Sabtu, 01 April 2017

Melacak Jejak-Jejak Kolonial di Kota Temanggung

Kota Temanggung mungkin tak memiliki bangunan kolonial yang begitu mencolok atau monumental, seperti Semarang dengan Lawangsewu-nya atau Ambarawa dengan benteng dan stasiun-nya. Namun bukan berarti Temanggung tak memiliki jejak masa kolonial. Nah, pada edisi Jejak Kolonial kali ini, saya akan mencoba untuk melacak  sebagian jejak kolonial yang tertinggal di Temanggung. Apa saja itu dan seperti apa sejarahnya ?
Rumah tua di Kranggan, Temanggung.
Sebelum masuk kota Temanggung, tepatnya di Kranggan, saya sudah disambut oleh sebuah bangunan lawas yang berdiri di samping kanan jalan jika berjalan dari arah Secang. Bangunan itu cukup sedap dipandang mata walau bagian depannya sedikit bersalin rupa; sebagian beranda depannya ditutup. Sayang, bangunan itu tak bisa menceritakan banyak mengenai dirinya.
Persebaran bangunan kolonial di Temanggung. Keterangan :
1. Kawasan alun-alun.
2. Rumah controleur.
3. Rumah keluarga Lie.
4. Rumah beheeder.
5. Stasiun Temanggung.
6. Bekas Kerkhof Temanggung,
7.Klenteng Kong Ling Bio.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20an menit, tibalah saya di kota Temanngung. Secara geografis, kota Temanggung terletak di dataran Kedu yang merupakan dataran tinggi dan sangat subur, maka tidak heran jika budaya agraris mewarna sejarah perkembangan kota ini. Sejarah Temanggung sendiri dapat dilacak jauh sampai masa Hindu-Budha yang dibuktikan dengan keberadaan prasasti-prasasti kuno yang banyak ditemukan di sekitar Temanggu, misalnya Prasasti Wanua Tengah III, Gondosuli. Mantyasih, Tlahap, dan lain-lain. Pada masa kekuasaan Sultan Agung, Temanggung merupakan sentral penghasil beras yang menghidupo para pejabat kerajaan dan kerabat raja. Catatan sejarah kemudian menunjukan, pada masa kolonial Temanggung secara administratif berada di bawah Karesdienan Kedu. Pada waktu itu, Kabupaten Temanggung masih bernama Kabupaten Menoreh dengan hoofdplaats atau kedudukan pemerintahan di Parakan. 
Raden Adipati Arya Holland Soemodilogo, bupati ketiga Temanggung. Gelar adipati biasanya diberikan oleh pemerintah kolonial, tujuannya agar kekuasaan pemeritnah kolonial di tingkat daerah masih mendapat kepercayaan dari masyarakat. Gelar-gelar seperti adipati, pangeran, atau arya pada masa kolonial hanyalah gelar kosong belaka karena wewenang dan kekuasaan  telah dibatasi oleh pemerintah kolonial.
Bekas kediaman bupati Soemodilogi di Kranggan, Temanggung.
Raden Tumenggung Ario Soemodilogo, putra seorang patih dari Semarang diangkat sebagai bupati pertama Temanggung. Lazimnya bupati-bupati di Jawa saat itu yang tunduk dibawah perjanjian Belanda, bersama dengan bupati Magelang, Raden Danuningrat dan Bupati Brengkelan ( kini Purworejo ) Raden Reksodiwiryo, ia diperintahkan oleh Belanda untuk menghadapi perlawanan pasukan Diponegoro. Raden Tumenggung Ario Soemodilogo akhirnya tewas dalam ppeerangan sehingga posisinya digantikan oleh Raden Djojonegoro. Di masa Raden Djojonegoro inilah, ibukota Kabupaten Menoreh yang semula berada di Parakan dipindah ke kota Temanggung yang sekarang. Mengapa dipindah ? Dalam kepercayaan Jawa, ibukota yang sudah pernah diduduki musuh seperti Parakan dianggap sudah tidak “suci” lagi sehingga tidak layaklah tempat itu menjadi kedudukan pemerintahan. Selain alasan kepercayaan, pemindahan ini juga dikarenakan ada suatu distrik di wilayah Kabupaten Magelang yang bernama distrik Menoreh, sehingga nama Kabupaten Menoreh sudah tidak relevan lagi. Akhirnya, berdasarkan besluit yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 10 November 1834, Kabupaten Menoreh resmi berganti nama menjadi Kabupaten Temanggung dengan kedudukan pemerintahan di kota Temanggung yang sekarang (Muhammad 2013; 30 ).
Para pejabat Belanda dan Jawa yang sedang berpose di depan bangunan yang saat ini menjadi SMK Dr. Soetomo ( foto sekarang ada di bawah ). Duduk paling belakang, tampak C.J. Biynen, Raden Tumenggung Holland Soemodirdjo, G.L.H. Kruijsboom, G.G.L. Freiburg. Foto diambil tahun 1888 (sumber : media-kitlv.nl).
Temanggung sungguh beruntung karena dikaruniai dengan tanah vulkanis yang subur, sehingga hasil bumi di sini sangatlah melimpah. Hasil bumi yang menggerakan roda perekenomian Temanggung tidak lain adalah tembakau, si daun emas. Perkebunan tembakau di Temanggun sendiri cukup istimewa. Dalam daftar perkebunan Tembakau di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang dibuat oleh makelar tembakau J.H. Lieftinck & Zoon, tiada nama perkebunan tembakau besar di Temanggung. Tampaknya orang-orang Belanda di Temanggung kurang tertarik dengan bisnis tembakau karena tembakau butuh pemeliharaan rumit dan harganya juga tidak begitu menguntungkan (Muhammad 2013; 39). Hanya ada dua orang Belanda saja yang tertarik merintis usaha tembakau, yakni W. Hoofner dan D. Seeuws dan itupun termasuk perkebunan kecil (Anonim, 1914;145).


Peta kawasan alun-alun Temanggung pada masa kolonial. Di sekitar Aloon-aloon (alun-alun), tampak bangunan penting seperti Mesigit (Masjid Agung Temanggung), Gevanngenis (Penjara), Regent (Rumah tinggal bupati), dan Assistent Residen (saat ini menjadi Kantor DPRD Temanggung).  (Sumber : maps.library.leiden.edu)
Melihat struktur tata kotanya, Temanggung seperti halnya kota-kota bentukan pemerintah kolonial memiliki tata kota Indis, yakni tata kota yang memadukan tata kota tradisional dan Belanda (Eropa). Hal ini dapat dibuktikan dari keberadaan alun-alun sebagai pusat kota tradisional dan bangunan-bangunan penting milik pemerintah kolonial dan pribumi (Soekiman, 2014;155). Misalnya masjid yang dalam struktur kota tradisional Jawa pasti ditaruh di sebelah barat alun-alun, kemudian kediaman bupati di sebelah utara alun-alun dengan muka menghadap ke alun-alun sekaligus kediaman asisten residen yang berada di selatan. Di sebelah barat alun-alun juga terdapat bangunan penting lainnya berupa gevangenis atau penjara. Dari keempat bangunan penting yang berdiri di sekitar alun-alun Temanggung tadi, sudah tiada lagi yang asli karena banyak yang sudah dibumihanguskan pada masa Perang Kemerdekaan. Karena kota Temanggung tidak memiliki fungsi perdagangan yang kuat, maka Temanggung berakhir menjadi kota administrasi pemerintah daerah yang berada di bawah Karesidenan Kedu. Sebab itu tidak terlalu banyak bangunan penting yang ditemukan di sini selain bangunan yang ada di alun-alun. Bangunan-bangunan penting lain yang dahulu pernah berdiri misalnya banksekolahkantor pos, dan hotel yang terletak di sepanjang jalan utama Temanggung-Magelang atau Stasiun Temanggung yang diletakan agak ke pinggir kota supaya tidak terlalu banyak persimpangan jalan dan rel di tengah kota. 
Bangunan SDN 3 Temanggug, bekas rumah tinggal pejabat controleur atau kontrolir. 
Barangkali jejak pemerintah kolonial yang masih asli di Temanggung adalah bekas rumah controleur yang kini sudah menjadi Sekolah Dasar. Dalam jajaran Binnelandsch Bestuur atau korps pegawai negeri kolonial, pemerintahan dipecah menjadi dua, yakni Europesche Bestuur atau pemerintahan Eropa yang dipimpin asisten residen dan Inlandsch Bestuur atau pribumi yang dipimpin bupati. Para bupati kemudian dipasangkan oleh seorang controleur “ sebagai penasihat saudara tua yang baik bagi pemerintahan lokal” (Cribb dan Kahin, 2012; 75). Sistem ini secara tidak langsung merupakan upaya pemerintah kolonial untuk memerintah orang pribumi tanpa perlu membuang jabatan bupati yang sudah ada sejak era pra-kolonial. Pemerintah kolonial rupanya paham bahwa memaksakan ide-ide mereka secara langsung terhadap orang pribumi bukanlah tindakan yang tepat karena akan menimbulkan pertentangan dengan alasan mereka adalah bangsa asing seperti yang dituangkan sarjana seni asal Amerika Van Dyke dalam buku In Java and the Neighbouring Islands of Dutch East Indies. Sarjana yang mengunjungi Jawa pada tahun 1929 itupun lantas memuji Hindia-Belanda sebagai koloni terbaik di dunia dan bahkan menyarankan Amerika Serikat dan Inggris belajar dari pemerintah Hindia-Belanda yang menurutnya lebih liberal dan toleran (Rush, 2013; 212).
Rumah keluarga Lie yang masih terawat dengan baik.
Salah satu bangunan peninggalan masa kolonial di Temanggung yang mungkin paling layak untuk dilihat adalah sebuah rumah Indis di Jalan Pangeran Diponegoro. Kemolekan Rumah Indis Empire itu membuat saya terkesima. Rumah itu dahulunya dibangun pada 1870 oleh seorang juragan tembakau kaya bernama Lie Tiauw Ing. Uniknya, walau rumah ini dibangun dan ditempati oleh orang Tionghoa, namun sentuhan seni bangunnya justru justru lebih mirip rumah orang Belanda yang khas pada abad ke-19, dengan langit-langit tinggi, lantai dari marmer atau ubin, beranda yang luas, pilar neoklasik yang anggun, dan paviliun yang terpisah untuk memasak, mandi, dan semacamnya. Sepanjang abad ke-19, banyak orang-orang Belanda yang membangun rumah dengan gaya seperti ini dan kemudian diikuti oleh orang-orang Tionghoa kaya untuk mengangkat gengsi mereka karena sekaya apapun mereka, status sosial mereka saat itu masih berada di bawah orang Eropa. Walau rumah ini bergaya Eropa, di dalam rumah ini ada satu perabot yang tidak dapat ditemukan di rumah orang Eropa manapun, yakni meja altar leluhur  yang letaknya persis di tengah ruang tamu. Perabot satu ini merupakan perabot paling berharga bagi keluarga Tionghoa dan pasti diletakan di tempat yang banyak terlihat orang. Praktik penghormatan kepada arwah leluhur merupakan praktik paling dasar dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa. Penyembahan ini merupakan aspek ritual dari sistem keluarga tradisional Tionghoa yang menekankan pentingnya menjaga ikatan dengan leluhur. Oleh sebab itulah untuk mengekalkan kehadiran leluhur di dalam keluarga sebagai satu unit dasar, maka setiap rumah tinggal orang Tionghoa yang masih menjaga kepercayaanya pasti ada  meja altar arwah leluhur. Di atas meja altar leluhur biasanya ada foto arwah yang disembahyangi, lampu minyak dan lilin, tempat menaruh sinci, dan ada meja lebih kecil yang dapat ditarik keluar untuk meletakan sesaji di hari-hari tertentu (Pratiwo,2010; 19).
Klenteng Kong Ling Bio.
Selain rumah tempat tinggal Lie Tiauw Ing, komunitas Tionghoa di Temanggung meninggalkan jejak lain berupa kelenteng Kong Ling Bio. Usia kelenteng itu relative muda, baru didirikan pada tahun 1890 oleh pemimpin komunitas Tionghoa di Temanggung saat itu, Lieutnant Lie Ban Seng. Dana pembangunan kelenteng berasal dari 240 dermawan dari berbagai kota seperti Kranggan, Secang, Muntilan, Magelang, Parakan, dan lain-lain. Tanah kelenteng ini berdiri juga merupakan hibah dari seorang dermawan lain bernama Oei Loo. Selanjutnya pada tahun 1906, kelenteng ini dipugar oleh Lie Tiauw Ing ( Kota Tua Magelang, 28 Februari 2016 ). Bangunan kelenteng ini tidak terlalu besar, yakni terdiri dari pendopo depan dan ruang utama tempat menaruh toapekong. Dewa utama klenteng ini adalah Hok Tek Cing Sin atau Dewa Bumi, dewa yang banyak dipuja oleh masyarakat agraris seperti masyarakat Temanggung dan menariknya, masyarakat yang bersembahyang di klenteng ini tidak hanya orang Tionghoa saja, tapi juga oleh orang non-Tionghoa.
Bangunan SMK Dr. Sutomo dengan pilar-pilarnya yang menjadi ciri khas dari arsitektur Indisch Empire Style.
Rekam jejak bangunan kolonial lain di Temanggung dapat dijumpai pada bangunan SMK Dr.Sutomo di jalan Dr. Sutomo. Sentuhan seni bangun Indisch Empire Style terlihat dari kolom-kolom kokoh bergaya Yunani di beranda depan bangunan.
Rumah tua di dekat perempatan Kodim 0706 Temanggung. Bangunan ini mulai terpengaruh oleh aristektur yang lebih modern.
Bangunan tua di Jalan P. Diponegoro yang juga bergaya Indisch Empire Stye. Tidak seperti rumah keluarga Lie yang pilarnya terbuat dari batu, pilar pada rumah ini menggunakan tiang besi, improvisasi dari masa yang lebih muda. Tampak beranda depan yang  dipasangi kerai. Pada masa kolonial, banyak rumah seperti ini yang bagian beranda depan dipasangi kerai. Tujuannya untuk mengurangi sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan.
Bangunan tua di sebelah timur Pasar Temanggung. Saat ini digunakan sebagai toko obat.
Bangunan rumah beheeder atau kepala pandhuis ( pegadaian ). Transaksi gadai sendiri berjalan di sebuah bangunan yang terdapat di belakang banguann rumah beheeder.
Bangunan kolonial lain di Temanggung yang masih utuh adalah bekas rumah beheeder atau kepala kantor pegadaian di jalan Ahmad Yani. Di masa kolonial, pegadaian dikenal dengan nama pandhuis. Kantor-kantor pandhuis tersebut dikelola oleh pemerintah kolonial dan banyak masyarakat yang memilih menggadaikan barang ke rumah gadai pemerintah ketimbang ke rumah gadai milik perorangan karena prosedurnya lebih sederhana, bunga yang rendah, serta taksirannya jelas.
Stasiun Temanggung.
Foto lama dari stasiun Temanggung. Foto ini diambil di sebelah barat stasiun. Tampak bagian overkapping atau atap emplasemen yang saat ini tidak ditemukan lagi keberadaannya (sumber : colonialarchitecture.eu).
Di penghujung penjelajahan di Temanggung, saya sempatkan untuk melihat Stasiun Temanggung. Stasiun tersebut adalah bukti kehadiran transportasi kereta api yang pernah menjangkau Temanggung pada masa silam. Munculnya jalur kereta di Temanggung bermula saat perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM) telah mendapat izin dari pemerintah kolonial pada tahun 1900 untuk meneruskan proyek pembangunan jalur kereta Magelang - Ambarawa yang selesai pada tahun 1905. Pada lintasan tersebut, NISM ternyata memiliki rencana untuk membuat jalur kereta ke arah Parakan dengan mengambil percabangan dari Secang. Proses pembangunan tersebut dimulai pada bulan Mei 1905 dan diselesaikan secara bertahap ruas demi ruas. Pertama dari ruas Secang-Kranggan yang dibuka pada bulan Maret tahun 1906. Selanjutnya pada bulan Oktober di tahun yang sama, ruas Kranggan - Temanggung tuntas dibangun. Akhirnya keseluruhan jalur Secang-Parakan resmi beropeasi pada 1 Juli 1907. Stasiun Temanggung resmi beroperasi pada tanggal 3 Januari 1907, beberapa bulan sesudah jalur kereta Kranggan-Temanggung selesai dibuat (Buurman, 1907; 987). Stasiun yang menjadi titik pemberhentian kereta di Temanggung tersebut dahulu memiliki kanopi peron dari kayu yang sekarang sudah dicopot dari tempatnya dan tidak diketahui nasibnya. Adapun pembagian ruang stasiunnya meliputi ruang kantor pegawai, ruang komunikasi telegraf, dan ruang tunggu. Selain itu, stasiun Temanggung dulu juga dilengkapi dengan gudang dan rumah tinggal pegawai. Sayangnya sejak tahun 1973, mesin kereta sudah tidak menderu lagi di Temanggung. Beruntung bangunan stasiun yang tertinggal masih dipertahankan kendati sudah terjadi beberapa perubahan.
Jembatan kereta Kali Kuwas. Artefak sejarah kereta api Temanggung.
Tidak jauh di utara kota Temanggung, terdapat sebuah sungai bernama Kali Kuwas. Di atas sungai tersebut, terbentang jembatan kereta yang menjadi bagian jalur kereta Secang-Parakan. NISM setidaknya membangun empat jembatan besar pada jalur tersebut, yakni di Kali Progo, Kali Kuas, Kali Murung, dan Kali Galeh. Jembatan tersebut masih tampak kokoh meskipun usianya sudah lebih dari seabad. Di atas jembatan tersebut, masih terdapat jalur rel yang memiliki lebar 1067 mm. Lebar tersebut lebih kecil dibandingkan lebar jalur NISM lain yang memakai lebar standar 1435 mm. Khusus untuk jalur Yogyakarta-Ambarawa dan termasuk juga Secang-Parakan, NISM memilih untuk menggunakan acuan angkutan trem, bukannya angkutan kereta api standar. Pertimbangannya adalah karena jalur tersebut berupa medan pegunungan yang sulit dilintasi oleh kereta api standar. Trem yang berpostur lebih kecil dinilai lebih cocok untuk medan tersebut. Meskipun sekilas menggunakan lokomotif uap, perbedaan trem dengan kereta api biasa terletak pada kecepatannya yang lebih rendah serta memiliki banyak tempat pemberhentian. Selain itu, angkutan trem yang jalannya lebih pelan memungkinkan untuk membuat jalur yang dekat dengan jalan raya yang sudah tersedia. Oleh karena itu, menjadi suatu pemandangan umum saat angkutan trem berjalan beriringan dengan kendaraan darat lainnya. Namun untuk jalur Magelang-Ambarawa, tampaknya jalur tersebut sulit untuk diseuaikan jalan raya yang ada karena jalan tersebut memiliki kontur yang lebih terjal sehingga trem akan kesulitan melewati jalan tersebut. Jalur trem mustahil dipasang di sana apalagi setelah diketahui bahwa biaya pembangunan jalur trem yang mengikuti jalan raya sepadan dengan membuka jalur sendiri. Oleh karena itulah NISM membangun jalur baru yang lebih berliku tapi setidaknya kereta atau trem lebih mudah melintasinya.
Gapura kerkhof Temanggung.
Dalam perjalanan pulang, masih di dalam kota Temanngung, saya bersua dengan sebuah gapura yang tak lain adalah gapura kerkhof Temanggung. Sayangnya pada tahun 1980an, makam-makam Belanda di kerkhof ini digusur untuk dijadikan terminal. Tak diketahui dengan pasti nasib jasad yang dimakamkan di situ apakah sudah dipindah atau jangan-jangan mereka masih terbaring tenang di bawah warung-warung dan tempat parkir…

Bangunan-bangunan kuno yang masih terisa di Temanggung itu dalam konteks masa kini, boleh dikatakan adalah bentuk dari infrastuktur memori, yakni infrastruktur yang dibentuk untuk menjalin hubungan antara masa lalu dan masa kini. Gelombang modernitas menyebabkan mulai putusnya ikatan masyarakat terhadap memori atau ingatan kotanya. Pelestarian sebagai bentuk dari pembangunan infrastruktur memori adalah upaya untuk mengatasi krisis budaya tersebut dengan menyajikan tontonan dari masa lalu di hadapan masyarakat melalui bangunan-bangunan tuanya atau ruang-ruang lain yang dapat merangsang kesadaran masyarakat pada masa lalu. Namun, keberhasilan dari pembangunan infrastuktur ingatan bergantung pada sejauh mana obyek-obyek tersebut mampu meninggalkan pengalaman atau ingatan yang berkesan pada masyarakat.

Referensi

Buurman, D.C. 1907. "De lijn Setjang—Parakan der Nederlandsen-Indische Spoorweg-Maatschappij." dalam De Ingenieur No. 52 (978-987)

Handinoto. 2010.  Arsitektur dan kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Muhammad, Fariz Rizqi. 2013. "Tata Kota Temanggung dan Faktor-Faktor Pendukungnya Tahun 1834-1942". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gajah Mada.

Pratiwo. 2010. Arsitetktur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis, dari zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.

Kota Tua Magelang, Pamflet "Djeladjah Petjinan #4 : Temanggoeng", 28 Februari 2016.

12 komentar:

  1. Makam kerkof dipindahkan ke desa gandulan, bangunan yg layak menjadi referensi berikut perabotannya mungkin rumah mantan lurah ngimbrang bisa menambah wawasan.

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Sama saya juga, dari Istri beliau yg ke 10...

      Hapus
  3. Leluhur saya pernah tinggal di padangan, dkt rel, skrng sdh jadi jalan+ balai kelurahan Tmg 1

    BalasHapus
  4. Terimakasih sudah menyajikan referensi bacaan yang bermanfaat. Jasmerah!

    BalasHapus
  5. Salam kenal clan soemodilogo

    BalasHapus
  6. terima kasih kepada penulis,
    sangat bermanfaat sekali.
    temanggung adalah kota kelahiran saya..

    BalasHapus
  7. kata kakek saya rumah di kranggan itu dulu tempat penyiksaan

    BalasHapus
  8. Sekolah SD th 1940 ada dimana ya.bukan yg sekarang jadi smk doksut

    BalasHapus
  9. wah temanggung kota kelahiran saya, jadi kangen pulang

    BalasHapus
  10. Salam hangat untuk saudara2 fam Soemodilogo....utk penulis di sejarahnya ada yg perlu di ralat sedikit ya...Ario Soemodilogo adalah bupati Menoreh Parakan..kalau Ario Holland Soemodilogo itu putranya yg jadi bupati temanggung ke dua..menggantikan Joyonegoro bupati Temanggung pertama yg masih pamannya juga..sedangkan bupati ketiga Temanggung adalah Soemodirdjo ysitu cucu Ario Soemodilogo bupati Menoreh Parakan.

    BalasHapus