Sabtu, 12 Oktober 2019

Stasiun Jakarta-Kota yang Melampaui Masa

Ketika matahari mulai menyongsong dari ufuk timur, sebuah kereta listrik perlahan memasuki satu dari dua belas jalur yang  terentang di Stasiun Jakarta Kota. Kereta berhenti dan segera para penumpang menyeruak dari dalam kereta, berpencar ke berbagai penjuru. Sudah berdiri lebih sembilan puluh tahun lamanya stasiun ini menyaksikan lika - liku kehidupan manusia ibukota. Lengkung kanopi besinya seakan ingin menceritakan sejarah kehadiran si ular besi di Batavia sekaligus karya salah satu arsitek yang mahsyur di masanya, Frans Johan Lowrens Ghijsels.
Foto udara Stasiun Batavia Noord sekitar tahun 1910an.
(sumber : colonialarchitecture.eu) 
Stasiun Batavia Noord pada tahun 1880an
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Riwayat dari stasiun ini sendiri boleh dikatakan lebih tua dari bangunannya yang tampak sekarang ini. Membaca riwayat stasiun ini tentu tidak dapat dipisahkan dari sejarah upaya pembangunan jalur kereta di Batavia. Wacana pembuatan jalur kereta dari Batavia menuju Bogor sudah muncul sejak tahun 1851, tiga belas tahun sebelum jalur kereta api pertama dibuka di Semarang pada 1864. Kala itu, Letnan Maarschalk, seorang perwira zeni militer Belanda, mendapat tugas untuk menjajaki lokasi yang bakal dilintasi jalur kereta api Batavia- Buitenzorg; nama lama dari Bogor. Kendati rencana telah disusun matang, namun pemerintah kolonial tampaknya masih berpikir ulang karena jalur kereta tersebut jelas memakan biaya yang tinggi untuk membangunnya dan sementara itu belum ada kepastian apakah jalur kereta tersebut akan menghasilkan keuntungan atau tidak. Barulah setelah jalur kereta Semarang-Vorstenlanden menunjukan tanda-tanda keberhasilan, maka pemerintah kolonial memberi lampu hijau untuk membangun jalur kereta Batavia-Buitenzorg. Sebagai permulaan, diadakan upacara pencangkulan pertama yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Pieter Mijer di bakal lokasi stasiun Batavia pada 25 Oktober 1869 (Bataviaasch Nieuwsblad. 15 Agustus 1929). 2.500.000 gulden adalah perhitungan biaya yang dihabiskan untuk membangun jalur kereta tersebut. Pembangunannya dilakukan secara bertahap. Tahap pertama yakni pada ruas Batavia-Weltevreden yang dibuka 15 September 1871, kemudian disusul Weltevreden-Meester Cornelis yang dibuka pada 16 Juni 1872 dan diikuti dengan Mesteer Cornelis-Buitenzorg yang dibuka pada 31 Juni 1873. Begitulah cerita datangnya si ular baja di Batavia.
Peta tahun 1910an yang memperlihatkan letak Stasiun Batavia Selatan (dalam tanda St. Batavia Z.) (sumber : maps.library.leiden.edu).
Stasiun Batavia Zuid sebelum direnovasi pada tahun 1927
(sumber : colonialarchitecture.eu).
Jalur kereta jurusan Batavia-Buitenzorg dikelola oleh maskapai Nederlandsch Indische Spoorweg. Tempat pemberhentiannya sendiri berada di Stasiun Batavia Noord yang dahulu ada di timur balai kota. Selain melayani jalur Batavia-Buitenzorg, Stasiun Batavia Noord juga menjadi tempat pemberhentian kereta jurusan Batavia-Priok yang dibuka dan dikelola oleh Staaspoorwegen pada tahun 1887. Dari pelabuhan, penumpang akan berganti kereta di Stasiun Batavia Noord sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah pedalaman. Selain Stasiun Batavia Noord, terpaut 200 meter ke selatan terdapat stasiun Batavia Zuid milik maskapai lain, yakni "Bataviasche Oostpoorweg Maatschappij" atau sering disingkat menjadi BEOS. Sejarah berdirinya maskapai ini dimulai ketika H.J. Meertens mengajukan konsensi pembangunan kereta api dari Batavia sampai wilayah timurnya seperti Pasar Senen, Meester Kornelis, Tanjung Priok, dan Bekasi. Namun karena tidak memenuhi persyaratan hukum, maka konsensi tersebut ditolak. Tidak putus asa, Meertens beserta firma "Tiedeman en van Kerchem" mengajukan konsensi yang sama pada pada 1881 dan setahun berikutnya, pemerintah akhirnya menerima konsensi tersebut. Mereka diberi konsensi selama 90 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalur kereta dari Batavia hingga wilayah timur seperti Bekasi dan Meester-Cornelis. Lintas Batavia-Bekasi sendiri selesai dibuka pada tahun 1887 dan diikuti Bekasi-Cikarang pada 1890. Pemerintah kolonial rupanya juga meminta BEOS untuk meneruskan pembangunannya hingga lebih jauh ke timur sampai Cirebon. Namun BEOS menolak permintaan tersebut dengan pertimbangan bahwa biaya yang dibutuhkan sangat tinggi untuk membuat jalur di sana. Walaupun demikian, BEOS akhirnya membuka jalur kereta Kedunggede - Karawang pada 20 Maret 1898 yang melewati Sungai Citarum meski BEOS tidak jadi melanjutkan pembangunanya hingga ke Cirebon (Rietsma, 1916;6-8).

