Sabtu, 13 Oktober 2018

Sebintik Sejarah PG Kalirejo dan Konsep Kota Industri di Masa Kolonial

Tiada habisnya membicarakan sejarah pabrik gula di Jawa, dimana Sejarah mencatat ada lebih dari seratus pabrik gula di pulau ini. Salah satunya adalah PG Kalirejo, sebuah PG yang asapnya pernah mengepul di langit Banyumas. Manakala menyambangi lokasi PG Kalirejo di Sumpiuh, Banyumas, anda tak bakal menjumpai kemegahan sebuah bangunan pabrik gula tinggalan Belanda. Apa yang anda dapati di sana hanyalah sebuah perkampungan biasa dengan beberapa rumah bernuansa Indis. Inilah PG Kalirejo, satu dari sekian banyak jejak industri gula yang gaungnya sudah lama tak terdengar, tenggelam oleh zaman yang terus bergulir.
PG Kalirejo saat masih beroperasi (sumber : troppenmuseum.nl).

PG Kalirejo dipandang dari udara.
Marilah sejenak untuk menoleh kembali sejarah industri gula. Gula yang dinikmati manusia masa kini sudah dihasilkan oleh manusia sejak masa silam. Tebu sebagai tanaman asal gula sudah lama tumbuh di Cina bagian selatan dan anak benua India. Namun industri gula pertama justru tumbuh jauh di kepualuan Karibia, terutama di Kuba. Di belakang Kuba, pulau Jawa yang saat itu dijajah Belanda membayang-bayanginya. Tebu sebenarnya sudah lama dikenal di Jawa namun tak banyak yang menanam dan mengolahnya. Orang Jawa cenderung menggunakan gula kelapa ketimbang gula tebu sebagai pemanis makanan. Tebu baru ditanam secara besar-besaran sesudah diterapkannya Cultuurstelsel pada tahun 1830an. Pada awal-awal ditanam, tebu masih diolah secara tradisional dengan bantuan tenaga hewan sehingga hasilnya sedikit. Baru setelah terjadinya revolusi industri, pengolahan tebu terbantu dengan mesin-mesin buatan Eropa sehingga gula yang dihasilkan bisa melimpah. Memasuki tahun 1850an, sistem cultuurstelsel mulai menunjukan tanda-tanda kegagalan. Hal tersebut menjadi alasan pemerintah Belanda untuk mensahkan UU Agraria pada tahun 1870. Disahkannya Undang-undang tersebut akhirnya menjadi keran masuknya modal asing ke tanah jajahan dan menjadi cikal kapitalisme di Hindia-Belanda. Para pemodal asing menanam investasinya dalam beragam bentuk usaha seperti perkebunan, pertambangan, pengangkutan, keuangan, dan lain-lain. Perkebunan tebu adalah yang paling banyak diminati. Pada 1884, kurang dari setengah pabrik gula di Jawa dimodali oleh perusahaan keuangan besar seperti Nederlands Handel Maatschappij, Handelsvereeniging ‘Amsterdam’, Internationale Crediet- en Handelsvereeniging “Rotterdam”, Nederlandsch Indische Handels Bank, dan Koloniaale Bank. Sementara sisanya dimodali oleh perusahaan yang didirikan oleh perseorangan atau keluarga-keluarga Eropa. Masing-masing perusahaan memiliki satu pabrik gula. Namun ada kalanya perusahaan tersebut memiliki lebih dari satu pabrik gula.
Letak PG Kalirejo pada peta tahun 1925. PG Kalirejo dilalui oleh jalur kereta jurusan Yogyakarta-Cilacap (sumber : maps.library.leiden.edu).
PG Kalirejo pada peta tahun 1920. Dibangun di dekat pusat pemerintahan distrik Sumpiuh agar bisa mengambil lebih banyak pekerja (sumber : maps.library.leiden.edu).
Di seantero Banyumas, nama PG Kalirejo kalah melegenda dibanding PG Kalibagor. Maka tidak mengherankan jika keberadaan PG ini kerap luput dari perhatian orang. Dari hasil menghimpun arsip-arsip Belanda yang terserak seperti “Archief voor de Suikerindustri in Ned. Indie”, akhirnya diketahui ihwal awal mula pendirian PG Kalirejo. Menurut sumber tersebut, dijelaskan bahwa Sumpiuh, lokasi dimana pabrik gula Kalirejo berdiri, selama beberapa tahun tidak memiliki pabrik gula padahal beberapa pabrik gula sudah berdiri di Karesidenan Banyumas. Tidak adanya pabrik gula di Sumpiuh rupanya disebabkan oleh ketiadaan sarana irigasi yang memadai di daerah tersebut. Selain itu, wilayah tersebut sering menjadi langganan banjir pada musim hujan karena tiadanya saluran drainase. Selain dua kendala tadi, ada peluang untuk membuka pabrik gula di Sumpiuh mengingat kondisi iklim dan tanahnya yang sesuai untuk perkebunan tebu serta didukung dengan keberadaan jalur kereta milik Staaspoorwegen yang tersambung dengan Cilacap sehingga memudahkan proses pengangkutan (Adama, 1912; 841-842). Potensi tersebut kemudian dilirik oleh beberapa perusahaan swasta seperti “Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden”. Untuk mendorong pendirian pabrik gula di sana, maka dibentuklah badan usaha “N.V. Suikeronderneming Kaliredjo”. Pada 27 Agustus 1907, badan usaha tersebut akhirnya memperoleh izin untuk mendirikan pabrik gula di Kalirejo, sekitar 1 kilometer dari pusat pemerintahan Sumpiuh. Untuk mendirikan pabrik gula tersebut, mereka membutuhkan modal sebesar 2.000.000 gulden. Modal tersebut diperoleh dari penjualan saham sebanyak 2000 lembar yang setiap lembarnya berharga 1000 gulden. Pada 24 November 1909, "N.V.Suikerondeneming Kaliredjo" mulai melantai di bursa saham (Het Vaderland, 20 September 1909).

Pembukaan PG Kalirejo pada 26 Juni 1911 (sumber : troppenmuseum.nl).
Segala persiapan dilakukan untuk mendirikan pabrik gula di sana. Pertama adalah dengan pembuatan jaringan pengairan yang akan mengairi ladang-ladang tebu serta menjadi saluran pelimpah banjir. Sesudah ladang siap, maka proses pembangunan pabrik gula Kalirejo dimulai sekitar bulan Januari 1910. Rangkaian pembangunan pabrik memakan waktu 18 bulan. PG Kalirejo resmi beroperasi pada 26 juni 1911, ditandai dengan pesta giling pertama yang berlangsung meriah dan dihadiri banyak orang. Ritus slametan digelar dengan harapan PG Kalirejo dapat lancar beroperasi. Sementara pada malam harinya, diadakan pemutaran film dan berbagai hiburan rakyat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29 Juni 1911).






Proses pembangunan PG Kalirejo.
Mesin penggiling tebu.
Mesin generator sumber listrik di dalam pabrik(sumber : troppenmuseum.nl).
Kemegahan bangunan PG Kalirejo merupakan hasil rancangan H. Lawson, pakar bangunan untuk “N.V. Kaliredjo”. Bentuk bangunannya terbilang modern untuk ukuran masanya. Di dalamnya, terdapat aneka mesin-mesin impor yang ditata sedemikian rupa. Rancangan instalasi mesin PG Kalirejo dipasok dan  dipasang sendiri oleh perusahaan “Maxwell & Co.”. Sementar itu, rangkaian instalasi listrik dan lampu yang dibuat oleh perusahaan “Becker & co.” dari Surabaya membuat bagian dalam pabrik bermandikan lautan cahaya di malam hari sehingga memungkinkan pabrik terus beroperasi sampai malam (Adama, 1912; 843). Kapasitas giling tebu PG Kalirejo mencapai 14.000 pikul per hari dan pada puncaknya dapat menggiling sampai 20.000 pikul. Tebu-tebu itu diperoleh dari ladang seluas 1800 bouw. Untuk menjaga rantai pasokan tebu dari ladang, maka pabrik membuat jaringan-jaringan lori ke segala penjuru. Pada masa awal, PG Kalirejo memiliki empat lori uap dan 300 gerbong pengangkut. 
Permukiman pegawai PG Kalirejo, ditata merujuk pada pola konsentris dengan lapangan tenis sebagai titik pusatnya.
Semua permukiman pegawai pabrik gula di Jawa, tak terkecuali PG Kalirejo, dibuat dalam konsep industrial village, dimana pabrik sebagai pusat kegiatan industri akan didampingi dengan permukiman pekerja. Konsep tersebut lahir di saat Revolusi Industri sedang di puncak-puncaknya. Pada saat itu, para majikan yang tinggal jauh dari pabrik tidak mengetahui nasib pekerjanya dan mereka beranggapan bahwa nasib pekerja sepenuhnya merupakan tanggung jawab pekerja itu sendiri. Malangnya, para pekerja atau buruh di masa itu masih berupah rendah, sehingga mereka tinggal di sembarang lingkungan asal murah walau seringkali buruk kondisinya. Beberapa pemilik pabrik yang masih memiliki nurani seperti Robert Owen kemudian menciptakan sebuah permukiman khusus untuk para buruhnya di New Lanark dengan kondisi lingkungan yang jauh lebih manusiawi. Di dalam permukiman tersebut, tersedia beragam sarana untuk keluarga pekerja seperti taman, tempat hiburan, klinik, dan sekolah (Burchell, 1984: 78).
Lingkungan permukiman PG Kalirejo. Tampak beberapa pekerja yang sedang bermain tenis. Lapangan tenis tersebut kini menjadi SMP N 2 Sumpiuh (sumber : troppenmuseum.nl).
Potret keluarga pegawai PG Kalirejo seusai bermain tenis. (sumber : troppenmuseum.nl)
Rumah-rumah pamong PG Kalirejo dibangun dalam rupa arsitektur Indis, dengan hiasan voorschot yang mempercantik wajah depan rumah. Alih-alih menghadap ke pabrik atau jalan raya, rumah-rumah tersebut dihadapkan pada sebuah lapangan tenis dibangun persis di tengah kompleks sebagai sarana hiburan. Para pegawai pabrik gula berdara Eropa yang menduduki jabatan menengah diganjar dengan kenyamanan fasilitas yang bisa jadi terbilang sederhana untuk ukuran negeri Eropa, namun sudah lebih dari cukup untuk orang bumiputera. Van Moll melalui buku Projecten van Wooningen voor Suikerondernemingen yang diterbitkan tahun 1916 memberi panduan kepada pemilik pabrik bagaimana cara menyediakan permukiman pekerja pabrik gula yang bermutu baik. Tersedianya segala sarana yang meliputi jaringan air bersih, saluran pembuangan, jaringan listrik, lampu jalan, sosieteit, klinik kesehatan, dan lapangan olahraga, merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam sebuah permukiman pekerja pabrik. Bila lingkungan permukiman pekerja dalam keadaan baik, maka hal ini akan memberi faedah yang baik pula untuk kesejahteraan sosial, fisik, dan mental pekerja. Pekerjapun akan bekerja dengan semangat tinggi sehingga produktivitas pabrik meningkat (van Moll dan Lugten, 1916; 9).
Beberapa bekas rumah dinas pegawai PG Kalirejo yang masih tersisa.
Reruntuhan rumah dinas PG Kalirejo.
Lantaran saban hari bergelut dengan urusan pabrik, terutama saat musim giling, rumah pekerja pasti akan dibangun dengan jaraknya terhitung dekat dengan lokasi pabrik. Untuk PG Kalirejo, permukiman pekerja yang berada di sisi utara pabrik dengan jalan raya Sumpiuh-Buntu sebagai sekat pemisahnya. Pendeknya jarak antara rumah pegawai dengan lokasi kerja meringankan keuangan karena pabrik tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi pegawai. Selain untuk mempermudah pergerakan menuju pabrik, konsep ini juga memberi kemudahan komunikasi di antar pegawai. Barangkali terjaminnya mutu lingkungan permukiman pekerja pabrik gula adalah salah satu alasan mengapa produksi gula di Jawa bisa melimpah.
Bekas jalur kereta SS menuju PG Kalirejo.
Keberadaan jalur kereta jurusan Yogyakarta-Cilacap milik Staatspoorwegen sangat membantu dalam proses pemasaran gula hasil produksi PG Kalirejo. PG Kalirejo tersambung dengan jalur kereta milik BUMN tersebut melalui sebuah jalur cabang yang terjulur ke arah pabrik. Bekas jalur tersebut masih ada walau tinggal gundukan zonder rel. Melalui jalur tersebut, berkarung-karung gula produksi PG Kalirejo dipasarkan ke seantero Asia. Pemain gula di pasar Asia bukan hanya dipegang oleh Hindia-Belanda. Masih ada Jepang, lalu India dan Semenanjung Malaya yang dijajah Inggris, atau Filipina yang saat itu menjadi bagian Amerika Serikat. Namun gula dari Hindia-Belandalah yang akhirnya merajai pasar. Banyak hal yang menjadikan Jawa swasembada gula, antara lain kebijakan agraria yang menguntungkan swasta, tanah yang subur, upah buruh yang murah, serta jaringan transportasi yang baik (Knight, 2013 ; 40). Sayangnya, kedigdayan industri gula di Jawa akhirnya tumbang akibat gonjang-ganjing perekonomian dunia pada dekade 1930an. Krisis ekonomi global yang dikenal krisis malaise itu menjatuhkan harga gula di pasaran sehingga banyak pabrik yang merugi, termasuk PG Kalirejo yang kejayaanya akhirnya terhenti pada 1933 (Algemeen Handelsblad, 14 Agustus 1933). Mesin-mesin pabrik kemudian dipreteli dan dijual pada tahun 1935-1936 (De Locomotief, 26 April 1938). Di lokasi pabrik yang sekarang, tidak ada lagi bekas yang dapat menunjukan kalau di tempat tersebut pernah berdiri sebuah pabrik gula.

