Aliran Sungai Bengawan
Solo yang kecokelatan mengalir liuk laksana ular naga dari hulunya di lereng Lawu sebelum akhirnya bemuara di Laut Jawa. Di salah satu
tepiannya, sebuah benteng tua masih berdiri menunjukan keperkasaanya sekalipun usianya lebih dari seabad lamanya. Itulah Benteng Van den Bosch Ngawi. Seperti
apakah cerita dibalik benteng yang namanya diambil dari nama seorang Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda ini ? |
Gambar lingkungan Fort van Den Bosch Ngawi (sumber : nationaalarchief.nl).
|
Petugas karcis itu
tampak tidak seperti petugas karcis pada umumnya. Duduk di semacam pos jaga
militer, berambut cepak, postur tubuhnya tegap, dan raut wajah terlihat sedikit
garang ketika ia menyerahkan karcis kepada saya. Sosok petugas karcis itu lebih menyerupai seorang tentara. Di dalam benak, saya bertanya, benteng ini sebenarnya obyek
wisata atau kompleks militer ? Sekalipun benteng Van den Bosch merupakan obyek
wisata unggulan Ngawi, tapi area pintu masuk benteng ini masih masih dikuasai
oleh instansi militer setempat.
Jalan yang ditempuh dari
pintu masuk ke area utama benteng lumayan jauh. Tatkala saya sedang melangkah
ke arah benteng, saya menjumpai sebuah struktur bangunan yang berdiri sendiri
di ujung sebuah lapangan. Itulah raveline
benteng Van den Bosch Ngawi. Kegunaan struktur ini ialah untuk memberi perlindungan
ekstra pada area di luar benteng. Pada abad ke-18, bentuk raveline apabila dilihat dari atas berbentuk segitiga. Namun
memasuki abad ke-19, bentuk raveline berubah menjadi trapesium.
|
Pintu gerbang benteng sisi barat dan sisi selatan. |
|
Katrol yang dipakai untuk menarik jembatan angkat. |
Semakin mendekati
benteng, jalan tiba-tiba sedikit menurun, namun jalan menanjak kembali. Apa
yang baru saja lewati dulunya merupakan parit benteng. Parit ini dulunya berair,
namun kini ia sudah tertimbun tanah. Lalu untuk menyeberangi parit, ada sebuah
jembatan angkat di atasnya, namun jembatan itu sudah tiada. Agar pekerjaan lebih cepat, galian parit tersebut lalu digunakan sebagai gundukan tanah pelindung benteng (Killy.Fontana. Quick, 2007; 58). Setelah
“menyeberangi” parit, kini saya sudah berada di depan bangunan yang merupakan
gerbang masuk pertama benteng. Di sini, saya menjumpai roda katrol yang dulu
digunakan untuk mengangkat jembatan yang dulu melintang di atas parit. Di
samping kanan dan kiri bangunan gerbang, terdapat gundukan tanah yang
mengelilingi benteng dan tingginya nyaris sepadan dengan tinggi bangunan benteng. Gundukan tanah inilah yang menjadi perisai utama benteng ini dari terjangan musuh. Kenapa ia tidak menggunakan dinding batu saja yang mungkin lebih kuat ? Dinding bata rupanya tidak menjamin daya tahan sebuah benteng dari hantaman peluru meriam. Perkembangan teknologi artileri semakin membaik. Tembakan lebih tepat mengenai sasaran dan daya hantamnya kian kuat. Dinding-dinding batu itu pun langsung hancur menjadi debu. Akhirnya diketahui bahwa ternyata gundukan tanah yang tebal jauh lebih efektif daripada tembok bata karena sifat tanah yang lembut dapat menyerap pukulan peluru. Selain sebagai sarana pertahanan, ia juga berguna untuk melindungi benteng dari luapan air Sungai Bengawan
Solo. Karena dari luar benteng ini seolah tertutup oleh gundukan tanah, maka
benteng ini kadang disebut dengan Benteng Pendem Ngawi.
|
Bangunan benteng dilihat dari pintu masuk. |
Sudah sekian lama saya
mengimpikan untuk bisa berkunjung ke benteng ini. Sekarang, di depan saya sudah
berdiri bangunan utama benteng Van den Bosch Ngawi yang masih tampak. Terutama setelah bangunan benteng ini mulai dipugar oleh Kementeria PUPR pada tahun 2020. Di atas
lengkung pintu masuknya, tertera sengkalan yang menunjukan rentang tahun benteng ini dibangun,
“1839-1845”. Keperkasaan benteng ini adalah seakan menjadi simbol betapa perkasanya kekuatan pemerintah kolonial di masa itu setelah perlawanan Pangeran Diponegoro berhasil dipatahkan. Namun di balik keperkasaanya, tersimpan rasa kekhawatiran jika suatu hari nanti kekuasaan pemerintah kolonial di sini justru ditumbangkan oleh kekuatan dari luar. Angan saya sejenak melangkah ke belakang, ke masa ketika para
insinyur zeni sedang merancang benteng ini…
|
Johannes Van Den Bosch (2 February 1780 – 28 January 1844), Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang memprakarsai sistem cultuurstelsel atau tanam paksa. Namanya diabadikan menjadi nama sebuah benteng di Ngawi (sumber : commons.wikimedia.com). |
Sembilan tahun sudah
Perang Jawa berlalu. Perjuangan Pangeran Diponegoro dipatahkan dan sang pangeran diasingkan. Perhatian pemerintah kolonial kini dialihkan kepada
bagaimana cara agar mereka bisa memulihkan kas yang sudah terkuras habis oleh
perang tadi. Lalu, tersebutlah seorang jenderal veteran Perang Jawa mengajukan sebuah gagasan yang di kemudian hari dikenal sebagai tanam paksa, cultuurstelsel.
Jenderal yang selanjutnya menjadi pucuk penguasa Hindia-Belanda itu bernama Johannes van den Bosch. Setelah masalah keuangan diatasi,
muncul kembali sebuah masalah baru. Bagaimanakah mempertahankan kuasa mereka di Jawa dari serbuan
bangsa asing ? Pada saat pemerintah kolonial menggalakan tanam paksa, keadaan dalam negeri kerajaan Belanda sedang kacau akibat revolusi Belgia. Mereka gusar jika negara Eropa lain berusaha mengintervensi wilayah daratan Belanda dan gejolak meluas hingga ke tanah jajahannya. Pemerintah kolonial ternyata belajar dari pengalaman pahit ketika pertahanan Jawa dijebol begitu mudahnya oleh Inggris pada tahun 1811. Dulunya, VOC
sudah mendirikan benteng-benteng kuat di sepanjang kota-kota pesisir. Namun Gubernur Herman Wilhelm Daendels memerintahkan agar
benteng-benteng tadi dibongkar untuk diganti dengan sistem pertahanan yang lebih mobile. Hal tersebut rupanya melemahkan pertahanan daerah pesisir, sementara sarana pertahanan di pedalaman masih sedikit. Hal itu diperparah dengan jumlah dan mutu angkatan bersenjata mereka yang payah sehingga mudahlah bagi Inggris untuk merebut Jawa dari tangan Belanda.
|
Rencana letak Fort van Den Bosch Ngawi pada kota Ngawi (sumber : nationaalarchief.nl).
|
|
Peta kota Ngawi. Terlihat benteng van den Bosch terletak di ujung dari inti kota Ngawi. Letaknya berada di pertemuan dua sungai, memberikan keuntungan perlindungan. ( sumber : maps.library.leiden.edu ). |
Berangkat dari pengalaman pahit itu, Van den
Bosch menginisiasi sebuah sistem pertahanan skala besar yang mencakup teritori
pesisir dan pedalaman. Insinyur zeni Colonel Van der Wijk diberi amanat oleh Van
den Bosch untuk mendirikan benteng-benteng baru di pesisir seperti di Surabaya,
Batavia, dan Semarang. Van den Bosch nyatanya tak hanya mendirikan benteng di pesisir saja, namun juga di pedalaman. Setidaknya ada tiga benteng baru yang
dibangun, yakni Benteng Cochius di Gombong, Benteng Willem I di Ambarawa, dan Benteng Van
den Bosch di Ngawi. Benteng-benteng di pedalaman ini memainkan peranan sebagai garis
pertahanan cadangan andaikata wilayah pesisir sudah dikuasai musuh. Ada alasan khusus mengapa Ngawi dipilih oleh Belanda sebagai lokasi benteng. Sesudah berakhirnya Perang Jawa pada tahun 1830, wilayah Karesidenan Madiun yang meliputi Ngawi diambil alih oleh Belanda. Mengingat posisi Ngawi cukup strategis yakni berada di pintu masuk bagian barat Karesidenan Madiun, maka Belanda mendirikan benteng di sana. Pembangunan benteng dikomando oleh Jacobus van Dentz. Sayangnya catatan lebih rinci tentang pembangunan tersebut belum ditemukan selain berupa gambar-gambar rancangan benteng (Soerabaiasch Handelsblad, 27 Maret 1937).
|
Kondisi Fort Van den Bosch Ngawi pada tahun 1930-an. |
|
Benteng Van Den Bosch pada tahun 1940. Ketika foto ini dibuat, benteng ini diubah sebagai penjara militer (sumber : media-kitlv.nl). |
Satuan pasukan yang menempati benteng ini adalah satuan kompi 2 Batalyon Infanteri KNIL ke-8 (De Locomotief, 5 Desember 1930). Memasuki abad 20,
benteng bikinan Van der Wijk di Jawa ini dianggap sudah primitif dan
tak layak lagi sebagai garnisun tentara. Pada tahun 1905, benteng-benteng ini
dibebastugaskan sebagai sarana pertahanan termasuk Benteng Van den Bosch Ngawi. Setelah tidak digunakan sebagai garnisun, benteng Van Den Bosch Ngawi digunakan sebagai penjara militer. Pada tahun 1926, bangunan ditempati oleh lembaga 'S Land Opvoedingsgesticht, yakni lembaga pendidikan milik pemerintah kolonial untuk membina remaja-remaja yang melakukan kejahatan (De Locomotief, 12 Maret 1926). Lembaga tersebut tidak lagi menempati bangunan benteng Ngawi pada tahun 1932 dan kembali digunakan sebagai garnisun militer dalam ukuran yang lebih kecil (De Locomotief, 7 November 1932). Di masa penjajahan Jepang, Benteng Van den Bosch Ngawi sempat dijadikan kamp tawanan dengan daya tampung 1.580 orang. Mereka yang ditawan Jepang terdiri dari pria dewasa, perempuan, dan anak-anak, termasuk di antaranya adalah pejabat tinggi kolonial. Para tawanan tersebut kemudian dipindahkan ke Cimahi pada tahun 1944. Sesudah kemerdekaan, benteng ini menjadi
markas dan gudang amunisi Batalyon Armed 12. Lingkungan sekitar benteng kadang
digunakan sebagai area latihan tentara. Selanjutnya di tahun 1970-1980, benteng
ini ditinggal dalam kondisi kosong. Selama rentang waktu itulah banyak bagian
benteng yang mulai hilang seperti lantai kayu dan jendela. Setelah terbengkalai
dalam waktu lama dan aksesnya tertutup untuk umum, kini ia bisa dikunjungi
sebagai obyek wisata. Tahun 2012, pemerintah Kabupaten Ngawi berupaya menata
kawasan benteng Van den Bosch untuk dijadikan sebagai destinasi wisata sejarah
dan edukasi di Kabupaten Ngawi dan pada tahun 2020, bangunan benteng berhasil dipugar oleh Kementerian PUPR.
|
Citra satelit benteng Van den Bosch. Garis merah merupakan bekas ravelijn. Sementara garis kuning merupakan tanggul tanah. |
|
Gambar denah rencana bagian lantai satu dan lantai dua Fort van Den Bosch (sumber : nationaalarchief.nl). |
Kembali lagi ke masa
sekarang, langkah kaki saya mulai bergerak masuk ke dalam benteng, melewati
portrait besar Gubernur Jenderal van den Bosch yang tertempel di lorong masuk.
Di dalam benteng ini, ada dua buah lapangan yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang sudah dipugar dengan cukup baik. Di sebelah utara terdapat bangunan Indis Neo-Klassik berlantai satu yang dulunya merupakan tempat tinggal dari komandan benteng. Nama-nama komandan benteng tersebut dahulu diabadikan dalam plakat besi di bagian pintu masuk benteng yang sayangnya sekarang sudah hilang. Nama-nama komandan tersebut antara lain K.C.A. van Hogendorp, O.H. v. . Sandick, B. Arts, J.H. Heimpell, C.H. Boon van Ostade, E.M. Kool, N. Bleckmann, I.C. L. Mangin, J.N.A. Sassen, N. Kloemeijer, C. van der Wijck, B. de Quay dan J. v. Staveren (Soerabaiasch Handelsblad, 27 Maret 1937). Di belakang bangunan tersebut, bangunan yang dulunya
dipakai sebagai dapur umum dan poliklinik benteng di lantai dua. Dapur umum ini memasak makanan yang disediakan
untuk para penghuni benteng beserta keluarganya. Entah berapa kayu bakar yang
dihabiskan untuk kegiatan masak besar yang berlangsung setiap harinya itu.
|
Bangunan neoklassik di dalam benteng yang dahulu digunakan sebagai rumah komandan. |
|
Bangunan dapur umum yang sudah direkonstruksi. |
Sinar matahari yang
terik mulai terasa membakar tatkala saya berdiri di lapangan tengah benteng.
Tepat di seberang selatan bangunan tadi, terdapat sebuah bangunan
berlantai dua yang dahulu digunakan sebagai kantor dan kantin militer. Dari lapangan ini, menara jam terlihat bertengger di
atas pintu masuk. Dulu, dentang lonceng jam itu dapat terdengar hingga luar
benteng. Saya lantas membayangkan kembali ke masa lampau, di lapangan yang sama,
saya berdiri bersama barisan serdadu yang terdiri dari orang Eropa, Ambon,
Manado, Madura dan Jawa. Di masa itu, kesatuan militer dari berbagai suku
bangsa adalah hal yang jamak (Novida Abbas, 2007; 49).
|
Bangunan di selatan lapangan. |
|
Menara jam di atas pintu masuk. |
Benteng ini pada
dasarnya terdiri dari empat buah bangunan barak terpisah yang disusun
mengelilingi sebuah lapangan dan dua bangunan besar di tengahnya. Barak-barak
ini dipisahkan berdasarkan kompinya “ untuk mencegah prasangka, ketidakpuasan,
dan segala pikiran buruk prajurit Bumiputera” jelas Dabry de Thiersant, seorang
orientalis yang banyak menulis soal militer Hindia-Belanda abad 19. “Sehingga
perbuatan yang menyimpang atau perlawanan dapat segera ditumpas orang Eropa
yang memahami dan keributan tidak menyebar”, sambungnya (Santosa, 2016 ; 142).
Setiap barak disambungkan oleh sebuah jembatan yang ada di lantai dua. Sebagai
penyesuaian dengan iklim tropis, maka barak-barak itu dilengkapi dengan beranda
luar. Sementara itu, bagian atap bangunan ini dibuat datar atau papak, sehingga
dari tempat ini, prajurit dapat berjalan mondar-mandir memantau keadaan
sekitar benteng.
|
Bangunan barak yang sudah hancur. |
|
Perbandingan kondisi benteng sebelum dand sesudah dipugar. |
Meskipun sebagian besar benteng tinggal reruntuhan, namun setidaknya, ia bisa mengungkap bagaimana teknologi susun bangun yang digunakannya. Secara keseluruhan, benteng ini terbuat dari bata merah. Karena teknologi tulang besi belum ditemukan pada waktu itu, maka beban susunnya hanya bergantung pada dinding bata yang tebal saja. Untuk mengurangi beban tersebut, maka dibuatlah susunan melengkung. Reruntuh susunan lengkung ini seolah mengingatkan saya pada reruntuh saluran akuaduk kuno bangsa Romawi, bangsa yang menemukan teknologi susun lengkung yang masih dipakai berabad-abad kemudian dan kini ia dipakai di benteng yang saya kunjungi ini.
|
Beranda lantai dua yang masih tersisa. |
|
Bagian dalam benteng sebelum dan sesudah dipugar. |
Sayapun mencoba untuk
menaiki beranda lantai dua pada salah satu bangunan barak lewat sebuah tangga.
Di bawah tangga itu ada sebuah ceruk kecil yang dulu digunakan sebagai penjara.
Bau kotoran kelelawar segera menyeruak dari dalam ruang-ruang yang dulu menjadi
tempat tinggal prajurit beserta keluarganya. “Para pria, perempuan, dan anak yang tinggal
satu barak, makan bersama, menyiapkan makanan dan membersihkan barak dilakukan
bergiliran oleh perempuan, dan mereka tunduk pada hukum militer“, jelas Dabri
de Thiersant yang membeberkan kehidupan keluarga serdadu dalam tembok barak.
Sayang, ia tak memberi catatan apapun tentang perselingkuhan atau penelantaran
anak yang sering dilakukan oleh para serdadu (Santosa, 2016 ; 142). |
Penggunaan struktur lengkung untuk memperkuat dinding benteng. |
|
Tangga menuju lantai dua benteng. |
|
Tampak luar dan dalam bekas gudang mesiu. |
Setelah bagian dalam
kelar saya jelajahi, saya beranjak ke arah timur benteng, area yang jarang
dikunjungi oleh banyak orang. Dari area inilah saya dapat melihat bagian luar
benteng secara keseluruhan dan mungkin bagian yang tak jelas terlihat dari
dalam benteng seperti bekas gudang mesiu yang terletak di setiap pojok benteng.
Gudang-gudang itu sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mesiu yang disimpan
tidak mejan akibat lembab. Oleh sebba itulah, hingga tahun 70an, ia masih
digunakan oleh TNI untuk media penyimpanan mesiu.
Kini, saya berjalan
perlahan meninggalkan benteng, kembali bersua dengan petugas karcis bertampang sangar
tadi. Sekalipun benteng ini sudah kehilangan masa lalunya, namun saya percaya
ia akan tetap berdiri perkasa hingga beberapa generasi ke depan, dengan sungai
Bengawan Solo yang mengalir tenang di bawahnya….
Referensi
Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa
Kolonial. Yogyakarta ; Graha Ilmu.
Hari Kurniawan. 2013. Laporan Observasi Benteng Pendem Van
Den Bosch, Ngawi. Komunitas Roemah Toea. Yogyakarta.
Abbas, Novida. 2007. “ Organisasi Kemiliteran Pada Masa Pengaruh Islam dan
Kolonial di Jawa dalam Berkala Arkeologi Tahun XXVII No.2 / Tahun 2007.
Killy, Lawrence H. Fontana, Marissa. Quick, Russel. 2007. Baffles and Bastions : The Universal Feature of Fortications dalam Journal of Archaeilogical Research vol. 15, no.1 Maret 2007 (halaman 55-95).
https://www.indischekamparchieven.nl/en/search?mivast=963&mizig=276&miadt=968&miaet=14&micode=kampen&minr=1395940&milang=en&misort=unittitle%7Cdesc&mizk_alle=ngawi&mif1=East%20Java&miview=ika2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar