Minggu, 27 Desember 2020

Singkap Jejak Konglomerasi Koloniale Bank di Tanah Vorstenlanden

Sebagai negeri yang berkelimpahan sumberdaya alam, Nusantara telah memikat banyak pedagang dari berbagai penjuru sejak berabad-abad silam. Kontak perdagangan tersebut terbukti telah memberikan dampak yang amat penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah kontak perdagangan dengan bangsa Eropa yang terintis sejak abad ke-16. Meskipun kalah tua dengan pemain lama seperti pedagang dari India, Arab, dan Cina, namun pedagang Eropa - terutama dari Belanda - sebagai pendatang baru ternyata kemudian hari meninggalkan dampak yang luas dalam berbagai kehidupan masyarakat. Para pedagang Belanda yang berhimpun di bawah bendera perusahaan multinasional VOC telah mendominasi perdagangan Nusantara selama dua abad (1602-1799). Meskipun VOC sudah bubar, namun perusahaan tersebut telah meletakan pondasi bagi kapitalisme modern yang diteruskan oleh sejumlah perusahaan swasta baru. Salah satunya adalah Koloniale Bank. Bagaimanakah kiprah perusahaan tersebut di masa lalu ?
Kantor lama Koloniale Bank di Willemskade (kini Jalan Jembatan Merah) Surabaya sebelum dirombak pada tahun 1927. (sumber : media-kitlv.nl)
Eksploitasi penjajah terhadap alam Nusantara secara terstruktur dimulai saat Gubernur Jenderal Van den Boch menerapkan cultuurstelsel dimana setiap desa menyediakan seperlima lahannya sebagai perkebunan pemerintah. Lahan itu nantinya akan ditanami tumbuhan seperti nila, kopi, dan tebu yang seringkali ditanam melebihi luas lahan yang ditentukan. Meskipun keuntungan dari cultuurstelsel mengalir deras ke kas Kerajaan Belanda, namun geliat perniagaan di Hindia-Belanda berjalan lambat. Saat itu, orang-orang Eropa tidak ada hak untuk memiliki tanah dan hanya segelintir keluarga pejabat kolonial saja yang memilikinya. Di sisi lain, Nusantara dalam benak orang-orang Belanda adalah tempat yang jauh. Perjalanan melalui laut bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan dan setibanya di sana harus membiasakan diri dengan iklim tropis. Hanya pegawai pemerintah dan orang nekat pengundi nasib saja yang menetap ke Nusantara. Pandangan tersebut perlahan mulai pudar seiring berkembangnya Revolusi Industri di Eropa yang menjadi tonggak kapitalisme modern. Melalui sistem kapitalisme, siapapun sepanjang dia menguasai modal dan mampu mengelolanya dengan baik akan mendapatkan keuntungan. Sejumlah pengusaha swasta di Belanda mulai melirik potensi dari koloni Hindia-Belanda yang masih belum tergarap sepenuhnya dengan serius. Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial pada tahun 1870 untuk menghapus Cultuurstelsel dan menggantikannya dengan Undang-Undang Agraria yang membuka keran investasi asing selebar-lebarnya pada pengusaha swasta (Lombard, 2018; 88). Para pengusaha swasta tersebut sebagian besar berinvestasi di bidang agribisnis dan mereka butuh banyak suntikan modal untuk membuka dan memperluas perkebunan. Hal inilah yang kemudian menjadi pangsa pasar yang diincar oleh Koloniale Bank, sebuah lembaga keuangan yang resmi didirkan di Amsterdam pada 22 Maret 1881 dengan modal awal sebesar 5 juta gulden. Pendiran Koloniale Bank diprakarsai oleh M.C. Calkoen dan J. Hudig Dzn. Kantor perwakilan utamanya di Hindia-Belanda dibuka di Batavia pada 1 Juli 1881. Guna mendekatkan Koloniale Bank dengan kalangan pengusaha perkebunan yang saat itu lebih banyak berada di Jawa Timur, maka Koloniale Bank membuka kantor perwakilan kedua di Surabaya pada 15 Juli 1881 yang dekat dengan sentra perkebunan tebu. Berikutnya kantor perwakilan ketiga dibuka di Semarang pada Juni 1883 (De Bree, 1918 ; 306). 
Bangunan kantor baru Koloniale Bank karya arsitek Wolff Schoemaker. (sumber : media-kitlv.nl)
Sekitar tahun 1882-1883, Koloniale Bank telah meminjamkan uang sebesar 4.600.000 gulden kepada 39 pengusaha. Pinjaman tersebut dikembalikan melalui kesepakatan bagi hasil keuntungan dengan pemilik perkebunan. Prospek usaha tersebut terlihat cukup menjanjikan namun cukup beresiko karena bergantung pada keberhasilan panen dan tingkat penjualan di pasaran. Resiko itu akhirnya menjadi kenyataan saat krisis gula mendera pada tahun 1884 akibat membanjirnya jenis gula dari sugar beet (sejenis tanaman umbi yang memiliki kadar manis besar) yang menyebabkan harga gula tebu di pasaran jatuh. Satu per satu pengusaha jatuh pailit dan terancam gagal membayar hutangnya kepada Koloniale Bank. Baru dua tahun berdiri, nasib Koloniale Bank sudah di ujung tanduk. Untuk menalangi keuangan Koloniale Bank, maka dana darurat dihimpun oleh komite berisikan perusahaan kawakan Hindia-Belanda seperti Handelsvereeneging Amsterdam, Nederlandsch Handel Maatscahppij, dan De Javaasche Bank. Komite tersebut juga menyarankan agar Koloniale Bank menyita sejumlah aset perkebunan yang tidak sanggup melunasi pinjaman. Perkebunan yang telah disita itu selanjutnya dikelola oleh suatu badan usaha baru yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh Kolonials Bank. Krisis tersebut begitu mempengaruhi arah perusahaan dari yang mulanya adalah bank umum dan sebatas menyediakan modal perusahaan perkebunan, akhirnya mulai turut dalam urusan perkebunan dari awal sampai akhir. Koloniale Bank baru kembali menjalankan peran sebagai bank umum pada 1905 dalam skala yang lebih kecil (De Bree, 1918 : 305-355).
Bekas kantor Koloniale Bank yang saat ini menjadi kantor PTPN X.
Kantor perwakilan utama Koloniale Bank di Hindia-Belanda lalu dipindahkan dari Batavia ke Surabaya pada tahun 1885 karena bisnis terbesar Koloniale Bank ada di Jawa Timur. Kantor lama di Batavia kemudian menjadi kantor firma Tiedeman en Van Kerchem yang ditutup pada tahun 1915. Kantor mereka di Surabaya terletak di Willemskade (kini Jalan Jembatan Merah) dan berhadapan dengan Kali Mas. Tempat tersebut merupakan jantung perniagaan Surabaya yang ramai. Semula, jumlah pegawai Koloniale Bank tidak lebih dari 15 orang. Seiring berkembang pesatnya bisnis Koloniale Bank pada awal abad 20, jumlah pegawai juga ikut bertambah sehingga muncul kebutuhan terhadap ruang kantor yang lebih luas. Pada tahun 1925, J.H Lager sebagai kepala perwakilan Koloniale Bank saat itu memutuskan untuk membeli parsel tanah antara kantor mereka dengan Nutsspaarbank yang ada di sebelahnya sebagai persiapan untuk perluasan kantor. Selanjutnya Koloniale Bank merombak total kantor pada tahun 1927. Lager selanjutnya memilih arsitek Belanda ternama asal Bandung, Prof. Wolff Schoemaker, sebagai arsitek yang akan merancang gedung baru Koloniale Bank. Gedung Koloniale Bank Surabaya menjadi karya kedua yang Schoemaker buat untuk kantor bank ; sebelumnya ia sudah merancang kantor Nederlandsch Indische Handelsbank di Batavia. Karya Schoemaker di  Surabaya ini  memang terlihat ringkas, praktis dan sedikit hiasan mencolok naum masih terlihat elegan. Sirkulasi udara, cahaya, dan komposisi ruang sudah diperhitungkan secara cermat oleh Schoemaker. Bagian depan tersebut memiliki beranda lebar untuk menghalau masuknya cahaya matahari tropis dan tampias air hujan ke dalam bangunan. Pekerjaan bangunan baru tersebut digarap oleh Hollandsche Beton Maatschappij dengan nilai kontrak sebesar 390.000 gulden. Upacara peletakan batu pertama pada 7 September 1927 diabadikan pada prasasti yang tertempel di dekat pintu masuk. Hanya dalam waktu kurang dari setahun gedung tersebut selesai dibangun. Pada 10 November 1928 adalah hari yang ditunggu oleh jajaran pegawai Koloniale Bank karena pada hari itu gedung kantor baru mereka diresmikan. Upacara pembukaan diadakan pada pukul 10 pagi di aula besar lantai pertama yang akan menjadi ruang kerja pegawai bagian perkebunan tebu. Undangan yang hadir antara lain Ir. D.J. van Aalst sebagai perwakilan Hollandsche Beton Maatschappij, Prof. Schoemaker sebagai arsitek gedung Koloniale Bank, dan P.E. Staverman sebagai kepala perwakilan Koloniale Bank (De Indische Courat, 10 November 1928).
Foto lama PG Randugunting (Sumber : collectietropenmuseum.nl).
Bagian dalam PG Randungunting. (sumber : collectietroppenmuseum.nl)
Hanya dalam waktu 25 tahun, Koloniale Bank melesat sebagai perusahaan keuangan terkemuka dan masuk dalam jajaran perusahaan konglomerat besar di Hindia-Belanda seperti Cultuur Maatschppiij der Vorstenlanden, Internatio, Handelsvereeneging Amsterdam, Nederlandsh Handel Maatschppij, dan Nederlandsch Indie Landobouw Maatschppij  yang dikenal sebagai “The Big Six”. Koloniale Bank sempat berminat untuk memperlebar sayapnya ke Pulau Sumatera meskipun akhirnya kehilangan minat karena ketidakjelasan UU Perburuhan dan lemahnya prospek tanaman karet saat itu. Meskipun Koloniale Bank menaruh ketertarikan terhadap aneka tanaman komoditi seperti kopi, kakao, tembakau, kina, dan nila. Namun dari semua tanaman itu, yang menjadi primadona adalah tebu. Sekalipun sempat didera krisis, namun sesudahnya harga gula di pasaran relatif stabil. Tanaman inilah yang berjasa mengantarkan Koloniale Bank pada pucuk kejaayannya. Layaknya anak emas, segala cara ditempuh untuk meningkatkan keuntungan dari perkebunan tebu seperti memperbarui perangkat pabrik gula, perluasan jaringan lori, dan pembangunan saluran irigasi (Indische Mercuur, 1923).
Citra satelit google map yang menunjukan kondisi PG Randugunting saat ini. Keterangan A. Bekas cerobong PG ; B. Bekas klinik / rumah sakit pembantu Randugunting.
Denah kompleks PG Randugunting ketika masih berdiri (1935).
Sebagai perusahaan konglomerat, Koloniale Bank memiliki jejaring pabrik gula yang berdiri di mana-mana. Keberhasilan beberapa tahun di sektor industri gula mendorong Koloniale Bank untuk memperluas jejaring usahanya. Gurita usaha Koloniale Bank kemudian merembet hingga tanah Kasultanan Yogyakarta. Pijakan pertama konglomerasi Koloniale Bank di tanah Kasultanan adalah PG Randugunting yang posisinya dibelah oleh tapal batas provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Bagian pabrik masuk Yogyakarta sementara kantornya berada di wilayah Jawa Tengah. Alasan mengapa pabrik tersebut letaknya ada di perbatasan karena pendirinya, K. A. Klaring, memiliki dua onderneming atau perkebunan, yakni "Randugunting" di sisi Yogyakarta dan "Tjandi Sewoe" di sisi Jawa Tengah. Klaring mengawali usahanya pada perkebunan nila, tanaman penghasil pewarna pakaian. Nila tidak laku di pasaran semenjak penemuan pewarna tekstil sintetis yang lebih murah dan mudah dibuat. Supaya bisnis agrarianya dapat bertahan, Klaring akhirnya beralih ke budidaya tanaman tebu dan diikuti dengan pendirian pabrik gula. Untuk melakukan semua hal tersebut, Klaring meminjam uang dari Koloniale Bank sebagai modal. Malangnya, Klaring tidak sanggup melunasi utangnya sehingga aset perkebunan beserta pabrik dijual Klaring pada tahun 1882 (De Locomotief, 3 April 1882). Pembeli yang berminat ternyata sedikit sehingga aset-aset tersebut langsung dikuasai oleh Koloniale Bank pada tahun 1889 (Het Vaderland, 4 September 1889). Perkebunan "Randugunting" yang semula dijalankan sebagai bisnis keluarga akhirnya menjadi badan usaha swasta bernama "N.V. Randoegoenting" pada tahun 1895. Total sahamnya sebesar 645.000 gulden dan dua pertiganya digenggam oleh Koloniale Bank. Berkat suntikan modal tambahan dari Koloniale Bank, PG Randugunting kemudian memperluas area ladang tebu dengan menggabungkan perkebunan "Tjandi-Sewoe""N.V. Randoegoenting" berubah nama menjadi "N.V. Randoegoenting-Tjandisewoe". Perluasan perkebunan tersebut lalu diikuti dengan memperbesar bangunan pabrik (Nederlandsch Staatscourant, 23 Desember 1899).
Rumah dinas kepala PG Randugunting. Terlihat di foto, J.F.H.Gessner, kepala pabrik gula yang sedang bersantai di taman depan rumah.
Sisa struktur pagar rumah pegawai PG Randugunting.
Berbekal peta topografi dari zaman Belanda yang menggambarkan sangat detail pola tata ruang ketika PG masih berjaya, saya mencoba untuk meninjau jejak PG Randugunting. Peta yang saya gunakan memandu saya pada sebuah struktur berupa barisan tembok lama tidak menarik untuk dilihat bagi orang biasa. Namun untuk saya, tembok tadi adalah data yang berharga untuk melengkapi kepingan sejarah PG Randugunting yang masih terserak. Tembok lama yang sekilas tidak memiliki arti itu sesungguhnya adalah tembok pagar halaman rumah dinas PG pegawai Randugunting. Ukurannya memang lebih rendah dibanding pagar rumah sekarang karena “Pagar halaman orang Belanda“, tulis Harriet W. Ponder di Javanese Panorama, “ biasanya dibuat rendah, sehingga para penghuni yang sedang duduk santai di teras depan dapat menikmati lingkungan yang asri” (Rush, 2013; 218).  Jika dicocokan dengan peta, lokasi tembok itu persis berada di area kompleks perumahan pegawai PG Randugunting. 

Reruntuhan cerobong PG Randugunting.
Bagian dalam cerobong.
Dari tempat penemuan pagar tadi, saya beranjak ke tempat-tempat yang disinyalir masih meninggalkan jejak. Selagi menyusuri, dari kejauhan mata saya menangkap sebuah puing bangunan yang menjulang tinggi dan berdiri bergeming laksana raksasa di tengah kepungan permukiman warga. Penasaran, sayapun mencoba untuk menghampirinya. Reruntuhan yang saya temukan bukanlah sekedar reruntuhan biasa karena reruntuhan tersebut adalah sisa cerobong asap monumen kejayaan PG Randugunting, yang dulu asapnya mengepul dari reruntuhan yang kini berdiri di depan mata saya ini.  Pondasi setinggi kira-kira dua meter rela saya panjati hanya untuk mengintip seperti apa bagian dalamnya. Cukup sulit karena tidak ada tangga dan hanya mengandalkan tumpuan batu saja. Sesampainya di dalam, kesan pertama yang saya dapati adalah lembab, gelap dan gatal. Saya begitu kagum pada konstruksi bangunan yang bertahan lebih dari seabad. Hanya dengan mengandalkan tumpukan batu bata yang disusun sangat tebal tanpa ada tulangan besi, bangunan yang didirikan dengan teknologi seadanya ini mampu bertahan lebih dari seabad. Sayangnya, hanya inilah jejak PG Randugunting yang sejauh ini tersisa. Menurut penuturan warga sekitar yang kebetulan menemui saya, hampir semua bagian pabrik sudah lama dibongkar dan hanya bagian cerobong saja yang disisakan karena warga kesulitan membongkar akibat temboknya yang kelewat tebal. Apa yang disampaikan warga tadi diperkuat dengan bekas pukulan linggis yang saya jumpai di dalam cerobong. 
Bangunan pabrik yang sudah selesai dibuat (sumber : geheugen.delpher.nl).
Foto udara PG Medari yang diambil dari barat pabrik (sumber : geheugen.delpher.nl). 
Sukses dengan PG Randugunting, Koloniale Bank kali ini berupaya mendirikan sebuah pabrik gula yang dibangun dari nol. Pabrik gula tersebut bernama PG Medari. Rencana pembangunannya sudah muncul di permukaan pada tahun 1906 dan mulai dibangun pada tahun 1908 (De Locomotief, 25 Maret 1908). Letaknya dekat dengan jalur kereta api Yogyakarta-Magelang agar memudahkan proses pendatangan mesin-mesin pabrik buatan Machinefabriek Gebr. Stork & Co menuju ke lokasi pembangunan pabrik (Anonim. 1922; 83). Untuk menjalankan pabrik gula tersebut, Koloniale Bank membentuk badan usaha N.V. Cultuur Maatschappij Medari yang sahamnya sebagian besar dikuasai oleh Koloniale Bank. Saat berdiri, PG Medari merupakan pabrik gula terbesar di Yogyakarta dengan luas ladang perkebunan mencapai 2363 bouw atau 1654 hektar. Luas tersebut bertambah sehubungan dengan pembelian lahan perkebunan di sekitarnya pada tahun 1920. Lahan perkebunan yang dibeli antara lain Candi, Mlesen, Kebonagung, dan Wringin. Penambahan luas kebun ini selanjutnya diikuti dengan pembaruan mesin pabrik. Mesin yang sebelumnya digerakan dengan tenaga uap kemudian digerakan dengan tenaga listrik yang sumbernya berasal dari pembangkit. Di samping itu dibangunkan pula cerobong asap baru setinggi 45 meter pada tahun 1921. Untuk mengangkut panen tebu ke pabrik, PG Medari dilengkapi armada 8 lokomotif kecil dan 200 gerbong (De Preanger Bode, 4 Mei 1922).
Proses pembangunan cerobong pabrik (sumber : geheugen.delpher.nll).
Proses pemasangan kerangka pabrik. Terlihat bangunan cerobong yang sudah selesai dibuat (sumber : geheugen.delpher.nl).
Proses pembangunan rumah dinas pegawai pabrik (sumber : geheugen.delpher.nl).
Bangunan rumah dinas pegawai pabrik yang sudah selesai dibangun (sumber : geheugen.delpher.nl).
Ruang laboratorium PG Medari
(sumber : geheugen.delpher.nl).
Instalasi mesin masakan PG Medari (sumber : geheugen.delpher.nl).

Denah PG Medari pada peta tahun 1935 (Sumber : maps.library.leiden.edu).
Citra satelit dari Google map yang menggambarkan kondisi PG Medari saat ini. Keterangan : Kotak merah : Lokasi pabri, A : Rumah dinas Administrateur (SMP N 1 Sleman), B : Rumah masinis pertama (KODIM 0732 Sleman), C : Bekas kantor pos, D : Stasiun Medari, Garis kuning : Eks jalur kereta.
Bekas bangunan rumah dinas administrateur PG Medari.
Rumah Administrateur PG Medari dilihat dari kereta api yang sedang melintas di depan rumah. (Sumber : Reis Willem I - Djocja)
Salah satu jejak PG Medari masih berdiri tegak di balik tingginya pagar SMP N 1 Sleman. Sekalipun berdiri di tengah kompleks sekolah, bangunan itu sama sekali tidak terlihat lazim untuk bangunan sekolah. Secara sepintas, bangunan itu justru mirip dengan sebuah villa besar milik seorang tuan tanah kaya raya. Kejanggalan bangunan itulah yang memicu rasa penasaran saya ketika berjumpa pertama kali dengannya. Dari kemegahan bangunannya, besar kemungkinan bila ia dulunya adalah tempat tinggal sang tuan administrateur, jabatan tertinggi dalam hirarki lingkungan pabrik gula. Tugas seorang administrateur meliputi banyak hal, dari penanaman tebu, jalannya pengolahan, urusan keuangan, hingga distribusi (Wiseman, 2001; 388). Apabila diamati secara seksama, gaya bangunan ini mencerminkan villa-villa besar di Jerman selatan yang berada di kaki pegunungan Alpen, terlihat pula dekorasi tempelan kayu di bagian gevel yang menambah manis kesan bangunan. Gaya arsitektur ini disebut gaya arsitektur Chalet, gaya yang banyak dipakai pada bangunan Indis akhir abad 19 dan awal abad 20. Tampak beranda depannya yang dulu terbuka dengan lengkungannya kini sudah ditututup. Menurut kesaksian penjaga sekolah, di dalam bangunan ini pernah terdapat arca-arca kuno. Kalangan elit Belanda memang memiliki kegemaran mengumpulkan arca-arca masa klasik untuk dipamerkan pada kolega mereka. Kepala arca itu sempat raib diambil orang dan akhirnya berhasil ditemukan di Singapura. Untuk keamanan, arca tersebut disimpan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY. Selain beberapa tahun silam, pernah ada kunjungan rombongan Belanda yang ternyata dulu pernah tinggal di situ.
Bangunan rumah masinis pertama PG Medari yang saat ini dtempati KODIM 0732 Sleman. (Sumber : geheugen.delpher.nl)
Kondisi rumah tinggal milik pegawai pribumi pada masa sekarang.
Rumah tinggal milik pegawai pribumi.Para pegawai pribumi pada umumnya memiliki jabatan yang rendah dan cukup sulit untuk naik jabatan.Rumah tinggal para pegawai pribumi berukuran kecil.Di bagian halaman,terlihat taman yang ditata dengan rapi.(Sumber : troppenmuseum.nl).
Di tepi Jalan Magelang-Yogyakarta yang ramai oleh lalu lalang kendaraan itu, masih ada sejumlah jejak eks PG Medari lainnya. Contohnya adalah bangunan Kodim 0732/Sleman yang letaknya persis di seberang SMP N 1 Sleman dan menempati bekas rumah kepala juru mesin PG Medari. Sementara itu, berdiri di balik deretan kios-kios kecil, bangunan mungil ini seolah malu-malu untuk memperlihatkan wujudnya. Mungil memang, tidak semewah dengan rumah sang tuan administrateur, namun ia memberi gambaran kepada mengenai fasilitas rumah dari perusahaan yang diterima oleh pegawai bumiputra. Pemilik pabrik gula, merekrut orang-orang Jawa terpelajar untuk mengurus administrasi pabrik. Standar gaji yang lebih rendah daripada orang kulit putih menjadi alasan mereka direkrut sebagai pegawai rendahan. Para pekerja Jawa ini sulit untuk meniti jenjang karir lebih tinggi dan tak jarang mereka mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari pegawai kulit putih. Sekalipun demikian,  mereka disediakan hunian yang terhitung layak untuk ukuran mereka.
Bekas stasiun Medari yang kini menjadi posyandu.
Bekas kantor pos Medari.
Dahulu, di sisi barat jalan, tempat saya berdiri sekarang, pernah membentang rel kereta Magelang – Yogyakarta yang ditutup tahun 1976. Jalan baja ini tentu amat vital perannya bagi industri gula. Tanpanya, gula-gula pabrik gula ini tak kan pernah sampai di dapur konsumen. Kereta-kereta uap yang dulu lalu lalang di halaman depan rumah sang tuan administrateur, juga merupakan sarana pengangkut utama yang membawa mesin-mesin besar untuk keperluan pabrik. Di sekitar sini, masih ada beberapa jejak perkeretapian, seperti bekas stasiun, pondasi jembatan, dan tiang sinyal. Sementara itu, tak jauh dari bekas stasiun Medari, terdapat bangunan bekas Hulp-post kantoor atau kantor pos pembantu yang kondisinya kini sudah terbengkalai. Di sinilah segala urusan surat menyurat para pegawai pabrik dan masyarakat lokal diurus. Keberadaan kantor pos ini jelas membantu urusan administrasi pabrik. Di belakang eks kantor pos ini, dulunya ada sebuah gedung sus atau kamar bola, tempat para pegawai kulit putih bersenang-senang.
PG Sendangpitu pada peta tahun 1925. (sumber : maps.library.leiden.edu)
Sisa PG Sendangpitu.
Bekas jembatan Lori PG Sendangpitu di atas Sungai Krasak, perbatasan Sleman-Magelang.
Jejak konglomerasi Koloniale Bank pada industri gula di Yogyakarta tidak hanya berhenti pada PG Medari saja. Seiring dengan lahan perkebunan PG Medari yang terus meluas, maka jarak antara PG Medari dengan lokasi perkebunan semakin jauh. Untuk itu, direksi Koloniale Bank memutuskan untuk mendirikan pabrik gula baru bernama PG Sendangpitu pada tahun 1920. Salah satu lahan perkebunan PG Medari, yakni Kebonagung yang memiliki luas 950 bouw ditetapkan sebagai area tanam PG Sendangpitu. Pada 6 Maret 1921, diadakan upacara peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan PG Sendangpitu. Tanggung jawab pembuatan desain pabrik diserahkan kepada penasihat teknis Koloniale Bank, Ir. Helmers. Sementara pekerjaan pembangunannya dilaksanakan oleh Ir. Leefers yang sebelumnya pernah membangun PG Banjaratma di Brebes. Setahun berikutnya, PG Sendangpitu selesai dibangun dan pada 25 April 1922, diadakan upacara giling pertama yang dihadiri sejumlah direksi Koloniale Bank dan PG Medari. Untuk pengangkutan tebu, jaringan rel lori dengan panjang total mencapai 35 km dipasang di berbagai penjuru perkebunan. Selain itu dibuatkan juga sekitar 200 jembatan lori baik berukuran besar maupun kecil. (De Preanger Bode, 30 April 1922).
Dam Pete.
Dam Tempur.
Pada masa Koloniale Bank masih berjaya, perusahaan tersebut sudah mengenal konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau dalam istilah asing disebut Corporate Social Responbility. Beberapa media massa saat itu menyebut Koloniale Bank sebagai "teladan mulia untuk kepekaan sosial sebuah perusahaan swasta". Koloniale Bank menyisihkan sejumlah anggaran untuk kegiatan sosial seperti pendidikan, perbaikan jalan dan jembatan, serta pendirian sejumlah pekerjaan irigasi (Indishce Mercuur, 1923).  Pada awal bulan Agustus tahun 1924, di rumah Residen Yogyakarta diadakan pertemuan antara pihak Koloniale Bank (yang diwakili oleh Van Holst Pellekaan, Mac Donald, dan Hellendoorn) dengan asisten residen, controleur Yogyakarta, Bupati Sleman, Bupati Kalasan, dan dr. Offringa dari Rumah Sakit Petronella. Pertemuan tersebut membahas tentang rencana Koloniale Bank yang akan membagikan sebagian keuntungan pabrik gula milik mereka (PG Randungunting, PG Medari, dan PG Sendangpitu) untuk sejumlah program sosial di Yogyakarta. Beberapa program yang dimaksud yakni pendirian bank desa untuk usaha peternakan, pendirian Ambatchschool atau sekolah pertukangan di Sleman, perbaikan rumah sakit pembantu di Medari dan Bedoyo, pendirian balai pertemuan desa, dan pendirian beberapa bendung permanen untuk masyarakat (De Indische Courant, 2 Agustus 1924). Salah satu jejak program sosial Koloniale Bank yang masih ada adalah bendung permanen yang awalnya dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan tebu. Ladang tebu harus dialiri dengan saluran irigasi yang baik supaya air senantiasa mengaliri tanaman tebu yang rakus air. Sumber air irigasi disadap dari sungai yang sudah dibendung oleh dam. Pada perkembangan selanjutnya, pembangunan saluran irigasi juga menyasar untuk masyarakat sekitar karena belum tersedianya sarana irigasi di wilayah timur Yogyakarta. Selama ini, air untuk ladang penduduk masih mengandalkan air hujan atau bendung semi-permanen yang harus berulangkali diperbaiki. Bendung-bendung buatan Koloniale Bank yang masih ada misalnya adalah Dam Pete dan Dam Tempur. Berdasarkan prasasti-prasasti yang tertempel di dam, pembuatan bendung tersebut dilakukan sekitar rentang tahun 1924 hingga 1926. Irigasi tersebut sampai saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat. Dari sini terlihat bahwa keberadaan irigasi tersebut berguna bagi masyarakat sekarang sekitar meskipun proyek irigasi tersebut aslinya dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan. 
Klinik PG Randugunting. Saat PG Randgunting bangkrut, pengelolaan klinik ini diambil alih oleh Petronella Hospitaal (sekarang RS Bethesda Yogyakarta) (sumber : troppenmuseum.nl)


Bekas klinik PG Randugunting.
Bekas klinik PG Medari yang dibuka tahun 1914. Bangunan sudah tidak ada dan kini menjadi RSUD Sleman. (sumber ; troppenmuseum.nl)
Bidang kesehatan dan kebersihan masyarakat juga tidak luput dari perhatian Koloniale Bank dengan membantu pemberantasan penyakit (seperti malaria, frambusia, dan cacing tambang) dan membuka banyak klinik kesehatan yang tidak jauh dari pabrik gula. Pada abad ke 20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit di Hindia-Belanda. Kemunculan fasilitas klinik di pabrik gula tidak lepas dari anjuran H.F. Tillema agar setiap pemilik modal seperti Koloniale Bank memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Bila karyawan sejahtera, tentu akan berdampak terhadap meningkatnya produktivitas usaha. Di Yogyakarta, Koloniale Bank membangun klinik untuk karyawan pribumi di dekat PG Randungunting pada tahun 1910. Pabrik gula Randugunting adalah pabrik gula pertama di Yogyakarta yang memiliki fasilitas tersebut. Biaya operasional klinik mendapat subsidi dari pemerintah kolonial dan pengelolaan sehari-harinya dilakukan oleh tenaga kesehatan dari Rumah Petronella. Mengingat saat itu belum ada fasilitas kesehatan di sekitar PG Randugunting, maka klinik tersebut juga menerima pasien dari masyarakat sekitar dengan daya tampung lima puluh pasien. Mereka dirawat di klinik ini secara gratis dan dilayani oleh tenaga kesehatan yang terdiri seorang mantri dan dua perawat. Pembukaan klinik di pabrik gula tidak sepenuhnya murni karena kemanusiaan. Di balik itu, ada maksud ekonomis yakni untuk memberikan pengobatan secepat mungkin untuk karyawan sehingga mereka dapat kembali bertugas. Boleh dikatakan jika klinik-klinik perkebunan tersebut secara tidak langsung adalah bentuk investasi Koloniale Bank sebagai pemodal untuk meningkatkan produktivitas pabrik. Akibat krisis ekonomi yang mendera pada tahun 1930an, kepemilikan klinik di Randgunting itu selanjutnya diserahkan kepada Rumah Sakit Zending Petronella yang ada di Yogyakarta dan klinik tersebut menjadi bagian dari jaringan hulphospitaal atau rumah sakit pembantu milik Petronella yang tersebar di berbagai penjuru Yogyakarta untuk menjangkau lebih banyak pasien. Pasien yang berpenyakit ringan dirawat secara rawat jalan, sementara yang agak berat dirawat di rumah sakit pembantu terdekat. Pasien baru akan dirujuk ke RS Petronella apabila penyakitnya butuh penanganan serius. Untuk memudahkan komunikasi, RS Petronella terhubung dengan rumah sakit pembantu melalui jaringan telepon (Groot, 1936 : 45). Jejak klinik kesehatan tersebut masih ada namun saat ini kondisinya sudah merana dan beberapa bagian roboh saat gempa tahun 2006. Upaya lain Koloniale Bank untuk menjamin kesejahteraan karyawannya adalah pembentukan yayasan 'Onderling Pensioenfonds' pada tahun 1916 sebagai penyedia tunjangan pensiun karyawan dan santunan keluarga. Sedikit sekali perusahaan swasta di Hindia-Belanda saat itu yang sudah memikirkan jatah pensiun meski diprioritaskan untuk karyawan Eropa. Pegawai non-Eropa baru mendapatkan jatah dana pensiun pada tahun 1920 meskipun masih terbatas jumlahnya.
Kondisi PG Medari pada tahun 1949. (Sumber : indiegangers.nl)
Bekas dinding pembatas halaman pabrik.
Pada tahun 1930, terjadi krisis ekonomi yang dikenal sebagai Great Depression. Sebagai buah dari laju arus globaliasi, krisis tersebut menjalar sampai Hindia-Belanda. Krisis tersebut menghempas industri gula di Jawa karena untuk memperbaiki harga gula di pasaran, maka angka produksi gula harus diturunkan dan itu artinya akan ada banyak pabrik gula yang ditutup (Wilde & Moll, 1936 : 38). Salah satu yang terdampak adalah PG Randugunting. Sejak tahun 1932, ladang PG Randugunting tidak melalui musim tanam dan akhirnya PG Randugunting tutup selamanya pada tahun 1937 (Bataviaasch Nieuwsblad, 5 Februari 1936). Nasib serupa juga menimpa PG Sendangpitu yang sudah ditutup dari tahun 1931. Akhirnya tinggal PG Medari saja yang dipertahankan oleh Koloniale Bank dan tebu dari ladang pabrik gula yang ditutup selanjutnya dilimpahkan ke PG Medari. Tidak diketahui bagaimana nasib PG Medari saat zaman pendudukan Jepang, namun bangunan PG Medari tampaknya selamat dari perang. Hanya saja saat masa Agresi Militer Belanda Kedua, kondisi pabrik sudah berhenti beroperasi sepenuhnya. Masa pendudukan Jepang memang merupakan masa sulit untuk semua perusahaan perbankan di Hindia-Belanda tidak terkecuali Koloniale Bank. Sesudah kemerdekaan, kejayaan Koloniale Bank sudah sulit dipulihkan seperti sediakala. Sejumlah asetnya dincara pemerintah Republik Indonesia untuk dinasionalisasi. Di Yogyakarta situasinya lebih buruk. PG Medari yang tinggal menjadi pabrik gula satu-satunya Koloniale Bank di Yogyakarta sempat diduduki oleh militer Belanda dan setelah pengakuan kedaulatan RI pada tahun 1949, bangunan pabrik dibongkar. Berlalulah kejayaan Koloniale Bank di Hindia-Belanda. Koloniale Bank akhirnya mengganti namanya menjadi N.V. Cultuur-, Handel-, en Industriebank (Cultuurbank) pada 1949 (Nieuwe Courant, 7 Desember 1949). Lalu bagaimanakah dengan sisa-sisa dari bangunan utama ketiga pabrik tempat tebu digiling dan sarinya dikristalkan menjadi gula ? Tidak banyak lagi yang bisa menemukan jejaknya. PG Randugunting hancur dan menyisakan cerobong. Sementara PG Sendangpitu tinggal seonggok puing di sudut lapangan. Sementara PG Medari separo lahannya telah menjadi pabrik GKBI dan satu-satunya jejak yang tersisa darinya hanyalah dinding pembatas halaman pabrik yang masih kokoh sampai sekarang. Kendati sudah lama berkalang tanah, namun setidaknya masih ada sekelumit jejak yang tersisa dari pabrik gula milik Kolonial Bank yang dulu berdiri begitu angkuhnya di tanah Vorstenlanden. 

Di akhir tulisan ini ada sesuatu yang dapat direnungkan bahwa betapa roda nasib betul-betul memainkan perannya di sini. Perusahaan konglomerat bermodal besar dengan aset yang tersebar dimana-mana, kini sudah tidak terdengar lagi namanya dengan jejak yang hampir lenyap samasekali. Jejak-jejak itu adalah salah satu aspek kehidupan sosial terkait kapitalisme pada masa kolonial yang menurut arkeolog Daud Aris Tanudirjo dalam buku "Kuasa Makna ; Prespektif Baru dalam Arkeologi Indonesia" dapat menjadi bahan kajian Arkeologi Kapitalisme. Kajian tersebut dapat mengisi kekosongan pengetahuan arkeologi tentang hubungan sosial, ekonomi, dan budaya antar manusia yang diharapkan mampu memperkaya sudut pandang terhadap fenomena kapitalisme di Indonesia.

Referensi
Anonim. 1922. Machinefabriek Gebr. Stork. & Co. Hengelo.
Bree, L. De. 1918. Het Bankwezen. Batavia :Ruygrok & Co.
De Wilde, A. Neytzell & Moll, J. Th. 1936. The Netherlands Indie During Great Depression. Amsterdam : J. M. Muelenhoff.
Dingemans, L.F. 1925. Gegevens over Djokjakarta.
Groot, K.P. 1936. Het Zendingsziekenhuis Petronella. Yogyakarta : Kolff-Buning.
Knight, G. Roger. 2013. Commodities and Colonialism, The Story of Big Sugar in Indonesia 1880-1942. Brill : Leiden.
Lombard, Denys. 2018. Nusa Jawa Silang Budaya ; Batas Pembaratan. Jakarta : Gramedia.
Rush, James R. 2013, Jawa Tempo Doeloe, 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 1330-1985, Depok : Komunitas Bambu.
Wiseman, Roger. 2001. "Three Crises : Management in The Colonial Sugar Industry 1880-1930s". Tesis. Adelaide : Departement of History, University of Adelaide.
De Locomotief, 25 Maret 1908
Bataviaasch Nieuwsblad, 5 Februari 1936
De Indische Courant, 2 Agustus 1924
De Indische Courat, 10 November 1928
Nieuwe Courant, 7 Desember 1949
Indische Mercuur, 23 Juni 1908
Indishce Mercuur Jubilleum Nummer 1898-1923

Sabtu, 30 Mei 2020

Sebongkah Masa Lalu Tambang Batubara yang Tersimpan di Sawahlunto

Menapaki abad ke-19, eksploitasi pemerintah kolonial terhadap bumi nusantara tidak hanya menyasar pada segala yang tumbuh di atas permukaan tanah saja, namun juga menyasar kandungan mineral yang terpendam di bawahnya. Di antara mineral yang ditemukan, batubara memainkan peran penting sebagai penggerak roda revolusi industri dan penemuan teknologi. Salah satu pusat penghasil batubara di nusantara adalah Sawahlunto, kota kecil di pelosok Sumatera Barat yang terkepung oleh lembah. Tidak pernah terbayangkan bila kota yang pada mulanya hanyalah sebuah terra incognita; tanah tak dikenal, akhirnya menjadi kota tambang batubara nan makmur yang namanya mahsyur dalam sejarah penambangan batubara di Indonesia dengan jejak kebesaran masa lalunya  yang sampai hari ini tetap kokoh walau berusia puluhan tahun. Melalui tinggalan sejarah tersebut, Jejak Kolonial akan mengisahkan seperti apa upaya Belanda dalam menyerap sumber daya yang ada di tanah jajahannya dengan mengerahkan segenap pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya demi meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Persebaran bangunan lama di Sawahlunto. Keterangan : (A) Kantor tambang ; (B) Gedung Pusat Kebudayaan (Societeit Gluck Auf) ; (C) Rumah pegawai tambang ; (D) Stasiun Sawahlunto ; (E) Gedung Saringan ; (F) Terowongan Mbah Suro ; (G) Musem Gudang Ransum (eks dapur umum) ; (H) RSUD Sawahlunto ; (I) Permukiman buruh kontrak ; (J) Eks pembangkit listrik ; (K) Pecinan ; (L) Gereja Santa Barbara ; (M) Permakaman Belanda.
Setiap orang yang menuju ke Sawahlunto akan mengarungi keindahan alam bumi Minang yang fantastis. Setelah melalui jalan yang berkelak-kelok, orang akan disambut dengan pemandangan yang tidak biasa setibanya di Sawahlunto. Di sana, akan dijumpai suatu pemandangan langka dimana ada sebuah kota berisikan bangunan gaya Eropa yang tersembunyi di liarnya alam Sumatera. Sebelum memasuki kota, orang akan memandang sebuah cerobong asap yang tinggi menjulang di tengah lembah. Tidak jauh dari sana, tampak sebuah menara jam yang mengingatkan orang-orang pada bangunan Eropa. Melihat letaknya yang terkurung oleh dinding perbukitan curam di sekelilingnya dan jauh dari jangkauan jalan utama, siapapun yang pernah berkunjung ke sini mungkin akan berpikir mustahil seumpama akan ada kota yang tumbuh di sini. Pemikiran tersebut akan semakin kuat bilamana kita berkunjung ke Sawahlunto sebelum tahun 1890an. Jika kita bisa kembali ke masa itu, pemandangan yang akan dijumpai hanyalah sebuah ladang persawahan terpencil yang terkurung oleh perbukitan. Jauh dari kata gemerlap. Namun di balik itu semua, tanah di dalamnya ternyata berkelimpahan endapan organik dari 45 juta tahun silam yang dengan kondisi tertentu membentuk suatu jenis batu yang tidak terlalu indah untuk dilihat namun menjadi sumber penggerak utama revolusi industri, yakni batubara. Sebelum potensi batubara di Sawahlunto terendus oleh Belanda, Van Lier dalam laporannya menyebutkan bahwa masyarakat lokal telah mengenal dan memanfaatkan lidah arang, julukan orang lokal terhadap batubara yang ditemukan di permukaan, untuk bahan bakar memasak. Beberapa batubara yang diperdagangkan ke daerah selatan Sawahlunto dan diangkut menggunakan perahu menyusuri aliran sungai Ombilin.
Lembah Sawahlunto sebelum dimulainya proses pembukaan tambang batubara. (sumber : media-kitlv.nl)
Lembah Sawahlunto pada tahun 1890an saat penambangan batubara mulai dirintis. Terlihat pada saat itu belum ada bangunan PLTU dan kawasan Pecinan. (sumber : media-kitlv.nl)
Suasana kota Sawahlunto pada tahun 1920an. (sumber : media-kitlv.nl)
Barbara Freese dalam bukunya berjudul “Coal, A Human History”, mengungkapkan bahwa batubara bukan hanya bahan bakar dan komoditas dagang belaka. Ia adalah simbol kemenangan umat manusia atas alam dimana mansuia akhirnya mampu mengubah alam yang kejam menjadi alam yang lebih nyaman untuk ditempati.  Dengan batubara, manusia memiliki cahaya, kekuatan, kekuasaan, kekayaan, dan peradaban (Freese, 2003;10).  Di kala masyarakat Sawahlunto masih menambang batubara secara tradisional dan digunakan sebatas keperluan rumah tangga, batubara telah memainkan peran penting bagi negeri-negeri yang telah menjadi kekuatan dunia seperti Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat. Bagi imperium tersebut, batubara lebih dari sekedar bahan bakar untuk memasak, melainkan juga menjadi bahan penggerak industri raksasa dan pendorong penemuan teknologi penting seperti kereta api, kapal uap, dan mesin-mesin canggih lain yang telah membuka jalan untuk globalisasi. Selebihnya, sumberdaya berjuluk ‘emas hitam’ tersebut berperan untuk menyalakan mesin-mesin transportasi pengangkut hasil eksploitasi alam dari tanah jajahan ke Eropa. Pada mulanya batubara masih didatangkan dari Eropa. Dibukanya terusan Suez dan kehadiran teknologi kereta api mendorong peningkatan konsumsi batubara di Hindia-Belanda. Supaya tidak bergantung terus menerus dengan pasokan dari Eropa, maka pemerintah kolonial menjajaki potensi batubara di Hindia-Belanda. Upaya penyelidikan batubara di Hindia Belanda dilakukan pertama kali oleh Koninklijke Natuurkundige Vereeniging dan mereka menguak adanya kandungan batubara di Martapura, Kalimantan. Pada tahun 1846, pemerintah kolonial merintis pertambangan batubara di sana, namun karena tidak digarap secara serius maka tambang batubara pertama di Hindia Belanda tersebut berakhir dengan kegagalan (Van Lier, 1917; 10-13).
Wilem Hendrik de Greve, penemu potensi batubara di Sawahlunto.
Syahdan, ahli penambangan bernama C. De Groot mulai menyelidiki potensi batu bara di Sumatra barat (di sekitar Padang Sibusuk wilayah Sijunjung) pada tahun 1958. Untuk memastikan temuan De Groot tersebut, sekitar tahun 1867, pemerintah kolonial menugaskan ahli geologi, Willem Hendrik de Greeve, untuk mengungkap potensi kandungan batubara di perbukitan di sepanjang Sungai Ombilin. Berbekal laporan De Groot, W.H de Greeve yang dipandu oleh masyarakat lokal menempuh perjalanan yang berat. Perjalanan berat tersebut terbayar ketika ia berhasil memastikan adanya kandungan batubara dalam jumlah besar yang tersebar menjadi lima ladang, yakni Parambahan, Sigalut, Lurah, Sugar, dan Sungai Durian. Dari kelima ladang endapan tersebut, ladang Sungai Durian memiliki kandungan batubaranya paling melimpah yakni mencapai 93 juta ton. Pada 1872, de Greeve melanjutkan penjajakan batubara di Sumatera Barat. Malangnya, penjajakan kedua tersebut sekaligus menjadi penjajakan terakhir yang dilakukan de Greeve karena ia tewas terhanyut arus sungai Batang Kuantan pada 22 Oktober 1872. Kematian De Greeve ternyata tidak menyurutkan upaya penjajakan potensi batubara di sana. Pada tahun 1875, insinyur tambang D.M. Verbeek berhasil memetakan potensi batubara di ladang yang ditemukan oleh de Greeve. Hasrat untuk membuka tambang semakin kuat tatkala dr. Vlanderen, kepala laboratorium mineralogi, menyimpulkan bahwa mutu batu-bara Ombilin cukup tinggi karena mampu menghasilkan nyala api yang lebih lama dan meninggalkan sedikit jelaga sehingga layak untuk dijual ke pasaran dengan harga yang tinggi (Greve, 1907;10).
Kota Sawahlunto pada tahun 1930an, saat kegiatan penambangan mulai berkembang. (sumber : media-kitlv.nl)
Menindaklanjuti penelitian dari berbagai ahli tersebut, pemerintah kolonial akhirnya memutuskan untuk membuka ladang batu bara Ombilin. Bagi pemerintah kolonial, ladang batu bara di Ombilin memiliki nilai lebih dibanding ladang batu bara lain di Hindia Belanda. Selain karena memiliki kandungan batubara bermutu baik dalam jumlah besar, letaknya yang strategis juga menjadi pertimbangan tersendiri. Berada di Sumatera bagian tengah, keberadaan ladang batu bara Ombilin diharapkan mampu merangsang pembangunan di Sumatera bagian tengah yang saat itu masih sedikit tersentuh oleh pembangunan. Dalam konteks global, tidak ada tempat di antara terusan Suez dan Samudera Pasifik yang mampu menghasilkan batu bara sebaik dan sebanyak Ombilin sehingga pangsa pasar batubara Ombilin terbuka cukup lebar ditambah letaknya yangdi persimpangan rute perdagangan dunia akan memudahkan dalam pemasaran. Namun semua potensi besar tersebut akan terbuang sia-sia jika tidak ditopang oleh sistem transportasi yang memadai. Lantaran hal itu, sebelum upaya pembukaan tambang batubara di Ombilin dimulai, pemerintah terlebih dahulu menyiapkan jalur kereta yang menghubungkan lokasi tambang dengan pelabuhan pada 1887. Setelah jalur transportasi siap, pemerintah kolonial mulai melakukan penambangan batubara di Ombilin dimulai dari ladang Sungai Durian yang paling banyak kandungan batubaranya. Selagi ladang batubara di Sungai Durian mulai ditambang, perlahan mulai tumbuh sebuah kota kecil yang terletak di area persawahan dekat tambang Sungai Durian. Persawahan tersebut dilalui oleh Sungai Lunto dan dari situlah kota kecil tersebut mendapatkan namanya, Sawahlunto. Berkat emas hitam bernama batubara, peradaban mulai menjamah tempat tersebut.
Lubang tambang Sungai Durian pada tahun 1920an. (sumber : media-kitlv.nl)
Terowongan tambang Lunto.

Terowongan tambang Sungai Durian.
Terowongan tambang Mbah Suro.
Penambangan batubara di sekitar Sungai Ombilin memiliki tiga area tambang yang penting, yakni Perambahan, Sigalut, dan Sungai Durian. Dengan jumlah kandungan batubara terbesar di antara yang lainnya, maka lokasi penambangan dipilih di area Sungai Durian yang memiliki deposit sebesar 93 juta ton. Batubara yang terdapat di Sungai Durian terbagi menjadi tiga lapisan yang dinamai nama lapisan A, B, dan C. Lapisan A memiliki ketebalan dua hingga tiga meter, kemudian lapisan B memiliki ketebalan 60 cm hingga satu meter, sementara lapisan C memiliki ketebalan enam sampai dua belas meter. Kandungan batubara terbaik di Ombilin terpendam di dalam tanah sehingga kegiatan penambangan dilakukan dengan menerapkan metode tambang terowongan. Salah satu terowongan yang selama ini dikenal di Sawahlunto adalah terowongan Lubang Mbah Suro, namun sejatinya masih ada terowongan tambang lainnya yang tersebar di Sawahlunto seperti terowongan tambang Lunto, Sungai Durian, Panjang dan Waringin. Hanya saja terowongan-yang sudah disebutkan tadi tidak memungkinkan untuk ditelusuri pengunjung umum karena keadaanya sudah tertimbun tanah atau tergenang air. Sejak tahun 2007, lubang tambang Mbah Suro dibuka untuk umum namun tidak semua bagian terowongan bisa dijelajahi. Untuk batubara yang berkedudukan di lapisan A dan B, dibuat terowongan yang akan membagi ladang tambang menjadi blok-blok persegi seperti papan catur. Secara bertahap, batubara diambil mulai dari blok 1. Sesudah batubara di blok 1 habis, penambangan berlanjut ke blok 2 dan kemudian diteruskan ke blok berikutnya. Pada tempat yang batubaranya sudah diambil, bagian atapnya ditopang oleh kayu yang bertujuan untuk mencegah runtuhnya atap terowongan yang akan mengakibatkan lapisan tanah di atasnya longsor ke bawah. 
Kamar mesin pompa Rantih.
Sementara pada lapisan C yang letaknya paling bawah dan memiliki lapisan paling tebal, metode penambangan yang serupa dengan lapisan sebelumnya tidak bisa digunakan karena kondisi atap lapisan C yang lebih mudah runtuh. Oleh karena penggaliannya dilakukan secara berjenjang dengan membaginya menjadi 3 jenjang. Penggalian dimulai dari jenjang paling bawah. Sesudah mencapai kedalaman sekitar 20-30 meter, jenjang yang sudah kosong deposit batubaranya tersebut lalu diisikan dengan pasir. Setelah terisi, maka penambangan diteruskan di jenjang yang ada di atasnya. Lalu bagaimana caranya mengisi pasir ke dalam terowongan ? Sekitar delapan km dari tambang, tepatnya di Desa Rantih, terdapat sebuah stasiun pompa bertenaga listrik. Pompa akan menyedot air dari Sungai Ombilin dan membawanya ke bak penampungan di daerah Kayu Gadang, sekitar satu kilometer dari Sungai Durian. Air yang ada di bak tersebut kemudian disemburkan mengarah ke dinding bukit sehingga pasir akan terbawa air dan masuk ke dalam tambang melalui pipa.
Suasana di dalam tambang. (sumber : media-kitlv.nl)
Batubara digali pada bagian dinding bawahnya dengan bantuan alat manual seperti blencong atau menggunakan mesin Jack Hammer (dandang) yang digerakan oleh tekanan udara. Karena bagian bawahnya sudah digali, maka bagian atasnya akan meluruh ke bawah dengan sendirinya. Jika terlalu sulit digali, maka dibuat lubang sepanjang 1 meter yang akan diisi dengan mesiu untuk kemudian diledakkan. Jumlah mesiu yang dibutuhkan sudah diperhitungkan secara cermat supaya ledakan yang yang dihasilkan tidak terlalu lemah untuk menghancurkan lapisan namun juga tidak terlalu kuat untuk mencelakakan pekerja. Batubara yang sudah lepas dari tempat semula lali dipindahkan dengan sekop ke dalam saluran besi yang disebut Talangan Goyang (Shaking Conveyor). Talangan Goyang ini tergantung sejajar dengan muka pengambilan hasil dan diguncangkan oleh mesin listrik atau tekanan angin sehingga deposit batubara yang ada di dalam saluran meluncur ke terowongan miring dimana di sana sudah menunggu gerobak yang akan membawa keluar batubara dari dalam tanah. 
Gedung kompresor udara Barangin.
Sehari-harinya, para penambang berjibaku dengan kondisi terowongan yang sempit, panas, pengap, dan gelap. Pekerjaan mereka adalah salah satu pekerjaan paling rentan karena selain merasakan ketidaknyamanan, para penambang masih harus siap menghadapi maut. Beberapa ancaman di dalam tambang yang melibatkan empat unsur ; tanah, udara, api, dan air, menghantui pekerja selama berada di dalam perut bumi. Dinding tambang sewaktu-waktu bisa runtuh yang mengubur tubuh mereka hidup-hidup. Saat hujan deras, terowongan tiba-tiba berisi penuh air yang menenggelamkan pekerja. Masih ada pula ancaman gas metan yang bisa meledak bila terkena percikan api dan gas CO (karbonmonoksida) yang tidak berbau namun sangat mematikan bagi orang yang menghirupnya. Segala upaya pencegahan ditempuh untuk menghindari kecelakaan kerja yang mungkin terjadi sewaktu-waktu. Kebutuhan vital untuk penambang seperti udara dan penerangan juga dibuat dengan memperhitungkan keselamatan pekerja. Udara dihembuskan dari gedung kompresor lewat terowongan ventilasi dan kemudian udara disedot keluar melalui terowongan ventilasi lainnya untuk menjaga sirkulasi. Selain memasok oksigen pekerja, hembusan udara tersebut juga membantu dalam mengurangi kepekatan gas methan. Untuk sumber penerangannya maka digunakan lampu khusus yang dikenal sebagai Davy Lamp. Lampu tersebut tidak semata sebagai alat penerang di tengah gelapnya tambang, namun juga sebagai indikator keberadaan gas-gas berbahaya yang akan mencelakakan pekerja. Jika terdeteksi ada campuran gas yang mudah terbakar, maka lampu akan menyala lebih terang dengan warna kebiruan. Jika ada indikasi kandungan oksigen di dalam tambang berkurang, maka lampu akan padam sehingga para penambang bisa bergegas keluas sebelum mereka meregang nyawa karena sesak nafas.
Hewan kerbau yang digunakan untu menghela gerobak tambang. (sumber ; media-kitlv.nl)
Transportasi lori listrik yang digunakan untuk mengeluarkan gerobak dari dalam tambang (sumber ; media-kitlv.nl)
Rel lori pengangkut batubara dari tambang ke gedung saringan. (sumber : media-kitlv.nl)
Batubara yang ditambang dari dalam perut bumi tersebut tentu saja perlu dibawa keluar terlebih dahulu sebelum dijual ke pasaran. Deretan gerobak nyaris tiada putusnya ditelan oleh gelapnya terowongan nan sempit dan kemudian dimuntahkan keluar membawa muatan batubara yang berharga. Mengatur sistem pengangkutan tambang sekelas Ombilin bukanlah perkara yang mudah sebab tersendatnya arus pengangkutan akan mengacaukan jalannya kegiatan penambangan dan tentu akan berpengaruh terhadap perolehan yang didapat. Maka dari itu, sistem pengangkutan direncanakan secara cermat supaya arus pengangkutan menjadi lancar dan terhindar dari kekacauan. Jumlah gerobak yang beroperasi setiap harinya tidaklah menentu, tergantung pada jumlah batubara yang sanggup ditambang hari itu. Rangkaian gerobak tersebut meluncur perlahan menuruni terowongan untuk mengambil bongkahan batubara yang sudah ditambang. Setelah terisi penuh, maka hewan kuda, keledai, atau kerbau akan menghela gerobak tersebut keluar dari terowongan. Hewan tersebut diberi pakan berupa jagung yang sengaja ditanam di sekitar tambang. Lokomotif uap sendiri tidak dapat digunakan untuk penambangan bawah tanah karena beresiko memicu kebakaran serta uap panas yang dihasilkan memperburuk kondisi udara di dalam tambang yang sudah begitu pengap. Tenaga hewan lalu berganti dengan lokomotif bertenaga listrik. Di sepanjang dinding terowongan, terentang kabel-kabel yang akan mengalirkan lokomotif listrik tersebut. Ukurannya yang kecil menjadikan lokomotif listrik tersebut mampu melalui terowongan yang sempit dengan mudah. Sesudah dikeluarkan dari tambang, masih ada tantangan lain yang perlu dihadapi. Antara lokasi tambang di Sungai Durian dengan tempat pengolahan, terhampar lereng curam yang menjadikan kereta biasa tidak sanggup melewatinya. Tantangan itu diatasi dengan penggunaan sistem pengangkutan berbasi kereta kabel yang memang dikhususkan untuk menghadapi medan semacam itu. Dua lajur rel ditempatkan pada suatu medan yang relatif landai. Pada satu sisi rel digunakan untuk barisan gerobak yang berisi muatan batubara sementara sisi yang lain untuk gerobak kosong menuju tambang. Barisan gerobak tersebut ditambatkan seutas kabel yang tertambat pada mesin penarik kabel yang ada di bagian atas supaya pergerakannya terkendali. Saat gerobak berisi muatan batubara diturunkan ke bawah, maka pada saat yang bersamaan barisan gerobak kosong dikerek ke atas menuju lokasi penambangan (Van Lier, 1917; 34-30).
Gedung Oudzeefhuis (Saringan lama).
Proses pencucian batubara yang melibatkan tenaga kerja perempuan (sumber : 100 Tahun Tambang Batubara Ombilin)
Sederhana namun efisien. Begitulah gambaran dari kegiatan pengolahan batubara di Sawahlunto sesudah diangkut keluar dari tambang. Kegiatan penyetoran batubara, pemilahan, pemurnian, penampungan, dan penyaluran batubara ke gerbong, semuanya terpadu dalam satu bangunan yang disebut bangunan saringan. Sarana tersebut dibangun pada tahun 1896 yang disusun dari besi. Memanfaatkan keadaan medannya yang berbukit, bangunan saringan dibuat bertingkat dimana tingkat paling atas adalah tempat masuknya gerobak berisi muatan batubara dari tambang Sungai Durian. Di bagian ini, gerobak dicondongkan ke samping untuk menumpahkan muatan batubara ke dalam mesin yang berada di bawahnya. Setelah muatannya tertumpah habis, lori tersebut kemudian dibawa kembali menuju tambang. Mesin tersebut akan meremuk dan memilah batubara menjadi tiga jenis berdasarkan ukurannya yakni ;

(1) batubara kasar (stukkolen) yang memiliki diameter bulir lebih dari 30 mm. Sebagian besar batubara jenis ini dikirim ke luar negeri dan sisanya menjadi bahan bakar untuk kereta api Staatspoorwegen yang beroperasi di dataran tinggi. 
(2) batubara halus (gruiskolen) bulirnya berdiameter antara 30 milimeter hingga 12 mm. Kegunaan batubara ini adalah sebagai bahan bakar kereta api Staatspoorwegen yang beroperasi di dataran rendah dan industri semen di Padang menjadikannya sebagai salah satu bahan pembuatan semen. 
(3) batubara debu (fijnkolen) yang diameter bulirnya di bawah 12 m. Batubara abu jenis ini dikonsumsi sendiri untuk bahan bakar pembangkit listrik tambang. 

Setelah dipilah, rangkaian pengolahan batubara akan berlanjut pada proses pemurnian dari material seperti endapan pasir, batu, atau tanah liat yang sesekali masih ikut terbawa. Pemurnian dilakukan dengan penyemprotan air pada barubara yang bergerak di atas konveyor. Untuk memastikan batubara betul-betul bebas dari kotoran, maka batubara selanjutnya dipindai dan dibersihkan secara manual oleh tenaga perempuan. Kotoran yang tertinggal akan dipungut dan dibuang wadah yang akan membawanya menuju bak pengendapan. Pengendapan tersebut bertujuan untuk mendapatkan batubara ekstra kecil yang ikut terbuang sehingga dampak pencemaran lingkungan dapat dikurangi. Batubara yang sudah dibersihkan selanjutnya disalurkan ke wadah penampungan yang ada di tingkat lebih bawah. Masing-masing wadah diperuntukan sesuai jenis batubara yang telah dipilah. Di bawah wadah tersebut, terdapat katup yang bila dibuka akan memuntahkan batubara ke dalam gerbong-gerbong yang sudah menunggu di bawahnya. Setelah semua gerbong terisi penuh, barulah batubara diantar sampai ke pelabuhan (Van Lier, 1917; 49-50).
Gedung saringan lama (atap lengkung) dan gedung saringan baru (atap datar) pada tahun 1930an. (sumber : media-kitlv.nl)
Gedung Nieuwzeehuis (Saringan Baru) yang kini ditempati Pemadam Kebakaran dan Dinas Pariwisata Sawahlunto.
Mesin pemilah batubara.
Seiring dengan meningkatnya jumlah produksi tambang batubara, maka pada tahun 1924 mulai dilakukan upaya peningkatan kapasitas pengolahan dengan pendirian gedung saringan baru yang letaknya bersebelahan dengan gedung saringan lama. Proses pembangunannya dimulai dari bulan Mei 1924 oleh Technisch Bureau van het Departement van Koloniën (Biro Teknik Departemen Koloni), biro pemerintahan di bidang keteknikan yang pernah mendirikan instalasi serupa di Bukit Asam. Sementara itu peralatan dan komponen yang dipesan baru sampai di Sawahlunto pada bulan September 1926. Peralatan dan komponen yang dihadirkan antara lain mesin konveyor buatan Electrotechnische Industrie v/ Willem Smit & Co, mesin pembersih buatan Gewerkschaft Eisenhütte Westfalia, elevator listrik buatan  N.V Gebr. Stork & Co's Fabriek van Hijschwerktuigen te Hengelo, serta peralatan mekanis dan kelistrikan lain dari Gewerkschaft Scliüchtermann & Kremer. Setibanya di Sawahlunto, satu persatu peralatan tersebut dirakit. Tahapan pembangunan gedung saringan baru tersebut selesai pada awal tahun 1927.
Stasiun Sawahlunto.
Stasiun Sawahlunto di masa lalu. (sumber : media-kitlv.nl)
Gerbong pertama dari Sawahlunto yang tiba di Padang
(sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Tantangan berikutnya dalam kegiatan eksplotiasi batubara di Sawahlunto ialah bagaimana membawa batubara tersebut ke pelabuhan Emmahaven di Padang, pelabuhan terdekat dengan Sawahlunto serta bagaimana membawa mesin-mesin berat yang dibutuhkan ke lokasi penambangan. Potensi batubara di Sawahlunto akan berakhir sia-sia bila masih mengandalkan tenaga hewan untuk mengangkutnya. Hal ini terjadi karena saat musim hujan tiba, jalanan menjadi rusak sehingga sulit dilintasi pedati yang dihela hewan. Belum lagi dengan adanya ancaman penyakit pada hewan penarik yang akan menghambat kegiatan pengangkutan. Dengan kata lain, satu-satunya moda transportasi paling mendukung untuk pengangkutan batubara dalam skala besar adalah kereta api yang mampu menarik banyak gerbong dalam sekali jalan. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mengutus sebuah tim yang dipimpin oleh insinyur J.L. Cluysenaer pada 1873 untuk mencari rute paling cocok. Bukan pekerjaan mudah untuk menemukan rute terbaik karena secara geografis, kota Sawahlunto dengan Padang dipisahkan oleh tingginya pegunungan Barisan. Cluysenaer merampungkan surveynya pada tahun 1875 dan mengusulkan rute dari Padang, menembus pegunungan Bukit Barisan, melalui Solok, dan berhenti di Sawahlunto. Namun usulan tersebut ditolak pemerintah dengan alasan biaya pembangunannya terlampau tinggi dan pemerintah tidak sanggup membiayainya. Akhirnya Cluysenaer meninjau kembali hasil survey sebelumnya dan mendapati rute yang memutar lebih jauh namun biaya pembangunannya relatif terjangkau, yakni dari Padang, ke Padang Panjang, menyusuri Danau Singkarak, melalui Sawahlawas, dan sampai di Sawahlunto. Rencana rute tersebut diterima oleh pemerintah pada tahun 1878 namun pembangunannya belum bisa dilakukan secepatnya karena selain dana belum tercukupi, juga ada perdebatan mengenai siapakah yang akan bertanggung jawab dalam pembangunan dan pengelolaanya, apakah akan diserahkan kepada swasta atau dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Perdebatan selama hampir satu dekade tersebut berakhir pada tahun 1887, dimana pembangunan dan operasional jalur akan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Tahun 1891, proses pembangunan dimulai dengan pengawasan dari insinyur J.W. Ijzerman dan pembangunannya tuntas pada tahun 1894. Kereta yang hilir mudik menyusuri rel akhirnya menjadi pemandangan baru. Pada perkembangannya, keberadaan jalur kereta api di tanah Minangkabau ini tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan pengangkutan batubara semata, namun juga meningkatkan kemakmuran pada kota-kota yang dilaluinya. Di kota-kota yang menjadi titik pemberhentian termasuk Sawahlunto, didirikan stasiun sebagai tempat menaik turunkan penumpang. Kendati bentuk stasiun Sawahlunto tidak terlihat mewah, namun dari sanalah pembukaan jalur kereta api di Sumatera Barat bermula (Anonim, 50-53).
PLTU Kubang Sirakuk dengan cerobong asap yang baru selesai dibangun. (sumber : media-kitlv.nl)
Cerobong sisa pembangkit listrik Mudik Air.
Pada masa-masa awal penambangan di Sawahlunto, listrik masih belum mengalir di Sawahlunto. Gerbong-gerbong masih dihela menggunakan tenaga hewan sementara sumber penerangan masih mengandalkan lentera minyak. Hal tersebut terjadi karena belum ada pembangkit listrik di Sumatera bagian tengah. Wacana untuk membangun pembangkit listrik di Sawahlunto mulai mengemuka sejak tahun 1902 dan baru dua tahun setelahnya wacana itu dapat terwujud. Proses pembangunan pembangkit listrik dimulai pada bulan Mei 1904 dan diawasi oleh insinyur Van der Valk beserta dua ahli kelistrikan, Wachter dan Hoeder. Mesin-mesin yang dipakai sebagian besar merupakan buatan Jerman dan dipasok oleh perusahaan Maintz & Co dari Batavia dengan harga yang tidak murah. Mengingat pentingnya keberadaan pembangkit listrik tersebut bagi operasional tambang, maka pembukaanya patut dirayakan secara meriah. 14 Agustus 1905 adalah hari saat pembangkit listrik tersebut mulai beroperasi. Dengan ritual yang dipimpin oleh seorang kaum, penduduk pribumi menyembelih 3 ekor kerbau di depan gedung pembangkit litrik. Ketiga kepala kerbau tersebut lalu ditaruh ditandu, ditutup dengan kain putih, dan diarak mengelilingi kota dengan iringan musik gamelan. Sesudah diarak, ketiga kepala kerbau tersebut dikubur di ketiga sisi bangunan pembangkit listrik. Ritual tersebut diadakan sekitar pukul 3 sore. Perayaan tidak berhenti sampai di sini. Pada pukul 6.30 sore, semua penduduk Eropa di Sawahlunto yang diundang oleh kepala insinyur tambang A. van Lessen menyaksikan mesin-mesin pembangkit tersebut menyala untuk pertama kalinya. Para undangan dihibur dengan penampilan orkes musik yang dimainkan oleh batalyon militer dari Padang Panjang. Kegembiraan dalam upacara tersebut sempat terhenti karena tamu undangan secara tidak terduga mendengar suara ledakan yang cukup keras disusul oleh lampu yang tiba-tiba padam. Setelah diselidiki ternyata ledakan tersebut bersumber dari salah satu kumparan dinamo yang mengalami kerusakan kecil. Kemeriahan masih berlanjut di esok hari dimana para pekerja dihibur oleh pertunjukan wayang wong, sulap, dan permainan panjat tiang. Lokasi pembangkit listrik dipilih di Kubang Sirakuk dekat Sungai Lunto karena dari sungai itulah air dipasok untuk menghasilkan uap panas yang dapat menggerakan turbin. Air dialirkan melalui pipa-pipa logam dan ditampung ke dalam tangki yang terletak di bawah tanah. Untuk menghasilkan uap, air dipanaskan dari hasil pembakaran batubara jenis fijnkoolen atau batubara abu. Uap lalu menggerakan turbin yang mampu menghasilkan listrik sebesar 6000 volt. Cukup mampu untuk menyediakan penerangan bagi seluruh perusahaan pertambangan yang membentang hingga ke Durian yang terletak di utara. Pada awalnya, PLTU tersebut memiliki mesin bertenaga sebesar 1.000 HP. PLTU tersebut kemudian melakukan beberapa kali pembaharuan mesin guna mendukung peningkatan kebutuhan listrik di Sawahlunto. Dari 1.000 HP, tenaga mesin ditingkatkan menjadi 1.500 HP dan akhirnya menjadi 3.000 HP. Dengan kehadiran pembangkit listrik tersebut, maka mesin-mesin tambang mutakhir yang membutuhkan listrik dapat didatangkan dan Sawahlunto menjadi kota yang terang benderang pada malam hari di tengah gelapnya lembah Ombilin.
PLTU Salak pada tahun 1924 (sumber; troppenmuseum.nl)
Sisa PLTU Salak.
Menurunnya debit air Sungai Lunto membuat kinerja PLTU merosot dan tidak sanggup lagi menopang penambangan batubara yang semakin bergeliat pada tahun 1920an. Oleh karena itu, dibangunlah PLTU baru di daerah Salak pada tahun 1924. Selain untuk operasional penambangan, PLTU tersebut juga memasok listrik untuk kebutuhan masyarakat. Keberadaan PLTU tersebut akhirnya menyulap lembah gelap Sawahlunto menjadi kota yang gemerlap di malam hari. Kini, bangunan PLTU Kubang Sirakuk telah rata dan di atasnya dibangun masjid pada 1952, menyisakan cerobong asap dari beton bertulang yang masih menjulang tinggi sebagai menara masjid. Sementara PLTU Salak masih terus beroperasi sampai tahun 1996 sebelum perannya digantikan oleh PLTU Ombilin dan bangunan PLTU Salak kini dalam kondisi terlantar.
Kantor tambang.
Gedung kantor tambang pada masa lalu. Terlihat pada bagian atap terdapat jendela dormer yang saat ini sudah tidak ada lagi (sumber : media-kitlv.nl)
Menara jam yang menjulang dari gedung PT. Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin mengingatkan siapapun pada bangunan-bangunan balaikota di Eropa. Tampilannya yang monumental menjadikan gedung ini sebagai salah satu tengara utama kota Sawahlunto. Bila diibaratkan sebagai tubuh manusia, gedung administrasi tersebut boleh dikatakan sebagai otak yang mengatur seluruh kegiatan penambangan. Dahulunya di gedung ini, tersimpan rapi catatan 5000 pekerja tambang dalam bentuk kartu untuk setiap kuli. Pada saat kuli tiba di lokasi penambangan, mereka akan dibuatkan kartu yang berisi durasi kontrak, catatan upah, dan absensi pekerja. Di gedung adminstrasi ini pula, keuangan perusahaan dihitung, termasuk besaran upah para kuli kontrak yang upahnya dibagikan setiap 14 hari. Gedung administrasi ini juga menyimpan arsip gambar yang berhubungan dengan mesin dan bangunan, serta peta topografi tambang yang dibuat secara akurat. Selain itu, gedung ini juga memiliki laboratorium penelitian batubara untuk menjamin mutu batubara yang akan dipasarkan (Van Lier, 1917;65-68). Kantor tersebut menjadi saksi atas pergantian pengelola tambang Sawahulunto. Pada zaman Jepang, gedung tersebut ditempati Hokkaido and Steamship.Co.Ltd, anak perusahaan Mitsui Company yang diberi izin pemerintah Jepang untuk mengelola tambang batubara yang ditinggalkan Belanda. Pada masa sekarang, gedung ini ditempati oleh PT. Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin.
Suasana di dalam barak kuli yang masih sederhana. (sumber : media-kitlv.nl)
Tambang batubara sebesar Sawahlunto tentu membutuhkan banyak tenaga manusia untuk menjalankannya, baik sebagai tenaga ahli maupun kuli kasar. Jajaran tenaga ahli yang sebagian besar diisi oleh orang Eropa terdiri dari insinyur, ahli mesin, staf administrasi, peneliti, dokter, dan lainnya. Pada awalnya, perusahaan sempat kesulitan untuk memperoleh tenaga ahli tersebut mengingat tambang bukanlah sektor perekonomian unggulan baik di Belanda maupun di Hindia-Belanda. Sementara itu, tenaga kasar secara etnis terdiri dari orang Melayu, Nias, Tionghoa dan Jawa. Sama halnya ketika memperoleh tenaga ahli, proses pencarian tenaga kasar juga menemui kendala karena masyarakat sekitar tidak berminat untuk bekerja di sana. Oleh karena itu, perusahaan tambang mendatangkan tenaga kasar dari daerah lainnya. Mereka diberi durasi kontrak kerja dimulai dari tanggal kedatangan mereka ke Sawahlunto dan berakhir tiga tahun berikutnya tepat pada tanggal yang sama dengan tanggal kedatangan mereka. Saat mereka tiba di Padang, mereka dikarantina terlebih dahulu selama beberapa hari di pelabuhan sebagai antisipasi jika mereka membawa penyakit menular. Setibanya di Sawahlunto, mereka sekali lagi diperiksa kondisi jasmaninya di rumah sakit (Van Lier, 1917 ; 60-61). Sebagai tambahan, perusahaan tambang batubara Ombilin juga mengambil pekerja dari narapidana buangan yang menjalani hukuman kerja paksa di sini. Mereka inilah yang dikenal sebagai ‘Orang Rantai’ karena selama bekerja, mereka dirantai satu sama lain supaya tidak kabur. Salah satu narapidana yang dijatuhi hukuman kerja paksa di Sawahlunto adalah Samin Sursentiko, pelopor ajaran Samin yang berkembang di daerah Blora, Jawa Tengah.


Rumah-rumah yang ditempati oleh pegawai tambang.

Bekas rumah dinas dokter rumah sakit tambang.


Kompleks perumahan untuk kuli tambang. (sumber : media-kitlv.nl)
Salah satu rumah yang dahulu ditempati oleh kuli tambang.
Pengerahan tenaga kerja dari berbagai tingkat keahlian yang dibutuhkan untuk kegiatan penambangan di Sawahlunto berimbas kepada munculnya permukiman untuk para tenaga kerja di dekat lokasi tambang. Seluruh tempat tinggal pekerja disediakan oleh perusahaan yang ditentukan berdasarkan hierarki sehingga permukiman pekerja di Sawahlunto secara jelas memperlihatkan perbedaan status sosial dalam lingkungan tambang. Pejabat berkedudukan tinggi menempati rumah yang dibikin sebagus mungkin mutunya beserta sarana yang lengkap, berbanding terbalik dengan para kuli yang tinggal bersama di dalam barak atau tangsi yang sederhana dengan fasilitas seadanya. Di dalam barak tersebut, mereka tidur berjejer di ruang memanjang tanpa sekat sehinga sama sekali tidak ada ruang privat untuk mereka. Untuk memudahkan pengawasan, mereka tinggal mengelompok di tempat yang sudah ditentukan oleh perusahaan. Semenjak tahun 1915, perusahaan tambang mulai membenahi hunian para pekerja menjadi lebih layak tinggal dengan mengeluarkan anggaran sebesar 600.000 gulden. Guna menghemat biaya, material bangunan seperti batu-bata dibuat di dekat lokasi proyek. Sementara kayu dikirimkan dalam bentuk gelondongan mentah yang selanjutnya dipotong menjadi balok dan papan di lokasi proyek. Kuli kontrak yang membawa keluarganya ke Sawahlunto disediakan perumahan tersendiri dengan ukuran rumah yang lebih kecil dari rumah untuk pejabat tambang namun setidaknya lebih layak dibandingkan barak-barak semipermanen dari bambu. Rumah tersebut terdiri dari kamar tidur, dapur kecil, teras depan, pekarangan dan kendang ayam. Kegiatan mandi dan mencuci dilakukan di sumur komunal. Bagi kuli kontrak yang masih membujang mereka tinggal bersama di barak-barak. Sementara untuk kuli yang berstatus sebagai pekerja paksa atau 'Orang rantai' mereka diharuskan tinggal di kompleks barak yang diawasi ketat (Van Lier, 1917;58-59). Kendati memiliki perbedaan bentuk dan sarana, baik hunian untuk kuli maupun pejabat tambang merupakan rumah milik perusahaan sehingga tidak ada kebebasan pribadi untuk merombak rumah sesuai selera penghuninya.


Bekas rumah dinas untuk pegawai pemerintahan kolonial di Sawahlunto.
Selain rumah pegawai perusahaan, di Sawahlunto juga didirikan rumah tinggal untuk pegawai dinas pegawai pemerintahan kolonial. Semaraknya kegiatan penambangan di Sawahlunto telah mengundang banyak orang untuk menetap di Sawahlunto. Sejak tahun 1904, Sawahlunto telah menjadi suatu wilayah administrasi yang berstatus sebagai Onderafdeeling. Selain sudah memiliki lembaga pemerintahan, Sawahlunto juga memiliki lembaga Pengadilan Negeri yang dibentuk pada tahun 1917 dan setahun berikutnya dibentuk Gemeenteraad atau Dewan Kotapraja Sawahlunto. Namun Gemeenteraad Sawahlunto hanya bertahan sampai tahun 1924 (Lindayanti, dkk. 2017 ; 57-59).
Dapur umum yang  saat ini menjadi Museum Gudang Ransum.
Dandang besar yang digunakan untuk memasak nasi.
Dalam Ordonantie Colie, perusahaan tambang wajib memenuhi kebutuhan pangan dan kesehatan yang layak bagi kuli kontrak. Dalam pemikiran kapitalisme, kegiatan produksi tambang tidak akan berjalan lancar manakala para kuli dibiarkan bekerja dalam keadaan perut kosong atau tidak sehat badannya.  Museum Gudang Ransum yang menempati bekas dapur umum tambang dapat menggambarkan bagaimana perusahaan tambang mengenyangkan perut lebih dari 7000 pekerja pada zaman dahulu. Bukanlah suatu perkara mudah untuk memasak makanan dalam porsi besar dengan waktu sesingkat mungkin. Gudang penyimpan, pabrik es, penggilingan padi, dan rumah pemotongan hewan dibangun berdekatan dengan dapur supaya bahan pangan mudah diperoleh. Sekitar 100 pegawai dipekerjakan setiap harinya untuk memasak 3900 kilo beras, daging, telur, sayuran, dan lainnya. Untuk mendukung kegiatan masak besar, peralatan masakanya pun dibuat berukuran besar seperti periuk logam yang mampu menanak nasi hingga 60 wadah besar. Kendati sederhana, menu yang terdiri dari nasi, sayur mayur, dan ikan sekiranya cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi pekerja. Sebelum berangkat bekerja, mereka dijatah sebungkus ketan dan gula jawa sebagai camilan di dalam tambang. Pada hari-hari istimewa seperti hari ulang tahun ratu Belanda, mereka mendapatkan tambahan makanan berupa semacam kue bolu (Van Lier, 1917;62).
Rumah sakit Sawahlunto.
Untuk menjaga kesehatan jasmani para kuli, didirikan rumah sakit yang mampu merawat 600 hingga 800 pasien. Pegawai rumah sakit terdiri dari seorang dokter Eropa sebagai kepala, 4 dokter Jawa, sejumlah ahli bedah dan perawat. Para kuli terus-menerus dipantau kesehatannya di sini untuk memastikan mereka tidak terinfeksi oleh cacing tambang. Dengan fasilitas yang lengkap dan tenaga yang terlatih, rumah sakit tersebut menjadi rumah sakit terbesar dan termaju di wilayah pedalaman Sumatera Barat sehingga rumah sakit tersebut menjadi rujukan bagi masyarakat lainnya. Keterbatasan lahan menyebabkan rumah sakit tersebut didirikan di lereng bukit yang tidak rata tanahnya (Van Lier, 1917;63).
Hotel Ombilin.

Sosieteit Gluck Auf yang sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Sawahlunto.
Bekas koperasi Ons Belang.
Kerkhof Sawahlunto.
Dalam beberapa tahun, Sawahlunto yang semula hanyalah lembah persawahan nan sunyi, berubah menjadi kota tambang yang berkarakter unik jika dibandingkan kota kolonial lainnya. Salah satu ciri utama kota tambang adalah lokasinya yang ditentukan berdasarkan potensi sumberdayanya sehingga bukan hal aneh bila kota tersebut terletak di tempat yang terpencil dan sulit untuk dibangun (Bell,2002; 27-28). Berkat perencanaan yang cermat, kota Sawahlunto akhirnya sanggup berkembang menjadi kota yang memiliki beragam fasilitas umum seperti hotel, sosieteit, koperasi, dan permakaman meskipun terhalang oleh keadaan medan. Keberadaan Hotel Ombilin yang dibangun pada tahun 1918 menunjukan bahwa Sawahlunto sudah menjadi tujuan persinggahan orang-orang luar meskipun tamu hotel kebanyakan adalah pegawai pemerintah, insinyur tambang atau inspektur. Gedung Societeit Gluck Auf dibangun pada tahun 1910 sebagai oase hiburan di tengah kota yang terkungkung lembah. Selepas bekerja, pegawai dari kalangan Eropa bisa berkunjung ke gedung yang namanya diambil dari salam penambang Jerman tersebut untuk bersosialisasi dan berkumpul atau menghibur diri dengan berdansa, bernyanyi, dan menonton pertunjukan. Sementara itu, koperasi Ons Belang dibuka tahun 1920 oleh perusahaan tambang sebagai tempat menyediakan barang dengan harga wajar dan pasti. Koperasi ini menjadi penyelamat pekerja dari ulah pedagang pasar yang acap menaikan harga barang secara mendadak saat hari pembayaran upah pekerja tiba sehingga menyulitkan pekerja yang berniat untuk menabung. Keberadaan suatu permukiman tentu diikuti dengan tempat menguburkan orang yang sudah meninggal. Di Sawahlunto, orang-orang Eropa dimakamkan di permakaman khusus orang Eropa atau Kerkhof yang ada di punggung bukit. Sayangnya makam-makam di Kerkhof tersebut sudah banyak yang hilang prasastinya. Sementara itu, para kuli dikuburkan di sembarang tempat dan diberi penanda berupa patok yang hanya memuat nomor registrasinya.
Rumah Pek Sing Kek yang berada di pecinan Sawahlunto.
Gedung komidi yang saat ini menjadi pegadaian.
Suasana pecinan Sawahlunto di masa lalu. (sumber : media-kitlv.nl)
Semarak penambangan batubara di Sawahlunto telah mengundang orang dari berbagai tempat, suku, dan etnik, untuk tinggal kota ini. Mereka berbondong-bondong datang ke sini bukan sebagai penambang, melainkan sebagai pedagang yang menual kebutuhan untuk penduduk Sawahlunto. Berbagai tinggalannya masih ada seperti gedung komedi yang dibangun Sian Seng Wong A Lan pada 1917. Kemudian terdapar sebuah rumah keluarga Pek Sin Kek yang memiliki bentuk khas.
Gereja Santa Barbara Sawahlunto.
Susteran dan sekolah.
Sebagian besar pegawai Belanda di Sawahlunto berasal dari kota Limburg, kota di Belanda yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka, maka sejak tahun 1912 para pastor dari Padang diutus secara teratur ke Sawahlunto untuk memberi pelayanan rohani. Saat itu, para pastor belum menetap di Sawahlunto karena sedikitnya tenaga rohaniawan dan minimnya anggaran untuk biaya hidup para pastor tersebut di Sawahlunto. Pastor pertama yang melayani di Sawahlunto adalah Pastor Mattheus de Wolf, Pastor Dionisius Pesssers dan Pastor Rupertus Verbrugge. Para pastor tersebut datang setidaknya empat atau enam kali dalam setahun dan karena saat itu belum ada gedung gereja di Sawahlunto, maka ibadah dilakukan di gedung sosieteit dan kantor administrasi tambang. Perusahaan tambang lalu menyumbangkan dana pembangunan gereja Santa Barbara dan akhirnya gereja tersebut ditasbihkan pada 27 November 1920 oleh Mgr. Cluts. Di tengah profanitas hiruk pikuk penambangan batubara, gereja bergaya Neo-Gotik tersebut memberi kedamaian spiritual bagi umat Katolik di Sawahlunto yang pada tahun 1937 sudah memiliki 450 umat, terdiri dari 250 orang Eropa dan 200 orang Tionghoa. Selain gereja, dibangun pula pastoran sebagai tempat tinggal pastor sehingga pastor bisa tinggal lebih lama di Sawahlunto dan menjalankan karyanya lebih maksimal. Pastoran tersebut oleh Pastor L. Woestenberg digunakan pula sebagai sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang dibuka olehnya pada tahun 1921. Berselang enam bulan kemudian delapan siswa sekolah tersebut dibaptis dan menjadi tonggak pertama misi Katolik di Sawahlunto. Supaya tidak terjadi gesekan dengan masyarakat pribumi, maka kegiatan penyebaran agama Katolik dibatasi untuk kalangan Tionghoa di Sawahlunto. Pada 1 Oktober 1925, para biarawati Fransiskan mulai menetap di Sawahlunto untuk membantu karya Pastor L. Woestenberg. Seturut dengan peningkatan jumlah murid, dibangun gedung sekolah baru yang berada di samping susteran. (Anonim, 1937; 16-17).

Contoh bangunan lama yang diadaptasi menjadi museum
Berkah batubara di lembah Ombilin telah mengubah suatu lembah antah berantah menjadi suatu kota dengan saujana yang tidak lazim di Minangkabau. Selepas kemerdekaan, kegiatan penambangan memasuki masa-masa sulit. Produksi tambang menurun karena rusaknya sarana transportasi selama perang. Negara Indonesia yang saat itu masih belia belum cukup mampu mengelola dan memulihkan tambang. Saat seluruh insinyur Belanda di Sawahlunto dievakuasi pada Desember 1949, 4 orang insinyur tetap diminta tinggal di sana (De Maas-bode, 17 Januari 1950). Proses penambangan selanjutnya dilanjutkan oleh perusahaan tambang yang dinasionalisasi oleh pemerintah RI pada tahun 1950 dan kini dikenal sebagai PT. Bukit Asam (Persero). Sayangnya, kemakmuran dari suatu kota tambang umumnya tidak dapat berumur lama. Dengan berlalunya waktu, cadangan batubara mulai menyusut dan jikapun masih ada cadangan besar, butuh eksplotiasi dengan biaya yang lebih besar. Belum lagi kegiatan eksploitasi tambang sangat bergantung pada permintaan pasar yang tidak menentu ditambah saat ini sudah ada sumber bahan bakar yang lebih bersih dibanding batubara. Kegiatan penambangan lambat laun mulai meredup sementara perekonomian juga ikut merosot. Ketika proses penambangan terhenti sama sekali, maka kota tersebut mulai berada di titik nadirnya. Kota mulai ditinggalkan penduduknya dan fasilitas yang telah lama berdiri dibiarkan terbengkalai. Kejayaan tambang batubara Sawahlunto memang telah berlalu namun bukan berarti riwayat kota tersebut usai. Kehidupan kota Sawahlunto terus berjalan dengan mengubah haluan perekonomian. Kini bukan batubara lagi yang menjadi andalan utama Sawahlunto, melainkan sektor pariwisata yang menawarkan kekayaan tinggalan sejarah tambang batubara. Untuk mendukung sektor tersebut, dilakukan sejumlah pemugaran terhadap sejumlah tinggalan sejarah di Sawahlunto sejak tahun 2005. Setelah redup sekian lama, kota yang lahir dalam semangat zaman uap tersebut kini kembali membara dengan statusnya sebagai Warisan Dunia yang resmi disandang sejak tahun 2019. Status yang disandang tersebut tentunya bukan sekedar untuk mengangkat kembali nama Sawahlunto belaka, namun juga merupakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pelestarian warisan budaya di Sawahlunto yang kini nilai pentingnya tidak hanya diakui oleh bangsa Indonesia saja namun juga oleh dunia.

Referensi
Anonim. 1937. Vijf en Twintigjaar Padang-Missie

Anonim. Nederlansch Indische Staatspoor en Tramwegen. Nederlands Welvaart.

Bell, Peter. 2002. "The fabric and structure of Australian mining settlements" dalam Knapp, Bernard. A, dkk (ed). Social Approaches to an Industrial Past. London : Routledge

Ir. A. Guyot van Der Ham. Het nieuwe zeefhuis der Ombilinsteenkolenmijnen te Sawah Loento dalam De Ingeneur 28 Agustus 1926  no. 35 halaman 724-729.

Ir. R.J. Van Lier. 1917. De Steenkolenindustrie. Haarlem : H.D. Tjeenk Willink & Zoon.

Freese, Barbara. 2003. Coal, A Human History. New York : Basic Book.

Greve, W.H. de. 1907. Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra Westkust. Batavia : Landsdrukkerij.

Lindayanti, dkk. 2017. Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api & Pelabuhan Teluk Bayur. Padang : Minangkabau Press.

De Maas-bode, 17 Januari 1950