Selasa, 30 Oktober 2018

Kaliurang, Tempat Penjajah Bertetirah di Kaki Gunung Merapi

Inilah Kaliurang, suatu tempat wisata di kaki Gunung Merapi yang kondang akan kesejukan dan keindahannya yang menarik pelancong baik dari dalam atau luar negeri. Kaliurang sebagai tempat untuk bertamasya bukanlah barang baru. Lama sejak masa kolonial, para keluarga Belanda, Tionghoa kaya, hingga kaum ningrat Jawa menyambanginya sebagai tempat melepas penat di kala senggang. Bagaimanakah riwayat Kaliurang sebagai tempat tetitrah ?
Pemandangan Kaliurang pada tahun 1940 dilihat dari bukit Turgo.
(Sumber : data.collectienederland.nl)

Foto yang memperlihatkan pemandangan Kaliurang. Pemandangan Gunung Merapi yang ada di belakang tampaknya adalah hasil penyuntingan (sumber : media-kitlv.nl).
Untuk orang-orang Eropa yang baru menapakan kaki di daerah khatulistiwa, gangguan utama yang mereka hadapi setiap harinya tidak hanya berasal serangan dari penduduk lokal, melainkan iklim yang panas nan lembab apalagi kantong-kantong permukiman mereka terletak di kota pesisir. Jadi urusan memperluas imperium seringkali kalah berarti dibanding apa yang disebut sebagai “keletihan tropis”. Orang Eropa yang lama hidup di daerah beriklim dingin tentu tak terbiasa dengan iklim panas tropis. Gerah sudah barang tentu dan itu menjadi tekanan batin yang mendera mereka kala menunaikan tugas di tanah jajahan. Maka tiada pilihan lain selain menyingkir ke wilayah dataran tinggi di pedalaman, dimana di sana mereka akhirnya menemukan kesejukan layaknya kampung halaman di Eropa. Tempat ini oleh mereka dijadikan sebagai tempat pelarian dari keriuhan serta hawa panas kota pesisir yang menjemukan, menyesakkan, dan memuakan. Dari situlah lahir tempat tetirah di musim panas bagi orang-orang Eropa yang terletak di pegunungan atau lazim disebut station hill. Di Asia, Station hill paling banyak berada di India, dimana orang-orang Inggris di Delhi membangun station hill di Simla yang terletak di kaki pegunungan Himalaya. Jika orang-orang di Eropa berpesiar ke kota tepi laut untuk merasakan hangatnya cahaya mentari, maka orang-orang Eropa di Asia beranjangsana ke station hill untuk menghirup udara jernih pegunungan (Spencer dan Thomas, 1948; 639-640).
Suasana Kaliurang tahun 1920an dilhat dari Hotel Kaliurang. Terlihat bangunan dari pesanggrahan Ngeksigondo (Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pemandangan Kaliurang pada 1940.
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl))
Kebiasaan membangun station hill  juga diikuti oleh orang Belanda yang dulu menjajah Nusantara. Di Hindia-Belanda, terdapat 23 station hill, dimana sebagian besar terdapat di pulau Jawa. Gill (1995)  menjelaskan, walau kebutuhan akan tempat tetirah yang sehat dan sejuk sudah ada sejak awal abad 19, namun perhatian serius pada tempat tetirah di pegunungan yang dekat dengan kota di mana mereka bekerja baru dimulai pada pergantian abad 19 ke abad 20. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda berhasil meneguhkan kekuasaanya di daerah pedalaman Jawa dan mendirikan beberapa pusat pemerintahan. Masing-masing kota yang menjadi pusat pemerintahan kolonial memiliki station hill seperti Batavia dengan Bogor, Semarang dengan Ungaran, dan Bandung dengan Lembang. Berbeda dengan orang-orang Inggris di India yang hanya mendatangi station hill saat musim panas saja, orang-orang Belanda mendatangi station hill setiap saat. Bagi orang Belanda, station hill memiliki nilai lebih karena mereka akhirnya bisa merasakan indahnya pesona pegunungan yang selama ini tak bisa mereka jumpai di negeri Belanda, negeri sonder pegunungan.
Salah satu villa di Kaliurang. Villa tersebut saat ini menjadi Wisma Gajah Mada (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pemandangan Kaliurang pada 1940 dilihat dari bukit Mejing dengan bungalow yang ditempatkan di tanah berteras (sumber : Djocja-Solo)