Referensi

Adama, P.J. 1912. "De Suikeronderneming Kaliredjo" dalam Archief voor Suikerindustrie in Ned. Indie. No : 20 . Het Algemeen Syndicaat van Suikerfabrikanten in Ned.-Indiƫ.

Burchell, Samuel. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta : Tira Pustaka.

Knight, G. Roger. 2013. Commodities and Colonialism, The Story of Big Sugar in Indonesia, 1880-1942. Boston : Brill.

Van Moll, J.F.A.C dan Lugten, C.H. 1916. Projecten van Wooningen voor Suikerondernemingen. Amsterdam : De Bussy

Het Vaderland, 20 September 1909

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29 Juni 1911

Algemeen Handelsblad, 14 Agustus 1933

De Locomotief, 26 April 1938

7 komentar:

  1. Mas coba ke jawa timur banyak bangunan sejarah lho apalagi surabaya monggo ditunggu :)

    BalasHapus
  2. Ternyata tempat kosku dulu( semasa sma),adalah bekas lokasi parik gula

    BalasHapus
  3. Bekas reruntuhan bangunan tersebut tepatnya bangunan yg ada sumur tua adalah rumah tinggal nenek saya.

    BalasHapus
  4. Ulasan yang begitu ciamik... Siapakah gerang penulis?

    BalasHapus
  5. Lokasi pabrik ada di sebelah selatan rumah saya persis. Tepatnya belakang polsek sumpiuh gang ke 4. Dari gang 4 jalan ke timur ada pintu gerbang masuk ke area bekas pabrik. Disana masih terlihat tiang penyangga bangunan pabriknya. Disebelah gerbang pabrik terdapat pemakaman yang masuk ke dalam desa pandak. Pernah beberapa tahun lalu bekas bangunan pabrik di jadikan peternakan sapi. Kalau masuk lewat gang 3 juga bisa disana masih terlihat pagar beton yang mengelilingi bekas pabrik dimana kondisinya sudah banyak yang bolong2 sedangkan untuk kondisi lingkungan pabrik sudah ditumbuhi banyak rumput dan tanaman liar.

    (Gigih RW)

    BalasHapus
  6. Syukurlah kolonial Belanda sudah di usir ke asalnya

    BalasHapus