Di bantaran Sungai Semarang, bangunan-bangunan tua bekas kantor
kongsi niaga Belanda itu masih tampak berdiri megah. Keruhnya air sedikit memantulkan aura kekunoan bangunan itu. Berjarak 200 meter ke timur,
sebuah kubah gereja kuno berdiri menjulang lebih lama daripada bangunan tadi. Menyusuri jalanan sempitnya, akan terjumpa bangunan lintas zaman dengan beraneka bentuk yang khas. Itulah pemandangan yang diperoleh dari Kota Lama atau Oudestad Semarang, sepotong kawasan di kota Semarang yang sarat
dengan bangunan kuno lintas masa, saksi bisu sejarah tumbuhnya Semarang menjadi kota besar seperti saat ini. Tulisan Jejak Kolonial kali ini akan menggali satu persatu cerita dari setiap bangunan lama yang tertinggal sana, cerita tentang perjalanan hidup sebuah kawasan dan pertumbuhan ekonomi kapitalis masa penjajahan.
|
Bangunan lama di Kota Lama yang akan dibahas tulisan ini. Keterangan : A. Nederlandsch Handel Maatschappij / B. Handelsvereeniging Semarang / C. Koloniale Bank / D. Cultuurmaatschappij der Vorstenlanden / E. Koniklijke Paketvaart Maatschappij / F. Stoomvaart Maatschappij Nederland / G. De Javasche Bank / H. Rumah Abad 18 / I. Nillmij / J. Borsumij / K. Gereja Blenduk / L. Toko Zikel / M. Toko Spiegel / N. Nederlandsch Indische Handelsbank / O. Oei Tiong Ham Concern / P. Escompto / Q. Spaarbank Semarang / R. Schouwburg Semarang. |
|
Perkembangan kawasan kota lama Semarang dari tahun 1719, 1741, 1866, hingga 1917. Perhatikan pada peta tahun 19719 dan 1741, di dekat Kali Semarang terdapat benteng berbentuk segi lima bernama benteng Vijfhoek (sumber : maps.library.leiden.edu). |
Sulit dibayangkan bahwa kota
yang padat penduduk sekarang ini hanya berjarak lima abad ke belakang dulunya
masih berupa dasar laut. Tahun 1476, ketika seorang penyebar agama Islam
bernama Ki Ageng Pandanarang membuka perkampungan di Bergota, tempat itu masih
berada di tepian pesisir. Memasuki abad ke-16, erosi dari Sungai Garang
menghasilkan dataran alluvial yang membuat garis pesisir menjauh ke utara dan
permukiman pun ikut bergeser (Brommer dkk, 1995;7). Pada masa kekuasaan
kerajaan Demak, pengganti Ki Ageng Pandanarang, Ki Ageng Pandanarang II
diangkat sebagai bupati Semarang. Saat itu, Semarang masih belum menjadi kota pelabuhan besar. Hatta, Kerajaan Demak kemudian runtuh dan
kuasa kota Semarang berpindah ke tangan kerajaan Mataram Islam pada 1575.
Semarang saat itu masih pelabuhan kecil dengan perkampungan yang dihuni oleh
orang pribumi dan Tionghoa. Sebagai pelabuhan pamornya masih kalah dari Demak atau Jepara.
|
Situasi kota Semarang pada awal tahun 1700an. |
Selanjutnya ketika VOC mulai bercokol di Jawa pada abad ke 17, Semarang masih belum dipandang sebagai tempat yang penting. Saat itu, VOC lebih memilih Jepara ketimbang Semarang sebagai markas utamanya di Jawa tengah. Pada tahun 1618, markas VOC di Jepara diserang dan sebagian pegawainya ditawan ke Semarang. Pegawai VOC yang tertawan itulah yang menjadi orang Belanda pertama yang tiba di kota Semarang seperti yang disebutkan oleh Ir. W.B. Peteri dalam “De Geschiedenis der Stad Semarang”. Meskipun belum memiliki pengaruh besar, namun geliat industri Semarang saat itu sudah cukup maju dengan adanya industri gula, garam, dan perikanan. Selain itu ada juga perkebunan kelapa, pohon jati, asam, nila, padi, kacang, dan bawang. Kendati belum menjadi pelabuhan besar, Semarang memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pelabuhan lain, yakni memiliki jalan darat yang terhubung ke ibukota kerajaan Mataram di pedalaman. Hal tersebut diakui oleh duta VOC untuk Maratam, Abraham Verspeet, yang mengunjungi Mataram tahun 1668. Pijakan awal VOC di Semarang dimulai ketika Amangkurat
II menyerahkan Semarang kepada VOC pada 15 Januari 1678 karena VOC sudah membantu Amangkurat II menumpas
perlawanan Trunojoyo di Jawa Timur. Untuk menegaskan kekuasaanya di Semarang, VOC
selanjutnya mendirikan pos dagang namun pekerjaan berjalan pelan karena sedikitnya tenaga
tukang kayu Eropa. Ketika VOC telah menjalin aliansi dengan Amangkurat II,
barulah Semarang dianggap penting karena perannya sebagai pintu masuk ke kerajaan Mataram (Kuiper, 1935; 343).
|
Pemandangan kota Semarang pada tahun 1770 (sumber : commons.wikimedia.org). |
|
Denah benteng Vijfhoek, benteng yang dibangun tahun 1697 dan dirobohkan tahun 1741 (sumber : atlasofmutualheritage.nl)
|
Pada 9 Maret 1697, kedudukan gubernur VOC di Jepara mulai diboyong ke Semarang meskipun Semarang belum menyandang status resmi sebagai pusat pemerintahan. Dalam rangka menyiapkan Semarang sebagai pusat pemerintahan, mulailah didirikan benteng yang pembangunannya berjalan pelan karena kurangnya tukang kayu dari Eropa. Benteng pertama VOC di Semarang
yang dibangun tahun 1697 itu dinamai Vijfhoek merujuk pada denah dasarnya berbentuk segi lima – vijf dalam
bahasa Belanda – dan dilengkapi dengan bastion di kelima sudutnya yang
masing-masing diberi nama Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan
Bunschoten. Di tengah benteng, terdapat lapangan luas yang dikelilingi oleh lima
bangunan barak dan penunjang. VOC lalu menempatkan seorang residen di Semarang yang berada di bawah pengawasan Letnan Gubernur VOC di Jepara pada 23 Juni 1702. Setelah melalui proses yang berlarut-larut, akhirnya Semarang resmi menjadi ibukota VOC untuk wilayah pantai timur Jawa pada 1708 (Peteri, 25 Juli 1925). Wewenang Gubernur yang menetap di sana, menjangkau mulai dari Cirebon hingga ke titik paling timur Pulau Jawa di Selat Bali. Ia ditunjuk oleh residen tertinggi dan merupakan bawahan Gubernur-Jenderal Batavia (Stockdale, 2021 : 431-432). Dari balik tembok benteng Vijfhoek, kompeni
menjalankan roda kuasanya atas pesisir Jawa bagian tengah sekaligus mengawasi gerak-gerik penguasa pribumi yang tinggal di seberang benteng. Benteng itu sendiri kemudian dirobohkan pada
pertengahan abad ke-18 untuk perluasan kota Semarang. Di tempat yang sama, dibangun beberapa bangunan seperti menara
syahbandar yang berdiri tahun 1825. Menara tersebut masih berdiri menjulang meskipun
kondisinya sudah merana. Selain menara syahbandar, di tempat tersebut juga
pernah terdapat pabrik gas milik "Nederlandsch Indische Gas Maatschappij".
|
Alun-alun Semarang. Di kejauhan tampak masjid kauman dengan atap tumpangnya. Tampak sebuah trem yang melintas di tengah alun-alun Semarang (sumber : media-kitlv.nl).