Salah satu station hill di Jawa adalah Kaliurang. Terletak di kaki Gunung Merapi yang masih aktif, Kaliurang asalnya adalah bagian dari tanah apanage atau tanah sewa milik Pangeran Puger, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono II. Pada era Sultan Hamengkubuwono VII, kepengelolaanya diserahkan pada saudaranya, Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah itupun dimanfaatkan sebagai perkebunan nila namun karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vorstenlanden membuat kegiatan perkebunan itu terhenti. Oleh Boschwezen Dienst (Dinas Perhutanan), lahan terbengkalai tersebut direboisasi dan disahkan sebagai hutan lindung untuk penyangga kawasan di bawahnya. Tepat di tengah hutan lindung itulah Kaliurang berada. Karena berada di ketinggian 880 mdpl, hawa di sana cukup sejuk dan sudah lama orang terkesan dengan keindahan alamnya. Pembesar-pembesar keraton seperti Pangeran Adipati Mangkubumi telah membangun pesanggrahan pribadi beserta pemandian di Telaga Keputren. Kerabat, teman, serta tak ketinggalan Sultan dan Residen Yogyakarta acap berpelesiran ke pesanggrahan itu. Sepeninggal Pangeran Adipati Mangkubumi, pesanggrahan tersebut menjadi milik anaknya, Pangeran Suriadi dan Raden Ayu Mangoendjojo yang saat itu adalah istri bupati Sleman (Dingemans, 1925 : 40).
Peta Kaliurang pada 1925. Bungalow-bungalow yang dibangun di bawah tahun 1925 berada di sebelah barat, sementara bungalow baru dibangun di sebelah timur (sumber : maps.library.leiden.edu)
Persebaran bangunan lama di Kaliurang. Keterangan : A. Wisma Kaliurang ; B. Pesanggrahan Ngeksigondo ; C. Pesanggrahan Hargopeni ; D. Wisma van Resink ; E. Hostel Vogels ; F. Villa lainnya.
Orang-orang Belanda yang mula-mula menjadikan Kaliurang sebagai tempat tetirah adala para pakar geologi yang sedang menyelidiki Gunung Merapi. Terpikat dengan keindahan alam dan hawa sejuknya, mereka meminta kepada residen agar Kaliurang bisa dijadikan sebagai tempat wisata. Pada tahun 1919, sejumlah orang Belanda mengajukan izin kepada residen Canne dan  ia menyetujui rencana Kaliurang untuk disewa sebagai tempat tetirah. Pengganti Residen Canne, Residen Jonquiere menetapkan beberapa petak lahan di Kaliurang sebagai Vrijdomein atau tanah bebas. Itu artinya pemerintah kolonial dapat mengambil alih rencana pembagian lahan. Sebagai prasarana pendukung, maka pada 1923 jalan menuju Kaliurang diperbaiki oleh Dienst Sultanaatwerken. Lalu dibuka layanan bus dari Yogyakarta ke Kaliurang (Dingemans, 1925 ; 42-45).  Kendati letaknya berdekatan dengan Gunung Merapi yang masih aktif dan dapat meletus sewaktu-waktu, sungguhpun demikian orang-orang Belanda di Yogyakarta dengan percaya dirinya masih memilih Kaliurang sebagai tempat tetirah. Untuk menghindari dampak yang tidak diinginkan, peneliti dari Vulkanologische Afdeeling van den Opsporingsdienst (Jawatan Penyelidikan bagian Vulkanologi) pada tahun 1932 ditugaskan untuk menyelidiki dampak letusan Merapi terhadap Kaliurang. Hasil penyelidikan menunjukan bahwa Kaliurang relatif aman dari terjangan letusan (Algemeene Handelsblad voor Ned. Indie, 1 Januari 1932). Dari sini terlihat betapa berhati-hatinya Belanda dalam memilih lokasi station hill di kepulauan yang sarat dengan gunung berapi aktifJadi selain faktor kesejukan dan kedekatan jarak, faktor keselamatan juga diperhitungkan. Walau demikian, banyak bungalow yang hancur sewaktu erupsi Merapi 1994. 
Beberapa bungalow tinggalan Belanda di Kaliurang.
Wisma Van Resink.
Vogel Hostel. Dibangun pada 1926 dan pernah menjadi milik Patih Danurejo VII.
Sebagai tempat tetirah, tuindorp Kaliurang memiliki lebih dari selusin bungalow atau villa peristirahatan yang dibikin dengan selera ala Eropa. Ukuran bangunan mungil, dinding dilapisi oleh batu kali tempelan atau kayu dan yang paling unik adalah adanya fitur cerobong asap. Bungalow-bungalow itu menempati pekarangan yang dibuat berundak. Sementara tata jalan di Kaliurang dirancang mengikuti lekuk kontur yang ada. Masing-masing bungalow memiliki arah pandang yang berbeda-beda, namun kebanyakan dibuat menghadap ke dataran rendah. Bungalow-bungalow tersebut dibiayai oleh kesultanan dan rancangannya dibuat oleh biro arsitek Sitsen en Louzada. Setelah jadi, bungalow tersebut diperuntukan bagi bangsawan keraton sebagai tempat pesanggarahan tapi beberapa bungalow tersebut ada juga yang  dijual kepada orang Eropa atau orang Tionghoa kaya. Bila ada kesempatan, mereka akan menyempatkan diri berlibur ke bungalow masing-masing. Selain, ada pula bungalow yang disewakan untuk umum. Kira-kira ada 12 bungalow yang sudah dibangun pada tahun 1925 (Dingemans, 1925-41).

Taman Pesanggrahan Ngeksigondo sekitar tahun 1937
(sumber : data.collectienederland,nl)
Pesanggrahan Ngeksigondo milik Kasultanan.

Pendapa di bagian depan pesanggrahan untuk tempat memainkan musik.
Pesanggrahan Hargopeni, bungalow milik Pakualaman.
Di antara beberapa pesanggrahan di Kaliurang, yang paling bersejarah adalah pesanggrahan Ngeksigondo. Pesanggrahan tersebut mulanya adalah bungalow milik seorang Belanda yang kemudian pada 1927, bungalow tersebut dibeli oleh Sultan Hamengkubuwono VIII untuk menjadi pesanggrahan keluarga Sultan ketika berada di Kaliurang. Oleh Sultan, di pekarangan bungalow tersebut ditambahkan paviliun sebagai tempat memainkan gamelan dan tari tradisional Jawa. Selain pesanggarahan milik Kasultanan, ada juga pesanggrahan milik Pakualaman yang disebut sebagai pesanggrahan Hargopeni. Kedua pesanggrahan tersebut saat ini masih terpelihara meski jarang dikunjungi oleh keluarga Kasultanan maupun Pakualaman. 
Anak-anak asuh dari Pro Juventute yang sedang berkemah di Wilhelmina Kamp Kaliurang selama dua minggu pada tahun 1937 (sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Bekas kolam renang.

