Tak terlalu besar gerbang itu. Di dindingnya, terpampang
angka tahun 1884, tahun gerbang itu didirikan. Menyambut kedatangan saya, tulisan
“MEMENTO MORI” yang pudar tertoreh di atas pintu masuk melengkungnya. Sungguh
tepat rasanya jika kalimat berbahasa Latin yang berarti “Ingatlah Kematian“
itu terpajang di gerbang permakaman. Gerbang itu seakan mengingatkan pada
setiap jiwa yang hidup bahwa kematian sejatinya hanyalah sekedar gerbang menuju
alam yang kekal. Apa yang ada di balik gerbang itu menjadi tujuan kedatangan
saya ke sana, ke Kerhof Ngawi….
Makam berbentuk tugu kecil.
|
Senyap menyergap ketika kaki ini mulai berderap menyusuri jengkal
demi jengkal kompleks pemakaman yang terletak di Kampung Pelem, Ngawi itu. Seperti
halnya pada pemakaman lain, tiada tanda kehidupan di situ. Apa yang saya jumpai
hanyalah kematian yang dikenang lewat monumen-monumen kecil. Makam–makam tua
beraneka bentuk itupun hanya bergeming ketika saya mulai mengamatinya satu
persatu, melihat detail bentuk dan isi setiap prasastinya. Ada yang berbentuk
seperti menara benteng, lalu ada yang seperti kuil Yunani kuno, dan ada pula
yang berbentuk seperti sebuah tugu obelisk Mesir kuno.
Dari sekian makam di Kerkhof Ngawi, ada bentuk makam yang baru
kali itu saya temukan di kerkhof itu. Secara kasat mata, bentuknya mirip dengan
bong, makam tradisional Tionghoa, namun tanpa altar untuk menaruh sesaji dan
dupa. Prasastinya pun berbahasa Belanda dengan huruf Latin. Tiada pula altar
dewa bumi yang biasanya mendampingi sebuah bong. Oleh sebab itu, masyarakat
setempat menjuluki makam itu sebagai Bong
Londho, bong untuk orang-orang Belanda. Lalu mengapa bentuknya demikian ?
Tiada literatur yang dapat menjelaskannya. Sayapun akhirnya hanya bisa menerka
jawabannya bersama kesunyian makam. Asumsi saya adalah karena di Ngawi barangkali saat
itu belum ada orang yang mampu membuat makam bergaya Eropa, akhirnya
orang-orang Belanda mempekerjakan para tukang Tionghoa yang sudah terbiasa
membikin bong. Maka tukang Tionghoa pun membuat makam dengan bentuk yang sudah
kerap mereka buat untuk golongan mereka. Entah benar atau salah asumsi saya,
yang pasti makam Bong Londho itu merupakan salah satu wujud perkawinan budaya
barat dengan Tionghoa.
Makam-makam bercungkup dengan aneka bentuk. |
Sebuah makam dengan bentuk seperti kuil Yunani Klasik. |
Nomor penanda makam. |
Patut disyukuri bahwa cukup banyak makam yang prasasti masih utuh,
sehingga cukup membantu sanak keluarga yang ingin melacak jejak leluhurnya di
kerkhof itu. Warga setempat telah berupaya lebih untuk menjaga warisan sejarah
yang ada di dekat tempat tinggal mereka. “Beberapa tahun silam, pernah ada
seseorang yang terpergok mengambil salah satu patung di kerkhof ini“, tukas
seorang warga yang tak ingin disebutkan namanya. “Oleh juru kunci, si pencuri
dibawa ke kantor polisi dan akhirnya dibebaskan dengan syarat tertentu“,
sambungnya. Tindakan tegas seperti itu memang perlu diambil jika sudah
mengancam keberadaan warisan sejarah.
"Carrara", perusahaan penjual batu marmer yang bermarkas di Surabaya. Selain membuat prasasti, perusahaan ini juga membuat makam. |
Iklan perusahaan"Carrara" pada koran Soerabaisch Handelsblad tanggal 8 November 1930. |
Makam bertanda " AI MARMI ITALIANI SOERABAIA". Sama dengan batu nisan di atas, batu nisan ini juga dibeli di Surabaya. Tampanya batu-batu nisan di kerkhof Ngawi ini rata-rata dibeli di Surabaya. |
Iklan merk marmer "AI MARMI ITALIANI" pada koran De Indische Courant tanggal 11 Desember 1925.
|
Pada beberapa makam, saya menemukan suatu tulisan kecil di bagian dasar
prasasti. “ A.I. MARMI ITALIANI, SOERABAIA “ dan “CARRARA”SB”, itulah bunyi tulisan itu. Dari tulisan itu, saya dapat mengetahui asal-usul marmer itu. Marmer-marmer putih itu dibeli di Surabaya dan ia ditambang dari sebuah tambang
marmer legendaris di Italia, Gunung Carrara, yang menghasilkan marmer-marmer putih
yang cemerlang dan mudah dipahat. Sejak zaman Romawi marmer-marmer di gunung
itu ditambang. Bongkahannya dipakai untuk mendirikan monumen mahsyur bangsa
Romawi seperti Pantheon dan Kolom Trajan, adikarya patung seniman era
Renaissans seperti patung David karya Michelangelo, gereja-gereja agung seperi
Basilika St. Peter, dekorasi istana para raja di Eropa hingga untuk sebuah batu
nisan yang ada hadapan saya sekarang. Sayang, karena mutunya itulah, batu
prasasti itu menjadi buruan oknum tak bertanggung jawab.