|
Semenjak menjadi markas VOC, Semarang tumbuh menjadi kota bandar yang ramai. Hal tersebut tak lepas dari perannya sebagai gerbang
Jawa bagian tengah. Berbagai pedagang dari negeri asing akhirnya berbondong-bondong
datang ke sana, mulai dari Melayu, Tiongkok, Arab, hingga Eropa. Gudang-gudang penuh dengan tumpukan beras, kayu, dan kapuk yang dihimpun dari pedalaman untuk selanjutnya dijual keluar. Kota Semarang lambat laun menjadi kota bandar yang
sentausa, mengungguli kota pelabuhan yang sudah lebih dahulu eksis seperti Demak dan Jepara. Kota yang dulunya hanya hamparan rawa itupun akhirnya menjelma menjadi “Batavia
Kedua” (Poerwanto dan Soenarso, 2012; 47). Para pedagang Melayu, Tiongkok,
Arab, dan Eropa tak sekedar berdagang saja. Karena pelayaran saat itu masih
bergantung pada musim, maka pedagang itu tinggal beberapa lama di Semarang dan
perlahan terbentuk permukiman yang digolongkan berdasarkan etnis. VOC menjalankan pemerintahan lokal dengan menunjuk seorang
tokoh dari masing-masing golongan etnis sebagai perantara VOC dan pemimpin
golongan mereka. Misalnya ada bupati untuk penduduk pribumi dan untuk penduduk
Arab dan Tionghoa dari kalangan mereka ditunjuk seseorang yang digelari pangkat
militer tituler. Di seberang selatan benteng Vijfhoek, terhampar alun-alun,
pusat permukiman pribumi di Semarang yang kini tinggal namanya saja.
|
Masjid Agung Semarang. |
Di
sekeliling alun-alun Semarang, berdiri beberapa bangunan penting, misalnya masjid agung di
sebelah barat yang sudah berulang kali mengalami pembangunan. Menurut prasasti
yang ada di gerbang masjid, bangunan tersebut dibangun 1756 untuk menggantikan
masjid lama yang terbakar semasa pemberontakan Geger Pecinan tahun 1741 (Peteri, 31 Oktober 1925).
Sementara di selatan alun-alun, terdapat kediaman bupati Semarang yang kini
hilang semenjak pemerintahan kabupaten Semarang dipindahkan ke Ungaran pada
tahun 1983. Tempat tersebut kini berganti menjadi Kampung Kanjengan. Di
sekeliling alun-alun juga terdapat sejumlah bangunan penting lain seperti
penjara yang kemudian menjadi Pasar Johar, kantor pos, kantor telepon, dan
bank. Di sebelah timur alun-alun, pernah berdiri gedung besar yang menjadi
kantor administrasi pemerintahan kolonial. Semenjak
tahun 1970an, luas alun-alun mulai menyusut dengan dibangunnya hotel dan
perguruan tinggi yang memakan sebagian lahan alun-alun. Terlebih setelah Pasar
Yaik diperluas. Alhasil, bagian alun-alun yang tersisa kini tinggal sepenggal
kecil lahan di timur Masjid Kauman. |
Peta Semarang pada tahun 1787 yang memperlihatkan kawassan kota lama (A) dan pecinan Semarang (Y). (Sumber : nationaalarchief.nl) |
Pada masa kedatangan awal, orang-orang
Eropa yang sebagian besar adalah pegawai VOC masih tinggal di dalam benteng.
Seiring waktu, dengan pertambahan jumlah dan peningkatan kekayaan - entah dari
cara wajar atau tidak, orang-orang Eropa mulai membangun rumah di sebelah utara permukiman orang Tionghoa yang saat itu masih ada di seberang timur sungai. Orang-orang Tionghoa tinggal di tempat tersebut karena dekat
dengan sungai yang dahulu dapat dilalui oleh perahu-perahu kecil yang
mengangkut barang-barang dari gudang ke kapal besar yang bersauh di tengah
laut. Bangunan-bangunan saat itu kebanyakan dibuat dari bahan non-permanen. Permukiman
Eropa di Semarang mengalami perubahan bentuk mencolok setelah meletusnya
pemberontakan Geger Pecinan tahun 1741. Pada pemberontakan tersebut, permukiman
Tionghoa di selatan benteng Vijfhoek musnah terbakar. Orang-orang Tionghoa lalu disingkirkan dari
sana dan tempat tersebut diambil alih oleh golongan Eropa untuk memberikan
ruang pelebaran tempat tinggal mereka. |
Peta kota lama Semarang sekitar tahun 1787 yang memperlihatkan tembok keliling (nationaalarchief.nl) |
Untuk melindungi penduduk Eropa, maka dibuatlah tembok dan parit baru yang mengelilingi kawasan permukiman Eropa. Benteng Vijfhoek lantas dirobohkan. Proses pembuatan tembok tersebut selesai pada tahun 1760 (Peteri, 17 Oktober 1925). Selama beberapa tahun, kawasan yang dikelilingi tembok tersebut
menjadi pusat kehidupan orang Eropa di Semarang. Saat Stockdale mengunjungi Semarang pada tahun 1800 awal, ia mendapati "benteng di Semarang berada dalam keadaan yang sama seperti semua benteng milik VOC, sangat buruk dan menyedihkan. Dinding yang mengelilinginya rendah dan hampir runtuh." (Stockdale, 2021, 178). Lambat laun, keberadaan tembok
kota dirasa tidak berguna untuk sarana pertahanan sehingga tembok keliling
tersebut disingkirkan pada tahun 1824 dan menyisakan sejumlah toponim jalan yang
dipakai selama masa kolonial. Misalnya Westerwalstraat (Jalan Tembok Barat,
kini Jalan Mpu Tantular-Sendowo), Oosterwalstraat (Jalan Tembok Timur, kini jalan
Cendrwasih), Noorderwalstraat (Jalan Tembok Utara, kini Jalan Merak),
Zuiderwalstraat (Jalan Tembok Selatan, kini Jalan Sendowo). |
Pemandangan udara kota Semarang pada tahun 1930. Kala itu Semarang sudah berkembang pesat menjadi kota niaga yang ramai. Menurut Baldinger, beberapa faktor yang menyebabkan majunya perniagaan di Semarang antara lain, upah buruh yang cukup rendah, bahan mentah yang mudah didapat, dan murahnya harga tanah. (sumber foto : commons.wikimedia.org). |
|
Pemandangan udara Kali Semarang tahun 1930. Keterangan 1 : Gereja Blenduk. 2 : Kantor K.P.M (sekarang Pelni) 3 : Kantor Rotterdamsche Llyold. 4 : Uitkijk atau Menara Syahbandar. 5 : Kantor N.H.M (sekarang Bank Mandiri). 6 : Kantor Koloniaale Bank (sekarang Paphros). 7 : Kantor Cultuurmaatschappij ter Vorstenlanden. 8 : Kantor Pos. 9 : Alun-alun Semarang (sumber : Semarang beeld van een stad). |
Semenjak tembok kota
dilenyapkan pada tahun 1824, perkembangan kawasan Eropa tampak terhenti
meskipun sudah mulai banyak didirikan bangunan permanen. Hal tersebut
dikarenakan adanya kebijakan tanam paksa yang perdagangan komoditasnya masih
dalam kendali pemerintah kolonial sehingga jumlah pedagang swasta Eropa di
Semarang belum begitu besar saat itu. Setelah sistem tanam paksa dirasa gagal,
maka pemerintah kolonial secara bertahap membuka keran untuk perdagangan
swasta. Perlahan kegiatan perdagangan dan pelayaran mulai berkembang, terlebih semenjak pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 yang memperpendek hubungan
antara Belanda dan Hindia-Belanda. Sejumlah pembangunan dilakukan guna
menyambut arus perdagangan yang diperkirakan akan lebih ramai dari sebelumnya.
Pada tahun 1867, dimulai pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia-Belanda
yang menyambungkan Semarang dengan Vorstenlanden. Kemudian disusul
dengan pembuatan kanal baru pada tahun 1872 sebagai tempat bongkar
muat barang. Sepanjang kanal yang dikenal dengan Kali Baru tersebut, berdiri gudang-gudang milik perusahaan swasta. Meskipun demikian, kehidupan ekonomi swasta di
kawasan Eropa masih belum terlalu bergairah akibat meletusnya perang
Perancis-Jerman pada tahun 1870 yang menyebabkan pergolakan ekonomi di Eropa
dan berdampak sampai Hindia-Belanda.
|
Peta Kota Lama Semarang tahun 1909. (Sumber : digitacollections.universiteitleiden.nl) |
Memasuki abad ke-20, Semarang mulai
menunjukan tanda-tanda pertumbuhan ekonomi. Fungsi kawasan Kota Lama akhirnya
bergeser dari kawasan hunian menjadi distrik komersil atau dalam bahasa Belanda
disebut zakencentrum. Kendati perniagaanya maju, namun bukan
berarti tiada kendala dalam perkembangannya. Hal itu diakui oleh insinyur
Baldinger dalam artikelnya di majalah Locale Techniek edisi Maret 1938.
Menurutnya, perniagaan di Semarang masih terhambat dengan kurang terhubungnya
sarana perhubungan seperti pelabuhan masih kurang teratur dan tidak
tersambungnya jalur kereta milik N.I.S dan S.C.S. Derasnya arus investasi di
Semarang seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan buruh yang akhirnya
memicu munculnya gerakan Sosialis di Semarang, membuat Semarang berjuluk sebagai Kota Merah. Tidak terhitung berapa banyak gesekan antara kaum buruh dengan
pengusaha yang berujung pada aksi pemogokan buruh.
|
Societeit Amicita yang kemudian menjadi kantor Nederlansche Handel Maatschappij. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Deretan bangunan kolonial yang berdiri
amat megah di bantaran Kali Semarang itu menjadi saksi sejarah perjalanan kota bandar dengan geliat niaga yang ramai itu. Di jalan itu, akan terjumpa beberapa bangunan yang dulu menjadi kantor perusahan pelayaran, keuangan, dan perkebunan. Persis di mulut kawasan Kota Lama, terdapat bekas
kantor Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM) yang kini menjadi
kantor Bank Mandiri. Lama sebelum kantor NHM dibangun di tempat tersebut, pada tempat yang sama terdapat rumah sementara residen Semarang yang ditunjuk VOC pada tahun 1702 (Peteri, 25 Juli 1925). NHM sendiri dibentuk pada 1825 oleh Raja Willem I untuk menghimpun
dan memperdagangkan semua hasil perkebunan sistem tanam paksa. Oleh
karena perannya yang cenderung bersifat monopoli itu, NHM kadang disebut sebagai “VOC Kecil”. Perusahaan
NHM membuka cabang di Semarang sejak tahun 1826. Lokasi kantor pertama NHM di
Semarang menempati bekas kantor pemerintahan zaman VOC. Pada tahun
1854, bangunan tersebut habis terbakar sehingga NHM memindahkan kantornya ke
tempat lain. Bekas lahannya kemudian dibangun Societeit Amicitia yang
menjadi tempat utama orang-orang Belanda di Semarang berkumpul sebelum dibangun
Societeit Harmonie di Bojong. Pada awal tahun 1907, NHM membeli lahan Societeit Amicitia dan bangunan tersebut dikosongkan. Sebelum pembongkaran, bangunan kosong tersebut sempat digunakan sebagai area permainan sepatu roda (De Locomotief, 2 Juli 1907) Bangunan Soceiteit Amicitia dirubuhkan
untuk diganti bangunan kantor baru NHM rancangan Prof. Klinkhamer dan B.J. Ouendag,
arsitek yang merancang bangunan kantor Nederlandsche Indische Spoorweg Mij.
atau kini dikenal sebagai Lawangsewu (De Locomotief, 13 Januari 1908). Gedung baru NHM tersebut memiliki beranda keliling yang lebar
dan tampak mencolok dengan sebuah menara di sudut bangunan yang menyambut setiap
orang yang memasuki kawasan ke Kota Lama. Aslinya, menara tersebut akan ditambahkan
dengan jam. NHM mulai menempati gedung tersebut pada Juni 1910. Selain NHM,
gedung tersebut juga ditempati oleh perusahaan dagang Geo-Wehry & Co (Het Nieuws dan den dag
voor N.I, 23 Juni 1910). Pada zaman pendudukan Jepang, kantor NHM digunakan sebagai kantor Bank of Taiwan Ltd. (Soerabiasch Handelsblad, 22 Mei 1942).
|
Pemandangan Kali Semarang pada tahun 1890an. Pada tahun 1900 hingga 1930an, banyak bangunan di kiri sungai dibongkar dan diganti bangunan baru. (Sumber : nationaalarchief.nl) |
|
Bangunan kantor Handelsvereeniging dilihat dari dekat Jembatan Mberok (Sumber : media-kitlv.nl) |
|
Bekas kantor Handelsvereeniging Semarang. |
Selain gedung NHM, pengunjung Kota Lama juga disambut dengan bangunan kantor sekretariat Handelsvereeniging Semarang atau kamar dagang Semarang yang dibentuk pada April 1854 dan resmi berbadan hukum pada 16 Agustus 1857. Tujuan dibentuknya lembaga tersebut adalah sebagai wadah para swasta di Semarang sehingga mereka dapat menyuarakan aspirasi dan membujuk pemerintah kolonial untuk membuat aturan yang membantu kemajuan perdagangan swasta. Salah satunya adalah dengan "mengompori" pemerintah kolonial untuk membuatkan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden. Jumlah keanggotaan dalam Handelsvereeniging Semarang tidak menentu, kadang naik kadang turun tergantung dari situasi ekonomi dan politik. Jumlah keanggotaan Handelsvereeniging Semarang terbanyak mencapai 118 anggota (Algemeen Handelsblad, 4 April 1929). Handelsvereeniging Semarang mulanya memiliki sekretariat di belakang rumah G.C.T. van Dorp. Lalu sekretariatnya dipindahkan ke salah satu ruang kantor NHM pada 1 Mei 1910. Sejak 23 September 1922, Handelsvereeniging Semarang menempati bangunan baru yang berada di seberang kantor NHM. Bangunan itu sendiri merupakan karya dari biro arsitek "Karsten, Lutjens dan Toussaint" (De Sumatra Post, 27 September 1922).
|
Bekas kantor Koloniaale Bank. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Selain NHM, konglomerasi lain yang berkantor di dekat Jembatan Berok adalah "Koloniale Bank" yang menempati sebuah gedung dengan tampilan seperti gedung tua di bantaran kanal Amsterdam. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1908 sebagai pemberian dari Mayor Tionghoa Semarang saat itu, Oei Tiong Ham, kepada "Koloniale Bank". Koloniale Bank dibentuk di Amsterdam pada tahun 1881 untuk menyediakan pinjaman modal kepada pengusaha perkebunan di Hindia-Belanda. Koloniale Bank memulai kiprahnya di Jawa Tengah dengan pembukaan kantor cabang di Semarang pada bulan Juni 1883. Sebelum berkantor di lokasi yang sekarang menjadi kantor Phapros, "Koloniale Bank" menempati kantor di Hogendorpstraat. Kantor Koloniale Bank di Semarang menjadi tempat pelatihan untuk pegawai junior sebelum bekerja di kantor induk di Surabaya. Usia "Koloniale Bank" di Semarang hanya bertahan sampai 52 tahun saja karena Koloniale Bank menutup kantor tersebut pada Januari 1935, imbas dari krisis ekonomi yang mendera pada awal tahun 1930an. Seluruh operasional Koloniale Bank Semarang selanjutnya dipindahkan ke Surabaya (De Locomotief, 31 Desember 1935).
|
Gedung Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden dengan menara kembarnya. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Selanjutnya, menempel di
selatan kantor Koloniale Bank, terdapat gedung kantor yang berdiri
begitu anggun dengan dua menara kembarnya. Gedung itu dulu ditempati oleh perusahaan
konglomerasi perkebunan bernama "Cultuurmaatschappij der Vorsteenlanden".
Perusahaan tersebut sejatinya adalah kelanjutan dari perusahaan "Dorrepaal &
Co" yang hampir mengalami kebangkrutan akibat krisis gula pada tahun 1884.
Perusahaan "Dorrepaal & Co." kemudian berubah menjadi "Cultuur Maatschappij
der Vorstenlanden" pada 1 Maret 1888 di Amsterdam (Bree, 1918; 356).
Upaya-upaya untuk membangkitkan kembali perusahaan yang terpuruk itu dilakukan
dengan beralih jenis tanaman budidaya lain seperti kakao dan tembakau untuk
mengurangi ketergantungan pada tanaman tebu, serta menghentikan produksi nila
karena sudah adanya temuan pewarna sintetis. Perlahan "Cultuur Maatschappij
der Vorstenlanden" menguasai perkebunan-perkebunan yang ada di berbagai
wilayah, terutama di Vorstenlanden (kini mencakup Yogyakarta-Surakarta).
Semakin pesatnya pertumbuhan perusahaan akhirnya memunculkan kebutuhan gedung
kantor yang lebih besar. Pada tahun 1913, perusahaan mulai membangun gedung
kantor baru yang menghabiskan total biaya sebesar 194.312 gulden. Arsitek C.
Lugten didapuk untuk merancang gedung tersebut (Provinsial Overijssel dan
Zwolsche courant, 26 Januari 1914). Bangunan tersebut sempat menjadi kantor PTPN
XV dan saat ini dalam keadaan tidak terurus. Pada tahun 2009, salah satu menara
bangunan rubuh akibat hujan angin dan akhirnya dibangun kembali dalam bentuk
yang sama.
|
Bekas kantor Koninklijke Paketvaart Maatschppij yang kini menjadi kantor PELNI. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Di sana
berdiri pula kantor dari dua maskapai pelayaran di masanya Koninkljike
Paketvaart Maatschappij (KPM) dan Stoomvaart Maatschappij Nedederland (SMN)
yang gedungnya saling bertetangga. Kedua gedung ini seolah menguatkan kedudukan
Semarang sebagai kota maritim yang penting di masa lalu. Semenjak dibukanya
Terusan Suez pada tahun 1869, pemerintah kolonial sudah merencanakan jaringan
pelayaran kapal uap antar pelabuhan di Hindia-Belanda dalam upaya untuk
mengontrol seluruh wilayah Hindia-Belanda. Saat itu, urusan pelayaran kapal uap
antar pulau di Hindia-Belanda dipegang oleh perusahaan swasta bernama Nederlandsch
Indische Stoomvaart Maatschappij yang sejatinya dimiliki dan dikelola oleh orang
Inggris. Armada kapalnya dibuat dan dirawat di galangan Inggris. Sementara awaknya
sebagian besar merupakan orang Inggris kendati secara kontrak kaptennya harus
orang Belanda. Lantaran hal inilah pemerintah akhirnya memberikan izin konsensi
yang diajukan oleh dua pengusaha Belanda J. Boissevain dan Wm. Ruys pada 21
Juni 1887. Dari izin konsensi tersebut, terbentuklah KPM pada 10 Juli 1888 (De
Boer, 1924: 4). Jaringan pelayaran antar pulau yang dilayani oleh KPM itu
akhirnya kian memperkokoh integrasi wilayah kolonial untuk mencapai Pax
Neerlandica. Pada tahun 1916, KPM
Semarang membangun gedung baru hasil buah tangan arsitek A.I.A di bawah pimpinan F.J.L.
Ghijsels (Algemeen Handelsblad, 5 Agustus 1916). Sesuai dengan prinsip
Ghijsles, “Simplicity is the shortest path to beauty“, gedung ini dirancang
dengan kesan rapi dan tidak berlebihan.
|
Kantor Stoomvaart Mij. Nederland sebelum dan sesudah diperbarui pada tahun 1930. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Bersebelahan dengan gedung
kantor PT. Pelni, terdapat gedung PT. Djakarta Lloyd yang dulu ditempati oleh agen perusahaan
pelayaran Stoomvaart Maatschappij Nederland. Jika KPM melayani hubungan
antar pulau di Hindia-Belanda, maka Stoomvaart Maatschappij Nederland melayani hubungan pelayaran antara Belanda dengan Hindia-Belanda. Rupanya orang yang mencetuskan ide untuk membuka rute peyaran tersebut bukanlah orang Belanda melainkan pembuat kapal asal Skotlandia bernama John Elder. Sayangnya sebelum idenya terwujud, Elder meninggal
dunia pada 1869. Gagasan tersebut kemudian diteruskan oleh G.J. Boelen, kepala
galangan kapal De Vries & Co. Setelah mendapat dukungan dari keluarga kerajaan
dan kontrak dari pemerintah, maka berdirilah Stoomvaart Maatschappij
Nederland pada 13 Mei 1870 sebagai perusahaan yang mengoperasikan hubungan
kapal uap antara Belanda dengan koloni Hindia-Belanda (De Boer, 1920: 12). Stoomvaart
Maatschappij Nederland memiliki agensi di Semarang yang menempati lahan bekas kantor residen zaman VOC. Kantor tersebut juga menjadi tempat penjualan tiket-tiket kapal. Seiring dengan pesatnya kegiatan pelayaran, kegiatan kantor
terus bertambah. Stoomvaart Maatschappij Nederland lantas menugaskan arsitek
Karsten dan Schouten di Semarang untuk merancang kantor baru perusahaan
tersebut pada tahun 1928 (De Locomotief, 28 Februari
1928). Sebagian persil gedung lama dipotong untuk menambah ruang pada
jalan raya di depannya sehingga membentuk perempatan sejati yang selama ini terpotong oleh
bangunan kantor lama. Bangunan kantor baru berlantai dua itu mulai dibangun pada tahun 1930, dimana Stoomvaart Maatschappij
Nederland menempati lantai pertama sedangkan lantai kedua disewakan kepada pihak
lain.
|
Suasana jalan Heerenstraat pada akhir abad ke-19. Bangunan bertingkat dua di sebelah kanan adalah kantor De Javasche Bank Semarang (sumber : media-kitlv.nl) |
|
Bekas kantor De Javaasche Bank yang kini menjadi sebuah galeri. (sumber foto lama : colonialarchitecture.eu) |
Sekalipun kegiatan perniagaan kian semarak di Kota Lama, namun sejumlah pelancong menilai bahwa arsitektur bangunan di Kota Lama terkesan monoton dan terbelakang, kalah indah bila diperbandingkan dengan bangunan-bangunan di wilayah jajahan Inggris (De Locomotief, 5 Juli 1907). Hal tersebut dapat dipahami karena sepanjang abad ke-19 belum tersedia tenaga arsitek yang mendapat pendidikan ilmu arsitektur di Hindia-Belanda. Barulah pada paruh pertama abad ke-20, Kota Lama mulai diisi dengan bangunan-bangunan karya arsitek terampil. Bangunan De Javasche Bank cabang Semarang yang saat ini menjadi Semarang Kreatif Galeri adalah contohnya. De Javasche Bank adalah bank sirkulasi yang
dibentuk pada tahun 1828 di Batavia dengan tugas pokoknya adalah mencetak dan mengedarkan mata uang sah. Pada tahun yang sama, sudah ada pembahasan untuk membuka kantor cabang di tempat lain guna memperluas perederan uang kertas dimana Semarang dipilih sebagai kantor cabang pertamannya. Berikutnya, seorang pedagang bernama Hipp diangkat sebagai agen De Javasche Bank di Semarang pada
17 Januari 1829. Dari Batavia, uang sebesar 53.000 gulden yang akan digunakan
untuk sirkulasi De Javasche Bank diangkut menggunakan kapal “Merkurius”
pada 26 Februari 1829. De Javasche Bank Semarang saat itu belum memiliki
kantor sendiri sehingga uang tersebut diamankan di brankas kantor dagang milik Hipp.
Meskipun dianggap cukup aman dari bahaya pencurian, namun brankas tersebut
dirasa belum tahan kebakaran sehingga dua brankas baru dikirimkan ke Semarang
pada 6 Maret 1829. Hipp hanya menjalankan peran agen De Javasche Bank Semarang
selama setahun saja karena alasan kesehatan mengharuskan ia kembali ke Belanda. Daendels dari Daendels & Co. kemudian menggantikan peran Hipp sebagai agen De Javasche Bank (Algemeen Handelsblad, 14 Desember 1935). Kantor De Javasche Bank Semarang lalu diboyong ke kantor Daendels & Co yang kemudian dibeli oleh De Javasche Bank. Bangunan kantor yang semula berlantai dua selanjutnya dirombak
menjadi bangunan berlantai satu pada tahun 1910 seiring dengan gencarnya De
Javasche Bank melakukan pembangunan kantor baru di setiap kota. Rancangan
kantor tersebut adalah garapan dari Cuypers dan Hulswit, arsitek kepercayaan De Javasche Bank yang diandalkan dalam merancang kantor cabang De Javasche Bank di berbagai tempat (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 11 Mei 1911). Setelah 106 tahun
berkantor di Heerenstraat, De Javasche Bank Semarang memutuskan pindah ke kantor
baru yang lebih modern di dekat alun-alun Semarang pada tahun 1935.
|
Restoran Ikan Bakar Cianjur, menempati gedung dari abad ke-18. |
|
Foto dari abad ke-19 yang memperlihatkan rumah-rumah dari periode VOC di Blinde Speekstraat. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
|
Rumah model abad ke-18 yang masih tersisa di kawasan Kota Lama. |
Di salah satu sisi jalan Suprapto,
terdapat bangunan yang memiliki atap pelana amat curam dengan cerobong semu di kedua ujung bubungan. Bagian
depannya tak memiliki beranda sehingga pintu masuknya langsung bersentuhan
dengan jalan. Apabila memasuki bagian dalam bangunan yang saat ini menjadi
Restoran Ikan Bakar Cianjur itu, akan terjumpa ukiran bergaya barok di atas
ambang pintu. Bangunan tersebut awalnya adalah rumah pendeta (Bosboom, 1913: 193). Kemudian pada pertengahan abad ke-19 menjadi kantor s' Landkas atau kantor pajak. Selanjutnya memasuki awal 20 digunakan sebagai Geweermaker Atelier atau bengkel pembuatan senjata (De Locomotief, 26 Oktober 1906). Bangunan tersebut adalah salah satu dari sekian sedikit model rumah
tinggal perkotaan dari zaman VOC yang masih bertahan dari berbagai gempuran pembangunan lintas masa di Kota Lama. Menurut Peteri, terdapat
60 rumah besar dan 150 rumah kecil dalam jenis tersebut di kawasan Kota Lama pada tahun 1870an. Seiring
dengan bangkitnya Semarang sebagai kota perdagangan, rumah-rumah model lawas tersebut
akhirnya tergusur dan berganti menjadi kantor komersial. Sementara itu, para
penghuninya sudah lama meninggalkan kawasan Kota Lama karena keadaan kawasan
tersebut tidak mendukung untuk tempat tinggal. Dokter
Bleeker yang mengunjungi Semarang sekitar tahun 1857 menerangkan bahwa kawasan itu dipenuhi oleh jalanan berlubang. Air selokan meluber dan
mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Memasuki malam hari, suasana begitu gelap karena minimnya penerangan jalan umum. Penghuni di sana akhirnya memilih untuk memindahkan huniannya ke kawasan yang lebih sehat seperti Bojong atau di perbukitan selatan Semarang. Pada akhir abad ke-19, karakter kota tua
Belanda era VOC hampir menghilang sepenuhnya dari Kota Lama dan kawasan tersebut akhirnya beralih
menjadi kawasan komersil. Untungnya masih tersisa beberapa bangunan rumah dari masa VOC seperti restoran
Ikan Bakar Cianjur.
|
Kantor Perusahaan Asuransi Jiwasraya. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Persis di samping dan seberang bangunan Restoran Ikan Bakar Cianjur, terdapat dua bangunan yang usianya terpaut cukup jauh di bawahnya, yakni kantor perusahaan asuransi Jiwasraya dan kantor Indonesia Trading Center. Kantor asuransi Jiwasraya menempati bekas kantor perusahaan masa Hindia-Belanda yang bergerak di bidang sejenis, yakni Nederlandsch-Indisch Lijfrente Maatschappij (Nillmij). Gedung ini dibuka sebagai kantor "Nillmij" pada 11 April 1919. Rancangannya dibuat oleh biro arsitek “Karstens, Lutjens, en Toussaint”. Sebelum didirikan gedung “Nillmij”, tempat tersebut dulunya adalah toko untuk firma “Meyer-Hillestrow”. Proses pembangunan dimulai pada tahun 1916 dengan menggunakan jasa kontraktor “Hollandsche Beton Maatschappij”. Konstruksi bangunan disusun dengan teknologi beton bertulang yang saat itu baru dikenal di Hindia-Belanda. Bangunan diberikan sentuhan gaya arsitektur Art Deco yang sedang menjadi trend saat itu. Untuk menambah keindahan, bangunan berkubah ini dihiasi dengan kaca patri buatan pabrik Andriesse dan dekorasi logam buatan pengrajin lokal, Karsidin. Ubin yang digunakan berasal dari pabrik tegel di Gembong. Sebagai upaya adaptasi terhadap iklim lokal, maka bangunan ini diberi beranda keliling. Bangunan gedung "Nillmij" menempati lahan yang berhimpitan dengan pertigaan. Supaya pandangan pengendara tidak terhalang oleh bangunan, maka bangunan dirancang berbentuk seperti huruf “L” dan menyisakan ruang terbuka di sudut lahan. Bangunan berlantai tiga ini ditempati oleh dua kantor, yakni “Nillmij” di dua lantai pertama dan lantai ketiganya ditempati oleh “Jonkhoft Stork & Co.”, firma yang bergerak di bisnis penjualan mobil. Untuk perpindahan antar lantai, gedung ini dilengkapi dengan suatu perangkat yang masih belum lazim di Hindia-Belanda, yakni mesin elevator. Mesin tersebut buatan pabrik elevator terkenal dari Amerika Serikat, “Otis” (De Locomotief, 11 April 1919).
|
Kantor Indonesia Trading Cenre. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Dengan kesan yang kokoh dan
modern, orang akan menyangka jika kantor Indonesia Trading Centre itu baru
dibangun hari kemarin, padahal usia bangunan tersebut sudah menginjak lebih
dari lima puluh tahun. Bangunan karya arsitek Ir. J.F.L. Blankenberg itu
dahulunya adalah kantor dari firma Borneo Sumatra Maatschappij. Firma tersebut aslinya didirikan di Banjarmasin pada tahun 1883 oleh seorang pedagang bernama Jacobus Wilhelm Schlimmer. Ketika itu, sedikit sekali pedagang swasta Eropa yang mau membuka usaha perdagangan di Pulau Kalimantan kendati pulau tersebut sudah berada dalam administrasi pemerintah Hindia-Belanda pada abad ke-19. Awal berdiri, Borsumij masih memakai nama Schlimmer & Co. yang selanjutnya diubah namanya menjadi
N.V. Borneo Sumatra Maatschappij atau Borsumij pada 31 Maret 1894. Pada awal
abad 20, Borsumij sudah memiliki kantor cabang di Pontianak, Samarinda, Palembang,
Pangkal Pinang, Tanjung Pandan, dan kota lainnya. Ihwal masuknya Borsumij ke Semarang bermula dari diakusisinya perusahaan Maatschappij voor Uitvoer- en Commissiehandel oleh Borsumij senilai 2.000.000 gulden (De Locomotief, 30 Januari 1920). Kantor Maatschappij voor Uitvoer- en Commissiehandel di Semarang lantas berpindah tangan ke
Borsumij. Menyongsong peningkatan bisnis Borsumij, bangunan kantor lama
dirasakan tidak memadai untuk kegiatan kantor, apalagi setelah jumlah arsip
terus bertambah sementara hampir tidak ada lagi tempat untuk menampungnya. Hal tersebut akhirnya dirasakan sendiri J.G. Schimler, direktur Borsumij yang mengunjungi kantor Borsumij Semarang pada tahun 1937. Schimler memutuskan untuk merombak bangunan kantor tersebut secara
menyeluruh dan menambahkan gudang baru di sebelahnya. Selanjutnya kantor
kontruksi “Ooiman & Van Leeuwen” menerima kontrak dari Borsumij pada 20
Oktober 1938 setelah memenangkan tender yang dilelang sebulan sebelumnya. Sementara
untuk arsiteknya, Borsumij menugaskan J.F.L. Blankenberg yang mengusung langgam
Fungsionalisme untuk bangunan kantor itu. Bangunan kantor lama Borsumij
dan kantor sebelahnya yang sudah dibeli Borsumij, Venduhuis Hillebrands kemudian dibongkar pada Oktober 1938. Hari Sabtu, 4
Februari 1939, diadakan upacara peletakan batu pertama untuk pembangunan kantor baru
Borsumij. Prosesnya pembangunannya boleh dikatakan sangat cepat. Pada 29
Oktober 1939, hanya berselang 9 bulan dari upacara peletakan batu pertama,
bangunan kantor baru Borsumij resmi dibuka (De Locomotief, 28 Oktober 1939).
|
Paradeplein, jantung kota lama Semarang. Di sini kerap diadakan pentas drum band militer. (sumber : colonialarchitecture.eu). |
Berdiri dengan elegan di jantung Kota Lama, Gereja Blenduk
adalah tengara utama Kota Lama Semarang dengan atap kubah yang begitu anggun
membelah langit dan sepasang menara lonceng yang mendamipinginya. Di tengah
kepungan bangunan – bangunan kuno lain, ia menjadi satu-satunya bangunan suci
di kawasan yang sarat urusan duniawi itu dan seakan sebagai pengingat bahwa
sesibuk-sibuknya manusia dengan urusan dunia, mereka masih harus tetap ingat
dengan urusan akhirat. Gereja Blenduk atau GPIB Imannuel dibangun ketika VOC
sudah cukup mapan di Semarang. Bentuk asli bangunan gereja belum diketahui
karena bentuk gereja sudah mengalami beberapa kali perubahan. Menurut Peteri, bangunan
gereja awal dibongkar dan digantikan bangunan gereja baru pada tahun 1794.
Bangunan gereja kemudian disempurnakan seperti yang terlihat saat ini oleh
H.P.A. de Wilde dan W. Weestmas pada tahun 1894-1895 dengan mengimbuhkan dua
menara bergaya barok, portico klasik pada bagian depan gereja itu,
dan mengubah bentuk kubah (Westbroek, 1939 : 164). Di samping timur Gereja
Blenduk, terdapat taman kecil bernama taman Srigunting yang di masa silam
merupakan bagian dari sebuah lapangan parade atau paradeplein. Di lapangan itulah para serdadu Belanda berparade dengan
iringan musik militer. Kini lapangan itu telah lenyap, separo menjadi sebuah
gedung kosong dan separonya lagi menjadi taman Srigunting.
|
Bangunan Toko Zikel pertama. |
|
Gedung Marba, bekas toko "Zikel". (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Kawasan kota lama Semarang dibelah oleh Jalan Letjend Suprapto. Jalan yang nyaris tak pernah sepi lalu lintas kendaraan itu dulu bernama Heerenstraat. Pada masa Daendels, jalan itu dijadikan sebagai bagian dari Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (Pratiwo, 2010; 33) Sebagai jalan utama, maka tak heran jika di sepanjang jalan itu pernah berdiri kantor perusahaan ternama, hotel mewah sekelas Hotel Janssens yang kini tinggal nama saja dan toko kelontong yang menjual pernak-pernik untuk golongan elit seperti toko kelontong “Zikel” yang saat ini dikenal sebagai gedung Marba. Toko "Zikel" pertama kali dibuka di sudut pertemuan jalan Heerenstraat dengan Oosterwalstraat pada tahun 1902. Sebelum menjadi Toko Zikel, tempat tersebut dulunya adalah bengkel zeni militer (De Locomotief, 4 Maret 1902). Berselang dua tahun kemudian, “Zikel” membeli bangunan toko
kelontong milik Jolink Barend dengan harga 30.000 gulden. Seluruh bangunan lama
toko Jolink Barend itu kemudian dibongkar dan digantikan oleh bangunan baru
bertingkat dua yang lebih besar pada tahun 1904 (De Locomotief, 17 Maret 1904). Bangunan baru itulah yang sekarang dikenal sebagai gedung Marba.
Sayangya karena deraan krisis ekonomi pada tahun 1930an, toko “Zikel” gulung
tikar dan bangunannya dijual pada tahun 1932. Meskipun bangkrut, toko
“Zikel” tetap dibuka guna menghabiskan stok barang (Bataviasch Nieuwsblad, 16 maret 1932).
|
Bekas Toko Spiegel. |
|
Bekas showroom "N.V. Semarangsche Automobiel Mij." (sumber foto lama : colonialarchitecture.eu) |
Selain toko "Zikel", ada juga toko “Spiegel” yang menurut harian Algemeen Handeslblad 29 Januari 1934, “Spiegel” dibuka oleh
seorang warga negara Jerman bernama H. Spiegel pada tahun 1885. Toko tersebut
adalah gerai ritel pertama di Semarang. Sekitar tahun 1907, bangunan toko
Spiegel diperbesar menjadi bentuknya yang sekarang ini (De Locomotief, 21 Oktober
1907). Pada tahun 1926, Spiegel memindahkan gerainya ke Bojong dan bangunan lama
yang ada di dekat Paradeplein digunakan oleh Vendutie Kantoor atau kantor lelang (De Locomotief, 5 Juni 1926). Kemudian di seberang toko
"Spiegel", terdapat bangunan bekas showroom dari "N.V.
Semarangsche Automobiel Maatschappij". Perusahaan yang bergerak di bidang
rental dan penjualan mobil tersebut didirikan oleh H.W. Jonkhoff dan K. Ferdinandus
pada tahun 1909 (De Locomotief, 15 Oktober 1909). Saat itu baru ada tiga pemilik kendaraan
mobil pribadi yang mulai diperkenalkan di Semarang pada tahun 1899.
Guna menyambut gelaran Koloniale Tentootstelling di Semarang, maka "N.V. Semarangsche Automobiel Maatschappij" merintis layanan taksi di Semarang pada tahun 1913. Dengan menggunakan enam mobil jenis
Detroiter, layanan tersebut mematok tarif 50 sen untuk 800 meter pertama dan 10
sen untuk setiap 400 meter berikutnya. Itu adalah layanan taksi berargometer
pertama di Semarang (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indische, 28 Oktober 1913). Keberadaan
layanan taksi dari "N.V. Semarangsche
Automobiel Maatschappij" sempat ditentang beberapa pihak karena perusahaan
tersebut hendak mengajukan monopoli layanan taksi di Semarang kepada pemerintah kota (De Expres, 10 Desember
1913). Nama "N.V. Semarangsche Automobiel
Maatschappij" menghilang dari buku daftar telepon pada tahun 1925.
Kemungkinan pada tahun sebelumnya, perusahaan tersebut bangkrut akibat ketatnya persaingan penjualan
mobil saat memasuki tahun 1920an (De Locomotief, 8 November
1938).
|
Suasana Jalan Hoogendorpstraat tahun 1930an. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Jalan Kepodang adalah salah
satu jalan di Kota Lama Semarang yang juga banyak menyimpan bangunan lama. Di
masa kolonial, jalan ini bernama Hoogendorpstraat. Sejumlah perusahaan membuka
kantornya di sepanjang jalan ini seperti Nederlandsch Indische-Handelsbank,
Oei Tiong Ham Concern, Spaarbank Semarang dan Escompto Maatschappij. Di jalan ini pula
dahulu pernah ada kantor surat kabar yang menjadi corong orang-orang Belanda
yang memperjuangkan politik etis, De Locomotief. Sayangnya bangunan yang seharusnya
menjadi monument pers Indonesia ini kini sudah runtuh akibat ditelantarkan
dalam waktu lama.
|
Gedung Bank Mandiri yang berada di Jalan Kepodang ini dahulunya adalah kantor dari Nederlandsch Indische Handelsbank. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Di sudut jalan Kepodang,
terdapat kantor Bank Mandiri yang menempati bekas kantor Nederlansch Indische Handelsbank (N.I.H). Perusahaan tersebut dibentuk
pada tahun 1863 dan merupakan salah satu anak perusahaan dari Algemeene Maatschappij. Kehadiran kantor cabang N.I.H di Semarang dimulai sejak bulan Maret tahun 1865 dan saat itu sifatnya baru uji coba. Setelah kinerjanya tidak menujukan hasil memuaskan, maka N.I.H. menutup kantor
cabang Semarang itu setahun setelahnya. N.I.H baru membuka kembali kantor cabang di Semarang pada
1 April 1876 dan kali ini berjalan cukup bagus (Bree, 1918 : 211). Pada zaman pendudukan Jepang, gedung
bank tersebut ditempati oleh Yokohama Specie Bank dan selepas kemerdekaan kantor tersebut kembali ke pangkuan N.I.H. Bank tersebut kemudian berganti
nama menjadi Nationale Handelsbank pada 1 Juli 1950 (Algemeen Indisch
Dagblad, 15 Juli 1950). Empat tahun kemudian, Nationale Handelsbank cabang Semarang merombak tampilan kantor lama menjadi lebih modern dan rancangannya dibuat oleh arsitek Ir. E. Kuhr. Sementara pelaksanaan pembangunannya dilimpahkan kepada biro konstruksi “Ooiman
& van Leeuwen” (De Locomotief, 25 Oktober 1954). Nationale Handelsbank dan beberapa asetnya di Semarang kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Bank Umum Negara.
|
Bekas kantor Oei Tiong Ham Concern.
|
Selain kantor firma-firma
terkenal milik orang Eropa, di Van Hoogendorpstraat berkantor pula firma yang dimiliki oleh orang Tionghoa, Oei Tiong Ham Concern. Nama firma Oei Tiong Ham Concern tidaklah lepas dari sosok Oei Tiong Ham, hartawan Tionghoa yang sudah sangat dikenal dalam sejarah
Semarang. Oei Tiong Ham Concern merupakan kelanjutan dari usaha perdagangan gula eceran bernama Kian Gwan yang dirintis oleh Oei Tjie Sin, ayah Oei Tiong Ham. Usaha tersebut awalnya dijalankan di Gang Besen yang ada di kawasan Pecinan dan kemudian pindah ke Van Hoogendorpstraat pada tahun 1865. Bisnis itu selanjutnya merambah ke sektor ekspor gula ke
Singapura, industri gula, dan sektor usaha lainnya. Oei Tiong Ham Concern tumbuh menjadi perusahaan konglomerat yang dikelola dengan praktik bisnis modern. Sepeninggal Oei Tiong Ham pada tahun 1924, usaha
tersebut terus tumbuh sehingga jumlah pegawai terus bertambah. Kantor lama
dirasa kian sempit sehingga Oei Tjong Houw, penerus usaha Oei Tiong Ham Concern mulai
berencana untuk merenovasi gedung lama pada tahun 1928. Sebagai bentuk dukungan terhadap sesama Tionghoa, Oei Tiong Ham Concern memilih Liem Bwan Tjie, satu-satunya arsitek Tionghoa terpelajar saat itu, untuk merancang bangunannya. Liem Bwan Tjie merancang bangunan dengan bentuk yang begitu modern pada masanya sehingga bangunan tidak tampak seperti bangunan jadul walau usianya sudah lumayan tua. Sebelum bangunan lama dibongkar pada 1931, kegiatan Oei Tiong Ham Concern untuk sementara dipindahkan ke Chineesche Lloyd di Kerkstraat. Tahapan pembangunan gedung dikerjakan oleh Sitsen en Louzada dengan kontrak senilai 249.000
gulden. Sekitar Agustus 1933, proses renovasi bangunan sudah mencapai tahap akhir. Bangunan tersebut diresmikan pada 6 Desember 1933, saat gairah industri gula di Hindia-Belanda tengah mengalami kelesuan akibat krisis ekonomi yang membuat banyak perusahaan gula lain gulung tikar. (De Locomotief, 6 Desember 1933).
|
Bekas kantor firma Escompto yang dibangun tahun 1912. |
Bangunan bekas gedung Escompto Maatschappij juga tidak kalah megahnya. Escompto didirikan di Batavia pada 22
Agustus 1857 oleh Paulus Tiedeman Jr. dan Carl Frederik Wilhelm Wigger van
Kerchem. Escompto berkantor pusat di Batavia dan memiliki sejumlah kantor cabang
di sejumlah tempat termasuk di Semarang. Usaha Escompto di Semarang awalnya dijalankan oleh agen perseorangan
sebagaimana di tempat lainnya. Baru pada tahun 1892, bisnis Escompto di
Semarang mulai dijalankan sebagai badan usaha meskipun kantornya masih menyewa (Bree, 1918 ; 131). Pada tahun
1911, Escompto akhirnya dapat membeli sepetak lahan yang akan dipakai untuk tempat gedung kantor baru miliki Escompto. Karyawan Escompto akhirnya dapat menempati gedung kantor baru tersebut pada 27 Desember 1912 (Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indische, 27 Desember 1912). Angka tahun selesainya pembuatan gedung tersebut tertera di muka gedung, berdampingan dengan lambang kota Surabaya dan Semarang.
Pada masa Jepang, kantor Escompto digunakan oleh China Southern Bank.
|
Gedung Spaarbank Semarang. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Selanjutnya bersanding dengan bekas
kantor Escompto, terdapat kantor Spaarbank yang dibentuk pada tahun 1853
oleh anggota Maatschappij tot Nut van 't algemeen. Berbeda dari bank-bank
besar lain saat itu yang kepentingan utamanya adalah menyediakan pinjaman untuk
konglomerat, tujuan utama bank tabungan ini ialah sebagai tempat tabungan untuk
penabung kecil dari semua golongan dan memperkenalkan kebiasaan menabung untuk
masyarakat umum (Java Bode, 1 Agustus 1857). Spaarbank kemudian membangun kantornya pada tahun 1887. Mengingat di Semarang saat itu belum ada jasa arsitek, maka seorang insinyur dan
guru matematika di Semarang bernama Verver ditugaskan untuk merancang gedung kantor itu. Proses pembangunan gedung dikerjakan oleh
Mahlerwein dengan biaya sebesar 10.440 gulden (De Locomotief, 24 Desember 1887). Gedung kantor tersebut menjadi gedung kantor terindah di Semarang
sebelum gedung Lawangsewu dibangun.
|
Bekas gedung Schouwburg. (sumber foto lama : media-kitlv.nl) |
Selain gedung-gedung komersil, di kawasan Kota Lama juga terdapat
gedung pertunjukan yang dikenal sebagai Schouwburg. Kehadiran Schouwburg ini menawarkan hiburan bagi penduduk Eropa yang sudah seharian berkutat dalam urusan pekerjaan. Pengagas Schouwburg Semarang
adalah mantan residen Semarang, Lameers van
Torrenburg, yang merasa prihatin dengan minimnya
sarana pentas seni pertunjukan di Semarang. Oleh karena itu, hadiah untuk perayaan
ulang tahun pernikahan ke-25 dialihkannya untuk mendirikan
gedung seni pertunjukan seperti teater, musik orkes, resital, dan lain-lain (Algemeen handelsblad, 16 April 1925). Pada tahun 1874,
dibentuk sebuah komite kecil untuk menyiapkan pembangunan gedung baru. Biaya
pembangunannya ternyata lebih tinggi dari perkiraan semula sementara modal awal
yang tekumpul jauh dari yang diharapkan sehingga Schouwburg Semarang menempati bekas
gedung komedie lama di Komediestraat. Pembukaan gedung Schouwburg Semarang
berlangsung pada malam tanggal 29 November 1877. Sejumlah wartawan yang menghadiri pembukaan mengkritik mutu
bangunan Schouwburg yang sangat rendah untuk sebuah gedung pertunjukan. Akibatnya,
jumlah pentas pertunjukan di gedung tersebut dapat dihitung dengan jari setiap
tahunnya. Jumlah penontonnya juga tidak banyak dan lebih banyak pentas di
Societeit Amicita ketimbang di Schouwburg (De Locomotief 22 Maret 1895).
Sekalipun sudah dilakukan sejumlah perbaikan pada 1906 dan 1929, nyatanya langkah
tersebut masih gagal mengundang penonton. Pemasukan yang diperoleh jauh dari kata
menguntungkan sehingga pemeliharaan gedung dilakukan ala kadarnya. Bangunan schouwburg
lama kelamaan menjadi bobrok dan terancam untuk ditutup (De Locomotief 5
Juli 1935). Situasi semakin runyam setelah pendudukan Jepang dan kemerdekaan.
Schouwburg Semarang tidak pernah bangkit. Gedungnya menjadi gudang sebelum
mengalami kerusakan dan penghancuran bertubi-tubi. Pada tahun 1994, interior plafon
dan tiangnya yang terbuat dari kayu diboyong ke Gedung Marabunta di sebelahnya.
Banyak kabar beredar yang menyebutkan bahwa seorang intel terkenal bernama Mata
Hari pernah tampil di Schouwburg meskipun kabar tersebut diragukan
keabsahannya. Sementara itu, Schouwburg Semarang pada Maret 192 pernah menampilkan pertunjukan musik biola yang dibawakan oleh Walter Spies, sosok yang berjasa dalam modernisasi seni Jawa dan Bali (De Locomotief 26 Februari 1927). Kisah ini sendiri justru masih belum diketahui banyak orang meskipun ada catatan sejarahnya. Selain untuk gedung pertunjukan, gedung tersebut juga digunakan
sebagai tempat pertemuan organisasi politik. Misalnya pertemuan “Indische
Partij” cabang Semarang pada 19 Oktober 1912 yang dihadiri oleh salah satu tokoh tiga
serangkai, Ernest Douwes Dekker atau Dr. Danudirja Setiabudi (Het Nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie 21 Oktober 1912). Organisasi Sarekat
Islam (SI) juga pernah menggelar rapat besar di tempat itu pada bulan April
1918, dimana diputuskan bahwa Abdul Moeis dipecat sebagai wakil presiden SI dan
digantikan oleh Mas Marco Kartodikromo (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië
22 April 1918).
|
Cafe Teko Deko, contoh lain cafe yang memanfaatkan bangunan lama. |
Bangunan lama yang kini dialihfungsikan sebagai restoran. |
|
Salah satu bangunan lama yang belum mendapat sentuhan pemugaran. |
Bertaburkan berbagai gedung kolonial di setiap sudutnya, Kota Lama Semarang menjelma laksana galeri pamer terbuka dimana para arsitek Belanda berlomba membuat gedung-gedung niaga yang paling megah dan berseni. Wajah gedung yang dibangun modern yang diadaptasikan dengan iklim tropis itu menunjukan suburnya praktik niaga di Semarang pada zaman kolonial, terutama semenjak terbukanya keran investasi di Hindia Belanda pada tahun 1870. Bagai cendawan di musim hujan, banyak perusahaan mendirikan kantornya di Kota Lama. Liem dalam buku Riwajat Semarang menulis "begitu kita sampai di kota di mana kantor dan gudang berdiri, terdapat gedung dari bank, kongsi pelayaran, firma eksportir dan importir, kantor pengacara, dan asuransi bergandengan satu sama lain, di antaranya terdapat toko-toko". Sayangnya, kawasan Kota Lama Semarang selepas kemerdekaan perlahan mulai memperlihatkan gejala kemunduran. Kondisi lingkungan yang kerap terkena rob menjadi salah satu sebab mengapa kawasan Kota Lama begitu sengkarut. Banyak gedung kuno yang masih kosong melompong lantaran perusahaan-perusahaan enggan untuk berkantor di Kota Lama. Kawasan bersejarah yang dahulu ramai dengan aneka kegiatannya itupun akhirnya meredup dan menjadi kawasan mati di malam hari dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Untungnya pemerintah tidak berdiam diri melihat kawasan bersejarah
itu terlantar. Sejak tahun 1992, kawasan kota lama ditetapkan sebagai kawasan
cagar budaya dan mulai dibenahi. Meskipun ada hambatan dalam pembiayaannya, Kota Lama berusaha bersolek kembali dengan usaha yang dijalankan baik oleh pemerintah maupun swasta. Sejumlah gedung yang sempat terlantar selama
bertahun-tahun dan kini terlihat elok sebagai cafe dan galeri setidaknya menumbuhkan asa
akan masa depan Kota Lama Semarang. Dengan aura kekunoan bangunan lamanya yang masih kentara, kawasan Kota Lama akhirnya menjadi bagian dari jatidiri
kota Semarang sebagaimana ungkapan “Kota tanpa bangunan berserajah
adalah kota yang kehilangan jatidirinya “..
Referensi
Bosboom, H.D.H. 1913. "Oude Woningen in en Nabij de Stad Batavia" dalam Nederlandsch Indie Oude en Nieuw. Hlm. 127-193
Bree, L. De. 1918. Het Bankwezen. Batavia :Ruygrok & Co.
De Boer, M.G. 1920. Gedenkboek der Stoomvaart Maatschappij Nederland 1870-1920. Amsterdam : L. Van leer & Co.
De Boer, M.G. 1924. De Koninklijke Paketvaart Maatschappij. Amsterdam : Bureau Industria.
ir. H. Th. Baldinger. 1938. "Semarang als industrie-stad" dalam Locale Techniek bulan Maret-April 1938.
Brommer dkk. 1995. Semarang, Beeld van een stad. Purmerend : Asia Maior.
Kuiper, K.G. 1935. "Oud en Nieuw Semarang" dalam Tropische Nederland No. 22 18 Februari 1935.
Liem Thian Joe. 1933. Riwajat Semarang. Batavia : Drukkerij Boekhandel.
Peteri, W.B. "De Geschiedenis der Stad Semarang" dalam Algemeen Handelsblad voor Ned.Indie 25 Juli 1925, 17 Oktober 1925, dan 31 Oktober 1925
Poerwanto, L.M.F dan Soenarso, R.
2012. Menapak Jejak-Jejak Sejarah Kota Lama Semarang. Bandung; Bina Manggala
Widya.
Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Stockdale, John Joseph. 2021. The Island of Java : Sejarah Tanah Jawa. Yogyakarta : Indolestari.
Westbroek, H. 1939. "De Protestantsche Koepelkerk te Semarang" dalam Locale Techniek bulan November 1939.
Algemeen Handelsblad, 5 Agustus 1916
Algemeen Handelsblad, 16 April 1925
Algemeen Handelsblad, 4 April 1929
Algemeen Indisch Dagblad, 15 Juli 1950
Bataviasch Nieuwsblad, 16 maret 1932
De Expres, 10 Desember 1913
De Locomotief 24 Desember 1887
De Locomotief 22 Maret 1895
De Locomotief, 4 Maret 1902
De Locomotief, 17 Maret 1904
De Locomotief, 2 Juli 1907
De Locomotief, 5 Juli 1907
De Locomotief, 21 Oktober 1907
De Locomotief, 13 Januari 1908
De Locomotief, 15 Oktober 1909
De Locomotief, 11 April 1919
De Locomotief, 30 Januari 1920
De Locomotief, 5 Juni 1926
De Locomotief, 28 Februari 1928
De Locomotief, 6 Desember 1933
De Locomotief, 5 Juli 1935
De Locomotief, 31 Desember 1935
De Locomotief, 8 November 1938
De Locomotief, 28 Oktober 1939
De Locomotief, 25 Oktober 1954
De Sumatra Post, 27 September 1922
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23 Juni 1910
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 11 Mei 1911
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21 Oktober 1912
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27 Desember 1912
Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28 Oktober 1913
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 22 April 1918
Java Bode, 1 Agustus 1857
Provinsial Overijssel dan Zwolsche courant, 26 Januari 1914
Soerabiasch Handelsblad, 22 Mei 1942
Jika dulu sempat dijuluki Batavia kedua lalu knp pd era modern skrg kota Semarang kalah ramai dibanding Surabaya?
BalasHapusTerima kasih atas pertanyaanya. Mengapa Semarang kalah ramai dibanding Surabaya ? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah kolonial yang menjadika Surabaya sebagai basis angkatan laut mereka di Jawa, sehingga mereka membuat pelabuhan yang lebih besar dibanding Semarang. Selain itu, berbeda dengan Semarang, di sekitar Surabaya dahulu banyak berdiri pabrik-pabrik besar seperti pabrik gula dan pabrik amunisi.
HapusApa jg dipengaruhi oleh topografi kota yg krg menguntungkan? Kombinasi rob di Utara dan terjalnya smg atas? Oiya mas klo masalah rob apa ada upaya dr pemerintah kolonial utk mengatasi mslh tsb? Dulu sdh rob blm ya? Haha
HapusTp klo misal ada siapa tau bisa jd bahan pembelajaran Pemkot skrg. Trims
Tentu saja. Kota Semarang yang sekarang sebenarnya merupakan dataran alluvial. Dataran seperti ini lebih rentan terkena banjir, apalagi kota Semarang terletak di bibir pantai. Pemerintah kolonial sendiri sudah berusaha menanggulanginya dengan membuat banjir kanal barat dan timur. Di masa itu, usaha itu cukup efektif karena populasi penduduk masih sedikit. Namun di masa sekarang, banjir kanal terasa kurang efektif karena permukaan tanah sekarang semakin turun.
HapusPada jaman kolonial untuk menanggulangi banjir dan rob sudah dipersiapkan kolam besar sebagai penampung air yang berada di depan stasiun tawang
HapusWow luar biasa,, foto2 nya lengkap dari masa kolonial sampe masa skrg,, mudah2an saya bisa k smarang untuk bisa melihat nya secara langsng,, Terima kasih mas
BalasHapusMohon dibahas gedung Marabunta atau Schouwburg yang konon ada kaitannyandengan tokoh spionase Jerman Mata Hari
BalasHapusternyata mas sanggar sudah disini,...terima kasih pak, saya catat beberapa tambahan yang sangat penting untuk pengetahuan saya
BalasHapus