Kolam renang Tlogo Nirmolo yang dibangun oleh biro Sitsen en Louzada. Saat ini berubah menjadi tempat parkir (sumber : media-kitlv.nl).
Lapangan tenis dari zaman Belanda.
Lapangan tenis yang dahulu lokasinya berada di Taman Kaliurang yang sekarang
(sumber : data.collectienederland.nl)
Berkembangnya Kaliurang rupanya tidak lepas dari bergeliatnya sektor pariwisata sebagai imbas dari kemakmuran perekonomian Hindia-Belanda dan juga sebagai alternatif sumber pendapatan pemerintah. Pada tahun 1908, dibentuk Vereneeging voor Toeristen-Verkerker yang bertujuan untuk memajukan pariwisata di Hindia-Belanda. Beraneka tempat yang sekiranya eksotis diperkenalkan VTV kepada para wisatawan mancanegara. Kaliurang tentu saja menjadi bagian dari tempat wisaya yang disuguhkan oleh VTV sebagai tempat wisata alam yang tenang nan damai. Sejumlah promosi juga dilakukan oleh komunitas pegiat pariwisata lokal, "Jogja Vooruit". Saat beranjangsana di Kaliurang, pengunjung dapat mencecap beragam hiburan yang disodorkan di sana mulai dari lapangan tenis, kolam renang, hotel, restoran, hingga taman seraya menikmati kesegaran udara Gunung Merapi. Kaliurang juga memiliki bumi perkemahan bernama Wilhelminakamp yang dirintis oleh lembaga Rotary Club dan diresmikan pada 7 September 1930 oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Bumi perkemahan pemuda pertama di Hindia-Belanda tersebut memiliki asrama yang sederhana namun bersih. Fasilitasnya terbilang lengkap seperti lapangan olaharaga, ruang bermain, ruang makan, dapur, gudang tenda dan gudang kayu bakar (Bataviasch Nieuwsblad 21 November 1932). Untuk menunjang kegiatan pariwisata, secara bertahap dibangun sarana penunjang seperti jaringan listrik, saluran pipa air bersih, telepon, dan layanan pos. Selain itu, jalan Yogyakarta menuju Kaliurang juga diperbaiki dan layanan transportasi bus dibuka. Pada tahun 1938, pihak kesultanan bahkan mulai memikirkan rencana perluasan dan penataan kawasan wisata Kaliurang. Berkaitan dengan hal tersebut, kesultanan lalu meminta saran dari arsitek dan ahli tata kota terkenal saat itu, Ir. Thomas Karsten untuk penataan kawasan Kaliurang.
Hotel Kalioerang yang kini menjadi Wisma Kaliurang (sumber : media-kitlv.nl)
Iklan lama hotel Kaliurang.
Di antaranya yang paling kondang adalah Hotel Kalioerang yang dibuka pada 1931 oleh tuan Lahmeijer, seorang pengusaha berdarah Jerman. Inilah hotel pertama di Kaliurang yang memakai penerangan lampu listrik, dimana penerangan Kaliurang saat itu masih mengandalkan lampu minyak. Bangunan beratap limas dengan kubah kecil di puncaknya ini menjadi jujugan orang-orang Eropa kala bertandang ke Kaliurang untuk mencari makan dan minum serta tempat menginap bagi mereka yang tidak memiliki villa di Kaliurang. Fasilitas yang ada di Hotel Kalioerang meliputi lapangan tenis dan kolam renang. Di samping sebagai tempat menginap, Hotel Kalioerang juga menjalankan peran sebagai kantor pos. 
Pada tahun 1948, Kaliurang menjadi sorotan utama media di Belanda dan Indonesia karena Kaliurang menjadi tempat digelarnya perundingan oleh PBB sebagai upaya menengahi perselisihan antara Republik Indonesia dengan Belanda yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda I. Pemerintah Republik Indonesia menawarkan Kaliurang sebagai tempat perundingan karena selain dekat dengan Yogyakarta yang saat itu berstatus sebagai ibukota RI, Kaliurang juga memiliki beberapa bungalow dan hotel yang kemudian disiapkan oleh pemerintah republik untuk tempat menginap dan pertemuan delegasi Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia) atau lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) yang berasal dari Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Saat itu, beberapa pejabat pemerintah Republik Indonesia juga memiliki rumah-rumah peristirahatan pribadi sehingga mereka dapat mengikuti jalannya perundingan dari dekat. Hawa Kaliurang yang sejuk juga diharapkan mampu mendinginkan suasana perundingan yang bisa memanas sewaktu-waktu. 
Presiden Sukarno dan rombongan saat berjalan-jalan di Kaliurang saat Perundingan KTN (sumber : Koleksi Perpustakaan Nasional)
Suasana perundingan yang berlangsung di Hotel Kaliurang.
(Sumber : Koleksi Perpustakaan Nasional)
Jalannya perundingan Kaliurang tidak terjadi hanya dalam sehari. Dalam sehari bisa hanya ada satu pertemuan yang berlangsung tidak lebih dari lima belas menit saja. Kadang-kadang juga bisa berlangsung hingga beberapa jam. Jika hari itu sedang senggang, anggota delegasi menghabiskan waktunya dengan berenang atau berjalan santai di pagi hari. Kemudian disusul dengan makan siang dan tidur siang singkat. Sorenya, mereka bermain tenis atau sekedar bercengkerama di teras hotel. Memasuki malam hari, delegasi dihibur dengan permainan musik gamelan dan tarian yang disediakan oleh Kesultanan. Sayangnya suasana perundingan yang tampak santai tersebut tidak berumur panjang manakala Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua di Yogyakarta yang menagakibatkan rombongan delegasi tersebut harus kembali ke Yogyakarta (Limburgsch Dagsblad, 29 Desember 1948).

Referensi
Andani, Angelica Hedy. 2011. "Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di Kaliurang". Skripsi. Yogykarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Dingemans, L.F. 1925. Gegevens over Djocjakarta. Magelang : Firma Maresch.

Gill, Ronald.G. 1994. De Indische Stad op Java en Madoera. Delft : Publikatieburo Bouwkunde, Faculteit der Bouwkunde, Technische Universiteit Delft.

Spencer, J. E.  dan Thomas, W. L. 1948. “The Hill Stations and Summer Resorts of the Orient” dalam Geographical Review, Vol. 38, No. 4 (Oct., 1948), hlmn 637-651. American Geographical Society.

Wahyu Prakosa dan Agus Suparman. 2013. “Karakteristik Rumah Peristirahatan Kolonial Belanda di Kaliurang” dalam Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil) Vol. 5 Oktober 2013, Bandung, 8-9 Oktober 2013.

De Locomotief, 12 Januari 1926.

De Locomotief, 12 September 1927.

Limburgsch Dagsblad, 29 Desember 1948

Sabtu, 13 Oktober 2018

Sebintik Sejarah PG Kalirejo dan Konsep Kota Industri di Masa Kolonial

Tiada habisnya membicarakan sejarah pabrik gula di Jawa, dimana Sejarah mencatat ada lebih dari seratus pabrik gula di pulau ini. Salah satunya adalah PG Kalirejo, sebuah PG yang asapnya pernah mengepul di langit Banyumas. Manakala menyambangi lokasi PG Kalirejo di Sumpiuh, Banyumas, anda tak bakal menjumpai kemegahan sebuah bangunan pabrik gula tinggalan Belanda. Apa yang anda dapati di sana hanyalah sebuah perkampungan biasa dengan beberapa rumah bernuansa Indis. Inilah PG Kalirejo, satu dari sekian banyak jejak industri gula yang gaungnya sudah lama tak terdengar, tenggelam oleh zaman yang terus bergulir.
PG Kalirejo saat masih beroperasi (sumber : troppenmuseum.nl).