Pauliena Jansen / Pekalongan, 23 Maret 1879 - Ngawi, 3 Oktober 1929
Henri Louis van der Waarden / Hellevsestluis, 23 Desember 1892 - Ngawi, 30 Juli 1939
H.J.J. Schoemaker / Nijmegen, 31 Desember 1841 - Ngawi, 20 Juni 1911
Deetje Milder / ( ? ), 21 Mei 1898 - Ngawi, 12 Desember 1898
Nicootje Keller / Ngawi, 24 Maret 1901 - Ngawi, 5 Januari 1902
Johannis van der Linden / ( ? ), ? ? 1901 - Ngawi, 4 Februari 1903
Krona van der Linden / ( ? ), ? ? 1899 - Ngawi, 18 Februari 1903
H. Stevens / Leuven 3 Oktober 1852 - Ngawi, 8 Juni 1881
J.H. Trenzsch / Amsterdam, 29 Juni 1813 - Ngawi, 8 September 1878
Charlotta Maria Carolina van den Ende / , 30 September 1883 – Ngawi, 15 September 189(?)
H. van Ewijck / Bojonegoro, 11 September 1833 – Ngawi, 26 April 1879
W.F. Jansen / Semarang, 25 Oktober 1861 – Ngawi, 1 Juli 1878
Johanna Jacoba SchÜtz / Salatiga, 1 Januari 1827 – Ngawi, 26 Januari 1905
J.C. Stoffel / ( ? ) – Ngawi, 2 September 1880
D.F. Vincent / ( ? ) – Ngawi, 4 September 1886
F.R. Bruhns / ( ? ) - ( ? )
C. Brossaers. Ceb. Van der Carden / S.Bosch , 5 Februari 1810 – Ngawi, 2 Januari 1849
S. de. Groeve / ( ? ) - ( ? )
Jacobus Teske / ( ? ), 30 Juni 1852 – Ngawi, 27 Desember 1904
J.H.G. Vermeulen / ( ? ), 15 November 1860 – Ngawi, 3 Februari 1875
T.B. Vermeulen / ( ? ), 10 Oktober 1820 – 3 Oktober 1873
Jan Hendrik van Putten / Utrecht, 1 Juni 1843 – Ngawi, 26 Januari 1911
Classina, Cicila van Putten / Rembang, 17 September 1840 – Ngawi, 21 Juli 1920
A.A. Bogards / ( ? ), ( ? ) 1869 – Ngawi, 18 Oktober 1929
Willem Bogards / Padang, 8 Februari 1830 – Ngawi, 22 November 1906
Johannes Cornelis Henricus Jeekel / ( ? ), 20 Juli 1902 – Ngawi, 28 September 1902
Lodewijk George Lappe / ( ? ), 6 September 1851 – Ngawi, 10 November 1867
Godlieb Willem Frederik Eberlyn / ( ? ), 24 Desember 1822 – Ngawi, 7 Agustus 1900
F.J. Suersen / ( ? ), 12 Maret 1814 – Ngawi, 27 Desember 1850
Marie Eliza Joseph Robert / ( ? ), 13 Oktober 1851 – Ngawi, 25 Juni 1852
Johanna Maria Wihelmina / ( ? ), 15 Maret 1871 - Ngawi, 21 Desember 1884
J.L.Juch / ( ? ), 13 Januari 1839 – Ngawi, 11 Desember 1881
Johanna Cornelia van der Styger / ( ? ), 10 Juli 1805 – Ngawi, 22 Februari 1859
A.U. Boonemer / ( ? ), 4 Desember 1852 – Ngawi, 26 Desember 1852
Gerrit Heinnekamp / ( ? ), 22 Agustus 1895 – Ngawi, 1 Maret 1930
Johan Dirk Anton Schiefflers / ( ? ), 18 Januari 1906 – Ngawi, 1 September 1933
Radiesan Hendrik Ham / ( ? ) , 29 November 1881 – Ngawi, 10 Juli 1935
Mimi de Beauvisier Watson / ( ? ), 6 November 1911 – Ngawi, 4 Juli 1934
Prasasti-prasasti yang masih melekat di tempatnya. Semoga masih utuh. |
Wah kerja keras betul nih.....tks
BalasHapusSaya pernah berhenti di depan gerbang Kerkhof Ngawi, dari keseluruhan bentuk masih relatif banyak yang utuh.
BalasHapusKakek saya dimakamkan di kerkhoff ini. Apakah bisa minta alamat kuburan ini. Saya mau berkunjung dan belum pernah datang.
BalasHapusAlamatnya ada di Jalan Wolter Monginsidi, Kampung Pelem, Ngawi
HapusMelestarikan makam" Belanda di tanah air sangat penting meski mereka sbg penjajah, namun mempunyai nilai tersendiri untuk generasi mendatang agar tahu sejarah perjalanan negeri kita ini.
BalasHapusAdakah bong Belanda di Ngawi selain di Pelem?
BalasHapus