangan priyayi. Lalu saat ibukota Republik Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta, beberapa bangunan di kawasan Kotabaru dijadikan sebagai kantor kementerian seperti Museum Sandi yang dulu sempat menjadi kantot kementerian luar negeri.
Sebuah rumah di jalan Abu Bakar Ali. Rumah ini dibangun pada tahun 1918 untuk anggota keluarga Sultan HB VIII dan masih ditinggali oleh keturunannya. Selain orang-orang Eropa, kawasan Kotabaru juga dihuni oleh keluarga bangsawan pribumi dan orang-orang Tionghoa kaya (Leushuis ,2014; 199).
Sesuai dengan konsep Kotabaru sebagai sebuah Garden City, maka halaman depan rumah di kawasan ini ditanami dengan berbagai jenis pohon, terutama pohon-pohon penghasil buah seperti rambutan, belimbing manis dan nangka serta pohon dengan bunga yang baunya harum seperti pohon tanjung. Sehingga halaman depan rumah yang ada di Kotabaru menjelma menjadi kebun hijau kecil nan rindang.
Biara susteran Amal Kasih Darah Mulia yang dibangun pada tahun 1920 dulunya merupakan villa milik Liem Han Tjioe.
Di sekitar Kotabaru, terdapat perkampungan tempat tinggal orang pribumi seperti Pengok. Penduduk di perkampungan ini banyak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, supir, tukang kebun atau pengantar pesan untuk orang-orang barat yang tinggal di Kotabaru. Karena para pembantu diambil dari kampung-kampung yang berada di dekat Kotabaru, maka bangunan tambahan di samping atau belakang rumah untuk kamar pembantu tidak diperlukan lagi (Passhier. Cor, 2002; 124). Dalam buku Cars, Conduit and Kampong, dijabarkan bahwa banyak orang-orang pribumi yang merasa was-was ketika berjalan melintasi kawasan ini. Sebabnya beragam, dari takut terhadap anak-anak Belanda yang kadang berbuat jahil terhadap penduduk pribumi yang sedang melintas hingga takut dengan anjing galak peliharaan orang-orang Belanda. Sekalipun demikian, masih ada juga anak-anak pribumi yang cukup berani bermain dengan anak-anak orang barat yan tinggal di sini (Fakih. Farabi, 2006; 162-163).
Europesche Lagere School yang kini menjadi SDN Ungaran.
Normaalschool voor Inlandsche onderwijzers yang kini menjadi SMP N 5.

Di jalan Ungaran, terdapat SD Ungaran yang menempati bekas gedung sekolah Europeesche Lagere School atau sekolah dasar untuk anak Eropa. Sejumlah sekolah untuk anak Eropa dari jenjang dasar, mengenah hingga atas didirikan di seputaran Kotabaru. Selain Europesche Lagere School yang kini menjadi SD N Ungaran, ada pula  A.M.S (Algemenee Midlebaar School) yang kini menjadi SMA N 3. A.M.S pada masa kolonial setingkat dengan sekolah menengah atas pada masa sekarang. Saat itu, ada dua jalur pendidikan menengah umum, yakni H.B.S (Hoogere Burger School) dan A.M.S (Algemeene Midlebaare School). Kendati jenjangnya sama, namun A.M.S biasanya menjadi pilihan untuk anak-anak yang memilih tetap tinggal di Hindia-Belanda sedangkan H.B.S ditujukan bagi yang akan melanjutkan pendidikannya di Belanda.  Algemeene Midlebaare School Kotabaru dibuka pada tahun 1918 dan merupakan A.M.S pertama di Hindia-Belanda. Ketika pertama kali dibuka ada 38 siswa yang bersekolah di sana. A.M.S tidak eksklusif untuk murid Belanda saja, namun juga menerima murid dari kalangan pribumi dan Tionghoa. A.M.S Yogyakakarta mengajarkan pelajaran matematika dan ilmu alam, sehingga lulusan A.M.S Yogyakarta umumnya mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi di Hindia-Belanda yang berkaitan dengan ilmu alam seperti Techinsche Hoogheschool Bandung dan Geneeskundige Hoogeschool Batavia (Brugmans, 1938;339-340). Sarana pendidikan lainnya di Kotabaru adalah Christelijke Muloschool yang sekarang menjadi SMA BOPKRI I Yogyakarta. Sekolah tersebut dibuka oleh zending pada 1 Juli 1921 dan memiliki jenjang yang setingkat dengan sekolah menengah pertama di masa sekarang. Rata-rata, murid Chirstelijke Muloschool  melanjutkan belajar di sekolah pendeta yang saat itu sudah dibuka di Yogyakarta. (Evers 1924;94-95).
Algemenee Midlebaar School yang kini menjadi SMA N 3.
Christelijke M.U.L.O yang kini menjadi SMA Bopkri. Dahulu sempat menjadi Akademi Militer.
Sarana kesehatan yang ada di Kotabaru terbilang lengkap. Paling besar adalah Petronella Hospital. Kisah rumah sakit tersebut bermula pada tahun 1897, ketika lembaga zending Hollandsch Gereformerde Zendingvereeniging mengutus Dr. Jan Gerrit Scheruer ke Yogyakarta dengan maksud menyediakan layanan kesehatan kepada masyarakat pribumi tanpa memungut biaya. Tempat praktik pertama dokter Scheurer berada di kawasan Bintaran. Selanjutnya Sultan Hamengkubuwono VII menghibahkan sebidang tanah di daerah Gondokusuman kepada dokter Scheurer pada tahun 1900 dan setahun berikutnya dokter Scheurer sudah pindah ke tempat baru tersebut. Klinik tersebut diberi nama Petronella Hospitaal sebagai bentuk penghargaan terhadap dermawan terbesar untuk klinik itu, Ny. Petronella van Coevorden Adriani. Awalnya masih berjalan sulit karena kendati pengobatannya gratis, namun banyak penduduk pribumi yang masih belum percaya pada pengobatan modern. Setiap sorenya, dokter Scheurer berkeliling dari rumah ke rumah hanya untuk membujuk agar mereka yang sakit berkenan untuk berobat di kliniknya. Kendala lain saat itu adalah minimnya jumlah tenaga perawat yang memiliki pengetahuan dasar soal keperawatan sehingga Dr. Scheurer mengangkat pembantu rumah tangga dan juru pelihara kuda sebagai perawat.
Foto lama Rumah Sakit Petronella setelah diresmikan pada tahun 1925.
Petronella Hospital yang kini menjadi RS Bethesda.
Selepas dokter Scheuerer kembali ke Belanda pada tahun 1906, klinik terus berkembang di bawah kepengurusan dokter Pruys karena klinik tersebut memiliki banyak jaringan klinik pembantu dan Pruys menjalin kerja sama dengan perkebunan tebu yang tersebar di berbagai penjuru Yogyakarta untuk membantu pendanaannya. Pasien yang berpenyakit ringan dirawat secara rawat jalan, sementara yang agak berat dirawat di rumah sakit pembantu terdekat. Pasien baru akan dirujuk ke RS Petronella apabila penyakitnya butuh penanganan serius. Untuk memudahkan komunikasi, RS Petronella terhubung dengan rumah sakit pembantu melalui jaringan telepon. Seiring bertambahnya jumlah pasien, klinik akan diperbesar menjadi rumah sakit besar dengan fasilitas berstandar tinggi. Pembangunan dimulai pada 1 Juni 1923. Rancangannya dibuat oleh biro bangunan Sitsen en Louzada. Rumah sakit dibangun secara bertahap. Pembangunannya diawasi oleh Vliegenthart, guru sekolah teknik Juliana Jetis. Setelah Vliegenthart dimutasi pada September 1924, pengawasan diserahkan kepada arsitek Burgerlijke Openbare Werken bernama Poolman. Setelah tahap pembangunannya tuntas, rumah sakit baru Petronella diresmikan pada 29 April 1925 bertepatan dengan peringatan hari jadi rumah sakit ke-25. Pada saat itu, RS Petronella sudah memiliki bangsal terpisah untuk pasien dewasa dan anak, ruang operasi, ruang rontgen, laboratorium, dan dapur yang dapat memasak 3500 porsi makanan perhari. Di samping itu, RS Petronella juga memiliki 4 buah ambulan keliling yang membantu perrawatan jalan. Di antara rumah sakit zending yang ada di Jawa Tengah, RS Petronella bisa dikatakan adalah yang sarananya paling lengkap dan modern serta memiliki ahli kesehatan yang terlatih (Elout, 1936; 51). Petronella Hospitaal inilah yang menjadi cikal dari RS Bethesda yang sekarang. 
Rumah Sakit Mata Dr. Yap, dulu Prinses Julian Ooglijdersgatshuis.
Seiring berjalannya waktu, Kotabaru mulai berkembang dan perluasannya diarahakan ke utara dengan membuat jalan Dr. Yap-Bouelevard. Nama jalan tersebut diambil dari nama seorang dokter spesialis mata, Yap Hong Tjoen dan bukan suatu kebetulan jika jalan tersebut dinamakan demikian karena di sana terdapat rumah sakit mata yang dirintis oleh Dokter Yap yang dahulu bernama "Prinses Juliana gasthuis voor ooglijders" atau kini menjadi RS. dr. Yap.
Setelah menempuh pendidikan dokter mata di Leiden dan membuka praktik di Den Haag selama lima tahun, Dokter Yap terpanggil untuk memberi sumbangan kepada tanah kelahirannya di Hindia-Belanda dengan mengobati penyakit mata orang-orang kurang mampu tanpa memandang ras atau agamanya. Impian mulia dokter Yap akhirnya terwujud setelah presiden Bank Sentral Belanda, G. Vissering, bersedia untuk membantunya. Pada tahun 1919, dokter Yap kembali ke Yogyakarta dan mempersiapkan segala keperluan untuk mendirikan sebuah rumah sakit khusus mata. Biro arsitek Hulswit, Fermont en Cuypers diberi tugas untuk merancang gedung rumah sakit mata tersebut. Sementara persiapan sedang berjalan, Dokter Yap memulai kiprah pengabdiannya dengan membuka klinik pengobatan mata di Gondolayu pada 20 juni 1921. Klinik mata itu diberi nama Prins Juliana Ooglijdergasthuis sebagai bentuk penghargaan terhadap putri Juliana yang telah memberi banyak bantuan kepada dokter Yap. Bantuan lainnya datang dari berbagai pihak seperti Sultan Hamengkubuwono VIII yang menghibahkan tanah untuk tempat rumah sakit, Vorstenlandsche Landbouwvereeniging yang akan membiayai operasionalnya, dan hartawan terkenal dari Semarang, Oei Tiong Ham juga turut menyumbang uang untuk modal pembangunan (Bataviaasch Nieuwsblad 31 Mei 1923).
Sketsa pandangan mata burung Rumah Sakit Mata Juliana.
Pada 21 November 1922, diadakan upacara peletakan batu pertama oleh Sultan HB VIII dan rumah sakit tersebut dibuka pada 29 Mei 1923 oleh  Gubernur Jenderal D. Fock. Bagian depan bangunan  kompleks rumah sakit mata ini terdapat bangunan utama untuk pelayanan dan pemeriksaan pasien, dimana bagian atapnya dimahkotai dengan kubah kecil yang menjadi karakter dari rumah sakit. Di samping kanan dan kiri bangunan uatama merupakan bangunan rumah tinggal untuk dokter dan perawat. Beranjak ke belakang, terdapat beberapa bangsal untuk rawat inap pasien. Masing-masing bangsal saat itu mampu menampung sebanyak 19 hingga 46 pasien (Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie, 23 Mei 1923)Dengan dekatnya berbagai sarana kesehatan dan pendidikan, masyarakat Kotabaru mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang jauh lebih bagus dibandingkan mereka yang tinggal di kawasan lain.
Gardu listrik di tengah jalan Faridan M.Noto.
Berdiri di tengah-tengah pertigaan Jalan Ungaran dengan Jalan M. Faridan Noto, gardu listrik tinggalan A.N.I.E.M terlihat merana dengan coretan vandal yang menempel di dindingnya. Listrik itu merupakan satu dari sekian sarana yang memanjakan penghuni Kotabaru seperti pipa gas, telepon, air bersih dan selokan pembuangan atau drainage untuk pembuangan limbah rumah tangga dan air hujan juga sudah disediakan. Selokan yang menembus tanah di bawah jalan-jalan di Kotabaru telah dirancang sedemikian rupa, dimana selokan-selokan kecil akan mengalirkan limbah ke selokan yang lebih besar dan kemudian selokan itu berakhir di Sungai Code. Dahulu, selokan itu secara rutin dibersihkan secara gotong royong oleh warga Kotabaru sehingga banjir jarang menggenangi kawasan itu.
Rumah yang nyaman, lingkungan yang tenang, dan fasilitas yang lengkap membuat orang betah tinggal di sini. Tentu saja hanya orang mampu yang sanggup untuk membeli tanah dan membangun rumah, dan berhuni di sini. Bahkan saking nyamannya, konon para administrateur atau kepala pabrik gula di daerah Yogyakarta lebih memilih tinggal di Kotabaru daripada tinggal di dekat lokasi pabrik. Kotabaru sebagai tempat tinggal kaum borjuis Yogyakarta terhubung dengan pusat kehidupan komersil dan hiburan di Malioboro melalui jembatan yang disebut Jembatan Kewek. Sebelum jembatan tersebut dibangun, penduduk Kotabaru harus berjalan memutar melalui jembatan Gondalayu dan kemudian menyusuri Jalan Mangkubumen. Adanya perlintasan kereta menyebabkan terjadinya penumpukan kendaraan di jalan tersebut apabila ada kereta yang melintas. Oleh karena itu, Residen Jonquiere atas pesetujuan Sultan Hamengkubuwono VII mengajukan rencana pembuatan jembatan baru di atas Kali Code dan jalan baru di selatan Kotabaru melalui bagian bawah jembatan kereta Yogyakarta-Solo yang akan menghubungkan Kotabaru dengan Malioboro. Total anggaran pembangunan jalan tersebut sebesar 1.238.000 gulden yang berasal dari kas Kesultanan dan subsidi dari Nederlandsche-Indische Spoorwegmaatschappij. Proyek pengerjaan jembatan tersebut dilaksanakan oleh Dienst der Sultanaatswerken dan firma Sitsen en Louzada dengan arahan dari Ir. Beekveld. Proses pengerjaanya dimulai sejak bulan Desember 1921. Mentari pagi 14 Mei 1924 menjadi saksi dibukanya jembatan tersebut oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Residen L.F Dingemans, dan pihak-pihak yang terlibat dalam proyek tersebut. Keberadaan jalan yang diberi nama “Boulevard Jonquiere” tersebut diharapkan dapat mempersingkat waktu tempuh penduduk Nieuwe Wijk ke Malioboro sehingga kawasan Nieuwe Wijk atau Kotabaru menjadi lebih maju. Selain itu, diharapkan keberadaan jalan baru tersebut dapat mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan poros Malioboro-Tugu, dimana jalan tersebut dipenuhi oleh kendaraan yang hendak menuju ke arah Magelang dan ke Solo (De Indische Courant, 15 Mei 1924).
Peringatan 40 tahun naik tahtanya Ratu Wilhelmina pada bulan September 1938 di Bijleveld-Stadion atau sekarang Stadion Kridosono (sumber : Djocja Solo halaman 147).
Saya kini berada di Stadiun Kridosono, stadiun yang terletak di ujung selatan kawasan Kotabaru. Kotabaru dilengkapi dengan ruang publik untuk sarana rekreasi dan olahraga seperti lapangan sepakbola, lapangan tenis, dan kolam renang. Pada tahun 1937, di tempat tersebut dibangun Stadiun Bijleveld oleh Jogja Voetbalbond yang pendanaanya dibantu oleh Kesultanan. Nama Bijleveld diambil dari nama gubernur Belanda di Yogyakarta yang menjabat dari tahun 1934-1939, Johannes Bijleveld. Gubernur Bijleveld dikenal sebagai sosok yang menggemari berbagai cabang olahraga dan banyak sarana olahraga direnovasi olehnya. Stadiun Bijleveld memiliki tribun berkapasitas 600 kursi yang dilengkapi atap peneduh. Di bawah tribun terdapat ruang ganti pemain dan toilet. Stadion tersebut memakan biaya sebesar 9.000 gulden (De Locomotief, 29 Juli 1937). Pada 28 Januari 1938, stadion tersebut dibuka secara resmi oleh Sultan Hamengkubuwono VIII yang kemudian diikuti dengan pertandingan persahabatan antara klub sepakbola Yogyakarta  melawan  Surakarta yang dimenangkan oleh tim tuan rumah (tidak jelas klub mana yang mewakili kedua kota tersebut). Bijelveld Stadion selanjutnya menjadi kandang dari Voetbal Bond Djokja en Omstreken, klub sepakbola Belanda di Yogyakarta. Lapangan ini seolah menjadi alun-alun sekunder Yogyakarta karena di sini dihelat berbagai acara-acara penting seperti peringatan ulang tahun ratu Belanda.

Sepanjang menempuh jalan di Kotabaru, saya membayangkan bagaimanakah suasana Kotabaru dahulu di kala senja, tatkala si tuan rumah duduk begitu santainya di beranda depan rumah, menikmati suasana tenangnya sore hari Kotabaru. Anak-anak pribumi hendak pulang setelah seharian bermain dengan anak-anak kulit putih. Terlihat pula para pembantu yang pulang ke rumah setelah merampungkan pekerjaan membersihkan rumah dan memasak. Seorang tukang kebun sedang memotong rumput dan ranting pohon yang tumbuh subur. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara kereta api yang baru saja tiba di Stasiun Lempuyangan. Kicauan burung yang pulang ke sarangnya juga turut mewarnai senja Kotabaru. Di penghujung hari, lampu listrik yang ada di setiap rumah mulai dinyalakan. Di bawah langit malam, Kotabaru tampak berpijar dengan suasana jalan yang tenang.
Rumah-rumah tua yang diadaptasi untuk salon dan cafe.
Seturut dengan pergerakan zaman, Kotabaru yang semula berada di pinggiran, dewasa ini telah menjadi bagian dari pusat kota Yogyakarta. Kotabaru pun segera dilirik menjadi lokasi usaha, apalagi letaknya strategis walaupun pajak bumi bangunan di sini amatlah tinggi. Atas nama pertumbuhan ekonomi, banyak bangunan tua yang akhirnya pasrah tergilas, berganti rupa menjadi gedung-gedung komersil. Tak sekedar itu, hilangnya rumah-rumah lama juga diakibatkan oleh pergesaran selera pemiliknya, yang memilih merombak rumahnya dengan gaya yang dianggap lebih “modern”. Hal itu dikritik begitu keras oleh Adolf Heuken dalam bukunya, Menteng ; 'Kota Taman Pertama di Indonesia'. Kawasan Menteng sendiri baik dari segi karakter maupun nasibnya sekarang memiliki persamaaan dengan Kotabaru. Menurut Heuken, para pemilik rumah itu dianggap miskin budaya. Mereka kurang mampu merasakan keindahan, seni dan keselarasan. Rumah lama dibongkar “hanya karena dianggap ketinggalan zaman “ dan digantikan dengan rumah baru “yang dari segi bentuk memang lebih modern, namun norak dan mewah tanpa selera“. Rumah-rumah itu pada akhirnya hanya merusak citra kawasan saja (Heuken, Adolf. 2001; 40). Untungnya, masih ada beberapa pemilik bangunan tua di Kotabaru yang sadar akan pentingnya pelestarian. Beberapa bangunan ada yang masih dipertahankan utuh oleh pemiliknya. Sementara beberapa bangunan diadaptasi menjadi ruang usaha dengan sedikit penyesuaian.

Persoalan lain yang kini dihadapi oleh Kotabaru ialah mulai pudarnya karakter Garden City pada Kotabaru. Banyak kebun-kebun di depan rumah yang mulai hilang. Pohon-pohon peneduh di depan rumah dihilangkan. Pagar depan yang dulunya dibuat rendah supaya pemilik rumah dapat menikmati suasana lingkungan di sekitarnya, kini ditinggikan dengan alasan keamanan. Hal-hal semacam itulah yang membuat karakter Kotabaru sebagai Garden City perlahan hilang. Jika hal itu dibiarkan terus menerus, maka selaras dengan namanya, Kotabaru akan sungguh-sungguh menjadi baru, namun kali ini bukan baru yang istimewa...

Referensi
Andrisjantiromli, Inajati dkk. 2009. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.
Brugmans, Dr. I.J. 1938. Geschiednis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie. Weltevreden : J.B Wolter Uitgever Maatschappij.
Cor, Passchier. 2002. " Kota Taman dan Bungalo Pinggir Kota " dalam Indonesia Heritage ; Arsitektur. Jakarta : Penerbit Widyadara.
Dingemans, L.F. 1926. Gegevens over Djokjakarta 1926 A. Magelang : Firma Maresch.
Elout, C. K.  1936. Indisch Dagbook. Den Haag W.P. Van Stockum & Zoon N.V.
Evers. 1924. "De Christelijke MULO School te Djokjakarta" dalam C. Zwann, Vijf en Twintig Jaars Arbeid te Djocja. Hlmn 94-95
Fakih, Farabih. 2006. " Kotabaru and the Housing Estate as Bulwark against the
Indigenization of Colonial Java " dalam  Colembijn, Freek dan  Cote, Joost. 2006, Cars, Conduit, and Kampongs. Leiden : Brill
Heuken S.J, Adolf. 2001. Menteng. 'Kota Taman Pertama di Indonesia'. Jakarta : Yayasan Loka Cipta Caraka.
Van Bruggen, M.P. dan Wassing, R.S. 2000. Djocja Solo, Beeld van de Vorstenlanden. Pumerend : Asia Maior.
Vrins SJ, G. 1926. "De Nieuwe R.K. Kerk te Djocja" dalam Sint Claverbond hlm 290-294. Nijmegen : N.V. Centrale Drukkerij.
Wietjens SJ, Jan.dkk. 1995. Gereja dan Masyrakat, Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta. Yogyakarta.
De Indische Courant, 15 Mei 1924
Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie, 23 Mei 1923
Preanger Bode, 30 Januari 1917