Proses pembangunan stasiun Batavia Kota pada tahun 1927 
(sumber : colonialarchitecture.eu).
Kuda-kuda atap yang sedang dalam proses pemasangan (sumber : colonialarchitecture.eu).
Pada 4 Agustus 1898, jalur kereta Batavia-Karawang dibeli oleh Staaspoorwegen dari BEOS. Hal tersebut sejalan dengan rencana pemerintah kolonial untuk pengembangan dan penyatuan jalur kereta di Jawa barat di bawah bendera maskapai kereta plat merah tersebut. Staaspoorwegen kemudian merambah jalur Batavia-Buitenzorg dengan pembelian konsesi jalur dari NISM pada 1 November 1913 (Reitsma, 1928: 116). Dengan demikian, baik Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid sudah dikuasai oleh Staaspoorwegen. Pada perkembangan selanjutnya, Staaspoorwegen juga mulai membenahi jalur kereta di Batavia dalam rangka persiapan elektrifikasi kereta di Batavia. Salah satu pembenahan yang dilakukan adalah dengan menyatukan operasional dua Stasiun Batavia. Sebagai persiapan, Stasiun Batavia Zuid ditutup pada tahun 1923 sehingga tinggal stasiun Batavia Noord saja yang masih beroperasi. Untuk ukuran stasiun yang berdiri di ibukota pemerintah dan menjadi pintu gerbang ke pedalaman Pulau Jawa, gedung stasiun Batavia Noord masih terlihat kurang pantas untuk menunjukkan citra kemegahan Hindia-Belanda. Maka dari itu, Staaspoorwegen menugaskan C.W. Koch, kepala insinyur di Staaspoorwegen untuk merancang sebuah stasiun dengan muka yang lebih megah. Rancangan Koch sedianya akan dilengkapi dengan menara jam di salah satu sudut stasiun namun rancangan tersebut urung dipakai karena alasan ekonomi dan ketidaksepakatan.
Foto udara Stasiun Batavia Kota. Tampak di seberangnya terdapat kantor Nederlandsch Handel Maatschappij dan di sebelahnya adalah kantor De Javaasche Bank. Gaya dan ukuran ketiga gedung tersebut tampak kontras dengan bangunan ruko bergaya Tionghoa di sekitarnya (sumber : colonialarchitecture.eu).
Stasiun Batavia Kota yang baru saja selesai dibangun (sumber : colonialarchitecture.eu).
Tugas perancangan bangunan stasiun yang memiliki 12 jalur tersebut akhirnya diserahkan kepada Frans Josef Lowrens Ghijsels, arsitek dari biro konsultan Algemeen Ingenieurs- en Architectenbureau (A.I.A). Dalam merancang stasiun baru tersebut, arsitek kelahiran Tulungagung tersebut mencoba beberapa variasi bentuk pintu masuk utama untuk bagian depan bangunan. Setelah bereksperimen dengan berbagai bentuk, Ghijsels akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah bangunan yang lebar, fasad rendah, dan di bagian tengahnya terdapat sebuah atap lengkung yang megah. Bentuk tersebut dinilainya cocok untuk sebuah stasiun terminus atau stasiun ujung (Akihary, 1996; 83). Selepas Ghijsels mematangkan desainnya pada Juni 1927, bangunan stasiun Batavia Zuid dirobohkan. Proyek pembangunan tersebut dikerjakan oleh kontraktor Hollandsch Beton Maatschappij.

