Gedung stasiun tua itu berdiri di suatu tepi
jalan di Purworejo yang ramai hilir mudik kendaraan. Kusen kayu jati, dinding
tebal nan tinggi, dan atap baja makin menegaskan kekunoan bangunan stasiun itu.
Ya, itulah Stasiun Purworejo, sebuah stasiun sarat kenangan yang menghantarkan
saya pada sebuah ingatan belasan tahun silam, ketika saya bersua dengan kereta
api untuk pertama kalinya. Deru suara mesin lokomotif diesel yang menggema di
peron stasiun masih sedikit terngiang di telinga saya. Kini, saya mencoba untuk
membongkar kembali ingatan saya di stasiun ini, seraya menerawang lebih jauh
sejarah dari stasiun Purworejo.
|
Tampak depan stasiun. |
|
Overkapping yang menaungi peron Stasiun Purworejo. |
Dari luar, bangunan Stasiun Purworejo tak begitu
istimewa dibandingkan dengan stasiun kuno yang pernah saya sambangi seperti
Stasiun Ambarawa, Stasiun Tawang, atau Stasiun Jebres. Bagian depannya memiliki tiang bendera dan kanopi yang lumayan lebar sehingga orang tidak basah kehujanan saat turun dari delman atau mobil. Meskipun parasnya biasa-biasa saja, namun kenangan yang
membungkusnya yang membuat saya tertarik untuk melangkah masuk kembali ke
stasiun itu. Di lobi tempat dulu penumpang membeli tiket, saya masih menjumpai
loket yang kini tertutup rapat. Entah kapan loket itu akan kembali buka
melayani penumpang. Saya seketika kembali teringat, persis di samping kanan
ruang lobi ini, pernah ada sebuah warung soto legendaris di kota ini. Soto Stasiun
Pak Rus namanya. Benak saya seketika teringat dengan aroma soto yang dahulu
menyeruak seisi ruangan lobi, menggoda perut setiap orang yang menciumnya.
Dulu, alih-alih datang untuk naik kereta atau membeli tiket, orang-orang justru
datang ke sini sekedar untuk menyantap semangkok soto yang lezat itu. Stasiun
Purworejo dulu tersohor dengan sotonya yang lezat. stasiun tua. Ibarat mata
uang, keberadaan Stasiun Purworejo dan Warung Soto itu tak dapat dipisahkan.
Sayangnya, mereka akhirnya harus berpisah setelah stasiun ini tak lagi dipakai
dan warung soto itu pindah ke timur stasiun.
|
Bovenlicht yang terlihat di atas pintu masuk stasiun. |
Kondisi peron itu masih terlihat mirip ketika
saya mengenal dengannya untuk pertama kali belasan tahun silam. Rangka kanopi
peron yang melengkung masih utuh di tempatnya beserta atap bajanya. Lantai
keramik ; yang menggantikan ubin tegel lawas, juga masih terhampar di lantai
peron. Walau demikian, suasana peron itu telah berubah drastis. Ya, peron itu
kini sudah lengang. Tiada lagi terlihat penumpang kereta yang sedang menunggu
kereta, pedagang asongan yang menjajakan dagangannya, para petugas stasiun yang
sedang sibuk bekerja, ataupun orang-orang yang datang ke stasiun sekedar
penasaran dengan rupa kereta. Beragam rasa terekam dengan baiknya di setiap
dinding stasiun ini. Ada rasa sedih dari orang hendak ditinggal pergi oleh
orang yang dikasihinya. Ada pula perasaan bahagia yang muncul dari mereka yang
sedang menyambut sanak keluarga yang mereka rindukan. Ya, stasiun pada dasarnya adalah sebuah tempat yang unik karena disinilah perjumpaan dan perpisahan berkelindan dalam satu ruang, menjadikan tempat ini kental dengan segala ingatan....
|
Peron Stasiun Purworejo yang kini lengang. |
|
Alat pengatur sinyal Alkmaar. |
|
Tulusan "+63" menunjukan ketinggian stasiun Purworejo dari permukaan air laut. |
Betapa
lengangnya suasana peron siang itu. Kontras sekali dengan suasana peron
itu ketika untuk pertama kalinya saya
mendengarkan gemuruh bunyi mesin lokomotif feeder bermesin diesel hidrolik yang
baru saja tiba. Sayapun bersama keluarga bergegas menaiki salah satu gerbong.
Sungguh tak disangka, pengalaman saya pertama kali naik kereta api kala itu
akan menjadi pengalaman terakhir saya begitu mengetahui jalur
Purworejo-Kutoarjo dinonaktifkan pada tahun 2010. Namun sesungguhnya, bukan
kali itu saja stasiun ini dinonaktifkan. Di bawah bayang-bayang kanopi
berangka baja melengkung itu, saya mencoba untuk mengingat awal mula kehadiran
kereta api di kota pensiun ini. Riwayat berdirinya stasiun Purworejo tentu
tidak terlepas dari pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan
Yogyakarta-Cilacap. Ide pembangunan jalur Yogyakarta-Cilacap sudah terlintas
sejak tahun 1869, enam tahun semenjak jalur kereta pertama kali dirintis
perusahaan swasta Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij yang menghubungkan
Semarang dengan Yogyakarta (Rietsma, 1925; 2). Sedianya, konsensi jalur kereta
tersebut sudah ditawarkan pemerintah kepada swasta dan sudah ada yang tertarik
untuk menggarapnya. Pada 29 September 1883, perusahaan dagang terbesar di
Hindia-Belanda saat itu, Nederlandsche Handelmaatschappij telah mengajukan
permohonan konsensi jalur kereta Yogyakarta-Cilacap. Namun permohonan tersebut
ditolak setelah pemerintah memutuskan akan menggarap sendiri jalur tersebut
melalui jawatan kereta negara Staatspoorwegen (SS) (Rietsma, 1925; 8).
Tampaknya alasan pemerintah kolonial akan menggarap sendiri jalur tersebut
adalah karena di sepanjang jalur tersebut terdapat garnisun militer penting
seperti Gombong, Purworejo, dan Cilacap yang menjadi satu-satunya pelabuhan
besar di pesisir selatan Jawa. |
Suasana sekitar stasiun Purworejo tahun 1903. (sumber : datacollectienederland.nl) |
Dalam proses
perencanaanya, ada dua rute yang hendak dipilih. Rute pertama yakni jalur dari
Kutoarjo akan menuju Purworejo, kemudian mengarah ke Magelang, dan berujung di
Yogyakarta. Sementara pada rute kedua, dari Kutoarjo jalur akan berbelok ke
selatan melewati bagian selatan perbukitan Menoreh dan langsung ke arah
Yogyakarta. Mengingat pertimbangan biaya, maka rute kedua yang akhirnya
dipilih. Namun atas desakan dari pihak militer, maka dibuatlah percabangan jalur
dari Kutoarjo mengarah ke Purworejo sepanjang 12 km (Rietsman, 1925; 4). Menurut pandangan militer, Purworejo
perlu disambungkan dengan jalur kereta supaya kebutuhan militer yang
didatangkan dari luar dapat diangkut ke Purworejo dan memudahkan mobilitas pasukan. Di samping itu itu, diharapkan di masa depan nanti pembangunan jalur
kereta dapat diteruskan ke Magelang.
|
Station Purworejo sekitar tahun 1910. Jalan di depan stasiun ini dahulu bernama Stationlaan (sumber ; media-kitlv.nl). |
Setelah melalui berbagai
perencanaan dan masukan, maka Staatspoorwegen memulai pembangunan jalur kereta yang
terbentang dari Cilacap hingga Yogyakarta pada tahun 1884. Pembangunan tersebut
memakan anggaran sebesar 14.430.000 gulden dan memakan waktu 2 tahun 11
bulan untuk menyelesaikannya. Akhirnya kereta melintas untuk pertama kalinya di lintasan Yogyakarta-Kutoarjo pada tanggal 16 Juli 1887. Kereta tersebut berangka
pukul
7.30 pagi dari Yogyakarta dengan
tujuan Kutoarjo. Di dalam kereta tersebut, terdapat gubernur jenderal Otto van Rees beserta rombongannya. Kereta sampai di Kutoarjo pada 9.40 pagi dan dilanjutkan dengan
perjalanan menuju Purworejo yang tiba di stasiun Purworejo pada pukul 10.15 pagi (Algemeen
Handelsblad 24 Agustus 1887).
|
Berita peresmian jalur kereta Purworejo-Cilacap oleh Gubernur Jenderal Otto van Rees (sumber : Algemeen Handelsblaad 24 Agustus 1887). |
|
Tari penumpang dan jadwal perjalanan kereta Purworejo-Kutoarjo pada tahun 1903-1904 (Sumber : Album Excelsior). |
Musadad (2001) dalam laporan penelitiannya menyebutkan bahwa perekonomian Purworejo yang semula kurang berkembang karena bergantung
pada transportasi tradisional seperti kuda dan gerobak, akhirnya menjadi lebih
maju berkat kehadiran kereta api yang lebih efektif dan efisien. Ditinjau dari
segi militer, kehadiran stasiun ini juga meningkatkan mobilitas militer dan
menjadikan Purworejo terhubung dengan garnisun militer di tempat lain seperti
Gombong (Musadad, 2001;38). Meskipun keberadaan stasiun kereta api di Purworejo tampak bermanfaat untuk kegiatan perdagangan dan mempersingkat waktu perjalanan, namun beberapa orang Belanda di Purworejo zaman dahulu menilai bahwa sambungan jalur kereta api adalah biang dari kemerosotan Purworejo yang terjadi pada akhir abad ke-19. Pasalnya kota-kota lain yang semula laju perkembanganya biasa saja, kini berkat adanya sambungan kereta dapat berkembang lebih pesat daripada Purworejo. Sementara Purworejo sendiri memang tersambung dengan jalur kereta api namun jalur tersebut adalah jalur buntu sehingga arus penumpang dan barang yang melewati Purworejo menjadi sedikit sehingga pertumbuhan yang dialami tidak sebesar dengan tempat-tempat lain yang dilintasi jalur kereta (De Locomotief, 8 Oktober 1896).
|
Keadaan lingkungan stasiun Purworejo. Keterangan : A. Stasiun Purworejo; B. Rumah Dinas Stasiun Purworejo.
|
Bentuk bangunan Stasiun Purworejo terlihat beda-beda tipis dengan bangunan stasiun milik Staatspoorwegen yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Timur, seakan sang arsitek hanya bisa menjiplak model yang sudah ada. Bersama dengan Stasiun Jebres di Solo, barangkali Stasiun Purworejo merupakan bangunan stasiun peninggalan Staatspoorwegen di Jawa Tengah yang masih tampak asli. Stasiun adalah gedung yang memiliki peran istimewa dalam suatu kota sehingga penempatan lokasinya harus dipertimbangkan secara masak agar mudah dijangkau dari berbagai penjuru kota. Selain itu, penempatan stasiun sebisa mungkin tidak membuat banyak potongan perlintasan jalan utama dan jalur kereta di tengah kota yang dapat menghambat lalu lintas (Handinoto, 199; 55-56). Stasiun Purworejo ditempatkan di jalan arteri yang menghubungkan Purworejo dengan Magelang. Supaya memenuhi kedua tujuan tersebut, maka Stasiun Purworejo ditempatkan di bagian pinggiran utara kota Purworejo dan berada di pinggir jalan raya Purworejo-Magelang.
|
Bekas rumah kepala balai yasa stasiun Purworejo. |
Untuk sarana penunjang, di sekitar stasiun juga dibangun rumah tinggal untuk pegawai stasiun dan sebuah balai yasa lokomotif, tempat dimana lokomotif diperbaiki dan dirawat. Namun pada 31 Desember 1930, Staatspoorwegen menutup balai yasa Stasiun Purworejo dalam rangka penghematan. Kegiatan perawatan kereta dan gerbong dialihkan ke Stasiun Kutoarjo. Sementara pegawai balai yasa stasiun Purworejo dipindahkan ke Lahat (De Locomotief, 20 Oktober 1930). Balai yasa itu kini menjadi perumahan tentara dan tinggal menyisakan rumah kepala balai yasa.
|
Rumah dinas pegawai stasiun. |
|
Rumah dinas untuk pegawai stasiun tingkat bawah. |
Masa-masa selanjutnya merupakan masa dimana Stasiun
Purworejo nasibnya terombang-ambing. Ia sempat
ditutup pada masa kependudukan tentara Jepang. Awal kemerdekaan ia dibuka
kembali, lalu ditutu kembali sekitar tahun 1952-1955. Lalu saat peralihan menjadi Djawatan Kereta Api (DKA)
petak jalur tersebut kembali dibuka. Kemudian tahun 1977, ia
kembali ditutup hingga dekade
1990-an. Setelah tak dipakai
sekian lama, sekitar tahun 1990an, ia diaktifkan kembali pada masa
kepemimpinan Goernito,
Bupati Purworejo
dan Haryanto Dhanutirto, Menteri Perhubungan kala
itu. Tahun 2010, stasiun ini akhirnya kembali diistirahatkan
karena rel yang terbentang di sepanjang jalur kereta
Purworejo-Kutoarjo rupanya belum layak untuk dilintasi kereta api standar (Agung
Pranoto;2012). Karena stasiun ini
merupakan Cagar Budaya, maka ia sempat dikonservasi oleh Unit Pelestarian Benda
dan Bangunan PT. KAI (Persero) di tahun 2012. Sampai tulisan ini dibuat (2017), tak ada tanda-tanda stasiun ini akan hidup kembali. Rel-rel di emplasemen
sudah lama menganggur. Ruang kantor stasiun masih kosong melompong. Loket juga
belum kunjung dibuka. Stasiun itu masih beristirahat dengan kesunyiannya yang
panjang…
|
Jalur ujung stasiun Purworejo. Sedianya, Belanda akan membangun jalur kereta yang menghubungkan Purworejo dengan Magelang dengan menembus perbukitan Menoreh. |
Saya
kini berdiri bersandar pada salah satu tiang baja atap kanopi. Tatapan mata
saya mengarah ke ujung emplasemen stasiun di sebelah timur. Di kejauhan, tampak
hijaunya perbukitan Menoreh yang dulu hendak ditembus oleh jalur kereta. Ditinjau dari
segi arsitektur bangunannya, stasiun Purworejo adalah stasiun persinggahan
atau doorgangstation di mana jalur utama terus berlanjut dan
bangunan stasiun sejajar dengan satu sisi jalur utama. Namun jika melihat peta
jaringan kereta di Jawa, Stasiun Purworejo justru ada di ujung jalur
Kutoarjo-Purworejo. Pembangunan jalur kereta di Purworejo rupanya
tak berhenti sampai di Stasiun Purworejo saja. Sedari awal pemerintah kolonial memang sudah berancang-ancang untuk
menjalin jalur kereta Purworejo–Magelang sebagai bagian dari jalur kereta
Cilacap-Semarang. Rencananya, dari Purworejo jalur kereta akan melewati Loano,
Bener, Salaman, Borobudur, dan kemudian menyambung dengan jalur kereta Yogyakarta-Magelang di Blondo. Namun pembangunan
sambungan kereta antara Magelang-Purworejo akan menjadi
salah satu pembangunan jalur kereta yang terberat dan termahal dalam sejarah
perkeretapian di Indonesia. Sulit dibayangkan akan ada berapa banyak bukit yang
akan digali dan
jembatan yang harus dibangun di atas jurang sungai yang dalam. Selain itu sebuah terowongan
sepanjang 850 meter akan
digali menembus perut perbukitan Menoreh. Biaya
pembangunannya diperkirakan sekitar NLG 4.576.000. Mengingat pembangunannya dinilai
sulit dan cukup mahal biayanya, maka
pembangunan jalur kereta Purworejo-Magelang belum bisa menjadi prioritas dan
terhenti di Purworejo (Rietsma, 1925; 5). Namun semua
kesulitan tadi akan terbayar dengan faedah luar biasa yang dihasilkan dari
jalur tersebut. Dua kota pelabuhan penting, yakni Semarang di utara dan Cilacap
di selatan akan tersambung. Perkebunan yang ada di wilayah selatan Karesidenan
Kedu juga dapat memanfaatkan jalur tersebut untuk mengangkut hasil
perkebunannya ke pelabuhan Semarang yang sarananya lebih lengkap dibanding
Cilacap. Selain itu, jalur tersebut juga bakal mempersatukan Purworejo dengan
serangkaian garnisun militer yang ada di Jawa Tengah seperti Gombong, Magelang,
dan Ambarawa. Tak hanya untuk kepentingan ekonomi dan militer, jalur itu kelak juga dipakai untuk kepentingan wisata karena jalur akan melintas di dekat Candi
Borobudur. Begitu manisnya harapan pemerintah kolonial itu namun harapan
mereka pupus, sirna ditelan kenyataan bahwa keadaan Hindia-Belanda yang
terancam perang saat itu sedang tidak memungkinkan untuk membangun jalur kereta
baru. Hingga pergantian pemerintahan dari kolonial ke Republik Indonesia, jalur
tersebut juga tak kunjung diwujudkan. Alhasil, gagasan tadi pada akhirnya hanya
tersimpan di rak arsip....
|
Stasiun Purworejo ketika masih aktif. Terlihat sebuah kereta yang hendak berangkat ke Kutoarjo. Kapankah pemandangan ini akan terlihat kembali ? (Sumber : https://c2.staticflickr.com/6/5083/5221964663_5b0087e39e_b.jpg ).
|
Hari ini, stasiun penuh
kenangan itu masih tertidur lelap. Ia sedang menunggu deru suara mesin kereta
yang akan membangunkannya suatu hari nanti. Saya yakin, betapa rindunya warga
Purworejo mendengar bunyi kereta yang melaju di tengah kotanya. Sayapun juga
membayangkan seandainya saja stasiun ini tak pernah ada, barangkali kota
Purworejo tak akan semaju sekarang. Maka, sudah sepantasnya warga Purworejo
berterima kasih kepadanya dengan cara melestarikanya untuk kebaikan anak cucu
kita..
mantap, saya suka artikelnya
BalasHapusUlasannya menarik2..jd pengen tahu lbh dekat tentang peninggalan kolonial utamanya yang ada di jogja..
BalasHapusBangga jadi cucu orang Purworejo
BalasHapusAkan di aktifkan kmbali
BalasHapusAdik suryantoro.setuju gk gaes,ulasan sya d bawah Ney...
HapusSeandainya saya boleh usul,stasiun Purworejo yg buntu alangkah baiknya d teruskan k magelang.msal takut Trase/jalur bru yg mamakan anggaran yg besar karena kontur tanah perbukitan gmn bikin jalur kreta api d bikin GK jauh dr sungai yg memanjang menuju Magelang.krn menurut pengamatan sy,jalur kreta api yg ad d prbkitan,belanda membikin ngikuti arah sungai yg arahnya kota k kota laen.i love u,Purworejo(ch mboto).
BalasHapusTerima kasih sudah menuliskan sejarah kota aku kembali
BalasHapusTb2 saya searching karna diceritain mbak kalau mbah kakung dulu adalah kepala stasiun purworejo. Bangga bangeeet.
BalasHapus