PG Kalirejo dipandang dari udara.
Marilah sejenak untuk menoleh kembali sejarah industri gula. Gula yang dinikmati manusia masa kini sudah dihasilkan oleh manusia sejak masa silam. Tebu sebagai tanaman asal gula sudah lama tumbuh di Cina bagian selatan dan anak benua India. Namun industri gula pertama justru tumbuh jauh di kepualuan Karibia, terutama di Kuba. Di belakang Kuba, pulau Jawa yang saat itu dijajah Belanda membayang-bayanginya. Tebu sebenarnya sudah lama dikenal di Jawa namun tak banyak yang menanam dan mengolahnya. Orang Jawa cenderung menggunakan gula kelapa ketimbang gula tebu sebagai pemanis makanan. Tebu baru ditanam secara besar-besaran sesudah diterapkannya Cultuurstelsel pada tahun 1830an. Pada awal-awal ditanam, tebu masih diolah secara tradisional dengan bantuan tenaga hewan sehingga hasilnya sedikit. Baru setelah terjadinya revolusi industri, pengolahan tebu terbantu dengan mesin-mesin buatan Eropa sehingga gula yang dihasilkan bisa melimpah. Memasuki tahun 1850an, sistem cultuurstelsel mulai menunjukan tanda-tanda kegagalan. Hal tersebut menjadi alasan pemerintah Belanda untuk mensahkan UU Agraria pada tahun 1870. Disahkannya Undang-undang tersebut akhirnya menjadi keran masuknya modal asing ke tanah jajahan dan menjadi cikal kapitalisme di Hindia-Belanda. Para pemodal asing menanam investasinya dalam beragam bentuk usaha seperti perkebunan, pertambangan, pengangkutan, keuangan, dan lain-lain. Perkebunan tebu adalah yang paling banyak diminati. Pada 1884, kurang dari setengah pabrik gula di Jawa dimodali oleh perusahaan keuangan besar seperti Nederlands Handel Maatschappij, Handelsvereeniging ‘Amsterdam’, Internationale Crediet- en Handelsvereeniging “Rotterdam”, Nederlandsch Indische Handels Bank, dan Koloniaale Bank. Sementara sisanya dimodali oleh perusahaan yang didirikan oleh perseorangan atau keluarga-keluarga Eropa. Masing-masing perusahaan memiliki satu pabrik gula. Namun ada kalanya perusahaan tersebut memiliki lebih dari satu pabrik gula.
Letak PG Kalirejo pada peta tahun 1925. PG Kalirejo dilalui oleh jalur kereta jurusan Yogyakarta-Cilacap (sumber : maps.library.leiden.edu).
PG Kalirejo pada peta tahun 1920. Dibangun di dekat pusat pemerintahan distrik Sumpiuh agar bisa mengambil lebih banyak pekerja (sumber : maps.library.leiden.edu).
Di seantero Banyumas, nama PG Kalirejo kalah melegenda dibanding PG Kalibagor. Maka tidak mengherankan jika keberadaan PG ini kerap luput dari perhatian orang. Dari hasil menghimpun arsip-arsip Belanda yang terserak seperti “Archief voor de Suikerindustri in Ned. Indie”, akhirnya diketahui ihwal awal mula pendirian PG Kalirejo. Menurut sumber tersebut, dijelaskan bahwa Sumpiuh, lokasi dimana pabrik gula Kalirejo berdiri, selama beberapa tahun tidak memiliki pabrik gula padahal beberapa pabrik gula sudah berdiri di Karesidenan Banyumas. Tidak adanya pabrik gula di Sumpiuh rupanya disebabkan oleh ketiadaan sarana irigasi yang memadai di daerah tersebut. Selain itu, wilayah tersebut sering menjadi langganan banjir pada musim hujan karena tiadanya saluran drainase. Selain dua kendala tadi, ada peluang untuk membuka pabrik gula di Sumpiuh mengingat kondisi iklim dan tanahnya yang sesuai untuk perkebunan tebu serta didukung dengan keberadaan jalur kereta milik Staaspoorwegen yang tersambung dengan Cilacap sehingga memudahkan proses pengangkutan (Adama, 1912; 841-842). Potensi tersebut kemudian dilirik oleh beberapa perusahaan swasta seperti “Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden”. Untuk mendorong pendirian pabrik gula di sana, maka dibentuklah badan usaha “N.V. Suikeronderneming Kaliredjo”. Pada 27 Agustus 1907, badan usaha tersebut akhirnya memperoleh izin untuk mendirikan pabrik gula di Kalirejo, sekitar 1 kilometer dari pusat pemerintahan Sumpiuh. Untuk mendirikan pabrik gula tersebut, mereka membutuhkan modal sebesar 2.000.000 gulden. Modal tersebut diperoleh dari penjualan saham sebanyak 2000 lembar yang setiap lembarnya berharga 1000 gulden. Pada 24 November 1909, "N.V.Suikerondeneming Kaliredjo" mulai melantai di bursa saham (Het Vaderland, 20 September 1909).

Pembukaan PG Kalirejo pada 26 Juni 1911 (sumber : troppenmuseum.nl).
Segala persiapan dilakukan untuk mendirikan pabrik gula di sana. Pertama adalah dengan pembuatan jaringan pengairan yang akan mengairi ladang-ladang tebu serta menjadi saluran pelimpah banjir. Sesudah ladang siap, maka proses pembangunan pabrik gula Kalirejo dimulai sekitar bulan Januari 1910. Rangkaian pembangunan pabrik memakan waktu 18 bulan. PG Kalirejo resmi beroperasi pada 26 juni 1911, ditandai dengan pesta giling pertama yang berlangsung meriah dan dihadiri banyak orang. Ritus slametan digelar dengan harapan PG Kalirejo dapat lancar beroperasi. Sementara pada malam harinya, diadakan pemutaran film dan berbagai hiburan rakyat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29 Juni 1911).






Proses pembangunan PG Kalirejo.
Mesin penggiling tebu.
Mesin generator sumber listrik di dalam pabrik(sumber : troppenmuseum.nl).
Kemegahan bangunan PG Kalirejo merupakan hasil rancangan H. Lawson, pakar bangunan untuk “N.V. Kaliredjo”. Bentuk bangunannya terbilang modern untuk ukuran masanya. Di dalamnya, terdapat aneka mesin-mesin impor yang ditata sedemikian rupa. Rancangan instalasi mesin PG Kalirejo dipasok dan  dipasang sendiri oleh perusahaan “Maxwell & Co.”. Sementar itu, rangkaian instalasi listrik dan lampu yang dibuat oleh perusahaan “Becker & co.” dari Surabaya membuat bagian dalam pabrik bermandikan lautan cahaya di malam hari sehingga memungkinkan pabrik terus beroperasi sampai malam (Adama, 1912; 843). Kapasitas giling tebu PG Kalirejo mencapai 14.000 pikul per hari dan pada puncaknya dapat menggiling sampai 20.000 pikul. Tebu-tebu itu diperoleh dari ladang seluas 1800 bouw. Untuk menjaga rantai pasokan tebu dari ladang, maka pabrik membuat jaringan-jaringan lori ke segala penjuru. Pada masa awal, PG Kalirejo memiliki empat lori uap dan 300 gerbong pengangkut. 
Permukiman pegawai PG Kalirejo, ditata merujuk pada pola konsentris dengan lapangan tenis sebagai titik pusatnya.
Semua permukiman pegawai pabrik gula di Jawa, tak terkecuali PG Kalirejo, dibuat dalam konsep industrial village, dimana pabrik sebagai pusat kegiatan industri akan didampingi dengan permukiman pekerja. Konsep tersebut lahir di saat Revolusi Industri sedang di puncak-puncaknya. Pada saat itu, para majikan yang tinggal jauh dari pabrik tidak mengetahui nasib pekerjanya dan mereka beranggapan bahwa nasib pekerja sepenuhnya merupakan tanggung jawab pekerja itu sendiri. Malangnya, para pekerja atau buruh di masa itu masih berupah rendah, sehingga mereka tinggal di sembarang lingkungan asal murah walau seringkali buruk kondisinya. Beberapa pemilik pabrik yang masih memiliki nurani seperti Robert Owen kemudian menciptakan sebuah permukiman khusus untuk para buruhnya di New Lanark dengan kondisi lingkungan yang jauh lebih manusiawi. Di dalam permukiman tersebut, tersedia beragam sarana untuk keluarga pekerja seperti taman, tempat hiburan, klinik, dan sekolah (Burchell, 1984: 78).
Lingkungan permukiman PG Kalirejo. Tampak beberapa pekerja yang sedang bermain tenis. Lapangan tenis tersebut kini menjadi SMP N 2 Sumpiuh (sumber : troppenmuseum.nl).
Potret keluarga pegawai PG Kalirejo seusai bermain tenis. (sumber : troppenmuseum.nl)
Rumah-rumah pamong PG Kalirejo dibangun dalam rupa arsitektur Indis, dengan hiasan voorschot yang mempercantik wajah depan rumah. Alih-alih menghadap ke pabrik atau jalan raya, rumah-rumah tersebut dihadapkan pada sebuah lapangan tenis dibangun persis di tengah kompleks sebagai sarana hiburan. Para pegawai pabrik gula berdara Eropa yang menduduki jabatan menengah diganjar dengan kenyamanan fasilitas yang bisa jadi terbilang sederhana untuk ukuran negeri Eropa, namun sudah lebih dari cukup untuk orang bumiputera. Van Moll melalui buku Projecten van Wooningen voor Suikerondernemingen yang diterbitkan tahun 1916 memberi panduan kepada pemilik pabrik bagaimana cara menyediakan permukiman pekerja pabrik gula yang bermutu baik. Tersedianya segala sarana yang meliputi jaringan air bersih, saluran pembuangan, jaringan listrik, lampu jalan, sosieteit, klinik kesehatan, dan lapangan olahraga, merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam sebuah permukiman pekerja pabrik. Bila lingkungan permukiman pekerja dalam keadaan baik, maka hal ini akan memberi faedah yang baik pula untuk kesejahteraan sosial, fisik, dan mental pekerja. Pekerjapun akan bekerja dengan semangat tinggi sehingga produktivitas pabrik meningkat (van Moll dan Lugten, 1916; 9).
Beberapa bekas rumah dinas pegawai PG Kalirejo yang masih tersisa.
Reruntuhan rumah dinas PG Kalirejo.
Lantaran saban hari bergelut dengan urusan pabrik, terutama saat musim giling, rumah pekerja pasti akan dibangun dengan jaraknya terhitung dekat dengan lokasi pabrik. Untuk PG Kalirejo, permukiman pekerja yang berada di sisi utara pabrik dengan jalan raya Sumpiuh-Buntu sebagai sekat pemisahnya. Pendeknya jarak antara rumah pegawai dengan lokasi kerja meringankan keuangan karena pabrik tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi pegawai. Selain untuk mempermudah pergerakan menuju pabrik, konsep ini juga memberi kemudahan komunikasi di antar pegawai. Barangkali terjaminnya mutu lingkungan permukiman pekerja pabrik gula adalah salah satu alasan mengapa produksi gula di Jawa bisa melimpah.
Bekas jalur kereta SS menuju PG Kalirejo.
Keberadaan jalur kereta jurusan Yogyakarta-Cilacap milik Staatspoorwegen sangat membantu dalam proses pemasaran gula hasil produksi PG Kalirejo. PG Kalirejo tersambung dengan jalur kereta milik BUMN tersebut melalui sebuah jalur cabang yang terjulur ke arah pabrik. Bekas jalur tersebut masih ada walau tinggal gundukan zonder rel. Melalui jalur tersebut, berkarung-karung gula produksi PG Kalirejo dipasarkan ke seantero Asia. Pemain gula di pasar Asia bukan hanya dipegang oleh Hindia-Belanda. Masih ada Jepang, lalu India dan Semenanjung Malaya yang dijajah Inggris, atau Filipina yang saat itu menjadi bagian Amerika Serikat. Namun gula dari Hindia-Belandalah yang akhirnya merajai pasar. Banyak hal yang menjadikan Jawa swasembada gula, antara lain kebijakan agraria yang menguntungkan swasta, tanah yang subur, upah buruh yang murah, serta jaringan transportasi yang baik (Knight, 2013 ; 40). Sayangnya, kedigdayan industri gula di Jawa akhirnya tumbang akibat gonjang-ganjing perekonomian dunia pada dekade 1930an. Krisis ekonomi global yang dikenal krisis malaise itu menjatuhkan harga gula di pasaran sehingga banyak pabrik yang merugi, termasuk PG Kalirejo yang kejayaanya akhirnya terhenti pada 1933 (Algemeen Handelsblad, 14 Agustus 1933). Mesin-mesin pabrik kemudian dipreteli dan dijual pada tahun 1935-1936 (De Locomotief, 26 April 1938). Di lokasi pabrik yang sekarang, tidak ada lagi bekas yang dapat menunjukan kalau di tempat tersebut pernah berdiri sebuah pabrik gula.

Referensi

Adama, P.J. 1912. "De Suikeronderneming Kaliredjo" dalam Archief voor Suikerindustrie in Ned. Indie. No : 20 . Het Algemeen Syndicaat van Suikerfabrikanten in Ned.-Indiƫ.

Burchell, Samuel. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta : Tira Pustaka.

Knight, G. Roger. 2013. Commodities and Colonialism, The Story of Big Sugar in Indonesia, 1880-1942. Boston : Brill.

Van Moll, J.F.A.C dan Lugten, C.H. 1916. Projecten van Wooningen voor Suikerondernemingen. Amsterdam : De Bussy

Het Vaderland, 20 September 1909

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29 Juni 1911

Algemeen Handelsblad, 14 Agustus 1933

De Locomotief, 26 April 1938