Senin, 01 Juli 2019

OSVIA Madiun ; Menyingkap Sejarah Sekolah Calon Birokrat Masa Kolonial

Terjaminnya pendapatan tiap bulan dan jabatan yang disegani oleh banyak orang menjadikan PNS sebagai salah satu pekerjaan idaman di Indonesia. Sepanjang ketersediaan kas negara masih baik, sepanjang itu pula pendapatan terjamin. Tidak mengherankan bila tiap lowongan pegawai negeri dibuka, jutaan orang akan mendaftar dan bersaing demi meraih titel sebagai birokrat negara. Anggapan bahwa pegawai negeri adalah pekerjaan bergengsi sejatinya telah terpupuk sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Bagaimanakah hal tersebut bermula ? Jejak Kolonial edisi kali ini membahas sejarah gedung Bosbow Madiun atau dahulu adalah OSVIA Madiun, satu dari sekian banyak jejak pendidikan calon pegawai negeri dari masa kolonial.
Kompleks sekolah OSVIA Madiun sesaat setelah dibangun (Sumber : media-kitlv.nl).
Pada suatu hari Minggu yang cerah di bulan September, saya bertandang ke kota Madiun untuk melihat potensi-potensi bangunan bersejarah yang terdapat di sana. Selama di kota yang mahsyur akan pecelnya ini, saya didampingi oleh sejawat dari komunitas Historia van Madioen (HVM), Andrik. Tujuan pertama adalah kompeks Bosbow yang berada di jalan Diponegoro. “Masyarakat Madiun lebih mengenal kompleks ini sebagai Bosbow. Pasalnya kompleks ini sempat dipakai untuk sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen”, jelas Andrik setibanya di sana. “Pada faktanya, tujuan dibangun kompleks ini oleh pemerintah kolonial ialah untuk sekolah calon pamong praja di masa kolonial, OSVIA”, sambung Andri. OSVIA adalah kependekan dari Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren, kawah candradimukanya pegawai negeri Hindia-Belanda. Maka dari itu, menyingkap sejarah OSVIA Madiun itu artinya juga menyingkap perjalanan sejarah pendidikan calon pamong praja di era kolonial.


Gedung OSVIA Madiun saat ini.
Bangkrutnya VOC akibat birokrasi berbelit yang dibuat oleh mereka sendiri tampaknya menyadarkan pemerintah kolonial untuk melakukan reformasi birokrasi. Dari era Gubernur Jenderal Daendels, birokrasi lama kompeni perlahan dikikis dan digantikan oleh birokrasi baru yang lebih tertata. Guna memudahkan komunikasi birokrasi kolonial dengan masyarakat bumiputera, maka pegawai Eropa yang berada di dalam pamong pemerintahan dituntut untuk bisa menguasai bahasa Melayu (Brugmans, 1938: 75-77). Kebutuhan pegawai Eropa yang mahir berbahasa Melayu ternyata sulit dipenuhi, terutama setelah perekonomian Hindia-Belanda mulai dibuka kepada perusahaan swasta pada tahun 1870 sehingga terjadi lonjakan kebutuhan tenaga profesional yang terlatih. Untuk menjawab permintaan tersebut, pemerintah kolonial akhirnya menyelenggarakan Hoofdenschoolen, yakni sekolah persiapan untuk orang-orang pribumi yang kelak ditempatkan pada jabatan-jabatan resmi (Meer, 2020: 44). Pemerintah kolonial membuka Hoofdenschoolen pertamanya di Bandung pada tahun 1879. Setahun berikutnya, sekolah sejenis dibuka di Magelang dan Probolinggo (Brugmans, 1938; 183). Dalam Staatsblad No.121 Tahun 1878, secara tegas disebutkan bahwa Hoofdenschoolen adalah sekolah “untuk putra-putra bupati dan orang pribumi terkemuka lainnya”. Dengan kata lain menjadi suatu hal mustahil untuk anak dari kaum jelata, golongan Tionghoa, atau anak perempuan dapat diterima bersekolah di Hoofdenschoolen
Direktur OSVIA Madiun, J.C. Hietnik bersama pengajar dan siswa-sisa OSVIA sedang berfoto bersama dengan latar gedung OSVIA. Foto diambil pada tahun 1916 (Sumber : media-kitlv.nl).a
Diterapkannya kebijakan politik etis pada awal abad 20 merubah arah tujuan pendidikan kolonial yang semula untuk mencetak tenaga terampil yang murah, menjadi bentuk “balas budi” kepada tanah jajahan. Menanggapi kebutuhan tersebut pemerintah kolonial akhirnya mengubah Hoofdenschool yang ada menjadi Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada 29 Agustus 1900. Karakter dan budaya penduduk Pulau Jawa yang berlainan satu sama lain dari ujung barat hingga timur menjadi pertimbangan pemerintah kolonial membuka OSVIA di tempat berbeda. Kondisi sosial dan budaya masyarakat menjadi pertimbangan mengingat selama menimba ilmu di OSVIA, para siswa selain belajar di kelas juga diharuskan untuk menjalin hubungan sosial dengan masyarakat sekitar sekolah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai sarana melatih kemampuan dalam mengenal karakter dan menyesuaikan diri dengan masyarakat di sekitarnya. Kemampuan tersebut adalah bekal penting bagi calon pegawai negeri itu yang kelak menjadi penghubung masyarakat pribumi dengan pemerintah kolonial (PPBB, 1937; 34-35).
Siswa-siswa OSVIA yang sedang mengikuti pelajaran olahraga. Foto tahun 1917 (Sumber : media-kitlv.nl).
Bekas gym.
OSVIA sebagaimana sekolah kedinasan pada zaman penjajahan memiliki syarat masuk yang ketat. Calon pelajar OSVIA disyaratkan harus menguasai bahasa Melayu dan bahasa Belanda dengan baik serta telah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School atau Hollandsch Inlandsch School (Brugmans, 1938; 293). Ini artinya, hanya anak-anak kalangan ningrat saja yang dapat bersekolah di OSVIA mengingat kebanyakan lulusan ELS dan HIS berasal dari kalangan ningrat yang cenderung lebih mudah diajak bekerja sama oleh pemerintah kolonial. Maka dari situ, OSVIA mendapat sebutan sekolah raja sebab hanya anak raja atau bangsawan yang diterima di sekolah tersebut. Sebelum bersekolah di OSVIA, calon siswa mengikuti pendidikan persiapan (Voorberediende Afdeeling) terlebih dahulu. Pendidikan tersebut meliputi bahasa (Belanda dan Melayu), geografi Hindia Belanda, prinsip-prinsip pengetahuan alam, aritmatika, morfologi dan geometri, menggambar tangan dan menulis halus. Hanya anak di bawah usia lima belas tahun dan sudah menyelesaikan pendidikan di HIS atau ELS yang berhak mengikuti pendidikan persiapan OSVIA. Anak yang tidak sempat mengikuti pendidikan persiapan juga diperbolehkan bersekolah di OSVIA asalkan berusia di bawah 17 tahun. Biaya sekolah dipungut menurut siapa yang lahir terlebih dahulu. Untuk anak pertama dipungut biaya 10 gulden per bulan, anak kedua 6 gulden, dan 4 gulden untuk setiap anak berikutnya dari keluarga yang sama. Beberapa siswa juga dapat mengikuti pendidikan di OSVIA secara gratis dengan pertimbangan tertentu (Kats, 1915; 72).
Para pengajar OSVIA Madiun (Sumber : media-kitlv.nl).
Lama waktu belajar di OSVIA adalah lima tahun. Tiga tahun pertama siswa OSVIA dikhususkan untuk mempelajari bahasa, aritmatika, geometri, prinsip aljabar, geografi, sejarah, pengetahuan alam dan menggambar tangan. Kemudian pada dua tahun menjelang kelulusan digunakan untuk mempelajari prinsip ilmu hukum, hukum tata negara, administrasi, ekonomi, politik, pemetaan dan pertanian. Semua pengajaran diberikan oleh guru Eropa dalam bahasa Belanda mengingat bagaimanapun juga bahasa Belanda tetaplah menjadi bahasa resmi dalam birokrasi kolonial. Sementara pada mata pelajaran bahasa Melayu  pengajarannya diberikan oleh pengajar pribumi (Colijn, 1913: 272). Pengajaran diberikan dari pagi hari dan berlangsung selama 5 jam sehari. Di sela-sela pergantian pelajara ada jeda istirahat selama 30 menit. Sekolah libur pada hari Minggu serta di hari-hari besar agama Islam, Kristen, dan sipil. Setiap tahun, ada musim liburan siswa OSVIA selama enam minggu yang dimulai dari awal bulan Ramadhan (Kats, 1915; 78).
Denah OSVIA pada peta Madiun tahun 1920an (sumber : maps.libary.leiden.edu).
Sejalan dengan diperkenalkannya kebijakan desentralisasi dan bertambah luasnya wilayah yang diatur pemerintah kolonial, maka lapangan pekerjaan birokrasi semakin mekar. Lantaran hal itulah pemerintah kolonial menambah jumlah murid OSVIA menjadi 140 murid per sekolah pada tahun 1910. Kebijakan tersebut selanjutnya disusul dengan pembukaan tiga sekolah OSVIA baru, yakni di Serang, Blitar, dan yang menjadi pokok bahasan tulisan ini Madiun. Ketiga gedung OSVIA tersebut dibangun oleh departemen Burgerlijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum yang bertanggung jawab dalam pembangunan gedung-gedung untuk instansi pemerintahan kolonial (BOW, 1912; 176). Oleh karena itu tidak mengherankan jika bentuk ketiga gedung tersebut tidak berbeda jauh. Angka tahun 1912 yang terlihat samar di wajah depan bangunan secara jujur mengungkapkan kapan bangunan itu OSVIA Madiun diselesaikan. Kompleks OSVIA Madiun sendiri meliputi kantor administrasi, dua ruang kelas yang masing-masing kelas dapat menampung 25 siswa serta sarana penunjang seperti dapur dan gymnasium. Kesemua bangunan tadi disambung dengan selasar terbuka. OSVIA Madiun juga dilengkapi asrama untuk 50 siswa. Pembangunan keseluruhan kompleks tersebut menelan biaya sebesar 416.232 gulden dimana biaya paling besar dikeluarkan untuk pembebasan lahan. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad 8 Agustus 1910, kemewahan dari gedung OSVIA Madiun dapat disejajarkan dengan hotel termewah di Madiun saat itu. Beberapa orang Belanda bahkan menganggap upaya pemerintah kolonial itu berlebihan mengingat masih banyak gedung sekolah untuk anak Eropa yang dalam keadaan tidak layak dan butuh perbaikan. Setelah dilakukan reogranisasi, OSVIA Madiun bersama dengan OSVIA di tempat lain berubah menjadi MOSVIA (Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische Ambtenaren) pada 1927. MOSVIA menerima lulusan bumiputera dari sekolah lanjutan khusus Bumiputera, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – setingkat sekolah menengah pertama – untuk menghimpun lebih banyak calon birokrat bumiputera.
Rumah dinas guru dan pegawai OSVIA Madiun (Sumber : media-kitlv.nl).
Bekas rumah dinas direktur OSVIA Madiun.

Bekas rumah dinas pengajar OSVIA.
Setiap sekolah OSVIA memiliki oleh lima atau enam tenaga pengajar, termasuk kepala sekolah. Kepala sekolah OSVIA harus seorang doktor di bidang hukum. Gajinya perbulan sebesar 550 gulden dan mendapat kenaikan gaji sebanyak tiga kali dalam jangka waktu tiga tahun. Kemudian ada guru pertama yang digaji 350 gulden perbulan. Sementara untuk tenaga pengajar lainnya menerima gaji sebesar 225 gulden dengan kenaikan gaji sebanyak empat kali dalam jangka waktu tiga tahun. OSVIA juga mempekerjakan pengajar dari kalangan pribumi dan menerima gaji yang kurang lebih setara dengan pengajar Eropa. Kesemua pengajar OSVIA tadi menerima fasilitas berupa rumah dinas yang saat ini masih berdiri di sekitar gedung OSVIA Madiun (Kats, 1915; 74).
Bagian ruang kelas yang kini digunakan sebagai masjid.
Tampak luar bekas ruang kelas.
Tampilan gedung OSVIA Madiun terhitung mentereng untuk sebuah gedung sekolah pada masa kolonial. Perpaduan atap limasan dan menara kayu di bagian tengah membuat rupa gedung ini hampir mirip dengan gedung Stadhuis Batavia atau kini menjadi Museum Fatahillah. Sementara itu, bagian atap pelana diberi aksen kayu. Pada bagian ini dahulunya ada tulisan “Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren”. Sayangnya tulisan tersebut sudah tidak terlihat lagi. Bagian ini dahulu digunakan untuk menyambut tamu, salah satunya adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Andries Cornelis Dirk de Graeff yang mengunjungi OSVIA Madiun pada tahun 1929. Ketika tiba di OSVIA Madiun, ia disambut dengan iringan musik gamelan. Dari situ ia melanjutkan tur keliling kompleks sekolah. Perhatian yang begitu besar terhadap penyediaan prasarana pendidikan untuk orang pribumi sejatinya adalah bentuk investasi yang sedang ditanam pemerintah karena setelah siswa-siswa OSVIA lulus, pemerintah kolonial dapat memanen pegawai pemerintahan yang dapat dibayar dengan upah murah, lebih murah dibanding mendatangkan dan menggaji pegawai dari Eropa. Namun siapa sangka upaya tersebut menjadi senjata makan tuan.
Tampak luar bekas dapur.
Bagian dalam gedung OSVIA.
Tampak belakang gedung utama.

Selasar yang menghubungkan antar gedung.
Selepas menempuh masa pendidikan, lulusan MOSVIA diangkat sebagai birokrat pemerintah dan ditempatkan ke berbagai posisi kedinasan. Di samping mendapat penghasilan tetap, menyandang status sebagai birokrat yang masuk dalam lingkaran birokrasi kolonial membuat derajat sosial mereka terangkat dan disegani oleh banyak orang. Mereka inilah yang dikenal sebagai golongan priyai baru. Hal yang membedakan antara priyayi lama dengan priyai baru adalah priyayi lama dihormati karena garis silsilahnya, sementara priyayi baru mendapat penghormatan setelah berhasil menempuh jalur pendidikan. Kehadiran MOSVIA akhirnya mengundang minat orang-orang tua dari kalangan priyayi rendahan untuk menyekolahkan putra mereka di sana. Bagi priyayi tersebut, pendidikan adalah jalan keluar mereka lepas dari penghambaan kepada priyayi yang lebih tinggi. Akhirnya banyak orang bumiputra yang berlomba untuk membina karir sebagai birkorat kolonial. Kendati banyak yang berharap kedudukan sosialnya dapat sejajar dengan orang Eropa setelah menjadi pegawai negeri, namun kenyataanya tidak jaminan mereka dapat menerobos sekat rasial yang sudah berlaku sejak lama. Beberapa pegawai bumiputra tersebut masih menerima sejumlah perlakuan kurang menyenangkan dari atasan kulit putih mereka. Bagi sebagian kalangan kulit putih konservatif dan tidak ingin kehilangan kekuatannya, mereka yang terjajah selamanya tidak akan pernah mencapai kedudukan yang sejajar sekalipun sudah menerima pendidikan model barat (Meer, 2020: 10).
Berita insiden "Wilhelmus" pada koran De Soematra Post tanggal 17 Maret 1930. Insiden tersebut menjadi pertimbangan pemerintah kolonial untuk menutup OSVIA Madiun.
Tidak semua lulusan OSVIA betul-betul setia mengabdi kepada pemerintah kolonial. Beberapa di antaranya ada yang dalam sudut pandang pemerintah kolonial adalah pembangkang karena mereka adalah yang paling lantang menentang sistem pemerintah kolonial. Bibit-bibit pembangkangan tersebut bahkan sudah muncul sedari proses pendidikan. Dalam surat kabar Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 3 Juli 1930 diberitkan pernah terjadi suatu insiden ketika siswa-siswa MOSVIA Madiun menolak untuk memainkan lagu “Wilhelmus”, lagu kebangsaan Belanda yang biasanya dimainkan pada upacara resmi. Kejadian bermula ketika serikat siswa MOSVIA Madiun, “Mardi Oetomo”, hendak menggelar perayaan ulang tahun pada pertengahan bulan Maret. Perayaan tersebut sedianya akan dihadiri oleh pejabat-pejabat penting di Madiun seperti residen dan karenanya lagu “Wilhelmus” wajib untuk dikumandangkan. Jiwa-jiwa nasionalis tampaknya sudah merasuki pada setiap insan siswa MOSVIA Madiun sehingga mereka menolak untuk memainkan lagu kebangsaan bangsa yang menjajah mereka. Mendengar kabar tersebut, para pejabat kolonial mengancam untuk tidak hadir di perayaan ulang tahun “Mardi Oetomo”. Walau sudah diberi pemahaman dari pihak kepala asrama bahwa memainkan lagu tersebut hanyalah bentuk penghormatan kepada otoritas, namun siswa-siswa MOSVIA Madiun bersikeras untuk tidak membawakan lagu “Wilhelmus”. Perayaan pada akhirnya tetap berlangsung meriah seperti biasa meski lagu “Wilhelmus” tidak berkumandang pada saat penyambutan residen. Residen Madiun yang tetap berkenan untuk menghadiri perayaan mendapat permintaan maaf dari direktur MOSVIA. Kabar kegaduhan tersebut rupanya tersiar sampai di telinga petinggi di Batavia dan membuat mereka gusar. Dari pandangan mereka, menolak memainkan lagu “Wilhelmus” sama saja dengan melawan otoritas kolonial, apalagi itu terjadi di sekolah untuk calon abdi otoritas kolonial (Soerabaiasch Handelsblad 11 Desember 1930).
Berita peleburan OSVIA Madiun dengan OSVIA Magelang pada koran Soerabaiasch Handelsblad 11 Desember 1930.
Berita pembukaan Boschbouwschool pada koran De Indische Courant 30 Mei 1939.
Gegara perkara lagu kebangsaan, pemerintah kolonial mulai menyadari jika sekolah bentukan mereka yang sedianya menjadi tempat memperoleh pegawai negeri ternyata sudah mulai menjadi tempat bersamainya bibit-bibit kaum pergerakan nasional. Baru tiga tahun dibentuk, perjalanan sekolah bergengsi di Madiun itu akhirnya harus berakhir pada tahun 1930. Di samping unsur politik, penghapusan tersebut juga dipicu oleh krisis keuangan global atau Great Depression yang merundung keuangan pemerintah kolonial. Sesudah MOSVIA Madiun dihapuskan, kegiatan belajar mengajar MOSVIA Madiun dipindahkan dan digabungkan ke MOSVIA Magelang, satu-satunya MOSVIA yang masih dibiarkan beroperasi. Bekas gedung sekolahnya lalu ditempati oleh sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen (MBS), yang dibuka oleh J.H. Becking pada 26 Agustus 1939. Sebagaimana MOSVIA, Boschbouwschool juga sekolah kedinasan, bedanya Boschbouwschool merupakan sekolah yang dikhususkan untuk ilmu kehutanan dan pengelolaan kayu. Madiun adalah pilihan yang tepat untuk lokasi sekolah kehutanan ini mengingat wilayah Madiun dikelilingi oleh hutan dan merupakan pusat pengolahan kayu. Siswa-siswa Boschbouwschool tidak hanya berasal dari Madiun saja, melainkan juga ada yang dari Bogor, Malang, dan Sukabumi. Mereka akan belajar dan tinggal di asrama selama 3 tahun (De Indische Courant, 29 Agustus 1939).
Halaman tengah OSVIA. Halaman ini dahulu digunakan untuk lapangan olahraga dan latihan tari.

Bagian OSVIA yang dulu digunakan sebagai asrama.
Setelah lama tidak diperhatikan, gedung OSVIA MAdiun akhirnya dipugar dan dimanfaatkan sebagai galeri dan restoran pada tahun 2019. Hari ini gedung OSVIA Madiun masih berdiri kokoh sebagai bukti kepada generasi mendatang tentang bagaimana perjuangan anak negeri untuk meraih cita-citanya sebagai pegawai negeri. Entah apakah mereka nantinya akan menunjukan kesetianya kepada pemerintah kolonial atau justru malah sebaliknya, turut ambil bagian dalam pergerakan nasional melawan kolonialisme. Namun yang jelas, cita-cita mereka ketika masuk OSVIA adalah satu, yakni menjadi pegawai negeri yang terpandang di mata masyarakat. Belanda boleh saja hengkang, namun anggapan bahwa pegawai negeri adalah pekerjaan bergengsi tampaknya sulit untuk lekang bila melihat kenyataan saat ini.

Referensi

Brugmans, I.J. 1938. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia : J.B. Wolter Uitgeving Maatschappij.

Burgerlijke Openbare Werken. 1915. Verslag Over de Burgerlijke Openbare Werken 1912. Batavia : Landsdrukkerij.

Colijn, H. 1913. Neerlands Indie Land en Volk Geschiedenis en Bestuur Bedrijf en Samenleving. Amsterdam : Elsevier.

Perhimpunan Pegawai Bestuur Boemipoetra. 1937. De Bezuiniginen op Het Indonesischbestuur. Batavia : Drukkerij Lux.

Kats,J. 1915. Overzicht van Het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia : Landsdrukkerij.

Bataviaasch Nieuwsblad 8 Agustus 1910

De Indische Courant, 30  Mei 1938.

Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie, 3 Juli 1930.

Soerabaijasch handelsblad, 11 Desember 1930.


9 komentar:

  1. menarik sekali untuk dibaca makasih kak

    surat annas

    BalasHapus
  2. menunggu jejakkolonial membahas peninggalan kolonial di kota solo :)

    BalasHapus
  3. mengesankan...,tulisan dan fotonya bagus sekali

    BalasHapus
  4. Nanya mas, jabatan-jabatan tertinggi yang bisa diraih orang pribumi sebagai PNS itu apa aja ya mas? Saya pernah denger cerita soalnya salah satu kakek buyut saya dari Manado juga PNS di Dinas Kehutanan Hindia Belanda dan karir dia sampai beroleh jabatan jadi kepala apa gitu. Makanya saya penasaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tergantung Departemennya. Kalau secara umum paling tinggi adalah bupati. Zaman dahulu bupati adalah pegawai negeri. Tapi jabatan tersebut hanya bisa diraih lewat garis keturunan.

      Hapus
    2. Di Jawa yang masih gandrung pada feodalisme sbg tatanan lokal hal itu memang masih norma/aturan yang berlaku pada zamannya. Tapi apa semua daerah demikian? Di Sumatra Barat contohny.

      Hapus
    3. Sepertinya setiap daerah di Nusantara juga masih gandrung dengan feodalisme pada masa itu. Misalnya di Sumatera Timur, dahulu masih ada beberapa kerajaan Melayu. Bahkan kehidupan yang bersifat kesukuan juga masih ada saat. Oleh karena itu pengaturan administrasi antara Jawa dan luar Jawa berbeda.

      Hapus
  5. Halo kak, menarik sekali tulisannya. Saya org madiun, dulu pas sekolah kl olahraga di lapangan busbow ini. Btw boleh tanya nggk ya, apakah kakak nemu daftar nama siswa osvia/mosvia ini? Saya sedang cari asal usul kakek sambung saya, datanya terbatas sekali, tp ada catatan pernah bersekolah di sini. Kl ada info dan boleh berbagi, boleh jg email saya di drnuramita@gmail.com ya kak. Thank you

    BalasHapus