Sabtu, 05 Agustus 2017

Benteng Karangbolong dan Benteng Klingker : Kekunoan yang Tersembunyi di Pulau Nusakambangan

Mendengar nama Pulau Nusakambangan yang berada di Cilacap, barangkali kita akan membayangkan sebuah pulau berisi penjara bagi narapidana kelas berat. Dengan pengamanan ketat dan tempatnya yang terisolir, mustahil bagi para narapidana untuk kabur dari tempat itu. Di balik kegaharannya sebagai pulau penjara, di pulau itu tersembunyi dua benteng renta tinggalan Belanda. Bagaimana kisahnya ?
Peta bagian timur Pulau Nusakambangan pada tahun 1944. Pada tahun 1840an, Belanda mendirikan dua benteng di bagian ini yang pada peta tersebut ditandai dengan "Fort Banjoenjapa" dan "Fort Karangbolong" (sumber : maps.library.leiden.edu)
Letak benteng Karangbolong (d) dan benteng Klingker (c) dalam peta 'Algemeen plan der positie van Tjilatjap.' yang digambar oleh Sersan Coppers (sumber : nationaalarchief.nl).
Debur ombak mengguncang perahu yang saya tumpangi saat baru saja bertolak dari Pantai Teluk Penyu. Semilir angin laut mengiringi perjalanan saya menuju pulau yang kadang disamakan dengan pulau Alcatraz. Sembari perahu menyusuri perairan Cilacap, seketika ingatan saya pun bergerak ke masa PD II, ketika konvoy kapal-kapal Sekutu satu persatu dikirim ke dasar laut oleh pesawat-pesawat Jepang yang menyerbu kota pelabuhan itu pada bulan Maret 1942 (Remmelink, 2918; 492). Bangkai-bangkai kapal itu mungkin masih terbaring di bawah riak gelombang perairan yang sedang saya seberangi ini. Tak hanya menenggelamkan kapal, pesawat-pesawat Jepang juga menghujam kota Cilacap dengan bom, menghancurkan beberapa bangunan penting seperti stasiun dan societeit. Jika pernah menonton film Pearl Harbour, mungkin seperti itulah kondisi Cilacap kala itu.
Kondisi Benteng Karangbolong pada tahun 1900an (sumber : collectie.wereldculten.nl)
Pulau Nusakambangan, pulau yang hendak saya sambangi sedari dulu dikenal sebagai pulau bui. Pulau tersebut menyimpan suatu kisah tersendiri. Di masa silam, pulau itu masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Selama bertahun-tahun, pantai putihnya hampir tidak tersentuh oleh kapal manapun. Bahkan saat para navigator Eropa mulai mengarungi lautan Nusantara, keberadaan Nusakambangan masih belum sempat dijamah oleh mereka. Peta-peta navigator masih menyebut pulau itu sebagai Parte Incognita Da Java, Bagian Jawa yang Tak Diketahui. Persinggungan Nusakambangan dengan peradaban luar dimulai saat Kolonial Belanda mendengar kabar ada kapal berbendara Inggris yang mendarat di Nusakambangan. Belanda yang saat itu masih memandang Inggris sebagai rival di lautan merasa gusar. Sebagai tindak lanjut kabar itu, mereka mengirim tim penjelajah yang dipimpin Paulusz. Ia kemudian membuat laporan bahwa pulau itu cocok untuk dibangunkan benteng. Kendati demikian, sampai VOC bubar tahun 1799, tidak ada satupun benteng yang sempat dibangun di sana.
Foto udara bagian timur Pulau Nusakambangan. Terlihat menara kecil yang merupakan mercusuar Cimiring (sumber : collectie.wereldculten.nl)
Kawasan perairan Cilacap kembali mendapat perhatian pada pertengahan abad ke-19, saat pemerintah kolonial Belanda melihat potensi Cilacap sebagai pelabuhan di pantai selatan Jawa. Cilacap yang berada di muara Sungai Donan yang lebar dan dalam tersebut memiliki perlindungan alam yang cukup mengesankan. Terlebih di selatannya, terbentang Pulau Nusakambangan yang memberikan perlindungan dari ombak besar Samudera Hindia. Belanda kemudian menganggap penting untuk memastikan kehadiran mereka di Cilacap sebelum tempat itu ditempati oleh bangsa lain. Bagi mereka, pelabuhan itu bisa membuka potensi perekonomian Jawa Tengah bagian selatan yang selama ini masih belum tergarap. Selain untuk kepentingan ekonomi, dari segi kepentingan strategi pertahanan nasional, pelabuhan itu dapat dijadikan sebagai titik pengungsian bilamana pulau Jawa diserang musuh. Saat itu, memang ada kekhawatiran di benak pemerintah kolonial bahwa akan terjadi perang yang muncul secara tidak terduga. Hal ini memaksa Belanda beserta koloninya untuk mempersiapkan diri melakukan perlawanan terhadap musuh dari luar seperti yang terjadi saat invasi Inggris ke Jawa tahun 1811. Oleh karena itu, timbul suatu gagasan untuk menyediakan sarana pertahanan yang tangguh untuk Cilacap (Brakell, 1863 ; 267).
Benteng Karangbolong.
Sekitar tahun 1840an, pemerintah kolonial mulai lebih serius menggarap pertahanan Cilacap. Pada bagian ujung tanjung yang berada di selatan Cilacap, mereka berencana mendirikan benteng kolosal yang dillengkapi dengan meriam-meriam berkaliber besar. Sejumlah kapal perang juga ditempatkan sedemikian rupa di selat Nusakambangan yang menjadi pintu perairan Cilacap. Namun berdasarkan pengamatan oleh Von Gagern, ahli pertahanan yang didatangkan Belanda pada tahun 1844, upaya pertahanan tersebut akan berakhir sia-sia karena musuh akan menduduki pulau tersebut terlebih dahulu dan menjadikannya sebagai pangkalan persiapan sebelum penyerangan ke daratan utama. Berdasarkan masukan dari Von Gagern, maka pada tahun 1846 didirikan benteng di ujung di timur pulau. Benteng tersebut kemudian dikenal sebagai benteng Karangbolong karena letaknya dekat dengan pantai Karangbolong (Kielstra, 1879; 39).
Sketsa benteng pos benteng Karangbolong karya J.H.W. Clercq tahun 1840an.
(Sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Fort Karangbolong dalam peta pelayaran tahun 1885 (Sumber : Peta "Zeegat van Tjilatjap").
Sedianya, Benteng Karangbolong akan diperkuat dengan enam pucuk meriam kaliber 24 cm. Namun tidak ada satupun pucuk meriam yang tiba di benteng Karangbolong. Rupanya meriam tersebut sebelum dibawa ke Karangbolong, meriam diuji terlebih dahulu di Desa Babakan, Cilacap untuk mengetahui kekuatannya. Biaya pengangkutan meriam tersebut cukup besar, yakni mencapai 25.000 gulden dan karena situasi keuangan sedang tidak memungkinkan, maka meriam tersebut tetap ada di sana. Seiring waktu tidak diketahui nasib selanjutnya dari meriam-meriam tersebut (De Locomotief, 13 Mei 1949). Benteng Karangbolong akhirnya lebih berfungsi sebagai pos pengamatan tanpa persenjataan. Pada 12 Juni 1856, sejumlah ahli geografi tinggal di benteng untuk melaksanakan tugas pengukuran triangulasi dengan dibantu pengamatan astronomis. Lokasinya memang cukup sempurna untuk pengamatan astronomis karena berhadapan dengan lautan lepas sehingga terhindar dari polusi cahaya (Nederlandsche Staatcourant, 3 Desember 1856).

Bekas lubang meriam.
Perahu akhirnya menepi di tepi pantai yang sepi. Dari pantai, perjalanan ditempuh melalui jalan setapak yang dipenuhi pecahan batu karang. Di ujung jalan, sebuah bangunan dengan pintu melengkung menyambut kedatangan saya. Tanaman liar tampak merambat di sekujur dinding tuanya. Memasuki bagian dalam, bangunan itu memiliki ruangan dengan langit-langit setengah melingkar. Pada mulanya, saya menyangka jika bangunan itu adalah benteng Karangbolong. Rupanya prasangka tersebut salah. Bangunan tadi ternyata hanyalah pintu gerbang benteng Karangbolong. Untuk menuju bagian utama benteng Karangbolong, saya masih harus berjalan lagi, melewati beberapa tanjakan dan jurang yang cukup dalam. Akhirnya sampailah di bagian utama dari benteng Karangbolong yang berdiri menjulang di puncak sebuah bukit dan dari sana perairan Cilacap terlihat begitu jelas. Saya selanjutnya menuruni semacam parit untuk masuk ke dalam benteng. Dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela kecilnya, saya mendapati keanehan ruangan ini; jarak langit-langit dengan lantai terlampau tinggi dan ada semacam bekas pintu yang tidak menyentuh lantai dasar. Saya akhirnya menyadari jika ternyata benteng Karangbolong sejatinya memiliki dua lantai. Tampaknya lantai pada tingkat kedua terbuat dari kayu, menyisakan jejak bekas umpak. Karena bahannya dari kayu maka tak heran bagian tersebut sudah hilang.
Pintu masuk ke area benteng.
Tampak luar benteng dengan bekas pintu masuknya.
Dari bentuknya, benteng Karangbolong merupakan jenis benteng Model 1811, jenis yang terbilang langka di Indonesia. Nama lainnya adalah Napoleon Tower karena teknologi pertahanan tersebut dibuat atas perintah Napoleon Bonaparte, sang penakluk legendaris dari Perancis. Napoléon sebagai ahli strategi militer memang ulung di daratan tetapi payah dalam perang lautan. Hal tersebut terbukti saat ia dikalahkan oleh Inggris dalam pertempuran laut di Trafalgar pada 1805 dan ambisinya untuk menaklukan Inggris akhirnya terhenti. Semenjak pertempuran tersebut, kekuatan angkatan laut Perancis tidak bisa dipulihkan seperti sedia kala. Karena angkatan laut Perancis sudah hancur lebur, maka wilayah pesisir Perancis terbuka untuk diserang sehingga Napoleon memerintahkan supaya di sepanjang garis pantai Perancis dilindungi dengan benteng pada tahun 1811. Insinyur zeni Perancis lalu memilih bentuk benteng yang bersumber dari menara pertahanan rancangan insinyur Mareschal pada tahun 1740 di Agde, Prancis selatan. Model yang dibuat oleh insinyur Perancis tersebut rupanya ada kemiripan dengan benteng pesisir rancangan Vauban yang dibangun pada masa pemerintahan Louis XIV (Lepage, 2010 ; 163).
Gambar potongan model benteng Napoleon Tower (sumber : French Fortifications 1715-1815 ; An Ilustrated History)
Hal yang membedakan model Napoleon Tower dengan model benteng dari era sebelumnya adalah bagian-bagian benteng seperti tempat tinggal tentara, komandan, gudang makanan, gudang amunisi, dan sumur dijadikan dalam satu bangunan bata berbentuk persegi. Bagian paling atas merupakan ruang terbuka yang digunakan sebagai tempat pengamatan dan emplasemen meriam yang biasanya terdiri dari empat buah. Untuk perlindungan tambahan, benteng dikelilingi parit dan dilengkapi dengan jembatan gantung. Model tersebut lalu ditetapkan sebagai standar benteng pantai sepanjang kekuasaan Napoleon. Sedianya akan dibangun sekitar 160 benteng, namun karena sudah di ambang kekalahan dan biaya pembangunannya cukup mahal, maka pekerjaan pembangunan yang berlangsung dari tahun 1812 hingga 1814 hanya menghasilkan 12 benteng. Meskipun kekuasaan Napoleon jatuh, model benteng Napoleon Tower masih terus dikembangkan dan akhirnya model Creneles Model 1846 adalah hasil pengembangan tingkat lanjut dari model benteng Napoleon Tower.
Bagian dalam benteng.
Meskipun benteng Karangbolong dibuat meniru model Napoleon Tower, sejumlah penyesuaian yang dibuat oleh Belanda. Penyesuaian tersebut antara lain dengan meletakan meriam di dalam ruangan benteng sehingga awak yang mengoperasikannya akan terlindungi dari tembakan meriam dari luar sedangkan bagian pucuk digunakan sebagai pos pengamatan. Ruang tinggal tentara kemudian dipindahkan ke ruang bawah tanah yang digali di dalam batuan gunung. Benteng Karangbolong mendapat julukan "Gibraltar Kecil" karena benteng memiliki lokasi yang strategis di dekat pantai dan dibangun di atas gunung batu ('dAlmeida 1864 : 239). Sekitar 75 personel ditempatkan di Karangbolong. Untuk memudahkan pergerakan, benteng Karangbolong dilengkapi dengan terowongan yang menjurus ke pantai sehingga tentara dapat langsung menuju ke sana jika musuh melakukan pendaratan di dekat pantai (Brakell, 1863; 271)
Pintu masuk ke ruang bawah tanah.


Dinding pelindung di depan pintu masuk.
Ruang jaga.
Saya selanjutnya menuruni sebuah terowongan yang menjerumuskan saya ke bagian bawah benteng. Sialnya, terowongan tersebut tidak dilengkapi dengan penerangan yang memadai sehingga saya menuruni terowongan gelap tersebut dengan hati-hati dan hanya mengandalkan kerlip senter hp. Walau gelap, udara sepanjang terowongan terasa sejuk karena lorong ini dilengkapi dengan lubang udara. Terowongan itu kemudian berkelok ke kiri. Di dekat kelokan, terdapat sebuah ruang bawah tanah yang dahulu digunakan sebagai tempat tinggal tentara. Ruangan tersebut dilengkapi dengan saluran udara yang menembus tanah hingga ke atas. Undakan terowongan tersebut kemudian membawa saya ke bagian bawah benteng Karangbolong yang memiliki jalinan ruang bawah tanah dipakai sebagai tempat tinggal tentara, ruang komando, dapur, gudang makanan, dan amunisi.
Terowongan bawah tanah.
Ruang bawah tanah. Sumber udara dan pencahayaan berasal dari sumuran di atas.
Sungguh luar biasa, walau usianya sudah seratus tahun lebih namun langi-langit ruangan itu belum memperlihatkan tanda-tanda akan runtuh. Bangunan yang lama kosong dan kondisinya gelap lagi lembab akhirnya menjadi rumah yang nyaman untuk ribuan kelelawar. Mereka bergelantungan di langit-langit sebuah ruang bawah tanah, meninggalkan timbunan kotoran yang baunya jelas kurang sedap. Entah sudah berapa lama mereka menjadi penghuni benteng. Benteng Karangbolong ternyata bukan satu-satunya benteng peninggalan kolonial di Nusakambangan. Di sebelah barat pulau Nusakambangan, Benteng Klingker dengan keunikanya sedang menunggu untuk dijelajahi.

Tampak luar Benteng Klingker.
Benteng Klingker atau dulu dikenal sebagai Fort Banjoe Njapa dalam peta pelayaran tahun 1885(Sumber : Peta "Zeegat van Tjilatjap").
Tak ada jalan darat yang menghubungkan Benteng Klingker dengan Benteng Karangbolong, sehingga perjalanan ditempuh menggunakan perahu. Dari pantai tempat perahu mendarat, perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki sebagaimana perjalanan pada benteng sebelumnya. Perjalanan dari pantai ke lokasi benteng Klingker ditempuh cukup singkat dibandingkan perjalanan benteng sebelumnya. Sesampainya di ujung jalan, saya mendapati bangunan kuno yang tak lain adalah Benteng Klingker. Kala memandang benteng itu untuk pertama kalinya, rasa iba terbit di hati saya. Benteng itu tampak berdiri sebatang kara di tengah rimba Nusakambangan yang liar. Akar tanaman tumbuh di sekujur dindingnya yang tersusun dari batu bata, membuat benteng itu nyaris ditelan oleh alam. Namun hal itulah yang membuat benteng ini tampak eksotis di mata saya.

Bekas tangga.
Setelah mendirikan benteng Karangbolong di ujung pulau, Belanda mendirikan benteng kedua yang lokasinya di sebelah barat pada tahun 1852. Benteng tersebut berada di medan yang datar. Fort Banjoenjapa, demikianlah dulu Belanda menamakan benteng kedua itu (Kielstra, 1879; 39). Nama benteng Klingker adalah sebutan masyarakat sekitar karena bentuknya yang melingkar. Cukup unik mengingat kebanyakan benteng-benteng yang pernah saya sambangi berbentuk persegi. Benteng berbentuk lingkaran dalam istilah ilmu perbentengan disebut Martello Tower. Tatkala Perancis mengembangkan model Napoleon Tower, maka Inggris selaku musuh utama Perancis juga berupaya meningkatkan teknologi perbentengan mereka dan menghasilkan model benteng Martelo Tower. Model tersebut oleh Inggris disebarluaskan pada berbagai belahan imperiumnya selama abad ke-19 (Lepage, 2010 ; 166). 
Potongan model benteng Martello Tower (sumber :French Fortifications 1715-1815 ; An Ilustrated History).
Gambar benteng Fort Frederic di Kingston, Kanada yang merupakan model benteng Martello Tower yang masih utu (sumber :French Fortifications 1715-1815 ; An Ilustrated History)
Model Martello Tower memiliki konsep yang sama dengan Napoleon Tower. Pembedanya terletak pada bentuknya yang bundar. Ilham bentuk bundar yang menjadi ciri khas Martello Tower berasal dari benteng menara bundar yang didirikan oleh bangsa Genoa di Pulau Corsica, Perancis pada abad ke-16 M. Menara tersebut dibangun untuk melindungi desa-desa di pantai Corsica dari ancaman perompak Afrika Utara. Sewaktu Inggris menyerbu Pulau Corsica pada masa Revolusi Perancis, Inggris yang mengerahkan armada kapal termutakhirnya gagal merebut salah satu benteng bundar bernama Mortella yang hanya dipertahankan oleh 38 orang saja. Inggris rupanya terkesan dengan keunggulan benteng sederhana ini sehingga desainnya ditiru oleh insinyur zeni Inggris sebagai acuan. Adapun munculnya nama Martello Tower adalah kesalahan ejaan dari "Mortella" menjadi "Martello".

Bagian dalam Benteng Klingker.
Benteng ‘Martello Tower’ pertama dibangun Inggris dengan terburu-buru pada 1803, ketika Napoléon hendak menyerang Inggris. Ditinjau dari segi geografis, Inggris adalah negara pulau sehingga rentan diserang oleh musuh dari lautan. Maka dari itu, sejumlah benteng model Martello Tower dibangun Inggris sepanjang abad ke-19 untuk melindungi lini pertahanan pantai Inggris dan titik-titik strategis di jajahan kolonial Inggris di seluruh dunia. Ada sekitar 140 unit benteng yang dibangun Inggris. Sebagian besar berada di sepanjang pantai selatan Inggris dan Kepulauan Channel. Lainnya dibangun jauh di beberapa koloni Inggris seperti Australia, Kanada, Irlandia, Minorca, Afrika Selatan dan Sri Lanka. Model benteng Martello tower buatan Inggris rerata memiliki ukuran tinggi 12 m dan terdiri dari dua lantai. Biasanya diisi dengan garnisun yang terdiri dari satu perwira dan 15 hingga 25 orang. Model sejenis akhirnya ditiru oleh bangsa lainnya seperti bangsa Belanda yang menghadirkan model benteng tersebut di Pulau Cipir, Kepulauan Seribu dan tentunya di Pulau Nusakambangan yang kini menjadi benteng Klingker.

Struktur atap lengkung.
Bentuk benteng Klingker yang bundar dan dinding tebalnya yang tersusun dari pasangan bata yang kokoh membuatnya cukup mampu menahan hantaman tembakan meriam. Sementara di puncak atapnya terdapat ruang tembak terbuka yang dapat diperkuat kira-kira satu meriam berat. Karena bentuknya yang melingkar, maka meriam dapat diarahkan ke segala penjuru. Inilah keunggulan benteng Martello Tower dibandingkan benteng biasa yang sudut tembak meriamnya terbatas. Selain di puncak atap, adanya bekas celah meriam menunjukan bahwa meriam benteng Klingker juga ditempatkan di dalam benteng. Bagian dalam benteng terdapat beberapa ruangan seperti ruang tinggal tentara, ruang komandan, gudang makanan dan amunisi. Untuk menyerang benteng ini, satu-satunya jalan hanya dengan menyerbu langsung dari pantai (Brakell, 1863 ; 271).
Seorang prajurit Belanda yang sedang mengecek salah satu meriam di Benteng Karangbolong yang baru saja dirusak. Meriam tersebut adalah penambahan pada tahun 1940an (sumber : media-kitlv.nl).
Pada tahun 1891, militer Belanda meninggalkan Nusakambangan karena keberadaan benteng-benteng tua seperti Karangbolong dan Klingker dinilai sudah usah dalam menghadap peperangan modern (Haagsche Courant 15 Oktober 1898). Meskipun Pulau Nusakambangan dipandang sudah tidak penting dari segi militer, pulau tersebut masih ada kegunaannya bagi Belanda. Alamnya yang masih liar dan jauh dari permukiman membuat pulau itu ideal sebagai pulau tahanan. Sekitar tahun 1905, perkebunan kakao dibuka di sana dan pekerjanya diambil dari narapidana. Meskipun tampaknya mustahil untuk kabur dari pulau tersebut, Belanda membangun penjara di sana sehingga boleh dikatakan bila penjara tersebut seperti penjara di dalam penjara. Karena ditetapkan sebagai pulau penjara, maka penduduk yang tinggal di sana akhirnya dipindahkan (De Preanger Bode, 9 September 1908). Hingga sekarang, Pulau Nusakambangan masih kondang sebagai pulau para pesakitan dengan hotel prodeonya yang memiliki tingkat pengamanan tinggi. Sekalipun memiliki reputasi seram sebagai pulau bui, namun Pulau Nusakambangan menyimpan keanekaragaman hayati seperti bunga Wikayakusuma yang menjadi tanaman khas pulau itu. Sejak tanggal 24 Juli 1923, bagian timur pulau tersebut ditetapkan sebagai cagar alam "Nusakambangan Timur" oleh pemerintah kolonial (Dammerman, 1924 ; 21). Di dalam cagar alam itulah Benteng Karangbolong dan Benteng Klingker berada. Kedua benteng yang dahulu berdiri angkuh mengawasi perairan Cilacap, kini merana dalam kesendiriannya di sebuah pulau yang sunyi. Seandainya Benteng Karangbolong dan Benteng Klingker mampu berbicara, mungkin hanya ada satu pertanyaan yang akan saya tanyakan pada benteng ini, “Sampai kapan kalian akan mampu berdiri ? “
Referensi
'dAlmeida, William Barrintgon. 1864. Life in Java Vol. 2. London : Publisher Hurst & Blackett
Dammerman, K.W. 1924. Overzicht der Nederl. – Indische Natuurmonunementen. Nederlandsch Indische  Vereeniging tot Natuurbesherming.
Kielstra, E.B. 1879. De Grondslagen der Verdediging van Java. Padang.
Lepage, Jeand Dennis. 2010. French Fortifications 1715-1815 ; An Ilustrated History. Jefferson : MacFarland & Company, Inc., Publishers.
Remmelink, Willem. 2018. The Operation of The Navy in The Ducth East Indies and the Bay of Bengal. Leiden : Leiden University Press.
Van Brakell, Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Amsterdam : P.N. van Kampen.
Nederlandsche Staatcourant, 3 Desember 1856
De Preanger Bode, 9 September 1908
De Locomotief, 13 Mei 1949