Sebagai salah satu tengara kota Semarang, reputasinya lebih mencorong sebagai satu dari sepuluh tempat angker di Asia. Padahal gedung itu sesungguhnya
merupakan sebuah adikarya arsitektur kolonial dan istana dari kerajaan bisnis
kereta api yang didirkan pada era transportasi kereta mencapai kedigdayaannya.
Inilah ikhtiar saya untuk menggali sisi lain dari gedung Lawangsewu.
|
Gedung Lawangsewu setelah selesai dibangun tahun 1907 (sumber : colonialarchitecture.eu). |
Suatu siang di bulan Oktober 2016, saya berdiri di bawah
bayang-bayang Tugu Muda, sebuah monumen berbentuk lilin raksaksa yang didirikan
untuk mengenang Pertempuran Lima Hari di Semarang. Di sekeliling bundaran yang
dahulu bernama Wilhelmina Plein itu, berdiri bangunan-bangunan penting seperti
rumah dinas Gubernur Jawa Tengah yang memakai bekas kediaman Residen Semarang,
Gereja Katedral Semarang, dan sebuah gedung elok dengan dua menara kembarnya
berbentuk cerutu yang sekarang dikenal sebagai Lawangsewu. Dengan citra mistis
yang sudah terlanjur melekat padanya, Lawangsewu lebih dikenal masyarakat luas sebagai
sebuah gedung tua nan angker yang sarat cerita horror. Alih-alih dihantui oleh
“penunggu” gedung ini, kecantikan bangunan inilah yang justu menghantui pikiran
saya ketika berjumpa pertama kali dengannya.
|
Stasiun Semarang N.I.S. di desa Kemijen yang didirkan tahun 1864. Di sinilah N.I.S.M., berkantor sebelum pindah ke Lawangsewu. Lingkungan yang kurang bersahabat dan kebutuhan yang semakin banyak menjadi alasan N.I.S.M.untuk membangun kantor baru yang lebih representatif. Stasiun pertama di Indonesia ini sekarang tinggal sedikit saja bekasnya karena sebagian besar sudah terendam oleh rob ( sumber : media-kitlv.nl).
|
Berjuluk Lawangsewu atau Pintu Seribu dalam bahasa Jawa, karena ia
memiliki pintu yang sangat banyak sehingga orang Jawa asal menyebutnya memiliki
seribu pintu. Walau mungkin jumlahnya belum tentu ada seribu buah, mengapa ada
begitu banyak pintu di gedung ini mejadi pertanyaan besar di benak saya.
Sembari menyusuri satu demi satu pintu krepyaknya, saya melayang ke masa
lampau, ketika para pegawai Eropa dan pribumi ramai berseliweran di
lorong-lorongnya. Ya, gedung megah laksana istana itu sejatinya merupakan hoofdkantoor atau kantor pusat dari
perusahaan kereta api partikelir yang sudah berjasa mengenalkan kereta api di
Indonesia, Nederlandsch Indisch Spoorweg
Maatschappij.
|
Proses penggalian tanah untuk menyiapkan pondasi Lawangsewu ( sumber : Nederlandsch Indie Oud en Nieuw tahun 1916 ). |
|
Bengkel tukang kayu. Para tukang kayu ini membuat bagian-bagian seperti rangka kuda-kuda, kusen pintu dan jendela beserta daunnya (sumber : Nederlandsch Indie Oud en Nieuw tahun 1916). |
|
Bangunan Lawangsewu ketika hampir selesai. Terlihat perancah dari bambu yang masih terpasang. Ketika foto ini dibuat tampaknya pembangunan Lawangsewu sudah mencapai tahap pengecatan. Tampak bagian jendela yang nantinya akan dipasangi kaca patri masih belum dipasang. (sumber : Nederlandsch Indie Oud en Nieuw tahun 1916) |
Lama sebelum berkantor di Lawangsewu, kantor pertama Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij bertempat di lantai atas gedung percetakan G.C.T van Dorp. Sesudah bangunan Stasiun Semarang N.I.S dirampungkan pada tahun 1867, maka maskapai itu memindahkan kantornya ke sana (De Locomotief, 4 Juni 1907). Sejalan dengan kemajuan transportasi
kereta, maka kegiatan administrasi mereka kian sibuk dan jumlah pegawainya ikut bertambah. Lokasi di sekitarnya juga terasa kurang bersahabat karena
letaknya yang ada di dekat rawa-rawa, sarang idaman para nyamuk. Tak ayal,
banyak pegawai jatuh sakit terkena malaria. Lantaran itulah N.I.S.M menyewa
beberapa bangunan di tempat lain. Sebenarnya sudah terencanakan di benak
mereka, sebuah gedung baru yang bertempat di lokasi yang nyaman dan lebih besar
sebagai unjuk kedigdayaan perusahaan mereka. Lokasi yang mereka pilih
sebagai cikal bakal istana baru mereka jatuh pada sepetak lahan luas di dekat Wilhelmina Plein yang sudah dikuasai
oleh N.I.S.M di akhir tahun 1863. Sebuah pilihan yang tepat karena selain
lingkungan lebih ramah, juga strategis karena berada di simpul pertemuan jalur Bodjongweg (sekarang Jalan Pemuda)
yang menjadi jalan utama Kota Semarang dengan Kendalweg yang menjurus ke arah Kendal (Unit Konservasi dan
Heritage, 2013 ; 1-4). Sesudah lahan dipilih, N.I.S.M membangun rumah pengelola
kantor dan gedung percetakan yang dirancang oleh Ir. P. de Rieu di lahan dimana
Lawangsewu akan berdiri.
|
Lokasi Lawangsewu pada peta kota Semarang tahun 1909 ( dengan keterangan Hoofdkantoor N.I.S ). Lawangsewu terletak di ujung kawasan Bojong yang dahulu merupakan kawasan hunian paling prestise di Semarang. Selain Lawangsewu, bangunan penting yang ada di kawasan ini adalah rumah kediaman residen Semarang yang saat ini menjadi rumah dinas gubernur Jawa Tengah ( sumber : maps.library.leiden.edu ).
|
Kemapanan N.I.S.M tercermin pada pemilihan arsitek yang akan
membangun kantor baru mereka.Tidak tanggung-tanggung, gedung itu dirancang oleh
maestro arsitektur dari Belanda, Prof. Klinkhamer. Tatkala merancang Lawangsewu
di studionya di Amsterdam, ia dibantu oleh arsitek lain seperi B.J.Ouendag dan
seorang arsitek muda bernama G.C. Citroen yang kelak akan menjadi salah satu arsitek ternama di Hindia-Belanda. Proses pembangunanpun dimulai pada 27 Februari 1904.
Bahan bangunan yang dipakai bermutu prima dan dipesan khusus dari Eropa sehingga tidak heran jika memakan banyak biaya dan waktu. Selain bahan bangunan dari Eropa, bahan bangunan lokal juga dipakai, seperti pasir dan batu berasal dari Gunung Merapi dan diangkut dengan kereta. Sekitar bulan Juni 1908, gedung kantor baru N.I.S.M selesai
dibangun dan masyarakat awam diberi kesempatan untuk melihat-lihat bagian dalam gedung. Tanpa gempita upacara peresmian, N.I.S.M memboyong kegiatan perkantoran ke
istana barunya pada 1 Juli 1907 (Klinkahmer & Ouendag, 1916; 23-31).
|
Tampak depan Gedung A.
|
Sedari awal, direksi N.I.S.M sudah memiliki konsep tentang sebuah gedung yang di satu sisi terlihat sedehana, namun dirancang dengan baik. Konsep tersebut diwujudkan begitu sempurna oleh tangan dingin Klinkhamer yang sekarang dapat saya rasakan tatkala memandang keanggunan Gedung A, bagian utama Lawangsewu yang paling akrab dilihat orang. Secara kasat mata, bangunan ini memakai gaya arsitektur Rundbogenstil yang banyak dipakai pada gedung perkantoran di Jerman pada abad ke-19. Gaya arsitektur Rundbogenstil merupakan hasil perkawinan beragam gaya arsitketur lama seperti Byzantine, Romanesque dan Rennaisans. Sementara bentuk tapaknya terlihat seperti huruf “L” apabila dipandang dari atas. Bagian depannya memiliki kanopi yang juga merangkap sebagai balkon, tempat para petinggi N.I.S.M bersantai. Sulit dibayangkan bahwa pemandangan yang dulu dinikmati oleh para petinggi N.I.S.M dapat berubah kurang dari seratus tahun. Ketika ia dibangun, bagian depannya masih berupa sebuah taman lapang bernama Wilhelmina Plein. Kurang dari lima puluh tahun, taman tersebut menghilang dan tergantikan oleh sebuah monumen yang dibangun oleh bangsa yang pernah mereka jajah. Trem yang dulu sempat melintas di depan Lawangsewu sekarang juga sudah tiada.
|
Bagian belakang gedung A. |
|
Tampak samping gedung A. |
|
Cetak biru denah lantai 1 gedung A Lawansewu ( sumber : Nederlandsch Indie Oud en Nieuw tahun 1916 ). |
|
Cetak biru denah lantai 2 gedung A Lawangsewu. Bagian lantai 2 dahulu merupakan ruang kantor untuk pejabat tinggi N.I.S.M. Bagian ini sekarang tidak dibuka untuk umum setiap harinya ( sumber : Nederlandsch Indie Oud en Nieuw tahun 1916 ).
|
Tiada bangunan di sekitar Lawangsewu yang melampaui kemegahannya, bahkan
kediaman sang residen Semarang yang berdiri di seberangnya terlihat tiada bandingnya
dengan Lawangsewu. Pancaran kemegahan Lawangsewu kian terlihat dengan adanya
sepasang menara yang begitu anggun membelah cakrawala.
Menara itu tak hanya sebagai pemanis saja. Pada salah satu menara, di dalamnya
terdapat bak air untuk memenuhi kebutuhan air seluruh gedung. Air itu diambil
dari sebuah sumur pompa yang ada di dekat Gedung A. Uniknya, bak air itu teknik
penyambungannya tidak dilas, melainkan dengan paku keling. Bertengger di puncak
fasad depan Gedung A,ada sebuah batu kecil yang menampakan roda bersayap yang
tampak ditelan oleh sosok kepala Batara Kala, Dewa Waktu dalam mitologi Hindu.
Batu itu mengandung sebuah pesan, pesan bahwa transportasi kereta tidak akan
punah termakan waktu.
|
Rumah sumur pompa yang menjadi sumber air untuk gedung Lawangsewu. Sumur ini dianggap keramat dan konon airnya tidak kering sekalipun di musim kemarau. Entah apakah sumur ini airnya masih sebanyak dahulu karena di sekitar Lawansewu sudah banyak bangunan baru yang sudah menghabiskan pasokan air tanah di kota Semarang. |
Lobi Lawangsewu memang hanya dibuka pada saat tertentu saja, namun
setidaknya lewat jendela di ruang sampingnya saya dapat mengintip rupa lobi itu. Sebuah
prasasti berbahasa Belanda terpajang di dinding sisi kanan lobi. Isinya tentang
peringatan berdirinya 50 tahun N.I.S.M. Batu granit hitam dan marmer putih
tampak mengalasi lobi itu, disusun seperti papan catur. Berlempeng-lempeng
granit hitam ditambang nun jauh dari Pegunungan Fichtel, Bavaria, Jerman,
dipotong sesuai pesanan dan manakala sampai di sini, ia tinggal dipasang saja. Dari lobi, terdapat sebuah undakan besar yang menjurus ke lantai dua. Di mulut undakan itu, terpancang sebuah batu prasasti dari marmer putih yang didedikasikan oleh para pegawai N.I.S.M untuk G.C. Daum, direktur N.I.S.M yang pertama.
|
Tangga utama menuju lantai dua. Terlihat sebuah tugu kecil di bawah undakan yang didirikan untuk mengenang direktur pertama N.I.S.M, G.C. Daum. |
Cahaya mentari menembus kaca patri yang terpampang di undakan
besar, menghasilkan bayang-bayang elok yang memukau indera penglihatan saya. Kaca
patri yang berhasil membuat saya terbuai sesaat itu merupakan salah satu
adikarya dari seorang seniman terpandang Belanda bernama J.L. Schouten. Ia
membuat kaca-kaca itu di studionya di Delft dan sempat dipamerkan di Belanda
sebelum dibawa ke sini. Dari pengamatan saya, di kaca patri itu terdapat dua sosok
perempuan berparas ayu yang tak lain ialah dua dewi pagan, yakni Dewi Fortuna, dewi keberuntungan dan
Dewi Venus, dewi cinta. Roda kereta bersayap, lambang perusahaan N.I.S.M, tampak diapit oleh dua sosok
perempuan tadi. Hiasan kaca patri itu memang bukan sekedar pernik pemanis saja, namun
di dalamnya tersirat sebuah doa, doa agar transportasi kereta selalu dilimpahkan
dengan keberuntungan dan cinta. Berbagai lambang kota-kota penting diimbuhkan pula pada kaca patri itu, mulai dari lambang kota Batavia dan Semarang sebagai kota
bandar utama di Pulau Jawa, dan lambang kota Amsterdam, ibukota Kerajaan
Belanda yang kesejahteraanya didukung oleh dua kota tadi (Handinoto, 2012 ;
46-48).
|
Kaca patri buatan J.L. Schouten. |
|
Salah satu ruas kaca patri yang menggambarkan Dewi Fortuna (kanan) dan Dewi Venus (kiri). |
Dalam pencapaian teknik yang luar biasa, banyaknya pintu yang ada di gedung itu memungkinkan udara mengalir alami, menghasilkan ruangan yang terasa sejuk bagi siapapun yang ada di dalamnya. Dari situlah Lawangsewu mendapat
namanya. Terjawab sudah pertanyaan saya di awal. Beranda keliling yang melindungi Lawangsewu dari tampias air hujan dan panas matahari merupakan hasil kejeniusan Klinkhamer yang lain dalam membuat sebuah bangunan yang akrab dengan iklim tropis. Mengejutkannya, ia sendiri ternyata belum pernah samasekali mengunjungi wilayah tropis. Gambaran
wilayah tropis hanya ia dapatkan lewat berbagai pustaka dan tutur orang yang
pernah tinggal di Hindia-Belanda. Di kemudian hari, konsep itu menjadi acuan
para arsitek-arsitek Belanda dalam mendesain bangunan-bangunan kolonial modern
di kemudian hari. Wujud penyesuaian lainnya ialah cerat kecil yang berfungsi
sebagai saluran air ketika bagian beranda tergenang air akibat hujan atau saat
dibersihkan. Bentuk cerat yang terbuat dari batu granit itu mirip dengan cerat
pada batu yoni (Handinoto, 2010; 28-29).
|
Cerat di bagian bawah untuk membuang air. |
|
Pintu-pintu yang banyak ini menjadi asal mula gedung ini dijuluki Lawangsewu. |
|
Beranda gedung A. |
Puas menikmati keindahan gedung A, saya kemudian beringsut ke
gedung B yang ada di samping timur gedung A. Ia dihubungkan dengan gedung
A lewat sebuah jembatan yang juga berfungsi sebagai doorlop. Gedung B sendiri baru dibangun tahun 1916, tatkala jumlah
pegawai N.I.S.M kian bertambah. Secara konsep, ia masih serupa dengan gedung A,
namun dari segi teknologi rancang bangunnya, ia sudah menggunakan teknologi
mutakhir di zamannya. Inilah gedung pertama di Hindia-Belanda yang menggunakan beton
bertulang. Belajar dari pengalaman pendirian gedung A, gedung B menggunakan
material lokal yang lebih murah. Gedung B ini dulunya merupakan ruang kerja
para pegawai dari golongan bumiputra.
|
Pintu penghubung antar ruang yang terdapat di gedung B. Seandainya semua pintu yang ada di Lawangsewu ditutup, butuh berapa lama kira-kira untuk membukanya satu persatu ? Silahkan anda coba sendiri :-) |
Di dalam ruang yang lengang itu, saya membayangkan berdiri bersama
para pegawai-pegawai bumiputra, dengan raut wajah yang terlihat lembut, namun
di hatinya tersimpan bara perlawanan terhadap ketidakadilan yang menimpa
mereka. Ya, para pegawai itu dulu tergabung dalam Verenigin van
Spoor-en Tramegpersoneel, serikat buruh yang dibentuk di Semarang pada
tahun 1908 oleh Sneevliet, aktivis sosialis yang
terkenal akan sikap radikalnya. Akar gerakan radikal dan progersif tumbuh
dari serikat itu dan ia menjadi awal gerakan sosial modern di Hindia-Belanda. Pada 9
Mei 1923, hanya berselang beberapa hari setelah Hari Buruh, mereka menggelar aksi pemogokan buruh kereta api secara serempak di Jawa yang dikomando oleh Semaoen.
Saya kembali membayangkan, dinding dan pintu di ruangan itu merekam segala
keluh kesah para pegawai pribumi. Entah tentang perkara kesenjangan upah atau
perlakuan semena-mena pegawai Belanda terhadap pegawai pribumi, walau tradisi
kerja di N.I.S.M sedikit egaliter daripada perusahaan sejenis.
|
Lorong menuju ruang bawah tanah. Bagian ini sekarang tidak dapat diakses untuk umum. |
Di dalam gedung B, terdapat pintu masuk yang mengarah ke ruang
bawah tanah yang kini tergenang air. Inilah ruang bawah tanah yang kerap
dibicarakan orang sebagai ruang paling angker di Lawangsewu. Semula, ia
digunakan sebagai penyerap udara panas bumi sehingga hawa di dalam ruangan
tidak terasa panas. Namun pada pendudukan Jepang, selain dipakai sebagai
kantor Riyukyu Sokyoku (Jawatan Transportasi) bagian ruang
bawah tanah Lawangsewu oleh militer Jepang diubah menjadi penjara yang cukup
menyiksa bagi para tahanan. Dengan luas satu petak hanya sebesar 2x3 meter,
petak sempit itu diisi sebanyak 5-6 orang dewasa dalam posisi jongkok. Ada juga
penjara berdiri yang ditambahkan belakangan oleh Jepang, dimana para tahanan
dimasukan ke dalam sel yang sangat sempit sehingga para tahanan tidak dapat
bergerak sama sekali. Tentu saja keadaan di dalam sel itu sangat menyiksa.
Banyak tahanan yang tak kuasa menahan siksaan itu sehingga dan berakhir meregang
nyawa di situ. Jasad mereka kemudian hanya dibuang begitu saja lewat lubang
pembuangan.
|
Para pegawai Riyukyu Sokyoku yang sedang berpose di depan pintu masuk utama Lawangsewu. Para pegawai Riyukyu Sokyoku terdiri dari bekas pegawai N.I.S.M yang sebagian besar adalah orang Belanda dan perwira militer Jepang. Di bawah foto tampak keterangan para perwira militer Jepang yang ikut berfoto (sumber : Semarang, Beeld van een Staad).
|
Lewat sebuah tangga, saya mendaki ke bagian loteng Lawangsewu,
tempat dahulu arsip-arisp disimpan. Walaupun sekedar loteng, ukurannya hampir
menyamai sebuah aula. Kelelawar dan burung walet masih terlihat, namun
tampaknya mereka tak lagi bersarang di situ. Karena ruangan ini berada langsung di bawah
atap, maka rancangan atap sudah dibuat sedemikan rupa sehingga kedap air
sekaligus tetap dingin. Agar ruangan tetap sejuk dan kering, maka solusinya
adalah membuat atap ganda dan di puncak atap ditambahkan menara ventilasi.
|
Bagian loteng Lawangsewu. |
|
Ruangan di dalam gedung B. |
Terpisah dari gedung utama dengan tujuan untuk menjaga higenitas,
ada bangunan tambahan berupa lavatory atau
kamar kecil tempat para pegawai membuang hajat mereka. Hal yang membuat saya
takjub adalah di dalam situ saya masih bisa mendapati artefak-artefak toilet masa lampau berupa wastafel porselen dari
pabrik Van der Berg and Co, Amsterdam dan urinoir merk “ The
Adamant “ yang capnya masih menempel di situ.
|
Lavatory gedung A yang dihubungkan dengan bangunan utama lewat sebuah jembatan. |
|
Wastafel dan uronoir lama. |
Di belakang gedung A dan gedung B, terdapat sebuah bangunan kecil
yang disebut sebagai gedung C. Inilah gedung yang berdiri pertama kali di area
Lawangsewu, gedung yang dirancang oleh Ir. P. de Rieu itu. Di gedung itulah
karcis-karcis kereta api dicetak. Deru suara mesin pencetak di dalamnya, kini
tergantikan oleh heningnya suasana museum. Berbagai material bangunan yang
ditemukan saat restorasi Lawangsewu seperti genting yang berasal dari Belanda
dipamerkan di museum itu. Sebuah lift kuna pengangkut barang yang masih secara manual masih berada di tempatnya.
|
Bangunan Gedung C yang didirikan oleh Ir. P. de Rieu. Dahulu menjadi tempat percetakan karcis kereta. |
|
Rak tempat untuk menyandarkan sepeda yang sudah ada sejak zaman Belanda. Keberadaan rak ini menunjukan bahwa N.I.S.M memperhatikan kebutuhan karyawannya yang bersepeda dari rumah ke kantor. Bangunan baru di masa sekarang belum tentu memiliki fasilitas seperti ini sehingga banyak orang zaman sekarang enggan bersepeda.
|
Sebelum
saya undur diri, saya menyempatkan diri melihat sebuah monumen kecil yang ada
di halaman depan Lawangsewu. Monumen itu didirikan untuk mengenang pegawai
DKARI ( Djawatan Kereta Api Rebulik Indonesia )
yang tewas pada Pertempuran Lima Hari
yang bekecamuk pada tanggal 15 – 19 Oktober 1945, ketika Lawangsewu menjadi
kantor DKARI. Kala itu, para
pemuda-pemuda Semarang bentrok dengan Korps Polisi Militer Jepang, Kido Butai.
Banyak jiwa yang berguguran. Beberapa di antara ialah para pegawai DKARI yang
tergabung dalam AMKA ( Angkatan Muda Kereta Api ) yang guugur di sekitar
Lawangsewu. Mereka yang gugur antara lain Noersam, Salamoen, Roesman, R.M.
Soetardjo, dan R.M. Moenardi. Situasi masih belum aman, sehingga jenazah mereka
untuk sementara dimakamkan di halaman gedung Lawangsewu. Kelima jenazah tadi
baru dipindah ke TMP Giri Tunggal pada tahun 1973. Tatkala militer Belanda
kembali menduduki Indonesia, Lawangsewu digunakan sebagai markas militer
Belanda. Lalu setelah Belanda pergi, Lawangsewu menjadi markas Kodam IV Diponegoro.
|
Tugu Muda pada tahun 1953. Tugu ini dibangun pada tahun 1950 dan diresmikan oleh presiden Ir.Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Tujuan pembangunan tugu ini yakni sebagai monumen peringatan pertempuran Lima Hari di Semarang. Di belakang tampak gedung Lawangsewu yang menjadi salah satu saksi bisu pertempuran Lima Hari di Semarang.
|
Setelah sekian lama dipakai oleh militer, Lawangsewu akhirnya
kembali diserahkan kepada perusahaan kereta api pada tahun 1994. Namun ketika
ia diserahkan, kondisi Lawangsewu benar-benar kosong dan nyaris terlantar, membuatnya
terlihat sebagai sebuah gedung angker yang menjulang di tengah keramaian kota.
Isu-isu berbau mistis pun bermunculan. Mulai dari penampakan hantu yang kerap
bergentayangan di sepanjang lorong gelapnya hingga ada orang yang meninggal
seusai uji nyali di gedung itu. Karena keangkerannya itulah, Lawangsewu
dinobatkan sebagai salah satu dari 10 gedung terangker di Asia. Saking kuatnya,
bahkan restorasi besar-besaran di tahun 2009 pun nampaknya belum memudarkan
kesan mistis Lawangsewu. Entah sampai kapan citra mistis menyelubungi gedung
yang sejatinya merupakan adikarya arsitektur kolonial itu.
Referensi
Handinoto. 2010.
Arsitektur Kolonial dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu.
--------------.
2012. " Pemberian Ciri Lokal Pada
Arsitektur Kolonial Lewat Ornamen pada Awal Abad ke 20 ", dalam Jurnal
Arsiktekur Dimensi Vol.39, No.1 Juli 2012.
Klinkahmer &
Ouendag. 1916. " Het Administratiegebouw
der Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij te Semarang " dalam
Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw vol 1, Issue 1.
Unit
Conservation & Heritage. 2013. Lawangsewu in Watercolor. Bandung : PT. Kereta Api
Indonesia.
kereeennn banget......
BalasHapusijin ambil fotonya yaaaa.....
BalasHapus