Kamis, 27 September 2018

Membangun Ingatan Pa van Der Steur, Sahabat Anak Yatim Piatu dari Magelang

Aliran air saluran Kali Manggis mengalir dengan tenang membelah jalan Ikhlas. Di tepi saluran tersebut, menjulang sebuah gerbang berwajah Neo-Klassik yang masih terpelihara baik. Di masa lampau, gerbang itu menyambut pengunjung yang berziarah ke Kerkhof Magelang. Ya, persis di balik gerbang itu, pernah ada lahan kerkhof yang kini telah beralih wujud menjadi deretan pertokoan. Puluhan tahun silam, ratusan pusara di kerkhof tersebut digusur oleh pemerintah kota demi pembangunan kota. Namun tak semuanya serta merta digusur. Persis di belakang sebuah kios pedagang pakan burung, masih terdapat secuil lahan yang disisakan untuk Pa van Der Steur, sosok yang telah menjadi kepingan dari semesta sejarah Magelang yang panjang. Melalui pusaranya yang masih tersisa di sini, Jejak Kolonial akan mengajak anda untuk membangun ingatan sosok Pa van der Steur….
Bekas gerbang kerkhof Magelang.
Hier Rust Een Vriend van God, De Grote Kindervriend, Papa Johannes Van der Steur “.
Beberapa penggal kata itu menjadi penanda tempat pembaringan terakhir dari Johannes van Der Steur atau akrab disapa Pa van Der Steur. Tengara lainnya ialah sebuah foto yang memperlihatkan sosok Pa van Der Steur sewaktu masih hidup. Kendati foto tersebut sedikit rusak, namun ciri khas yang melekat pada Pa van Der Steur yakni janggut putih panjang menjuntai dan dua medali penghargaan yang disemat di dadanya masih dapat dikenali. Pria kelahiran Haarlem 10 Juli 1856 ini pada masa mudanya memiliki kepribadian yang mulia walau ia sendiri bukan berasal dari keluarga yang berada. Menginjak usia dewasa, dengan keputusan bulat ia memilih menjadi seorang Penginjil sebagai jalan untuk mengabdikan diri kepada sesama. Suatu hari di kota Hardwijk, ia bersua dengan prajurit yang baru saja kembali dari koloni Hindia Timur. Melalui penuturan prajurit itu, Pa van Der Steur mendengar sendiri bagaimana kesukaran hidup mereka selama di sana dan dari situlah ketertarikannya pada Hindia-Belanda bermula. Pada 1892, hijrahlah Pa van Der Steur ke Hindia-Belanda, dimana jemari takdir tampaknya mengacungkan Magelang sebagai tempat Pa van Der Steur berkarya. 
Pa van der Steur semasa muda.
(sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).

Pa van der Steur beserta orkes Steurtjes 
(sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Magelang, tempat Pa van Der Stueur mengabdikan sebagian besar hidupnya, merupakan salah satu garnisun militer utama di Jawa tengah, tempat bermarkasnya para prajurit KNIL yang terdiri dari orang Eropa dan Indonesia timur. Di sini, Pa van Der Steur secara sukarela ditugaskan untuk mengurus balai serdadu tersebut sembari memberi pelayanan rohani di tengah bobroknya moral kehidupan barak. Mereka yang tinggal di dalam garnisun tersebut tak hanya prajurit yang hidup membujang saja. Beserta dengan mereka, ada yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Sebagai prajurit yang setia dengan kesatuannya, sudah menjadi keharusan jika mereka siap diterjunkan ke palagan perang sekalipun itu akan merenggut nyawa mereka. Tentu saja yang merasa paling kehilangan mereka adalah para istri atau anak-anak prajurit tersebut. Benar saja, pada tahun 1890an, ketika kaki Pa van Der Steur mulai menapaki tanah Hindia-Belanda, para prajurit KNIL dari seantero Hindia-Belanda dipanggil untuk terjun ke palagan perang di Aceh dan Lombok. Dahsyatnya perlawanan dari para pejuang Aceh mengakibatkan gugurnya 37.500 serdadu KNIL, meninggalkan putra-putri yang masih membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah. Hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga membuat nasib anak-anak yang sebagian besar merupakan hasil perkawinan campuran tersebut terlantar.

Makam Pa van der Steur beserta makam-makam lainnya yang masih tersisa.
Suatu hari, seorang prajurit Belanda yang tampak sempoyongan sehabis mabuk mendatangi Pa van der Steur. Di hadapan Pa van Der Steur, ia menceritakan keberadaan seorang perempuan pribumi dan empat anaknya yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya, seorang prajurit berdarah Italia. “Tunjukanlah bukti padaku jika tuan memang adalah orang yang taat pada agama”, tutur mulut si serdadu mabuk itu yang  ternyata menggugah hati kecil Pa van Der Steur. Keempat anak yatim yang dimaksud tadi lantas dijemput Pa van der Steur. Hanya bermodalkan rasa kasih pada sesama, keempat anak tersebut ia rawat dengan penuh rasa kasih sayang. Kendati masih bujang, Pa van der Steur mampu berperan sebagai seorang ayah yang baik untuk keempat anak asuhnya. Rumah bambu yang ia namakan “Oranje-Nassau” dijadikan sebagai rumah asuh. Bagai bola salju, lambat laun banyak anak yatim-piatu yang diasuh oleh Pa van der Steur. Mereka selain ditinggal mati oleh ayahnya di medan perang, beberapa di antaranya juga merupakan korban praktik pergundikan, dimana para serdadu kesepian menikah secara tidak resmi dengan perempuan pribumi  lalu setelah masa dinas habis, mereka meninggalkan begitu saja istri dan anak-anaknya.

Makam-makam berbentuk tugu untuk anak-anak asuh Pa van der Steur yang meninggal di usia muda.
Makam bersama yang dibuatkan Pa van der Steur untuk para Steurtjes
(sumber :  Zoo Leuk Zeg ! Alles van Huis ).
Makam-makam lainnya.

Di sisi pusara Pa van Der Steur, beberapa steutjes terbaring damai dalam sebuah pusara khusus berbentuk rumah-rumahan. Beberapa yang lain dibuatkan tugu kecil berbentuk obelisk. Melalui tulisan yang tertera, Pa van Der Steur menyebut para anak asuhnya sebagai “domba-domba Tuhan”. Dari nama-nama steurtjes yang ada di sini, dapat ditemukan beberapa nama anak-anak Indo dan Ambon. Para Steurtjes, entah itu anak Belanda totok, Indo, Jawa, Ambon atau Minahasa, diperlakukan secara adil. Mereka oleh Pa van der Steur diberi sepatu dan pakaian, serta diajarkan baca tulis untuk memberi rasa percaya diri. Tidak ketinggalan, beberapa serdadu baik hati membantu pekerjaan Pa van der Steur seperti mencuci, menjahit, dan bermain dengan anak-anak. Suatu hari, salah satu Steurtjes, sebutan untuk anak asuhnya, menanyakan nama apa yang akan dipakai untuk menyapa ayah angkat mereka. “ Kalian boleh sapa aku Pa seakan aku adalah ayah kandung kalian “, mungkin seperti itulah jawaban dari Pa van der Steur dan sapaan “Pa” melekat pada diri Johannes van der Steur hingga akhir hayatnya.
Pa van der Steur beserta saudarinya, Marie (memegang topi) (sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Atas permintaan Pa van der Steur, salah satu saudarinya yang bernama Marie, tiba di Magelang pada 1893 untuk membantu kerja Pa van der Steur. Saat itu, Pa van der Steur masih berjuang keras untuk membesarkan rumah asuh “Oranje Nasau” yang kian bertambah jumlah anak asuhnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang para Steurtjes, Pa van der Steur rela menjual harta bendanya sebelum akhirnya pemerintah kolonial memberi hibah sebesar 100 gulden setiap bulan. Supaya lebih teratur pengelolaanya, dibentuk yayasan Vereeniging tot bevordering van Christelijk leven en onderling hulpbetoon gevestigd te Magelang pada 1896. Yayasan tersebut lebih mahsyur dengan nama “Oranje-Nassau Stichting”, merujuk pada nama rumah asuh pertama yang dipakai Pa van der Steur.
Istri van der Steur ( kedua dari kiri ) di ruang makan untuk Steurtjes perempuan ( sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09 ).
Bengkel tempat para Steurtjes melatih keterampilan membuat barang ( sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09 ).
Karya mulia Pa van der Steur terus berlanjut meski hambatan masih menemui seperti ketika Marie van der Steur kembali ke Belanda dan di saat yang sama, Pa van der Steur didera penyakit yang memaksanya untuk kembali ke kampung halamannya. Selagi berobat di Belanda, kesempatan tersebut ia pakai untuk menggalang bantuan dari masyarakat luas termasuk keluarga kerajaan Belanda seperti ibu suri Ratu Emma. Tidak sia-sia, jumlah yang berhasil dihimpun sebesar 20.000 gulden dan uang itu dipakai untuk membeli bekas barak polisi di kampung Meteseh, di utara Karesidenan Kedu. Di kompleks panti asuhan yang baru ini, para Steurtjes diberi pendidikan sebagai bekal ketika mereka sudah beranjak dewasa dan keluar dari panti asuhan. Selain diberi pendidikan teori, mereka juga diberi keterampilan seperti pandai besi, tukang kayu, pelukis, dan tukang batu sehingga mereka bisa bekerja di perusahaan swasta atau zeni militer. Untuk membentuk karakter anak didik, disiplin militer dipakai, “terutama untuk menghadapi anak Indo yang enggan untuk melakukan kerja kasar”. Panti asuhan “Oranje-Nassau” dibagi menjadi tiga jenis, yakni untuk anak-anak di bawah usia 10 tahun (kleintjehuis), remaja putra (jongenshuis), dan remaja putri (meisjehuis). Beban Pa van der Steur sedikit teringankan dengan kehadiran Anna Maria Zwagger, yang ia nikahi pada tahun 1907. Pasangan suami-istri tersebut sepakat untuk tidak memiliki keturunan dan mencurahkan hidupnya untuk senantiasa merawat ratusan steurtjes bagaikan anak mereka sendiri. Pusara istrinya dapat ditemukan tak jauh dari pusara Pa van der Steur.
Para steurtjes kecil dan perawat (sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Para steurtjes perempuan di halaman panti asuhan "Oranje-Nassau" (sumber : Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1 Issue 09).
Panti asuhan “Oranye-Nassau” memasuki masa berat ketika Jepang menduduki Hindia-Belanda. Beberapa orang Eropa ditawan termasuk turut di dalamnya adalah Pa van der Steur yang ditawan berpindah-pindah tempat. Perpisahan dengan ratusan anak asuhnya menekan batin Pa van der Steur yang saat itu berusia 78 tahun, apalagi kondisi jasmaninya mulai melemah karena faktor umur. Selang satu bulan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya 16 September 1945, Pa van der Steur beristirahat dalam damai untuk selamanya. Walau telah tiada, namun jiwa welas asihnya memberi ilham bagi beberapa mantan Steurtjes untuk melanjutkan karya Pa van der Steur dengan mendirikan yayasan panti asuhan di Jakarta pada 1949. Bersama istri dan para steurtjes tercintanya, Pa van der Steur terbaring damai di kerkhof Magelang yang kini tinggal sekelumit  saja. Walau panti asuhannya sudah tidak berbekas lagi, namun segala karya yang dicurahkan Pa van der Steur akan selalu membekas di benak setiap orang. Pusara Pa van der Steur yang ada di kerkhof Magelang seakan menjadi monumen yang tak sekedar mengingatkan orang pada nama Pa van der Steur belaka, namun juga karya dari seorang pria bersahaja dengan hati nan kaya.

Referensi :

Aritonang, Jan Sihar dan Steerbink, Karel ( ed ). 2008. A History of Christiantit in Indonesia. Leiden : Brill.

De Braconier, A. 1916. “ Pa van Der Steur en De Stichting Oranje Nassau Te Magelang ” dalam Nederlands Indie Oud en Nieuwe, Vol. 1, Issue 09. Halaman 409 - 422.

Ming, Hanneke. 1983. “Barrack-Concubinage in the Indies, 1887-1920” dalam Indonesia , No.35 ( April 1983 ), halaman 65-94. Cornell University : Southeast Asian Program Publications.

6 komentar:

  1. Thank you very much for your extensive blog about Pa van der Steur. My mother was one of the many children of the orphanage of Pa van der Steur. She entered at the age of 10, in the year 1924, after her father died. Now I'm trying to locate the original place of the orphanage in Magelang. Maybe to bring a visit in the future. Is it possible fot you to find the location on a map? I will appriciate your efforts. Thank you.

    BalasHapus
    Balasan
    1. My grandmother was also one of the children Pa Van Der Steur. You can ask Tante Nell who run the orphanage now. Perhaps she can help giving you more infos.

      Hapus
  2. I forgot to mention my email address in case you will send me information: gadoh2@hotmail.com

    BalasHapus
  3. Matursuwun Pa
    Kerso rawuh wonten Magelang
    Jasanipun panjenengan kulo inget terus

    BalasHapus