Peron stasiun Batavia dengan bentang atap lengkungnya yang panjang(sumber : colonialarchitecture.eu).
Para penumpang kereta yang tiba di stasiun (sumber : Batavia Als Handels-, Industrie-,en Woonstad) .
Berkat bantuan kemajuan teknologi konstruksi saat itu, stasiun ini hanya perlu dibangun selama dua tahun. Kontras dengan bangunan stasiun yang bernuansa modern, upacara peresmian yang diadakan pada 8 Oktober 1929 menampilkan unsur tradisional yang sangat kental. Pada pagi hari, para pegawai baik yang berdarah Eropa dan pribumi menggelar upacara selamatan. Sementara itu, pada siang harinya, Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff melakukan upacara penanaman kepala kerbau yang ditanam di depan pintu masuk stasiun. Maksud dari upacara selamatan dan penanaman kepala kerbau itu ialah supaya bangunan stasiun selama beroperasi dapat terhindarkan dari marabahaya. Seminggu setelah upacara tersebut, koran Javabode menyebut stasiun Batavia “berdiri bak monumen yang bersaksi kepada penerus kita tentang apa yang harus dipahami seputar ekonomi. Bangunan itu akan menjadi stasiun yang memesona dan bergelar sebagai salah satu stasiun tercantik di timur”. Keamanan perjalanan telah dipikirkan begitu matang pada saat itu dengan digunakanya sistem keamanan Siemens & Halke, sistem paling mutakhir yang sudah dipakai pada stasiun-stasiun besar di Eropa dan Amerika (Anonim, 1937; 164-167).
Stasiun Jakarta Kota pada masa sekarang. Sebelum dilakukan penataan kawasan pada tahun 2022, bagian depan Stasiun adalah jalan raya yang ramai kendaraan.
Bagian muka stasiun yang kini sudah tidak dilalui untuk umum.
Pintu utara stasiun.

Vestibule stasiun.


Kesan lapang tercipta berkat atap lengkung desain karya arsitek F.J.L. Ghijsels.
Peron Stasiun Jakarta Kota.
Seakan menolak kemewahan langgam neo-klasik yang menjadi pakem bangunan stasiun dari periode sebelumnya, Ghijsels memilih langgam arsitektur art deco yang terkesan lugas dan rasional, namun bercita rasa tinggi. Langgam tersebut tentu sejalan dengan prinsip Ghijsles, “kesederhanaan adalah jalan tersingkat menuju keindahan”. Prinsip tersebut dituangkan dalam hiasan interior dan eksterior stasiun baru yang tampak sederhana, hanya menampilkan permainan garis tegak lurus namun meninggalkan kesan elegan. Bagian dalam stasiun ini sendiri berupa ruang tunggu di lantai satu dan kantor di lantai dua yang membentuk galeri. Sementara itu, di atasnya terbentang atap lengkung yang ditopang oleh kuda-kuda baja yang menangkup ruang di bawahnya. Perhatian besar juga ditujukan pada detil pintu dan jendela. Racikan Ghijsels tersebut menghasilkan sebuah bangunan stasiun yang melampaui masanya dan tidak lekang oleh zaman. Karenanya, orang yang pertama kali berjumpa dengan bangunan ini, tidak akan menyangka jika sebenarnya bangunan ini adalah bangunan lawas. Walau aura kekunoan masih membungkus di stasiun ini, namun bagaimanapun juga perkembangan zaman tak bisa dihindarkan. Pintu utama yang berada di tengah kini tidak bisa dilalui pengunjung lagi. Di samping itu, peron yang berada di sebelah utara ditambahkan ruang tunggu baru untuk penumpang kereta api jarak jauh dan menengah.
Jam antik di Stasiun Jakarta Kota.
Baut penyambung kuda-kuda baja.


Sebagai penghias, dinding stasiun dilapisi dengan lempengan batu alam yang digosok mengkilat.
Bila melihat keadaan sekitar, Stasiun Jakarta Kota yang memiliki jarak berdekatan tersebut menempati tempat yang cukup strategis. yakni di sebelah selatan balaikota yang menjadi jantung perekonomian. Ia diapit oleh pusat perdagangan Eropa di sebelah utaranya dan ruko-ruko orang Tionghoa di sebelah selatannya. Berhadapan dengan stasiun ini, berdiri dua gedung perusahaan terbesar di Hindia-Belanda, Nederlands Handel Maatschappij dan De Javaasche Bank. Selain lintas Batavia-Buitenzorg, stasiun Batavia juga juga tersambung dengan Tanjung Priok, Tanah Abang, dan Meester Cornelis (Jatinegara).  

Hiasan interior stasiun baru yang terlihat sederhana, hanya menampilkan permainan garis tegak lurus.
Seperti itulah kisah Stasiun Jakarta Kota, salah satu stasiun teragung di Hindia-Belanda, penanda babak baru sejarah transportasi di ibukota. Dengan visinya yang spektakuler, arsitek Ghijsels berhasil menghadirkan sebuah bangunan stasiun dengan arsitektur yang melampaui masa sehingga bangunan ini terlihat sedap dipandang di masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

Referensi
Akihary,H. 1996. Ir. F.J.L Ghijsels ; architect in Indonesia (1910-1929). Utrecht L: Seram Press.
Anonim. 1937. Batavia Als Handels-, Industrie-,en Woonstad. Batavia : G.Kolff & Co.
Anonim. Nederlandsch Indische Staatspoor-en Tramwegen. Nedelands Welvaart.
Reitsma, S.A. 1916. Indische Spoorweg Politiek (Deel I). Batavia : Landsdrukkerij
Reitsma, S.A. 1928. Korte Geschiedenis der Nederlandsche Indische Spoor en Tramwegen. Batavia : Landsdrukkerij
Bataviaasch Nieuwsblad. 15 Agustus 1929.

2 komentar: